Sinar matahari begitu terik, serasa menyayat indera peraba setiap insan yang dijumpainya. Kondisi jalan yang sangat ramai, suara klakson terdengar nyaring memekikkan pendengaran, ditambah kepulan asap kendaraan yang bewarna abu-abu, kian memaksa para pengguna jalan untuk hilang kesabaran. Sebuah motor trail menggilas jalanan Ibu Kota dengan kecepatan tinggi. Membuat penumpang di belakang bergidik nyeri, takut kalau-kalau menabrak pengguna jalan lain."Dio, pelan-pelan!" ucap Anne dengan suara bergetar. Dari kaca sepion, pria itu mengamati wajah gadis di belakanganya. Nampak panik. Cengkraman kuat dari jemari gadis itu seolah menegaskan, cara mengemudi Dio yang ugal-ugalan membuatnya ketakutan. Pria itu hanya tersenyum. Lantas menepikan kendaraan beroda dua tersebut ke sebuah kedai bakso pinggir jalan. 'Bakso Khas Wonogiri', begitulah kalimat yang tertulis di spanduk kedai itu. Tanpa berbicara sepatah katapun, keduanya turun dan memasuki kedai. Anne mengikuti derap langkah pria ters
[Dia sempat koma, Mbak. Tapi sekarang sudah sadar. Mas Dimas ada disana sewaktu saya besuk.] Sebuah pesan masuk dari Erin, membuat rasa bersalah Ramona seketika runtuh. Kebencian kembali menyelinap. Dengan bersungut-sungut ia mengucap sumpah serapah terhadap gadis yang ia sangka merebut pria beharga miliknya."Kenapa nggak mati aja, sih, nyebelin." Ramona berdecah sembari melepas pengait high heels bewarna merah muda yang seharian menemani aktifitas bekerjanya. Gadis itu mendaratkan pantat di atas bantalan sofa ruang televisi. Fokusnya masih bertahan pada layar benda pipih di tanganya. Duduk menyilang sembari bersandar pada sofa. Ia tak menyadari paha mulusnya terekspos nyata, merampas perhatian pria tua yang sedari tadi asyik menyimak tayangan sepak bola. Seperti itulah kebiasaan Pak Risman setiap hari. Hanya bermalas-malasan di dalam rumah tanpa menjalankan kewajibanya sebagai kepala rumah keluarga (mencari nafkah). Bila dirasa bosan melanda, pria tua tersebut akan menyewa peremp
Siang yang terik, sang surya bertengger angkuh dibawah naungan cakrawala. Panas menumbuhkan peluh yang tak berkesudahan menetes di dahi para pekerja yang berada di luar ruangan. Bising kendaraan yang dengan sadis menyemburkan asap pekat membuat penampakan kota itu sedemikian menjemukan.Di sebuah ruangan rumah sakit yang terletak di sisi jalan besar, seorang pria berpakaian serba putih tengah berbincang dengan dua orang yang menghuni ruangan tersebut selama dua minggu ini. Pria itu berwajah ramah, bertubuh pendek dan bertutur lembut nan bersahaja. Setiap ucapan yang keluar dari mulutnya terasa seperti sentuhan, lembut dan menenangkan. "Yang benar, Dok, saya boleh pulang hari ini?" mata gadis itu berbinar mendengar ucapan pria berpakaian putih tersebut.Terlalu lama berada di dalam ruangan itu sungguh menjemukan. Kabar itulah yang selama ini ia tunggu-tunggu.Pria itu tersenyum sembari mengangguk menanggapi pertanyaan Dewi. "Kalau begitu, saya permisi," ucapnya lalu kemudian melenggan
Sebuah ruang keluarga yang didominasi warna putih dipenuhi atmosfer ketegangan yang begitu ketara. Terasa panas bagi seorang perempuan tua yang terduduk di atas sofa ruangan itu, hingga dinginnya suhu Ac tidak berhasil menaklukan panas yang menjalari sekujur tubuhnya.Di balik kacamata yang di kenakan, Mayang baru saja melihat foto putra kesayangannya sedang bergandengan tangan dengan seorang gadis cantik yang sedemikian anggun. Sebuah foto yang berhasil Ramona dapatkan dari Shasa, teman sekolahnya yang tinggal satu kosan dengan Dewi. Otaknya terasa mendidih saat dikatakan Ramona bahwa Dimas berpacaran dengan seorang pelac*ur. Langkah ini Ramona ambil agar Mayang membujuk Dimas untuk meninggalkan Dewi, si wanita tuna susila. Dengan begitu, peluangnya untuk mendapatkan Dimas kembali akan lebih besar. Mengetahui Mayang yang mulai tersulut emosi, Ramona diam-diam tersenyum licik."Mudah sekali Dimas tergoda," gumam Mayang setengah berbisik, namun telonga Ramona bisa menanggap dengan jela
Degup jantung Dimas semakin tak karuan setelah mendengar kabar dari ayahnya bahwa ibunya ditemukan pingsan saat dirumah sendirian. Diin, dinn!!!Entah sudah kali keberapa pria maskulin itu membunyikan klakson mobil dengan rasa emosi, dan menyalip setiap kendaraan yang berada di depanya. Padatnya jalanan membuatnya sedikit frustasi. Berulang kali ia memukul kemudi mobil yang dikendarainya sembari berdecah kesal. Pria itu memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi setiap kali jalanan cukup ruang untuk dilaluinya. 20 menit kemudian ia tiba di sebuah rumah sakit, yang dalam beberapa hitungan jam lalu ia tinggalkan. Ibunya dirawat di rumah sakit yang sama dengan Dewi. Derap langkahnya begitu cepat, beradu dengan jantung yang berdegup tak kalah cepatnya. Pikiranya kacau, ini kali pertama ia mengetahui perempuan yang sangat ia hormati jatuh pingsan. Langkah kakinya terhenti di ruangan bernomor Anggrek 11. Dimas masuk karena merasa yakin ibunya berada di sana, sebagaimana di informasikan s
Dimas berdiri dengan kedua tangan tersimpan di dalam saku celana bahan yang ia kenakan. Tubuh maskulin itu berdiri tegap, menarik siku kirinya untuk melihat pada angka berapa kedua jarum pada benda itu menunjuk. Waktu menunjukan pukul 07.30 p.m. Masih ada waktu untuk membelanjakan keperluan Dewi setelah urusan dengan Mona selesai. Sudah 10 menit Dimas berdiri di sana, namun batang hidung gadis yang hendak ia temui tak kunjung nampak."Kok, kayanya gelisah banget, Dim? Kelamaan ya nunggu aku?" perempuan yang di tunggu-tunggu akhirnya menampakan diri. Berjalan melenggok sedikit menggoda dengan tangan kiri menenteng tas branded. Dimas hanya diam, menunggu tubuh itu berjalan mendekat. Lenggok badan yang ditampilkan sama sekali bukan pemandangan indah bagi Dimas. "Langsung saja. Apa yang sudah kamu katakan ke Mamaku?" tanya Dimas dengan tatapan membunuh ke arah gadis bertubuh ramping di hadapanya. Menyadari kemarahan Dimas, seketika senyum gadis itu berubah. Menjadi kikuk dan ketakutan.
Seorang gadis berulang kali mengerjapkan matanya saat saat sinar matahari menerobos masuk melalui celah fentilasi sebuah ruangan, cukup menyilaukan. Ia pun menggeliat untuk meregangkan otot tubuhnya di atas ranjang sembari menguap.Salah satu tanganya menyenggol tubuh, yang entah sedari kapan berbaring tepat di sebelahnya, ia pun kaget. Dan saat menyibak selimut, ia mendapati seluruh pakaian yang membalut tubuhnya kemarin sudah tanggal, berada di bagian bawah ranjang.Ia mulai panik, dengan gelisah ia menggoyang-goyangkan bahu pria tua yang masih terlelap di atas ranjang tersebut. Sekuat tenaga ia mengguncang bahu gemuk Risman, cukup lama. Pada akhirnya pria itu memicingkan mata melihat ke arahnya, dengan perasaan kantuk yang masih melekat pada kedua netranya."Hem?" Risman mengedikkan dagunya ke arah gadis yang bermimik gelisah itu."Apa yang sudah Papa lakuin, Pa?!" pekik Ramona mulai terisak dan penuh kegelisahaan. Dia nampak kusut dan acak-acakan, dengan air mata yang mulai mengana
Waktu menunjukan pukul 18.30 WIB. Suara alat makan yang saling menghantam memenuhi ruang makan yang disesakki oleh suasana hening. Mayang menatap tajam pada anak laki-lakinya yang tengah menyantap hidangan tanpa menghiraukan pandangannya, meskipun Dimas tau sang ibu terus memperhatikannya sedari tadi. "Sudah baikan dengan Ramona?" tanya Mayang setelah sebelumnya meneguk air putih dari gelasnya.Dimas mengangkat kepala dan menoleh ke arah ayah dan ibunya secara bergantian. "Mama ngomong sama Dimas?" Dimas balik bertanya dengan mengangkat kedua alis."Mama tidak sedang bercanda, Dimas," ucap Mayang yang tetap bertahan pada ekspresi wajah datarnya."Baikan yang gimana maksudnya? Hubungan Dimas sama Mona baik-baik aja ko, Ma." jawab Dimas seadanya kemudian meneguk air."Mama nggak mau tau ya, kamu harus balikan sama Mona. Jauhi gadis kotor itu jika kamu masih menganggap Mama sebagai ibumu!" sarkas Mayang dengan sorot mata tajam di balik kacamatanya.Rasa lezat masakan yang ia kunyah berub