공유

Satu Atap

last update 최신 업데이트: 2025-07-01 12:33:45

"Di sini kamar kamu," kata Langit sambil menarik koper milik Bulan ke dalam sebuah kamar.

"Kayaknya enggak sebesar kamar di rumah orang tuamu ya. Tapi, semoga nyaman," kata Langit lagi.

Bulan mengangguk. "Makasih, Mas."

"Barang-barang kamu ... jadi mau saya aja yang rapiin atau ...."

"Saya rapiin sendiri aja, Mas."

"Beneran? Tapi mending istirahat dulu, Bulan. Kaki kamu beneran bengkak." Langit menatap kaki Bulan yang terlihat besar.

"Iya. Memang sejak masuk bulan kelima, kaki saya gampang banget bengkak," kata Bulan. Dia lalu duduk di sebuah kursi di kamar itu.

"Kamu kecapekan juga habis acara tadi terus langsung on the way ke sini. Perjalanan dari Pesantren Al Huda ke sini kan sejam bisa lebih kalau macet kayak tadi, Bulan," kata Langit. Kemudian tanpa diduga, dia mengambil bantal di atas kasur lalu berjongkok untuk menyelipkan bantal itu di bawah kaki Bulan.

Perlakuan Langit jelas membuat Bulan terkejut.

"Biar lebih nyaman dan nggak makin bengkak," kata Langit.

"Oh iya, makasih, Mas." Bulan terlihat salah tingkah.

Manis banget suami gue!!! Pekik Bulan dalam hati.

"Ya sudah, saya mau ambil baju dulu, mau mandi, gerah banget. Habis ini silakan kamu langsung istirahat. Kalau butuh sesuatu, saya tidur di kamar sebelah."

Ucapan Langit membuat Bulan mengernyit. "Mas Langit, nggak ... eum ... maksud saya ... kita nggak sekamar?" tanya Bulan.

Langit tersenyum mendengar pertanyaan itu. Sejurus kemudian, dia membungkuk, menjajari tatapan mata Bulan.

"Pengin banget sekamar sama saya ya?" tanyanya dengan nada iseng menggoda Bulan.

"Bu-bukan begitu. Tapi kan kita sudah suami istri. Kenapa Mas Langit ... oh, maaf, lupa. Kan kita nikah juga karena perjodohan, pastinya ... bukan saya aja yang terpaksa, Mas Langit juga kan? Jadi ... mana mau Mas Langit sekamar sama saya? Saya lagi hamil juga, nggak menarik buat diajak tidur. Mana masih bocil sembilan belas tahun juga." Bulan malah menyimpulkan sendiri dengan sedikit emosi. Sepertinya bawaan hormon kehamilan membuatnya agak sensitif padahal sebelumnya Langit sudah membuatnya berharap akan hal manis karena perlakuannya.

 Langit kembali tersenyum tapi dia menegakkan tubuhnya menjauh dari muka Bulan, lalu duduk di tepian ranjang.

"Bulan, dengarkan saya. Pertama, saya memang terpaksa menikahi kamu. Jujur saja. Tapi rasa terpaksa itu tidak pernah saya benci apalagi sampai membenci kamu juga lalu enggan sekamar sama kamu. Bukan karena itu. Kedua, jangan pernah bilang kamu tidak menarik. Justru karena kamu sangat menarik, kamu cantik, kamu ... astaga! Laki-laki normal mana yang nggak terpesona sama tatapan mata kamu, senyum kamu. Bulan, semua yang ada di kamu itu indah sekali. Makanya saya nggak mau tidur sekamar sama kamu," tutur Langit.

Bulan masih mengerutkan dahinya.

"Saya nggak ngerti. Ahh entahlah! Semua yang ada sama Mas Langit nggak pernah bisa saya mengerti. Mulai dari alasan Mas Langit nikahin saya, ngasih saya harapan hubungan bermasa depan, lalu malam ini soal enggan sekamar. Bener-bener nggak ngerti!" Ucap Bulan.

"Saya nggak boleh sentuh kamu sampai kamu melahirkan, Lan," kata Langit.

"Maksudnya?"

"Kiai Rais bilang, menurutmu agama kita, seorang laki-laki dilarang menyebar benih di atas tanaman lelaki lain demi menjaga nasab. Jadi, sampai kamu melahirkan, saya tidak seharusnya menggauli kamu," jelas Langit. 

Bulan langsung terdiam. Dia jadi merasa bersalah karena sudah menuduh Langit yang bukan-bukan padahal Langit sedang menjalankan apa yang seharusnya jadi perintah agama.

"Maaf, saya nggak tahu," kata Bulan setelah beberapa saat.

"Nggak papa. Yang penting sekarang, kamu udah ngerti alasan saya." Langit pun berdiri. Dia lalu mengulurkan tangannya, mengusap bahu Bulan pelan.

"Karena kalau tetap sekamar, saya nggak yakin tetap bisa bertahan untuk bisa menghindari larangan itu," katanya.

Bulan akhirnya mengangguk paham.

"Sudah nikahin perempuan enggak perawan, hamil, enggak bisa disentuh pula. Mas Langit nggak nyesel?" Tanya Bulan.

Langit terkekeh kecil. Dia lalu menggeleng. "Nggak nyesel kalau ceweknya secantik kamu."

“Di luar sana kalau mau yang cantik ada banyak, Mas,” sanggah Bulan.

“Tapi jodoh saya kamu,” kata Langit.

“Dijebak dalam perjodohan,” ralat Bulan.

“Apa pun itu, enggak masalah, Bulan. Jodoh bisa bersatu dengan cara apa saja.”

Bulan menghela napas. Dia belum menanggapi lagi.

“Sudah ya, kita pengantin baru loh. Masa iya semalaman mau berdebat soal perjodohan. Ayolah! Saya menerima kamu dan kamu terimalah saya,” kata Langit.

“Saya menerima kamu kok, Mas. Tapi saya enggak menerima keputusan kamu yang mau-maunya nikah sama saya, perempuan yang ….”

“Sudah, Bulan,” potong Langit. “Tidak perlu diulang lagi. Saya sudah tahu kalimat kamu selanjutnya.”

Tiba-tiba, air mata Bulan menetes. “Maaf, kalau saya kesannya meragukan ketulusan Mas Langit. Saya hanya mencoba untuk sadar diri, Mas. Hidup saya sudah hancur lebur karena kehamilan ini. Bahkan untuk berharap bisa hidup bahagia saja, Saya nggak berani.”

Bulan menyeka air matanya sendiri. Dia kemudian lanjut berkata, “Saya takut terluka dan makin hancur, Mas. Saya takut berharap lebih dengan hubungan kita ini. Saya ….” Bulan kehabisan kata-kata. Dadanya penuh sesak dan terasa perih.

Langit yang sudah berdiri kembali duduk. Namun, bukan di tepian ranjang melainkan bertumpu pada lututnya di hadapan Bulan. Dengan sedikit ragu dan hati-hati, Langit meraih kedua tangan Bulan lalu menggenggamnya.

“Jangan berharap dari hubungan ini. Jangan berharap juga sama saya. Nggak ada yang bisa saya janjikan. Berharaplah pada Tuhan yang sudah membuat Langit dan Rembulan bersama pada waktunya. Dia yang menjodohkan kita, Bulan. Dengan caranya yang mungkin lucu, membingungkan, dan aneh tapi itulah yang terbaik,” kata Langit panjang lebar.

Bulan masih sesegukan. Dia lalu merasakan sentuhan pada perutnya.

“Kamu mau dia panggil saya dengan sebutan apa, Lan?” tanya Langit sambil mengelus perut Bulan perlahan.

“Eum … Itu … terserah Mas Langit saja,” kata Bulan.

“Memangnya kamu mau dipanggil apa?”

“Mama.”

Langit mengangguk. Dia lalu mengelus perut Bulan lagi dan berkata, “Nak, Mama di sini sudah sama Papa. Kamu akan lahir dan jadi bayi dengan kebahagiaan lengkap.”

“Mas ….”

“Saya tahu rasanya lahir tanpa punya ayah, Bulan. Jadi saya di sini, supaya anak ini tidak mengalami apa yang saya alami,” kata Langit kemudian menarik tangannya menjauh dari perut Bulan.

“Maksud Mas Langit? Loh! Bukannya kamu anaknya Pak Pramono?” tanya Bulan.

Langit mengangguk. “Ya, saya anaknya Pramono tapi bukan anak dari istrinya.”

“Hah?”

“Ibu saya hamil tapi Pramono memilih menikahi istrinya yang sekarang demi mendapatkan dukungan finansial untuk kariernya dalam bidang hukum karena istrinya yang sekarang keturunan pejabat. Pramono tidak pernah mengakui kehamilan ibu saya sampai saya lahir dan besar. Akte kelahiran saya saja tertulis anak dari seorang ibu. Tidak ada nama ayah di sana.”

Tangis Bulan berhenti, berganti dengan keterkejutan dengan fakta kehidupan Langit.

“Lalu?” Bulan menuntut penjelasan lebih.

“Ya … Dia baru mencari tahu soal saya setelah saya agak besar. Kalau nggak salah, sudah mau masuk SMA. Itu juga, karena istrinya nggak bisa kasih keturunan. long history, Bulan. Tapi saya harap, ini bisa kamu terima sebagai alasan dan menyudahi keraguan kamu terhadap saya.”

“Gimana Mas bisa kenal sama Papa?”

“Dari Kiai Rais. Saya nggak tahu gimana Papa bisa kenal Kiai, yang jelas hari itu … Kiai Rais panggil saya waktu ngajar terus ceritain soal kamu.”

“Beliau nawarin?”

Langit mengangguk. “Awalnya saya tolak, tapi saya malah terus kepikiran tentang kondisi kamu. Saya membayangkan anak kamu yang mungkin akan bernasib sama dengan saya, melalui banyak cemoohan karena lahir tanpa ayah. Ya sudah, besoknya, saya ketemu Kiai Rais lagi dan cerita. Tebak, apa kata beliau?”

“Apa?”

“Apa pun niatmu, Langit. Kamu nggak akan menyesal. Apalagi Bulan cantik. Kamu makin tidak punya alasan untuk menyesal, Langit. Gitu katanya.”

“Terus?”

“Ahh Kiai memang nggak salah. Kamu secantik ini, ya kan? Jadi, ya saya tidak menyesal.”

“Gombal,” ucap Bulan spontan padahal itu hanya untuk menghindar karena saat ini Bulan sedang salah tingkah.

“Loh kok gombal? Ini serius, Bulan.”

"Mas, udah berapa kali kata cantik kamu ucapkan semenjak kita masuk kamar ini?" tanya Bulan kembali mengelak. Demi apa pun, saat ini pipinya terasa panas menahan malu.

Langit mengedikkan bahu. "Banyak. Ya karena memang sebanyak itu cantiknya kamu."

"Hmm ... Laki-laki di mana juga sama aja. Gombalnya banyak," kata Bulan. Dia tiba-tiba berdiri hendak menghindari Langit karena sudah tidak tahan lagi dengan perkataan Langit yang makin manis.

Namun sepertinya, semesta sedang tidak berpihak. Kaki Bulan yang bengkak ternyata cukup nyeri untuk berdiri hingga membuat Bulang oleng.

"Aduh!" pekik Bulan spontan. Dia pikir akan terjatuh tetapi untung saja, dia jatuh di tempat yang tepat dan nyaman, lengan Langit. Ya, beruntung suaminya itu sigap menangkapnya.

"M-mas ...." gumam Bulan karena tiba-tiba merasakan kecanggungan saat Langit dan dirinya malah beradu pandang cukup lama.

"Oh ya, lain kali hati-hati," kata Langit. Dengan salah tingkah, dia membantu Bulan untuk berdiri kemudian berjalan cepat menuju lemarinya untuk mengambil baju dan pergi.

"Astagfirullahal'adzim!" ucap Langit setelah dia keluar dari kamar miliknya yang sekarang ditempati Bulan. Langit mengusap wajahnya beberapa kali.

"Balada perjaka tua, dilihatin cewek jarak dekat aja langsung oleng mau khilaf. Ya Tuhan!" Langit mengomel resah sambil menuju kamar mandi. Sepertinya keramas dengan air dingin bisa menurunkan suhu tubuhnya yang panas akibat pancaran sinar Rembulan yang ugal-ugalan.

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Rembulan dalam Dekapan Langit   Anak Kos

    "Kak Sinta mau pergi?" tanya Laili Atika saat melihat seniornya di kos keluar kamar dengan baju rapi. "Iya, ada janji sama teman sebelum ke kampus," jawab Sinta. Dia yang katanya mau pergi, malah ikut duduk bersama Laili di teras kamar Bulan yang mulai berdebu karena ditinggal pemiliknya."Soal Bulan ... kemarin sore, aku udah telpon dia," kata Sinta."Terus, apa kata Bulan, Kak?" tanya Laili."“Perasaan aku kok nggak enak ya, Lai,” kata Sinta. “Bulan nggak menjelaskan apa pun soal laki-laki itu.”“Tapi, selama ini kita nggak pernah lihat Bulan punya pacar kan, Kak? Dia juga nggak pernah keliatan teleponan sama cowok. Apalagi pergi kencan. Itu cowok palingan ngaku-ngaku deh, Kak,” kata Laili.“Ngaku-ngaku gimana, maksud kamu, Lai?”“Ya kan sekarang musim penipuan, Kak. Mungkin orang tadi tahu kalau anak kos sini, namanya Bulan adalah anak orang kaya. Terus dia sok kenal biar kita percaya terus ujungnya nipu,” jelas Laili.“Iya sih. Bisa juga gitu.” Sinta mencoba setuju dengan pendapa

  • Rembulan dalam Dekapan Langit   Aku Kamu

    Informasi mengenai seorang lelaki bernama Handarbeni Utomo yang diberikan oleh Darti, jelas membuat Langit was-was soal Bulan. Selain khawatir, Langit juga jadi bertanya-tanya mengenai hubungan lelaki itu dengan Bulan sebenarnya.Sedikit ragu, Langit mengetuk kamar Bulan sambil memanggil, “Lan, boleh masuk?”“Iya, Mas. Masuk aja,” sahut Bulan dari dalam.Saat masuk, Langit mendapati sang istri sedang memegang ponsel.“Habis teleponan?” tanya Langit.“Iya, Mas. Tadi … Mbak Sinta telepon.”“Sinta?”“Itu temen kos. Nanyain kabar sama nanya kapan saya ke kosan. Soalnya barang-barang saya kan masih di sana. Terus, kuliah juga saya tinggal gitu aja,” kata Bulan. Ada guratan kesedihan yang Langit lihat saat Bulan menjelaskan mengenai kuliahnya.“Memangnya, rencanamu bagaimana soal kuliah?” Tanya Langit. Dia duduk di sebelah Bulan.Bulan terdiam sesaat sebelum kemudian menggeleng. “Nggak tau. Saya nggak berani berencana apa pun setelah semua yang terjadi.”“Boleh kasih saran?”Bulan menganggu

  • Rembulan dalam Dekapan Langit   Siapa Beni?

    Tidak, Bulan tidak bermaksud menolak mentah-mentah permintaan ciuman dari suaminya, tapi ini sudah tidak bisa ditahan. Bulan sudah tidak kuat lagi. Dia harus segera pergi ke kamar mandi sebelum semua kacau karena isi perutnya memberontak ingin keluar.“Kamu baik-baik aja?” tanya Langit. Dia pikir tadi dia ditolak Bulan, tapi setelah dia mendengar suara Bulan muntah, Langit sontak panik dan langsung menyusul Bulan ke kamar mandi.“Beneran keluar semua makanan sama susunya tadi,” kata Bulan. Dia menyeka dagu dan mulutnya sambil keluar dari kamar mandi.Langit yang melihat itu langsung meraih kotak tisu di atas kulkas. Dia lalu mengusap sekitar mulut Bulan.“Lain kali jangan buru-buru lagi makan sama minum susunya,” kata Langit sambil mas

  • Rembulan dalam Dekapan Langit   Tentang Bu Darti

    Rumah dalam kondisi sepi saat Langit sampai. Dia tidak melihat Bulan di ruang tamu maupun ruang makan.“Bulan, Lan,” panggil Langit. Dia melangkah ke kamar setelah meletakkan susu pesanan Bulan di meja makan.“Lan,” panggil Langit lagi. “Saya masuk ya?” Perlahan, Langit membuka pintu kamar. Dia mendapati Bulan yang meringkuk diam saja tapi matanya tidak terpejam.“Hei, sudah makan?” tanya Langit.Bulan menggeleng sebagai jawaban.“Loh, kan udah jam satu. Nanti si dedek lapar, kasihan. Makan yuk!” ajak Langit.Lagi, Bulan menggeleng. Melihat itu, Langit akhirnya memberanikan diri untuk mendekat. Dia menarik kursi dan duduk

  • Rembulan dalam Dekapan Langit   Fakta Langit (1)

    “Jadi, sesuai yang sudah saya jelaskan dan contohkan tadi, kita akan praktik gerakan sit up. Silakan putra dengan putra, putri dengan putri, bergantian memegangi lutut temannya sementara yang satu melakukan gerakan sit up.”Barisan siswa yang tadinya sedang duduk memperhatikan penjelasan dari Langit, langsung bergegas ambil posisi sesuai perintah.“Nanti gantian ya. Sekarang, kita mulai sesuai arahan peluit saya. Siswa yang megangin lutut, sambil dihitung berapa banyak gerakan sit up yang bisa dilakukan temannya. Siap ya? Satu … Dua … priiiit!”Langit merasakan getar ponsel di saku celana trainingnya sesaat setelah peluit dia bunyikan. Sambil tetap mengawasi murid-muridnya agar tetap fokus pada gerakan, Langit membuka benda pipih itu.Seketika senyum tipis mengembang di

  • Rembulan dalam Dekapan Langit   Peran Istri

    Suara dering ponsel yang terus terdengar akhirnya membuat Bulan tersadar perlahan dari tidurnya yang lelap. Bulan yang masih berusaha menyesuaikan matanya dengan cahaya, mencoba meraba ponselnya di meja dekat tempat tidur.“Hmm … halo,” sapanya dengan suara malas.“Lan.”“Mama!” Mata Bulan langsung melebar sempurna.“Gimana? Kamu bisa tidur di rumah Langit?”“Rumah Lang-it…” Bulan akhirnya tersadar dirinya kini berada di rumah siapa. Astaga! Bagaimana bisa dia lupa jika sejak kemarin, statusnya sudah berubah menjadi seorang istri.“Ma, ini jam berapa?” tanya Bulan. Dia menjauhkan ponselnya dari telinga dan melihat sendiri jam digital di sana.

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status