MasukYuilan yang berdiri di samping mamanya langsung menoleh. Wajahnya dibuat-buat muram, matanya berkaca-kaca.
“Tante… kak Nian, dia menghilang. Sejak pagi tidak ada di kamarnya. kami sudah mencari ke mana-mana, tapi tidak ada jejaknya.”
“Apa?” Tamara membelalakkan mata, langkahnya goyah hingga dia harus memegang sandaran kursi agar tidak jatuh.
“Menghilang? bagaimana bisa? hari ini hari pernikahannya! apa kalian sudah periksa ke taman? atau ke rumah teman dekatnya?”
Beberapa pelayan buru-buru menjawab, “Sudah Nyonya… kami sudah mencari ke seluruh rumah, halaman, bahkan ke gudang belakang. tidak ada.”
Tamara tertegun, dadanya berdebar keras.
“Astaga… bagaimana mungkin? Ini hari yang ditunggu-tunggu keluarga. bagaimana bisa pengantin perempuan hilang begitu saja?”
Camila menangis semakin keras, sementara Yuilan dengan wajah tenang menepuk lembut punggung mamanya, menunduk seolah ikut dilanda kesedihan. Tapi di balik wajah sendu itu, dalam hatinya, ia bersorak penuh kepuasan.
Ya… memang bagaimana bisa, Tante Tamara? Bagaimana bisa Kakak Senian menghilang? Karena aku sudah pastikan ia tidak akan pernah muncul di hari ini.
Dia menatap tante Tamara penuh arti. Seakan mereka mengerti arah dari kekacauan ini.
***
Reinkarnasi?
Pada awalnya Senian tidak mengerti arti kata ini. Hingga dia mengalami langsung, dia baru mengerti, ternyata seperti inilah reinkarnasi!
“Tidak, kali ini dia tidak mau mengalami hal yang sama”
Senian berusaha tenang dan mengingat kembali kejadian di masa lalu. “Ini adalah takdirku, aku harus menentukan takdirku sendiri”
Dulu, jika Senian tidak datang tepat waktu, Yuilan sudah siap menukar dirinya sebagai istri Xieran di hari pernikahannya. Tapi dia tidak tahu hal itu, sampai di ujung kematiannya, rahasia itu terkuak dari Yuilan.
Senian terdiam dalam ruangan yang pengap, jantungnya berdetak pelan namun mantap. Kepalanya masih terasa berat, tapi pikirannya sudah jauh lebih jernih dibandingkan sebelumnya. Kilasan masa lalu berputar dalam benaknya enam tahun penuh kesalahan, air mata, dan pengkhianatan. Semua itu berawal dari momen ini… dari malam ketika dia lengah terhadap kelicikan Yuilan.
Kini, dia kembali lagi ke titik awal.
Tangannya menggenggam erat, bibirnya melengkung tipis.
“Kalau memang Yuilan menginginkan pernikahan ini, kalau dia ingin merebut Xieran dariku dengan segala cara… baiklah. Aku akan mengabulkannya”
Mata Senian memancarkan kilau dingin, penuh tekad.
“Aku akan membiarkannya. Biarkan dia mendapatkan apa yang begitu dia dambakan. Biarkan dia duduk di pelaminan itu dengan senyum bangga.”
Dia menunduk, menahan getir yang menyesakkan dada.
Dulu, dia mati-matian mengejar cinta Xieran, menyerahkan seluruh masa mudanya hanya untuk diterima sebagai istri yang layak. Hasilnya? Hanya dingin, sindiran, dan akhirnya pengkhianatan dari orang terdekatnya.
Tidak lagi.
Senian menarik napas panjang, menenangkan dirinya.
“Aku tidak akan keluar. Aku akan tetap di sini. Aku akan menyerahkan pernikahan itu pada Yuilan. Aku ingin melihat, sampai sejauh mana kebahagiaan semu yang ia rebut dengan cara kotor bisa bertahan.” Gumamnya lirih
Bibirnya bergetar, bukan karena takut melainkan karena tekad yang terbentuk.
Untuk pertama kalinya, Senian merasa dia memiliki kendali. Jika dunia memberinya kesempatan kedua, dia tidak akan lagi bermain dengan aturan lama.
“Baiklah Yuilan. Menikahlah dengan Xieran. Aku akan melihat kalian dari balik bayangan. Dan saat waktunya tiba… aku yang akan membalikkan keadaan.”
Senian tersenyum memikirikan rencana hari ini.
Senian duduk bersandar di dinding dingin ruangan itu, lututnya ditarik rapat ke dada. Bayangan wajah mamanya muncul jelas di pelupuk mata, mata penuh kasih yang selalu tersenyum lembut, tangan hangat yang tak pernah lelah merawatnya sejak kecil.
“Mama…” bisiknya lirih, suaranya pecah. “Maafkan Nian…”
Dia bisa membayangkan ibunya saat ini, pasti panik, menangis sedih, kebingungan karena putrinya menghilang tepat di hari pernikahan. Pasti hati wanita itu remuk karena memikirkan apa yang orang-orang akan katakan. Dan itu membuat dada Senian semakin sesak.
Air mata yang sejak tadi dia tahan akhirnya jatuh, membasahi pipinya. Rasa bersalah bercampur dengan luka lama yang belum sembuh. Betapa dia ingin sekali keluar, berlari ke pelukan mamanya, mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Tapi dia juga tahu… jalan itu bukan lagi jalannya.
“Aku harus kuat,” gumamnya di antara isak, menggenggam erat kain gaun yang kusut di tangannya.
“Semua ini demi takdir yang ingin aku ubah. Aku tidak boleh jatuh lagi ke dalam perangkap yang sama. Kalau aku menyerah sekarang, semua penderitaan lima tahun lalu akan terulang.”
Tangisannya perlahan mereda, berganti dengan sorot mata yang lebih tegas. Dia menghapus air matanya dengan punggung tangan, meski perih di dadanya belum juga reda.
“Mama… tolong percaya padaku,” ucapnya dengan lirih, seakan ibunya bisa mendengar. “Kali ini, Senian tidak akan membiarkan dirinya hancur lagi. Kali ini, aku akan membalikkan segalanya.”
Dan di tengah kesunyian ruangan itu, Senian menguatkan dirinya sekali lagi. Meski air matanya tidak bisa dia bendung, menetes pelan membasahi pipinya.
Senian menatapnya dengan mata berkilat dengan amarah yang telah lama dia kubur.“Kamu ingin tahu kebenarannya?” Senian mendekat setengah langkah, suaranya rendah tapi tajam seperti pecahan kaca. “Cinta itu Xieran, cintamu membunuhku.”Xieran mengerjap, seolah pukulan tidak terlihat menghantam dadanya.“Aku dulu mencintaimu sampai aku lupa diriku sendiri,” lanjut Senian, suaranya bergetar karena luka yang terbuka lagi.“Aku mencintaimu sampai aku kehilangan harga diriku, kebahagiaanku, bahkan masa depanku. Tapi akhirnya, Cinta itu… menghabisi nyawaku.”Dia menarik napas gemetar, lalu menatap Xieran lurus, tanpa belas kasihan.“Dan sekarang? Cinta itu sudah mati. Tidak ada lagi yang tersisa untukmu.”Xieran memucat. Kata-kata itu menampar lebih keras dari kebencian mana pun.Kata-kata Senian menggema di kepala Xieran seperti gema di ruang kosong.“Cinta itu membunuhku.”Bukan kiasan. Bukan ungkapan patah hati biasa. Ada sesuatu yang lebih gelap, lebih nyata.Xieran menatap Senian dengan
Xieran berhenti beberapa langkah dari pintu keluar hotel. Ada dorongan di hatinya, entah apa yang membuatnya menoleh kembali.Di kejauhan, dia melihat Senian berjalan berdampingan dengan Emilia.Senian berbicara sambil tersenyum tipis, anggun dan percaya diri. Cara dia berdiri, cara dia berjalan, sangat berbeda. Aura itu tenang namun berwibawa, jelas bukan lagi sosok yang dulu selalu menunduk di sisi dirinya.Dia berubah, dan bukan sekadar berubah.Dia berkembang.Cahaya lampu lobi memantulkan kilaian lembut di wajah Senian, memperlihatkan sosok wanita yang matang, mandiri, dan kuat. Tidak lagi gadis lembut yang dulu menunggu perhatiannya.Senian kini menjadi wanita yang dihormati, dipandang, dan bersinar tanpa dirinya.Xieran merasakan sesak halus di dadanya.Ada kebanggaan aneh menyelinap, dia senang melihat Senian hidup dengan baik, penuh harga diri, seperti yang seharusnya sejak dulu.Namun di balik itu, ada kenyataan pahit yang menusuk. Wanita yang bersinar itu bukan lagi milikny
“Kebetulan saja atau mungkin tidak?” balasnya halus, nada ucapannya seperti tantangan.Senian yang duduk di meja tidak jauh darinya melihat interaksi itu, sedikit terkejut tapi tetap tenang. Begitu juga Emilia. Tenyata apa yang dirasakannya benar adanya. “Firasatmu peka juga” bisik Emilia.Xieran menahan diri, menatap Senian sebentar sebelum memalingkan wajah ke Lucien. “Jangan berani mengganggu dia,” ucap Xieran, suara rendah tapi tegas. Lucien menatap balik, tidak gentar.Lucien bangkit dari duduknya, posisinya sekarang sudah ketahuan oleh Senian. Tidak baik untuk berdiam disini.“Aku tidak akan menyentuhnya, untuk saat ini. Ingat krisis Muller Group beberapa waktu lalu. Fokuslah pada perusahaanmu jika ingin tetap aman,” bisiknya sambil berlalu meninggalkan Xieran.Kata-kata itu begitu dingin dan terukur, seolah menamparnya langsung.Rahangnya menggertak, otot di lehernya menegang. Xieran tahu benar, semua kekacauan yang menimpa proyek-proyek Muller bukan sekadar kecelakaan atau ma
Matahari mulai naik lebih tinggi ketika ketenangan pagi itu mulai terganggu oleh suara notifikasi di ponsel Nathan. Dia menatap layar sebentar, wajahnya berubah tegang. Senian yang masih berada dalam pelukan, menoleh penasaran.Nathan menutup ponsel dan memandang Senian, nada suaranya tenang tapi tegas. “Sepertinya kita tidak bisa menikmati pagi ini terlalu lama,” ucapnya sambil menghela napas. “Ada seseorang yang sudah kembali, Lucien Arden. Dia mengamati kita.”Senian duduk perlahan, rambutnya masih kusut karena tidur, namun matanya tajam mendengar nama itu.“Lucien? Apa maksudmu?” tanyanya, mencoba memahami situasi.Nathan membawa Senian ke ruang kerja pribadinya.“Lucien telah kembali dari Eropa. Selama Xieran koma aku membuat beberapa masalah di perusahaannya di eropa agar dia pergi dan kita fokus ke Xieran.”Nathan menunjukkan beberapa dokumen dan foto yang dikirim oleh tim khusus Daniel Barta. Semua menunjuk pada gerak-gerik Lucien. Mengikuti jadwal mereka, kehadiran di lokasi
Di ruang rapat, Senian berdiri di depan Marco dan Gao Lin, matanya tajam namun penuh perhatian. Di hadapannya terhampar laporan-laporan proyek, grafik pertumbuhan, dan dokumen strategi bisnis yang kompleks.“Hari ini, aku akan memberikan kalian tugas pertama,” ujar Senian.“Ini bukan sekadar latihan. Ini adalah proyek nyata yang harus kalian selesaikan dengan baik. Tujuannya adalah agar kalian memahami bagaimana perusahaan berjalan dari bawah, dan bagaimana setiap keputusan berdampak pada seluruh operasi.”Marco menatap dokumen dengan wajah campur aduk antara kagum dan cemas. “Ini… serius, ya? Tidak ada latihan palsu?”Senian tersenyum tipis.“Ini nyata, Marco. Aku ingin kalian belajar dari pengalaman langsung, bukan sekadar teori. Tidak ada ruang untuk kesalahan yang diulang-ulang tanpa pembelajaran.”Gao Lin menatap proyek yang diberikan, matanya berbinar. “Baik, kak Senian. Kami siap.”Senian mengangguk, lalu membagi tugas.Marco akan memimpin analisis pasar dan strategi ekspansi p
Di ruang kantor yang luas dan terang, Senian berdiri di depan Marco dan Gao Lin, matanya menatap dokumen, laporan, dan rencana strategi tersebar di meja, menandakan hari pertama mereka memasuki dunia nyata perusahaan.“Dengar baik-baik,” ujar Senian dengan tegas namun tidak keras.“menjadi pewaris bukan soal jabatan atau nama besar. Itu tentang kemampuan, disiplin, dan tanggung jawab. Aku tidak akan memberikan jalan mudah pada kalian.”Marco mengerutkan kening, merasa sedikit terkejut.Meskipun dia adalah pewaris keluarga Zhuge, posisi direktur tidak langsung diberikan padanya. Dia harus memulai dari bawah dan belajar memahami operasi, strategi, dan tanggung jawab manajerial terlebih dahulu.Gao Lin, di sisi lain, tampak antusias.Dia menyadari pentingnya pengalaman langsung dan kesempatan belajar di bawah bimbingan Senian. “Baik, Nona. Aku siap belajar,” ujarnya mantap.Senian melirik Gao Lin, dia menahan senyum. “Gao Lin… tolong jangan panggil aku Nona lagi.”Gao Lin terkejut, matan







