MasukMarco mengepalkan tangan, menahan amarah yang mendidih di dadanya. Dia menoleh sekilas ke arah Yuilan, dan gadis itu menunduk pura-pura bersedih.
“Kakak… apa yang sebenarnya terjadi padamu? Aku tidak akan tinggal diam. Aku akan mencari tahu kebenarannya.” batinnya
Marco melangkah cepat meninggalkan ruangan yang penuh kegaduhan.
Suara marah ayahnya, isak tangis ibunya, dan bisikan penuh simpati palsu dari Yuilan masih terdengar samar di belakangnya. Tapi ia tidak bisa hanya diam di sana.
Napasnya memburu, langkah kakinya bergema di sepanjang lorong yang sunyi. Matanya tajam, penuh tekad. “Tidak mungkin Kakak kabur. dia bukan tipe yang lari dari tanggung jawab. Ada yang tidak beres. Pelayan itu jelas menyembunyikan sesuatu.”
Dia berhenti di depan kamar kakaknya. Pintu itu setengah terbuka, Marco mendorong pintu perlahan dan masuk. Aroma bunga segar bercampur dengan wangi dupa masih tercium, seolah ruangan ini dipersiapkan sempurna untuk pernikahan.
Gaun putih tergantung rapi di sisi ruangan, belum tersentuh. Sepatu pernikahan masih terletak di samping meja rias. Semuanya seakan menunggu pemiliknya. Tapi sang pemilik hilang.
Marco berjalan pelan, meneliti tiap sudut. Dia memperhatikan ranjang, selimutnya sedikit berantakan, seolah seseorang sempat duduk atau tergeletak di sana. Tangannya menyentuh kain, merasakan bekas lipatan yang tidak biasa.
Langkahnya terhenti karena gerakan seseorang yang masuk ke kamar kakaknya. Gao Lin muncul dengan wajah lesu dan kaget melihat keberadaan Marco di kamar Nona nya.
“Tuan …” sapanya lirih
Marco menatapnya tajam. Gadis ini, tidak hanya seorang pelayan tapi asisten dan sahabat dekat kakaknya dari kecil. Tidak mungkin dia terlibat juga dengan hilangnya kakaknya kan?. Dia memperhatikan raut mukanya, wajah lesu, mata sembab dan putus asa. Bukan raut muka orang yang berpura-pura sedih.
Marco menghela napas panjang.
“kemarilah … katakan apa yang terjadi sebenarnya. Aku tidak mau ada yang di tutup-tutupi”
Gao Lin perlahan mendekat. Dengan suara pelan dia mulai menceritakan kejadiannya.
“Tadi malam Nona memintaku untuk menyiapkan gaun pengantinnya, Nona tidak membiarkan orang lain mengurusnya. Katanya, pagi hari dia akan menyiapkan diri sendiri. Setelah itu, Nona bilang akan istirahat lebih awal agar segar di pagi hari. Oleh karena itu, aku meninggalkan kamar Nona lebih cepat”
“Nona memintaku untuk istirahat juga agar tidak kesiangan hari ini”
“Pagi ini, setelah bangun tidur aku langsung mengurus Gaun pengantin Nona dari ruang binatu. Termasuk sepatu yang akan dikenakan. Ketika masuk kamar Nona, kamar kosong. Tapi aku mendengar suara gemericik air di kamar mandi.”
Sejenak raut muka Gao Lin berubah sedih.
“Aku … aku mengira Nona sudah bangun dan sedang mandi. Lalu aku menggantungkan Gaun Nona dan menaruh sepatunya. Aku keluar kamar dan membantu pelayan yang lain untuk menyiapkan pernikahan ini”
Gao Lin terdiam sesaat menyeka air mata yang jatuh kembali.
“Tidak sampai setengah jam, salah seorang pelayan teriak kalau Nona tidak ada di kamar. Dan kejadiannya selanjutnya Tuan Muda sudah tau”
Marco mendengarkan dan meneliti raut muka Gao Lin saat menceritakan semuanya. “Dia jujur” batinnya.
“Ini salahku hiks … seharusnya, aku tidak meninggalkan Nona” Gao Lin menangis makin keras karena merasa bersalah.
“Sudahlah, ini bukan salahmu” Ucap Marco berusaha menenangkannya.
Tiba-tiba matanya tertumbuk pada gelas di meja kecil dekat ranjang. Gelas itu kosong, tapi ada sisa bekas cairan di bagian dasar. Ia meraihnya, menatapnya dengan dahi berkerut.
“Ini…?” gumamnya pelan.
“Siapa yang memberikan minum di gelas ini? apakah kamu?” Marco tiba-tiba berbalik dan menyodorkan gelas kosong ke arah Gao Lin.
Gao Lin menatap gelas itu, mengamatinya sejenak dan menggeleng pelan.
“Aku tidak membawa gelas itu, semalam Nona juga tidak meminta minum apapun”
Hatinya berdesir. “Apa mungkin kakak diberi sesuatu?”
Dia menggenggam gelas itu erat, tatapannya semakin tajam. “Kakak, aku akan cari tahu. aku janji.”
Dengan langkah cepat, dia keluar dari kamar itu, menyusuri lorong-lorong sunyi, memutuskan untuk menyelidiki dari balik pesta. Ada yang harus dia bongkar hari ini juga, meski semua orang sibuk dengan pernikahan.
Marco berdiri di tepi aula besar, tempat pesta pernikahan seharusnya berlangsung. Tamu-tamu sudah mulai duduk, wajah mereka dipenuhi tanda tanya. Gumaman tidak puas mulai terdengar
“kenapa pengantin wanitanya belum muncul?”
“Aneh sekali, undangan sebesar ini, tapi kacau begini.”
Suara-suara itu menusuk telinga Marco.
Namun matanya tidak fokus pada para tamu. Ia memperhatikan satu orang: Yuilan.
Di tengah semua kepanikan, Yuilan justru tampak terlalu tenang. Wajahnya penuh simpati saat berbicara dengan papa dan mamanya, bahkan dia menepuk punggung Camila seolah sedang menguatkan.
Marco menyipitkan mata. “Kenapa dia bisa setenang itu? Kakak menghilang, Mama menangis, Ayah murka, tapi dia tampak… puas?”
Senian menatapnya dengan mata berkilat dengan amarah yang telah lama dia kubur.“Kamu ingin tahu kebenarannya?” Senian mendekat setengah langkah, suaranya rendah tapi tajam seperti pecahan kaca. “Cinta itu Xieran, cintamu membunuhku.”Xieran mengerjap, seolah pukulan tidak terlihat menghantam dadanya.“Aku dulu mencintaimu sampai aku lupa diriku sendiri,” lanjut Senian, suaranya bergetar karena luka yang terbuka lagi.“Aku mencintaimu sampai aku kehilangan harga diriku, kebahagiaanku, bahkan masa depanku. Tapi akhirnya, Cinta itu… menghabisi nyawaku.”Dia menarik napas gemetar, lalu menatap Xieran lurus, tanpa belas kasihan.“Dan sekarang? Cinta itu sudah mati. Tidak ada lagi yang tersisa untukmu.”Xieran memucat. Kata-kata itu menampar lebih keras dari kebencian mana pun.Kata-kata Senian menggema di kepala Xieran seperti gema di ruang kosong.“Cinta itu membunuhku.”Bukan kiasan. Bukan ungkapan patah hati biasa. Ada sesuatu yang lebih gelap, lebih nyata.Xieran menatap Senian dengan
Xieran berhenti beberapa langkah dari pintu keluar hotel. Ada dorongan di hatinya, entah apa yang membuatnya menoleh kembali.Di kejauhan, dia melihat Senian berjalan berdampingan dengan Emilia.Senian berbicara sambil tersenyum tipis, anggun dan percaya diri. Cara dia berdiri, cara dia berjalan, sangat berbeda. Aura itu tenang namun berwibawa, jelas bukan lagi sosok yang dulu selalu menunduk di sisi dirinya.Dia berubah, dan bukan sekadar berubah.Dia berkembang.Cahaya lampu lobi memantulkan kilaian lembut di wajah Senian, memperlihatkan sosok wanita yang matang, mandiri, dan kuat. Tidak lagi gadis lembut yang dulu menunggu perhatiannya.Senian kini menjadi wanita yang dihormati, dipandang, dan bersinar tanpa dirinya.Xieran merasakan sesak halus di dadanya.Ada kebanggaan aneh menyelinap, dia senang melihat Senian hidup dengan baik, penuh harga diri, seperti yang seharusnya sejak dulu.Namun di balik itu, ada kenyataan pahit yang menusuk. Wanita yang bersinar itu bukan lagi milikny
“Kebetulan saja atau mungkin tidak?” balasnya halus, nada ucapannya seperti tantangan.Senian yang duduk di meja tidak jauh darinya melihat interaksi itu, sedikit terkejut tapi tetap tenang. Begitu juga Emilia. Tenyata apa yang dirasakannya benar adanya. “Firasatmu peka juga” bisik Emilia.Xieran menahan diri, menatap Senian sebentar sebelum memalingkan wajah ke Lucien. “Jangan berani mengganggu dia,” ucap Xieran, suara rendah tapi tegas. Lucien menatap balik, tidak gentar.Lucien bangkit dari duduknya, posisinya sekarang sudah ketahuan oleh Senian. Tidak baik untuk berdiam disini.“Aku tidak akan menyentuhnya, untuk saat ini. Ingat krisis Muller Group beberapa waktu lalu. Fokuslah pada perusahaanmu jika ingin tetap aman,” bisiknya sambil berlalu meninggalkan Xieran.Kata-kata itu begitu dingin dan terukur, seolah menamparnya langsung.Rahangnya menggertak, otot di lehernya menegang. Xieran tahu benar, semua kekacauan yang menimpa proyek-proyek Muller bukan sekadar kecelakaan atau ma
Matahari mulai naik lebih tinggi ketika ketenangan pagi itu mulai terganggu oleh suara notifikasi di ponsel Nathan. Dia menatap layar sebentar, wajahnya berubah tegang. Senian yang masih berada dalam pelukan, menoleh penasaran.Nathan menutup ponsel dan memandang Senian, nada suaranya tenang tapi tegas. “Sepertinya kita tidak bisa menikmati pagi ini terlalu lama,” ucapnya sambil menghela napas. “Ada seseorang yang sudah kembali, Lucien Arden. Dia mengamati kita.”Senian duduk perlahan, rambutnya masih kusut karena tidur, namun matanya tajam mendengar nama itu.“Lucien? Apa maksudmu?” tanyanya, mencoba memahami situasi.Nathan membawa Senian ke ruang kerja pribadinya.“Lucien telah kembali dari Eropa. Selama Xieran koma aku membuat beberapa masalah di perusahaannya di eropa agar dia pergi dan kita fokus ke Xieran.”Nathan menunjukkan beberapa dokumen dan foto yang dikirim oleh tim khusus Daniel Barta. Semua menunjuk pada gerak-gerik Lucien. Mengikuti jadwal mereka, kehadiran di lokasi
Di ruang rapat, Senian berdiri di depan Marco dan Gao Lin, matanya tajam namun penuh perhatian. Di hadapannya terhampar laporan-laporan proyek, grafik pertumbuhan, dan dokumen strategi bisnis yang kompleks.“Hari ini, aku akan memberikan kalian tugas pertama,” ujar Senian.“Ini bukan sekadar latihan. Ini adalah proyek nyata yang harus kalian selesaikan dengan baik. Tujuannya adalah agar kalian memahami bagaimana perusahaan berjalan dari bawah, dan bagaimana setiap keputusan berdampak pada seluruh operasi.”Marco menatap dokumen dengan wajah campur aduk antara kagum dan cemas. “Ini… serius, ya? Tidak ada latihan palsu?”Senian tersenyum tipis.“Ini nyata, Marco. Aku ingin kalian belajar dari pengalaman langsung, bukan sekadar teori. Tidak ada ruang untuk kesalahan yang diulang-ulang tanpa pembelajaran.”Gao Lin menatap proyek yang diberikan, matanya berbinar. “Baik, kak Senian. Kami siap.”Senian mengangguk, lalu membagi tugas.Marco akan memimpin analisis pasar dan strategi ekspansi p
Di ruang kantor yang luas dan terang, Senian berdiri di depan Marco dan Gao Lin, matanya menatap dokumen, laporan, dan rencana strategi tersebar di meja, menandakan hari pertama mereka memasuki dunia nyata perusahaan.“Dengar baik-baik,” ujar Senian dengan tegas namun tidak keras.“menjadi pewaris bukan soal jabatan atau nama besar. Itu tentang kemampuan, disiplin, dan tanggung jawab. Aku tidak akan memberikan jalan mudah pada kalian.”Marco mengerutkan kening, merasa sedikit terkejut.Meskipun dia adalah pewaris keluarga Zhuge, posisi direktur tidak langsung diberikan padanya. Dia harus memulai dari bawah dan belajar memahami operasi, strategi, dan tanggung jawab manajerial terlebih dahulu.Gao Lin, di sisi lain, tampak antusias.Dia menyadari pentingnya pengalaman langsung dan kesempatan belajar di bawah bimbingan Senian. “Baik, Nona. Aku siap belajar,” ujarnya mantap.Senian melirik Gao Lin, dia menahan senyum. “Gao Lin… tolong jangan panggil aku Nona lagi.”Gao Lin terkejut, matan







