Gao Lin berdiri mendekat disamping Marco, matanya mengikuti arah pandangan Tuan Mudanya. Marco sekilas menoleh ke Gao Lin. Pikiran mereka seolah terhubung, memikirkan kecurigaan yang sama.
“Apa yang dilakukannya pagi ini?” tanya Marco akhirnya.
“Dia seperti yang lainnya, tampak panik, sedih dan berusaha menenangkan Nyonya”
“Apa dia kelihatan di dalam atau sekitar kamar kakak?”
“Tidak, aku sudah cek CCTV. Tidak ada yang keluar masuk kamar Nona dari pagi ini kecuali aku”
“Aneh, apakah kakak benar-benar melarikan diri?”
“Tidak mungkin!. Sampai tadi malam Nona sangat bahagia dengan pernikahan ini. Setelah dua tahun bertunangan, akhirnya hari ini tiba”
“Ya, itu juga tidak masuk akal. Kita tau dengan jelas bagaimana kakak sangat menyukai kak Xieran”
Mata Marco menyipit, memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. “apa kakak pernah keliatan sedih atau menangis akhir-akhir ini?”
Gao Lin terkejut sesaat, bingung dengan pertanyaan Tuan Mudanya. Lalu dia menggeleng pelan. “Nona bahkan sangat antusias menyiapkan semua detail pernikahan ini”
“Jika dia puas dengan kak Xieran, kenapa dia tidak mau menikahinya?”
Gao Lin mengerti maksud pertanyaan Marco.
“Seingatku, sepanjang pertunangan Nona, Tuan Xieran selalu memperlakukan dia dengan baik. Tidak pernah menyakitinya” ungkap Gao Lin menjelaskan.
Ketika beberapa pelayan lewat sambil membawa baki kosong, Marco melihat Yuilan berbisik cepat pada salah satunya. Pelayan itu mengangguk, lalu menghilang ke arah belakang rumah. Gerakan kecil, tapi tidak luput dari mata Marco.
Dadanya semakin sesak. “Ada sesuatu yang disembunyikan.”
Marco melangkah mendekat, pura-pura tidak peduli, lalu berhenti cukup dekat untuk mendengar percakapan Yuilan dengan seorang tamu yang mencoba menenangkan situasi.
“Kasihan Papa dan Mama,” suara Yuilan lirih namun jelas, “Kakak memang… terlalu keras kepala. mungkin dia kabur. dia tidak mau menikah.”
Kata-kata itu membuat darah Marco mendidih.
Dia mengepalkan tangannya di balik jas, menahan diri agar tidak langsung menuduh di depan semua orang. Tapi hatinya semakin yakin Yuilan bukanlah kakak manis yang selama ini dia kenal. Ada sesuatu di balik senyum manisnya.
“Yuilan… apa yang sudah kau lakukan pada Kakak?”
***
Di ruangan pengap itu, Senian duduk bersandar pada dinding dingin. Nafasnya berat, matanya sembab karena air mata yang tak kunjung berhenti. Di luar, samar-samar ia mendengar hiruk pikuk pesta musik, suara tamu yang mulai berdatangan, bahkan seruan pelayan yang panik.
Hatinya perih. Dia tahu, di luar sana orangtuanya mencari, menangis, marah. Dia tahu pernikahan yang sudah disiapkan dengan megah kini berubah jadi kekacauan.
Namun kali ini, berbeda dengan kehidupan sebelumnya, Senian menahan diri. Tangannya meremas kencang pinggiran baju tidurnya yang semalam masih melekat di tubuhnya.
"Kalau memang Yuilan begitu menginginkan Xieran… biarlah. Aku tidak akan menghalanginya lagi. Aku yang akan mengalah."Kalimat itu terasa pahit di hatinya, tapi juga membawa kelegaan aneh.
Di masa lalu, dia memaksa dirinya keluar dari ruangan ini, berlari demi melangsungkan pernikahan. Akhirnya, pernikahan itu hanya membawa enam tahun penderitaan, enam tahun di mana cintanya tidak pernah benar-benar terbalas.
Air matanya menetes lagi.
"Kalau aku tetap di sini, Yuilan akan berdiri di altar bersama Xieran. Mereka yang akan saling terikat. Dan aku… akan terbebas dari takdir lama itu."
Meski pedih membayangkan dirinya bukan lagi pengantin hari ini, Senian menggenggam erat jemarinya. “Aku harus kuat. Semua ini demi mengubah takdirku. Kalau aku tetap menikah dengannya, aku akan mati dengan cara yang sama. Aku tidak akan mengulanginya.”
***
Sebentar lagi tamu dari keluarga Murrel akan tiba. Kepanikan makin terlihat jelas di keluarga Zhuge terutama Andrian dan Camila. Sampai saat nya tiba, mereka belum juga menemukan Senian.
“sebelum keluarga Murrel tiba, sebaiknya kita batalkan saja pernikahan ini” ucap Andrian tiba-tiba yang membuat semua orang terkejut.
“acara ini untuk Senian! bagaimana bisa kau bicara begitu?” Camila tidak bisa menerima keputusan suaminya.
“lalu kita bisa apa? Anak itu bahkan tidak peduli dengan acaranya sendiri” suara Andrian semakin tinggi, tanda kemarahannya mulai naik lagi.
Camila yang sejak tadi menangis makin sesenggukan, tak mampu berkata apa-apa.
Yuilan menundukkan wajah pura-pura prihatin.
“Kalau memang kakak tidak bisa ditemukan… mungkin… acara ini bisa tetap berjalan.” Dia melirik sekilas ke arah pintu aula pernikahan, di mana musik lembut sudah mulai dimainkan untuk menyambut para tamu penting.
“Tidak mungkin semuanya dibatalkan hanya karena satu orang, bukan?”lanjutnya
Tamara yang baru saja datang ikut terkejut mendengar pembicaraan itu. “Apa maksudmu, Yuilan?”
Yuilan segera menggenggam tangan tantenya dengan wajah memelas. “Aku hanya tidak ingin keluarga kita dipermalukan, Tante. Aku kasihan pada Mama Xieran. Kalau acara ini kacau, semua orang akan menyalahkan keluarga kita…”
Tamara menatap keponakannya dengan tajam. “apa kamu yakin?” bisiknya. Yuilan menganggung tegas.
“Aku…” suaranya bergetar, tapi cukup jelas untuk terdengar hingga ke belakang, “…rela menggantikan kak Senian, jika sampai dia tidak ditemukan hari ini.”
Malam itu, di kamar yang remang, Senian duduk di depan cermin. Gaun tidurnya sederhana, rambutnya tergerai, namun sorot matanya jauh dari lembut penuh tekad dan perhitungan.Tangannya menyusuri permukaan meja rias, jemarinya mengetuk perlahan, seirama dengan pikiran yang berputar di kepalanya.Senyum puas tak henti-hentinya menghiasi bibirnya sejak kabar lamarannya dengan Nathan Muller meledak di seluruh kota.“Akhirnya, aku berhasil masuk.”Dia teringat wajah para tamu yang bersorak saat lamaran diumumkan. Tatapan kagum, iri, bahkan sinis, semua melebur menjadi satu. Tapi bagi Senian, itu hanya permulaan.“Di kehidupan lalu, aku yang diinjak-injak. Aku yang diabaikan. Kini, dengan status sebagai tunangan Nathan Muller, pintu menuju jantung keluarga Muller terbuka lebar di depanku.”Senyum samar muncul di bibirnya, namun matanya dingin.Dia tahu, nama Nathan Muller tidaklah bersih. Dia dicap pemalas, gemar berpesta, menghamburkan uang keluarga tanpa arah. Banyak yang menilainya hanya
Kabar lamaran Nathan Muller kepada Senian Zhuge keluar dari ranah sosialita dan mulai memasuki meja-meja rapat bisnis dan elit politik di pemerintahanDi meja makan malam para pengusaha, kabar itu menjadi topik hangat. Ada yang berspekulasi bahwa langkah ini adalah strategi politik ekonomi tersembunyi, ada pula yang menganggapnya sekadar drama sosialita kelas atas. Namun, sebagian besar sepakat, pernikahan ini akan mengubah peta kekuatan. Perusahaan besar bisa jadi berkolaborasi atau justru saling menekan, sementara pihak pemerintah harus berhati-hati agar tidak terseret dalam pusaran kepentingan keduanya.Di gedung-gedung tinggi Ibukota, para direktur dan pemilik saham mulai bertanya-tanya.“Apakah ini strategi keluarga Muller?”Salah satu pengusaha berbisik di ruang rapat.“Mereka mengikat Zhuge lewat pernikahan? Atau ada maksud lain?” sahut yang lain sambil mengetuk meja dengan cemas.“sepertinya mereka tidak mau kehilangan anak pemegang hak waris yang sah dari keluarga Zhuge” b
Biasanya, Senian adalah sosok yang mudah terluka ketika dihina. Di masa lalu, setiap kali ada komentar miring, dia akan menangis diam-diam. Tapi kali ini? Senian justru tersenyum, bahkan seakan menikmati perhatian itu.Marco menggigit bibirnya. “Ada yang berbeda… Kakak bukan lagi Senian yang dulu.”“Apa sebenarnya yang kamu rencanakan, Kak?” tanya Marco dalam hati.Tatapannya jatuh pada kakaknya yang sedang menuang teh dengan gerakan anggun, seolah semua hal di luar sana tidak berpengaruh sedikit pun.Marco memberanikan diri bertanya, suaranya ragu.“Kak… boleh jujur padaku? Apa kamu punya rencana lain ke keluarga Muller? Atau… ada alasan lain kenapa kamu setegar ini?”Senian berhenti sejenak.Senyum samar tetap tergambar di bibirnya, tapi matanya berkilat dingin sesaat sebelum kembali lembut. “Marco,” jawabnya, nada suaranya tenang.“ada hal-hal yang tidak perlu kamu ketahui sekarang. Percayalah, semua ini untuk kebaikan kita.”Marco terdiam.Kata-kata itu bukannya menenangkan, justr
Keesokan paginya, berita di surat kabar dan media sosial heboh, bukan hanya di ruangan itu, tetapi juga segera menyebar ke kalangan atas ibu kota.Namun yang membuat riuh bukanlah berita politik atau bisnis, melainkan satu kabar yang mendominasi seluruh halaman sosial.“Nathan Muller Resmi Melamar Senian Zhuge!”Judul itu besar, tebal, dan sulit diabaikan. Beberapa bahkan menambahkan foto buram dari acara lamaran sederhana malam sebelumnya.Tagar #LamaranMullerZhuge menduduki posisi teratas trending di media sosial. Ribuan komentar bermunculan, sebagian kagum, senang, ada pula sinis.“Benarkah? Itu bukan rumor lagi?” gumam seorang sosialita sambil meneguk tehnya. “Tuhan, Senian benar-benar naik derajat. Dari hampir menjadi istri Xieran, kini justru tunangan pamannya.”Suara tawa, decak kagum, juga bisikan sinis bergema di mana-mana.“Wah, Senian beruntung sekali! Dari calon istri Xieran, langsung naik jadi tunangan Nathan Muller. Itu namanya jackpot!” tulis seorang netizen dengan emot
Malam sebelum acara lamaran, ruang pertemuan keluarga Muller terasa berbeda. Hanya beberapa anggota inti yang hadir, tanpa kehadiran tamu luar.Nathan duduk tenang di kursi utama, ekspresinya tak tergoyahkan. Namun tatapan beberapa anggota keluarga besar jelas-jelas penuh tanda tanya.“Nathan, apa kamu yakin dengan keputusan ini? Semua orang tahu masa lalu Senian dengan Xieran. membawanya masuk ke keluarga kita bisa menimbulkan gosip yang tak ada habisnya.”“Benar. Bayangkan bagaimana orang luar akan memandang keluarga Muller, seolah-olah kita mengambil sisa dari Xieran. Apa itu tidak merendahkan nama keluarga?”Xieran duduk agak jauh, dia memilih bungkam. Wajahnya tegang, tapi matanya tajam menatap lantai seakan mencoba menyembunyikan gejolak hatinya.“Lucu sekali,” ucap Nathan tenang, tapi tajam.“Di pesta pernikahan kemarin, ketika aku ingin menolak ajakan menikah dari Senian, tidak ada satu pun dari kalian yang menolak. Semua mengangguk, semua tersenyum, semua menyetujuinya.”Dia
“Gadis yang baru saja kehilangan tunangan biasanya hancur berkeping-keping. Apalagi tunangan sekelas Xieran Muller. Semua orang tahu betapa besar cintamu dulu padanya. Tapi kamu…” Nathan memiringkan kepalanya, menatapnya seakan sedang memeriksa pion di papan catur. “…kamu berdiri di hadapanku dengan keberanian yang bahkan jarang kulihat pada pria.”Senian terdiam sesaat, tapi tidak bergeming. “Mungkin kamu hanya salah menilai aku selama ini.”Nathan tersenyum tipis, sinis sekaligus mengagumi. “Tidak… bukan salah menilai. Kamu yang sengaja menutupinya. Kamu menyembunyikan sesuatu.”Di dalam kepalanya, Nathan mulai menyusun strategi.Jika Senian ingin bermain api, maka dia akan memastikan nyala api itu tidak hanya membakar dirinya, tapi juga membakar balik gadis itu.“Baiklah, Senian” batinnya dingin. “Jika kamu ingin menikah dengan cepat, aku akan mengikutimu. Tapi jangan pernah lupa, aku tidak akan membiarkan orang lain menjebakku. Kalau kamu punya permainan, aku akan memastikan perma