Share

Daddy Austin

"Anna."

Zean tiba-tiba menahan sikuku saat kami tengah menyusuri ruang tengah kediaman Austin Kanatta yang megah. Saat aku menoleh ke arahnya, Zean menatapku cemas bercampur ragu. Ia tetap diam, tetapi matanya sesekali melirik ke arah kak Naki dan Chris, seolah menunggu keduanya mencapai ruang makan terlebih dahulu.

Begitu kedua saudaraku benar-benar dalam radius yang cukup jauh untuk menguping, aku mencoba bertanya, "Ada apa, Zean?"

Pemuda yang mengenakan kemeja putih dengan dua kancing teratasnya dibuka dan lengan yang dilipat hingga siku itu menggaruk tengkuknya gugup. Tidak biasanya Zean seperti ini.

"Ehm ... ini tentang kado ulang tahunku," jawabnya masih terlihat ragu.

"Oh, kontrak itu? Kenapa?"

Zean memberikan cengiran yang aku tidak paham untuk apa. "Anna berjanji akan mengabulkannya, kan?"

Aku diam sejenak, tidak langsung menjawab. Entah kenapa firasatku tidak enak.

"Selama situasinya tidak melanggar norma dan hukum,” jawabku setelah diam sejenak. “Kenapa, Zean? Kamu nggak percaya sama aku?"

It’s not like that. It’s just ….” Zean kembali terdiam. Tiba-tiba tangan kanannya terangkat, menyugar rambut hitam pekatnya dengan gerakan frustasi. Ekspresinya pun memberikan kesan yang sama. Pria itu sedang memikirkan sesuatu yang membebani batinnya.

It’s ok kalau kamu belum siap buat cerita, Zean. Take your time. You can tell me anytime you are ready.” Tangan kananku terangkat, mengusap punggung lebarnya sambil tersenyum lebar. 

Pria itu menatapku sesaat. Tatapan matanya seperti sedang menimbang keputusan. Reaksiku? Aku hanya tersenyum lebar, bahkan menahan tawa karena ekspresi Zean yang terlihat agak lucu. Beberapa saat kemudian, pria itu mengembus napas panjang.

Actually, I’ve got a bad feeling about tonight’s dinner,” aku Zean lirih. “Jadi, sepertinya aku akan menggunakan hadiah ulang tahunku malam ini. Is it ok?

Begitu otakku selesai mencerna pertanyaan Zean, aku tertawa. Tangan kananku yang tadinya mengusap punggung Zean pun beralih menepuk lengan kekarnya gemas. 

“Ya ampun! Aku pikir ada apa, Zean! Kamu bikin aku panik aja!” omelku gemas.

Zean hanya cengar-cengir. “Berarti, boleh?”

Aku mengangguk mantap. “Of course, Handsome! It’s your birthday gift, anyway.

Thank you, Anna,” ujarnya seraya mengusap rambutku. Lengkap dengan senyum indah terukir di wajah tampannya.

"Ekhm! Ekhm!"

Suara dari arah ruang makan membuatku dan Zean langsung menoleh. Tangan Zean, yang masih menyentuh kepalaku pun, otomatis ditarik kembali ke sisi tubuhnya dengan posisi canggung begitu mengenali si pemilik suara. 

Daddy Austin menghampiri kami dengan tatapan jahilnya yang khas. Melihat arah datangnya, sepertinya daddy baru saja dari toilet.

"Let's have the dinner first, Lovebirds. Setelahnya, kalian bisa lanjut bermesraan," godanya sambil mengerling jahil ketika sudah berdiri di dekatku dan Zean.

"Oh, come on, Dad!" erang Zean sambil memutar mata.

"What? You want to eat her instead, Son?"

Zean melotot sambil menutup kedua telingaku dengan masing-masing tangannya. Meskipun sebenarnya usahanya terbilang sia-sia karena aku masih bisa mendengar jelas pembicaraan mereka.

"Dad! Language!" tegur Zean panik, sedangkan daddy Austin malah tertawa.

Yang lucu di keluarga seorang Austin Richard Kanatta adalah peran mereka yang kadang tertukar. Daddy Austin yang usil dan suka menyeletuk jahil menggoda Zean, dan putra tunggalnya yang suka kaku dan kadang kelewat serius. Aku sudah tidak kaget lagi saat Zean menegur sang ayah karena menggodanya berlebihan. Toh, hal itu hanya berlaku di rumah. Karena di luar kediaman mereka, keduanya tampak begitu berwibawa dan bercanda sekenanya. Mungkin itu yang disebut Papa dengan "menjaga image keluarga", yakni tetap berwibawa dan bermartabat agar nama keluarga tidak dipandang sebelah mata. Apalagi dengan status sosial yang berada, seperti keluarga Kanatta.

Sekedar informasi, perusahaan keluarga yang dirintis oleh kakek buyut Zean itu benar-benar besar. Lingkup usahanya luas, yang merambah ke berbagai macam sektor usaha dengan kantor cabang yang menjamur di mana-mana. Dimulai dari permesinan, lalu merambah ke sektor elektronik, perminyakan, dan pertambangan. Bahkan, beberapa bulan yang lalu, aku dengar dari Zean, kalau mereka juga akan segera merambah ke sektor pangan. Otomatis, status sosial keluarga Kanatta yang sudah di level super elit, merangkak kian tinggi. 

Jangan coba-coba membandingkan dengan usaha yang sedang ditekuni papa Ian. Perbedaan levelnya terlalu jauh. Bukan lagi langit dan bumi, tapi sudah seperti galaksi Bima Sakti dan galaksi Andromeda. Bisa dibilang, aku sangat beruntung karena dianggap sebagai bagian dari keluarga Kanatta dengan panggilan Anna.

Bukannya aku tidak bersyukur dengan keluargaku, sih. Aku tahu betul kalau papa Ian, kak Naki dan Chris sedikit “istimewa” dalam menunjukkan kasih sayang dan perhatian mereka padaku. Tapi, aku juga tidak munafik kalau ada kalanya aku mendambakan kasih sayang yang “umum” dari keluargaku. Sayangnya, peran kosong itu diisi oleh keluarga Austin Richard Kanatta. Lagipula, tidak ada salahnya kalau aku punya daddy, mommy dan kakak lain di luar keluargaku, kan? It’s not a sin, anyway!

"Hai, Sweetheart." Daddy Austin beralih menatapku, kemudian merentangkan tangannya. Membuka lebar lengannya agar aku peluk. Tidak butuh banyak waktu hingga aku berlari ke arahnya, kemudian menerjang dengan pelukan.

"DADDY!!" sorakku manja dan Daddy Austin terkekeh sembari membalas pelukanku.

"I miss you," imbuhku saat pelukan Daddy Austin menjadi lebih erat.

"I miss you too, Sweetheart." Sahabat Papa sejak SMA itu melepas pelukannya, kemudian mengusap rambutku sayang.

Dalam hati, aku merasa miris. Sejauh yang aku ingat, aku tidak pernah bermanja seperti ini dengan papa Ian, ayah kandungku. Boro-boro bermanja, dipuji saja hampir tidak pernah. Tidak peduli seberapa keras aku berjuang mendapat banyak prestasi, aku masih tidak ada apa-apanya dari kak Naki. 

Mari salahkan kakak sulungku yang mematok standar kebanggaan yang terlalu tinggi. Jika kejahilannya dikesampingkan, kak Naki memang sosok pria yang luar biasa. Namun, sebagai dampaknya, aku yang hanyalah manusia biasa ini, harus berjuang setengah mati untuk melampaui prestasinya agar ditatap bangga oleh seorang Sebastian Reefhitch. Sialnya, sampai detik ini, usahaku belum ada yang sepenuhnya berhasil. Atau aku yang masih kurang berusaha, ya?

"Bagaimana pertandingan basket sore ini? Menang?" Pertanyaan yang terdengar penuh perhatian dari daddy Austin itu membuat fokusku otomatis kembali padanya. Pria itu menanti jawabanku dengan tatapan menyimak, seolah menegaskan bahwa pertanyaannya barusan bukanlah basa basi belaka.

Kedua ujung bibirku tak kuasa terangkat. Netra coklatku pun seketika menatapnya dengan binar bangga, seperti anak kecil yang hendak membanggakan prestasinya. 

"Tentu saja! Aku juga bermain full set. Itulah mengapa kami menang," jawabku separuh menyombong, kemudian tertawa. 

Detik berikutnya, daddy Austin ikut tertawa, dengan tawanya yang menggelegar.

"Really? Wow! That's my little girl!" Pria yang berusia diakhir empat puluh tahunnya itu kembali mengusap puncak kepalaku lembut. Membuatku merasa nyaman dan sungguh disayang. Tidak seperti seseorang yang malah menghalangiku untuk berkembang di hal lain diluar minat yang ia izinkan.

Seolah bisa membaca pikiranku, tangan daddy Austin yang tadinya mengusap rambutku, kini beralih merangkul bahuku, lalu menepuknya pelan. Membuatku langsung menatapnya bingung.

"Dulu Jessica juga pemain basket sepertimu, Anna."

Aku terdiam sesaat. Terkejut. Oke, ini hal baru. Papa dan Mama sangat jarang menceritakan masa lalu mereka. Jadi, bukan salahku jika aku tahu dari orang lain, kan?

"Jessica begitu jago hingga membuat Ian langsung menyukainya. Tetapi, karena begitu cinta pada basket, Ian tidak menjadi prioritasnya." Daddy dan aku kemudian terkekeh. Kompak menertawai nasib papa Ian dalam cerita Daddy Austin.

"He gotta hate basket so much," komentarku begitu teringat hubungan kedua orangtuaku.

"Indeed," dan kami kembali tertawa.

Jika kebanyakan orang tua akan lebih mencintai anak mereka, itu tidak terjadi pada papa Ian. Mama masih, dan akan selalu, menjadi prioritasnya. Baru kemudian, anak-anaknya. Jika anak-anak menjadi opsi pertama, maka itu adalah perintah Yang Mulia Ratu Jessica Diandra Reefhitch. 

Bukan karena bucin …. Oke. Papa Ian memang cukup memuja sang istri hingga hampir selalu mengabulkan inginnya. Bisa jadi, karena dalam mayoritas keadaan, mama selalu menurut pada keputusan papa. Jadi, papa pun tidak segan untuk memihak mama dalam banyak kesempatan. Tidak seperti aku yang suka memberontak dan semaunya sendiri. Membuat papa jadi sering darah tinggi. Atau mungkin, aku memang bukan anak mereka? Karena kadar kecocokanku dengan keluarga daddy Austin lebih besar dibandingkan dengan keluargaku sendiri.

Tiba-tiba daddy Austin mendekatkan wajahnya, dan berbisik di telingaku.

"Daddy beritahu satu rahasia, tapi jangan sampai ini didengar siapapun, ya? Terutama Mamamu."

Seketika, aku mengangguk antusias. Bahkan tanganku bergerak dari salah satu ujung bibir ke ujung lainnya, seperti sedang menarik resleting tak terlihat.

Daddy Austin terkekeh sebentar, kemudian berbisik di telingaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status