Suara musik pengiring yang semula meriah, mendadak terasa janggal. Bisikan-bisikan kecil mulai menyelinap di antara deretan kursi tamu. Beberapa orang bangkit, menoleh ke arah pintu tapi sang mempelai wanita tak kunjung muncul.
“Pengantinnya… kabur?”
Berita itu menyebar cepat, lebih cepat dari api yang menjilat kertas kering. Hanya beberapa saat, bisik-bisik sudah bergema di antara para tamu dan kerabat keluarga.
Dan sumbernya? Yuilan sendiri.
Dengan wajah penuh kepura-puraan, ia duduk di antara beberapa tamu wanita yang penasaran. Air mata dibuat-buat menetes di sudut matanya, suara gemetar seolah menahan pilu.
“Kakak… Kakak Senian tidak mau menikah,” katanya lirih, seakan berusaha membela.
“Dia meninggalkan kamar pagi tadi. Aku sudah mencoba mencarinya, tapi… dia benar-benar pergi.”
“Mungkin, mereka akan memaksaku untuk menggantikan kakak. Aku bingung, aku hanya tidak ingin keluarga ini dipermalukan. Aku akan menggantikannya jika mereka memaksa.” lanjut Yuilan seolah dia adalah korban.
Wanita-wanita itu saling pandang, lalu berbisik-bisik dengan nada terkejut. Ada yang kasihan, ada pula yang mencibir. Ada pula yang menutup mulut tak percaya, ada yang tertawa getir, bahkan ada yang langsung berdiri hendak pulang.
Dalam sekejap, nama Senian menjadi bahan gunjingan, pengantin yang kabur di hari pernikahan.
***
Pintu ruang keluarga tiba-tiba terbuka lebar. Seorang pemuda tinggi dengan wajah lelah karena perjalanan jauh masuk dengan langkah tergesa. Matanya menyapu ruangan, dan seketika dia terhenti melihat pemandangan yang membuat dadanya mencelos.
“...Mama?” suara Marco tercekat.
Dia melihat ibunya duduk lemas di kursi, wajahnya sembab basah oleh air mata. Sementara ayahnya masih mondar-mandir dengan wajah merah padam, marah-marah tanpa henti. Pelayan-pelayan menunduk ketakutan, dan Yuilan berdiri di sudut dengan ekspresi murung pura-pura prihatin.
Marco buru-buru menghampiri mamanya, berlutut di samping kursi.
“Mama, ada apa? kenapa Mama menangis begini? bukankah hari ini… hari bahagianya kak Nian?”
Camila menatap putranya dengan mata berkaca-kaca, tangannya gemetar meraih tangan Marco. “Nak… kakakmu… kakakmu menghilang…” suaranya bergetar, sulit keluar dari tenggorokannya.
“Apa?!” Marco terbelalak.
“Menghilang? bagaimana bisa?! Ini… ini kan hari pernikahannya! siapa yang membiarkannya hilang?!”
Ayahnya menoleh cepat, suaranya masih meledak-ledak.
“Jangan tanya lagi, Marco! kakakmu itu sudah mempermalukan kita! dia lari di hari pernikahannya dan membuat seluruh keluarga jadi bahan tertawaan! semua tamu sudah menunggu, dan kita tidak bisa berbuat apa-apa!”
Marco membeku, hatinya bergejolak antara kaget, marah, dan tak percaya.
Dia menatap ibunya yang masih terisak, lalu memandang ayahnya yang dipenuhi amarah, dan akhirnya pandangannya jatuh pada Yuilan.
Gadis itu menunduk dengan wajah seolah-olah turut berduka, tapi Marco menangkap sekilas senyum samar yang nyaris tak terlihat di sudut bibirnya. Jantungnya berdebar.
Ada sesuatu yang tidak beres di sini.
Dalam hati, Marco bersumpah. “Aku harus menemukan kakak. apa pun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan semua orang menjelekkan namanya tanpa bukti”
Marco berdiri perlahan, tubuhnya masih bergetar menahan emosi. Pandangannya menyapu seluruh ruangan hingga berhenti pada barisan pelayan yang berdiri menunduk, wajah pucat mereka jelas penuh ketakutan.
Dia menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah mendekat. Suaranya tenang, tapi tegas, menyiratkan amarah yang ditahan.
“Kalian semua… jangan hanya diam. hari ini adalah hari pernikahan kakakku. bagaimana bisa kalian kehilangan pengantin wanita dari kamarnya?!”
Beberapa pelayan saling pandang, bingung harus menjawab apa. Salah satu dari mereka memberanikan diri membuka suara, meski suaranya gemetar.
“Tuan Muda, pagi tadi kami masih melihat Nona di kamarnya. gaunnya sudah disiapkan. tapi… saat kami kembali untuk memanggilnya, Nona besar sudah tidak ada.”
Marco menyipitkan mata. “Tidak ada? apa ada yang keluar-masuk kamar kakakku pagi itu? katakan yang sebenarnya!”
Pelayan itu makin gugup, melirik sekilas ke arah Yuilan yang berdiri tidak jauh dari sana. Sekejap wajahnya pucat pasi. Dia menelan ludah, lalu buru-buru menunduk.
“T-tidak… tidak ada, Tuan Muda. tidak ada siapa-siapa.”
Marco menatap tajam, jelas tidak percaya.
“Kalian berani bersumpah? kamar itu dijaga, bukan? bagaimana bisa seorang pengantin menghilang begitu saja tanpa seorang pun melihat?!”
Hening menyelimuti ruangan. Pelayan-pelayan itu menunduk makin dalam, seolah menyembunyikan sesuatu.
Andrian mendengus keras, melambaikan tangan dengan marah.
“Percuma kau tanya-tanya begitu, Marco! anak itu jelas kabur! pelayan-pelayan ini tidak berani mengakuinya! sudah, biarkan saja! kita sudah dipermalukan habis-habisan!”
Malam itu, di kamar yang remang, Senian duduk di depan cermin. Gaun tidurnya sederhana, rambutnya tergerai, namun sorot matanya jauh dari lembut penuh tekad dan perhitungan.Tangannya menyusuri permukaan meja rias, jemarinya mengetuk perlahan, seirama dengan pikiran yang berputar di kepalanya.Senyum puas tak henti-hentinya menghiasi bibirnya sejak kabar lamarannya dengan Nathan Muller meledak di seluruh kota.“Akhirnya, aku berhasil masuk.”Dia teringat wajah para tamu yang bersorak saat lamaran diumumkan. Tatapan kagum, iri, bahkan sinis, semua melebur menjadi satu. Tapi bagi Senian, itu hanya permulaan.“Di kehidupan lalu, aku yang diinjak-injak. Aku yang diabaikan. Kini, dengan status sebagai tunangan Nathan Muller, pintu menuju jantung keluarga Muller terbuka lebar di depanku.”Senyum samar muncul di bibirnya, namun matanya dingin.Dia tahu, nama Nathan Muller tidaklah bersih. Dia dicap pemalas, gemar berpesta, menghamburkan uang keluarga tanpa arah. Banyak yang menilainya hanya
Kabar lamaran Nathan Muller kepada Senian Zhuge keluar dari ranah sosialita dan mulai memasuki meja-meja rapat bisnis dan elit politik di pemerintahanDi meja makan malam para pengusaha, kabar itu menjadi topik hangat. Ada yang berspekulasi bahwa langkah ini adalah strategi politik ekonomi tersembunyi, ada pula yang menganggapnya sekadar drama sosialita kelas atas. Namun, sebagian besar sepakat, pernikahan ini akan mengubah peta kekuatan. Perusahaan besar bisa jadi berkolaborasi atau justru saling menekan, sementara pihak pemerintah harus berhati-hati agar tidak terseret dalam pusaran kepentingan keduanya.Di gedung-gedung tinggi Ibukota, para direktur dan pemilik saham mulai bertanya-tanya.“Apakah ini strategi keluarga Muller?”Salah satu pengusaha berbisik di ruang rapat.“Mereka mengikat Zhuge lewat pernikahan? Atau ada maksud lain?” sahut yang lain sambil mengetuk meja dengan cemas.“sepertinya mereka tidak mau kehilangan anak pemegang hak waris yang sah dari keluarga Zhuge” b
Biasanya, Senian adalah sosok yang mudah terluka ketika dihina. Di masa lalu, setiap kali ada komentar miring, dia akan menangis diam-diam. Tapi kali ini? Senian justru tersenyum, bahkan seakan menikmati perhatian itu.Marco menggigit bibirnya. “Ada yang berbeda… Kakak bukan lagi Senian yang dulu.”“Apa sebenarnya yang kamu rencanakan, Kak?” tanya Marco dalam hati.Tatapannya jatuh pada kakaknya yang sedang menuang teh dengan gerakan anggun, seolah semua hal di luar sana tidak berpengaruh sedikit pun.Marco memberanikan diri bertanya, suaranya ragu.“Kak… boleh jujur padaku? Apa kamu punya rencana lain ke keluarga Muller? Atau… ada alasan lain kenapa kamu setegar ini?”Senian berhenti sejenak.Senyum samar tetap tergambar di bibirnya, tapi matanya berkilat dingin sesaat sebelum kembali lembut. “Marco,” jawabnya, nada suaranya tenang.“ada hal-hal yang tidak perlu kamu ketahui sekarang. Percayalah, semua ini untuk kebaikan kita.”Marco terdiam.Kata-kata itu bukannya menenangkan, justr
Keesokan paginya, berita di surat kabar dan media sosial heboh, bukan hanya di ruangan itu, tetapi juga segera menyebar ke kalangan atas ibu kota.Namun yang membuat riuh bukanlah berita politik atau bisnis, melainkan satu kabar yang mendominasi seluruh halaman sosial.“Nathan Muller Resmi Melamar Senian Zhuge!”Judul itu besar, tebal, dan sulit diabaikan. Beberapa bahkan menambahkan foto buram dari acara lamaran sederhana malam sebelumnya.Tagar #LamaranMullerZhuge menduduki posisi teratas trending di media sosial. Ribuan komentar bermunculan, sebagian kagum, senang, ada pula sinis.“Benarkah? Itu bukan rumor lagi?” gumam seorang sosialita sambil meneguk tehnya. “Tuhan, Senian benar-benar naik derajat. Dari hampir menjadi istri Xieran, kini justru tunangan pamannya.”Suara tawa, decak kagum, juga bisikan sinis bergema di mana-mana.“Wah, Senian beruntung sekali! Dari calon istri Xieran, langsung naik jadi tunangan Nathan Muller. Itu namanya jackpot!” tulis seorang netizen dengan emot
Malam sebelum acara lamaran, ruang pertemuan keluarga Muller terasa berbeda. Hanya beberapa anggota inti yang hadir, tanpa kehadiran tamu luar.Nathan duduk tenang di kursi utama, ekspresinya tak tergoyahkan. Namun tatapan beberapa anggota keluarga besar jelas-jelas penuh tanda tanya.“Nathan, apa kamu yakin dengan keputusan ini? Semua orang tahu masa lalu Senian dengan Xieran. membawanya masuk ke keluarga kita bisa menimbulkan gosip yang tak ada habisnya.”“Benar. Bayangkan bagaimana orang luar akan memandang keluarga Muller, seolah-olah kita mengambil sisa dari Xieran. Apa itu tidak merendahkan nama keluarga?”Xieran duduk agak jauh, dia memilih bungkam. Wajahnya tegang, tapi matanya tajam menatap lantai seakan mencoba menyembunyikan gejolak hatinya.“Lucu sekali,” ucap Nathan tenang, tapi tajam.“Di pesta pernikahan kemarin, ketika aku ingin menolak ajakan menikah dari Senian, tidak ada satu pun dari kalian yang menolak. Semua mengangguk, semua tersenyum, semua menyetujuinya.”Dia
“Gadis yang baru saja kehilangan tunangan biasanya hancur berkeping-keping. Apalagi tunangan sekelas Xieran Muller. Semua orang tahu betapa besar cintamu dulu padanya. Tapi kamu…” Nathan memiringkan kepalanya, menatapnya seakan sedang memeriksa pion di papan catur. “…kamu berdiri di hadapanku dengan keberanian yang bahkan jarang kulihat pada pria.”Senian terdiam sesaat, tapi tidak bergeming. “Mungkin kamu hanya salah menilai aku selama ini.”Nathan tersenyum tipis, sinis sekaligus mengagumi. “Tidak… bukan salah menilai. Kamu yang sengaja menutupinya. Kamu menyembunyikan sesuatu.”Di dalam kepalanya, Nathan mulai menyusun strategi.Jika Senian ingin bermain api, maka dia akan memastikan nyala api itu tidak hanya membakar dirinya, tapi juga membakar balik gadis itu.“Baiklah, Senian” batinnya dingin. “Jika kamu ingin menikah dengan cepat, aku akan mengikutimu. Tapi jangan pernah lupa, aku tidak akan membiarkan orang lain menjebakku. Kalau kamu punya permainan, aku akan memastikan perma