Share

Istana Kekaisaran

Author: Zen_
last update Last Updated: 2025-10-07 19:34:20

Hari perlahan beranjak menuju senja. Sinar matahari meredup di antara lekukan bukit dan tubuh gunung, menyisakan semburat jingga yang menari di langit, seolah alam sedang memberi salam penutup untuk hari yang panjang.

Langit yang berwarna oranye keemasan memantul di permukaan batu colosseum, menambah kesan megah pada suasana sore itu. Para perwakilan perguruan Arus Hening tampak melangkah keluar dari arena dengan wajah lega, kelelahan mereka tersapu oleh rasa bangga atas kemenangan yang baru saja diraih.

Bima berjalan di sisi Kinasih dengan semangat yang sulit disembunyikan. “Tadi itu luar biasa sekali! Teknik jarum melayang yang kau gunakan benar-benar membuatku terpana. Apa kau benar hanya berada di tingkatan dasar, Kinasih?” ujarnya dengan nada kagum yang terdengar sedikit berlebihan.

Kinasih tersenyum lembut, menutupi bibirnya dengan lengan kanan seolah malu dipuji. “Kau melebih-lebihkan, Bima. Aku hanya memanfaatkan benda yang diberikan oleh Angkara. Awalnya aku bahkan sempat ke
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Fase Selanjutnya

    Angkara melayang tinggi di udara, tubuhnya diselimuti pusaran aura berwarna hitam keemasan yang berkilau seperti cahaya senja di atas kegelapan. Dari ketinggian itu, ia menatap seluruh penjuru kota yang kini hanya menyisakan kehancuran dan hamparan debu. Ia memejamkan mata perlahan, mencoba merasakan setiap denyut kehidupan yang tersisa di bawah sana. Napasnya teratur, tenang, dan dalam keheningan itu ia mendengar bisikan alam, bahwa semua penduduk telah berhasil dievakuasi keluar dari kota. Tepat seperti yang ia rencanakan.Setengah hari telah ia habiskan untuk menahan serbuan pasukan tengkorak yang tak kunjung habis. Namun kini, beban itu sedikit terangkat dari bahunya. Matanya kembali terbuka, menatap lurus ke arah puncak menara tengkorak yang menjulang bagai tombak hitam menembus langit kelam. Di sana, berdiri sosok yang telah lama ia nantikan. Bibirnya melengkung, dan suara lirih keluar dari mulutnya, “Akhirnya, aku bisa bertarung tanpa beban.”Tanpa ragu, Angkara mulai mengal

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Utara

    Pasukan pemberontak segera berpencar ke segala penjuru kota, berlari menembus jalan-jalan sempit dan gang gelap untuk mengevakuasi para penduduk menuju tempat yang lebih aman. Teriakan dan suara langkah kaki bercampur menjadi satu, menciptakan suasana yang penuh kepanikan. Warga yang kebingungan berusaha memahami apa yang sedang terjadi, mengapa mereka harus meninggalkan rumah dengan tergesa, dan di mana para petugas kota yang biasanya menindas mereka kini tak tampak sama sekali.Franz, sang pemimpin pemberontak, berdiri di atap sebuah bangunan tiga lantai yang tak jauh dari pusat kota. Dari tempatnya berdiri, ia dapat melihat dengan jelas menara tengkorak yang menjulang tinggi, menjangkau langit dengan aura kelam yang mengerikan. Ia menggigit jarinya dengan gelisah, matanya menyipit, mencoba menilai seberapa besar ancaman yang mereka hadapi. “Jadi itu yang kau maksud, Mawar?” tanyanya tanpa menoleh.“Benar,” jawab Mawar pelan. Tatapannya menerawang, mengingat kembali sosok berjubah

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Evakuasi

    Di tengah lautan makhluk tengkorak berwarna putih yang jumlahnya tak terhingga, sosok Angkara berdiri di antara kabut perang. Dari tubuhnya memancar aura berkilau keemasan yang melingkupi pedang di tangan kanannya, sementara di tangan kirinya tergenggam perisai hitam berukir wajah mengerikan yang tampak seolah hidup.Ia mengayunkan pedangnya ringan, namun setiap tebasan menciptakan getaran hebat yang menghantam tanah dan menghancurkan barisan pasukan tengkorak di depannya menjadi debu. Tebasan demi tebasan ia lakukan tanpa henti, disertai suara benturan yang bergema di udara. Setiap serangan yang diarahkan kepadanya tak pernah berhasil menembus pertahanannya, perisai hitam itu menyerap seluruh serangan dan memantulkannya kembali, menghancurkan musuh dalam sekali benturan.Angkara, sosok yang dulunya dikenal sebagai Dewa Perang, kini telah bereinkarnasi dalam tubuh seorang pelayan biasa. Namun pada saat ini, ia bukanlah manusia biasa, ia adalah mesin pembantai yang bergerak tanpa ras

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Wali Kota

    Angkara yang baru saja menolong salah satu anggota pemberontak itu menatap lurus ke arah menara hitam di kejauhan. Aura kelam dari bangunan itu bergulung seperti kabut pekat yang menelan udara di sekitarnya. Dalam hatinya, ia sadar bahaya yang sedang mengintai. “Menara ini… berbahaya. Saat ini baru mencapai tahap pertama. Jika sampai tahap ketiga, bahkan para penghuni surgawi pun akan kesulitan. Setengah dari mereka terbantai pada kejadian sebelumnya…” pikirnya dengan wajah serius.Seraya mengangkat tangan kanannya, Angkara menggerakkan jari-jemarinya cepat, membentuk segel tak dikenal. Seketika aura hitam pekat mengalir dari tubuhnya dan membelit pasukan tengkorak di sekeliling mereka. Jeritan dari makhluk-makhluk itu bergema bersamaan, sebelum akhirnya tubuh-tubuh mereka terhimpit dan meledak menjadi abu. Namun bahkan setelah puluhan tengkorak hancur, masih banyak lagi yang bermunculan dari kaki menara, tak terbatas jumlahnya.Di tengah kekacauan itu, tawa mengerikan menggema dari

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Pasukan Tengkorak

    Menara itu memancarkan aura hitam pekat yang segera menelan seluruh kota. Warna gelap itu menjalar cepat, merayap di antara bangunan, menutupi jalanan, hingga perlahan menembus langit. Langit dunia bawah yang semula berwarna merah tanda datangnya pagi, berubah menjadi hitam legam seolah malam abadi baru saja lahir. Tak ada lagi cahaya, tak ada lagi bayangan, hanya gelap yang terasa menyesakkan dada, seperti kabut maut yang menindih seluruh kehidupan di bawahnya.Para penduduk menengadah, memandang langit dengan kebingungan dan ketakutan yang tak bisa disembunyikan. Tak ada yang berani bersuara lantang, beberapa hanya bergumam, mencoba memahami anomali yang belum pernah terjadi di sepanjang sejarah dunia bawah. Namun, keheningan cepat berubah menjadi kepanikan. Mereka bukan merasa kagum atas keajaiban langit, melainkan dicekam rasa takut yang menusuk tulang, sebuah firasat buruk bahwa sesuatu yang mengerikan telah bangkit.Di depan sebuah toko roti kecil, seorang bocah laki-laki bern

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Menara Tengkorak

    Setelah menyaksikan adegan kacau di dunia bawah, Angkara memutuskan sudah waktunya pergi. Di matanya, tak ada lagi manfaat atau tujuan tinggal lebih lama di tempat itu, semua yang bisa dipelajari atau dimanfaatkan dari peristiwa tersebut telah selesai.“Kalau tak salah, si pirang tadi menyuruh lebih dari separuh pasukannya menuju kantor walikota, kan?” gumamnya pelan, sambil tetap tak terlihat. Ia mengaktifkan kembali kemampuan menyamarkan wujudnya, lenyap dari pandangan siapapun yang mungkin mengincarnya.Angkara segera keluar dari persembunyian pemberontak dan menempatkan dirinya di atas atap sebuah bangunan yang rendah, posisi yang memungkinkan ia memantau sekeliling tanpa terganggu. Dari sana, ia mengamati lanskap kota dengan tajam. Ia hendak mengetahui di mana markas walikota berada, pengetahuan itu penting untuk arah langkahnya selanjutnya.Langit dunia bawah perlahan memerah menandakan pagi akan datang. Cakrawala di sini tak serupa dunia timur, tak ada bulan yang lembut atau ma

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status