"Di sini kamar kamu," kata Langit sambil menarik koper milik Bulan ke dalam sebuah kamar.
"Kayaknya enggak sebesar kamar di rumah orang tuamu ya. Tapi, semoga nyaman," kata Langit lagi.
Bulan mengangguk. "Makasih, Mas."
"Barang-barang kamu ... jadi mau saya aja yang rapiin atau ...."
"Saya rapiin sendiri aja, Mas."
"Beneran? Tapi mending istirahat dulu, Bulan. Kaki kamu beneran bengkak." Langit menatap kaki Bulan yang terlihat besar.
"Iya. Memang sejak masuk bulan kelima, kaki saya gampang banget bengkak," kata Bulan. Dia lalu duduk di sebuah kursi di kamar itu.
"Kamu kecapekan juga habis acara tadi terus langsung on the way ke sini. Perjalanan dari Pesantren Al Huda ke sini kan sejam bisa lebih kalau macet kayak tadi, Bulan," kata Langit. Kemudian tanpa diduga, dia mengambil bantal di atas kasur lalu berjongkok untuk menyelipkan bantal itu di bawah kaki Bulan.
Perlakuan Langit jelas membuat Bulan terkejut.
"Biar lebih nyaman dan nggak makin bengkak," kata Langit.
"Oh iya, makasih, Mas." Bulan terlihat salah tingkah.
Manis banget suami gue!!! Pekik Bulan dalam hati.
"Ya sudah, saya mau ambil baju dulu, mau mandi, gerah banget. Habis ini silakan kamu langsung istirahat. Kalau butuh sesuatu, saya tidur di kamar sebelah."
Ucapan Langit membuat Bulan mengernyit. "Mas Langit, nggak ... eum ... maksud saya ... kita nggak sekamar?" tanya Bulan.
Langit tersenyum mendengar pertanyaan itu. Sejurus kemudian, dia membungkuk, menjajari tatapan mata Bulan.
"Pengin banget sekamar sama saya ya?" tanyanya dengan nada iseng menggoda Bulan.
"Bu-bukan begitu. Tapi kan kita sudah suami istri. Kenapa Mas Langit ... oh, maaf, lupa. Kan kita nikah juga karena perjodohan, pastinya ... bukan saya aja yang terpaksa, Mas Langit juga kan? Jadi ... mana mau Mas Langit sekamar sama saya? Saya lagi hamil juga, nggak menarik buat diajak tidur. Mana masih bocil sembilan belas tahun juga." Bulan malah menyimpulkan sendiri dengan sedikit emosi. Sepertinya bawaan hormon kehamilan membuatnya agak sensitif padahal sebelumnya Langit sudah membuatnya berharap akan hal manis karena perlakuannya.
Langit kembali tersenyum tapi dia menegakkan tubuhnya menjauh dari muka Bulan, lalu duduk di tepian ranjang.
"Bulan, dengarkan saya. Pertama, saya memang terpaksa menikahi kamu. Jujur saja. Tapi rasa terpaksa itu tidak pernah saya benci apalagi sampai membenci kamu juga lalu enggan sekamar sama kamu. Bukan karena itu. Kedua, jangan pernah bilang kamu tidak menarik. Justru karena kamu sangat menarik, kamu cantik, kamu ... astaga! Laki-laki normal mana yang nggak terpesona sama tatapan mata kamu, senyum kamu. Bulan, semua yang ada di kamu itu indah sekali. Makanya saya nggak mau tidur sekamar sama kamu," tutur Langit.
Bulan masih mengerutkan dahinya.
"Saya nggak ngerti. Ahh entahlah! Semua yang ada sama Mas Langit nggak pernah bisa saya mengerti. Mulai dari alasan Mas Langit nikahin saya, ngasih saya harapan hubungan bermasa depan, lalu malam ini soal enggan sekamar. Bener-bener nggak ngerti!" Ucap Bulan.
"Saya nggak boleh sentuh kamu sampai kamu melahirkan, Lan," kata Langit.
"Maksudnya?"
"Kiai Rais bilang, menurutmu agama kita, seorang laki-laki dilarang menyebar benih di atas tanaman lelaki lain demi menjaga nasab. Jadi, sampai kamu melahirkan, saya tidak seharusnya menggauli kamu," jelas Langit.
Bulan langsung terdiam. Dia jadi merasa bersalah karena sudah menuduh Langit yang bukan-bukan padahal Langit sedang menjalankan apa yang seharusnya jadi perintah agama.
"Maaf, saya nggak tahu," kata Bulan setelah beberapa saat.
"Nggak papa. Yang penting sekarang, kamu udah ngerti alasan saya." Langit pun berdiri. Dia lalu mengulurkan tangannya, mengusap bahu Bulan pelan.
"Karena kalau tetap sekamar, saya nggak yakin tetap bisa bertahan untuk bisa menghindari larangan itu," katanya.
Bulan akhirnya mengangguk paham.
"Sudah nikahin perempuan enggak perawan, hamil, enggak bisa disentuh pula. Mas Langit nggak nyesel?" Tanya Bulan.
Langit terkekeh kecil. Dia lalu menggeleng. "Nggak nyesel kalau ceweknya secantik kamu."
“Di luar sana kalau mau yang cantik ada banyak, Mas,” sanggah Bulan.
“Tapi jodoh saya kamu,” kata Langit.
“Dijebak dalam perjodohan,” ralat Bulan.
“Apa pun itu, enggak masalah, Bulan. Jodoh bisa bersatu dengan cara apa saja.”
Bulan menghela napas. Dia belum menanggapi lagi.
“Sudah ya, kita pengantin baru loh. Masa iya semalaman mau berdebat soal perjodohan. Ayolah! Saya menerima kamu dan kamu terimalah saya,” kata Langit.
“Saya menerima kamu kok, Mas. Tapi saya enggak menerima keputusan kamu yang mau-maunya nikah sama saya, perempuan yang ….”
“Sudah, Bulan,” potong Langit. “Tidak perlu diulang lagi. Saya sudah tahu kalimat kamu selanjutnya.”
Tiba-tiba, air mata Bulan menetes. “Maaf, kalau saya kesannya meragukan ketulusan Mas Langit. Saya hanya mencoba untuk sadar diri, Mas. Hidup saya sudah hancur lebur karena kehamilan ini. Bahkan untuk berharap bisa hidup bahagia saja, Saya nggak berani.”
Bulan menyeka air matanya sendiri. Dia kemudian lanjut berkata, “Saya takut terluka dan makin hancur, Mas. Saya takut berharap lebih dengan hubungan kita ini. Saya ….” Bulan kehabisan kata-kata. Dadanya penuh sesak dan terasa perih.
Langit yang sudah berdiri kembali duduk. Namun, bukan di tepian ranjang melainkan bertumpu pada lututnya di hadapan Bulan. Dengan sedikit ragu dan hati-hati, Langit meraih kedua tangan Bulan lalu menggenggamnya.
“Jangan berharap dari hubungan ini. Jangan berharap juga sama saya. Nggak ada yang bisa saya janjikan. Berharaplah pada Tuhan yang sudah membuat Langit dan Rembulan bersama pada waktunya. Dia yang menjodohkan kita, Bulan. Dengan caranya yang mungkin lucu, membingungkan, dan aneh tapi itulah yang terbaik,” kata Langit panjang lebar.
Bulan masih sesegukan. Dia lalu merasakan sentuhan pada perutnya.
“Kamu mau dia panggil saya dengan sebutan apa, Lan?” tanya Langit sambil mengelus perut Bulan perlahan.
“Eum … Itu … terserah Mas Langit saja,” kata Bulan.
“Memangnya kamu mau dipanggil apa?”
“Mama.”
Langit mengangguk. Dia lalu mengelus perut Bulan lagi dan berkata, “Nak, Mama di sini sudah sama Papa. Kamu akan lahir dan jadi bayi dengan kebahagiaan lengkap.”
“Mas ….”
“Saya tahu rasanya lahir tanpa punya ayah, Bulan. Jadi saya di sini, supaya anak ini tidak mengalami apa yang saya alami,” kata Langit kemudian menarik tangannya menjauh dari perut Bulan.
“Maksud Mas Langit? Loh! Bukannya kamu anaknya Pak Pramono?” tanya Bulan.
Langit mengangguk. “Ya, saya anaknya Pramono tapi bukan anak dari istrinya.”
“Hah?”
“Ibu saya hamil tapi Pramono memilih menikahi istrinya yang sekarang demi mendapatkan dukungan finansial untuk kariernya dalam bidang hukum karena istrinya yang sekarang keturunan pejabat. Pramono tidak pernah mengakui kehamilan ibu saya sampai saya lahir dan besar. Akte kelahiran saya saja tertulis anak dari seorang ibu. Tidak ada nama ayah di sana.”
Tangis Bulan berhenti, berganti dengan keterkejutan dengan fakta kehidupan Langit.
“Lalu?” Bulan menuntut penjelasan lebih.
“Ya … Dia baru mencari tahu soal saya setelah saya agak besar. Kalau nggak salah, sudah mau masuk SMA. Itu juga, karena istrinya nggak bisa kasih keturunan. long history, Bulan. Tapi saya harap, ini bisa kamu terima sebagai alasan dan menyudahi keraguan kamu terhadap saya.”
“Gimana Mas bisa kenal sama Papa?”
“Dari Kiai Rais. Saya nggak tahu gimana Papa bisa kenal Kiai, yang jelas hari itu … Kiai Rais panggil saya waktu ngajar terus ceritain soal kamu.”
“Beliau nawarin?”
Langit mengangguk. “Awalnya saya tolak, tapi saya malah terus kepikiran tentang kondisi kamu. Saya membayangkan anak kamu yang mungkin akan bernasib sama dengan saya, melalui banyak cemoohan karena lahir tanpa ayah. Ya sudah, besoknya, saya ketemu Kiai Rais lagi dan cerita. Tebak, apa kata beliau?”
“Apa?”
“Apa pun niatmu, Langit. Kamu nggak akan menyesal. Apalagi Bulan cantik. Kamu makin tidak punya alasan untuk menyesal, Langit. Gitu katanya.”
“Terus?”
“Ahh Kiai memang nggak salah. Kamu secantik ini, ya kan? Jadi, ya saya tidak menyesal.”
“Gombal,” ucap Bulan spontan padahal itu hanya untuk menghindar karena saat ini Bulan sedang salah tingkah.
“Loh kok gombal? Ini serius, Bulan.”
"Mas, udah berapa kali kata cantik kamu ucapkan semenjak kita masuk kamar ini?" tanya Bulan kembali mengelak. Demi apa pun, saat ini pipinya terasa panas menahan malu.
Langit mengedikkan bahu. "Banyak. Ya karena memang sebanyak itu cantiknya kamu."
"Hmm ... Laki-laki di mana juga sama aja. Gombalnya banyak," kata Bulan. Dia tiba-tiba berdiri hendak menghindari Langit karena sudah tidak tahan lagi dengan perkataan Langit yang makin manis.
Namun sepertinya, semesta sedang tidak berpihak. Kaki Bulan yang bengkak ternyata cukup nyeri untuk berdiri hingga membuat Bulang oleng.
"Aduh!" pekik Bulan spontan. Dia pikir akan terjatuh tetapi untung saja, dia jatuh di tempat yang tepat dan nyaman, lengan Langit. Ya, beruntung suaminya itu sigap menangkapnya.
"M-mas ...." gumam Bulan karena tiba-tiba merasakan kecanggungan saat Langit dan dirinya malah beradu pandang cukup lama.
"Oh ya, lain kali hati-hati," kata Langit. Dengan salah tingkah, dia membantu Bulan untuk berdiri kemudian berjalan cepat menuju lemarinya untuk mengambil baju dan pergi.
"Astagfirullahal'adzim!" ucap Langit setelah dia keluar dari kamar miliknya yang sekarang ditempati Bulan. Langit mengusap wajahnya beberapa kali.
"Balada perjaka tua, dilihatin cewek jarak dekat aja langsung oleng mau khilaf. Ya Tuhan!" Langit mengomel resah sambil menuju kamar mandi. Sepertinya keramas dengan air dingin bisa menurunkan suhu tubuhnya yang panas akibat pancaran sinar Rembulan yang ugal-ugalan.
Enam tahun yang laluTak kurang dari dua puluh orang berkumpul di sebuah gedung yang pembangunannya terbengkalai. Mereka yang mayoritas berjaket gelap itu memfokuskan pandangan pada lelaki bertubuh tinggi yang sedang berdiri berkacak pinggang. Dia, sosok paling mencolok di antara yang lain karena mengenakan flanel merah itu, berkata, "Gue harap siapa pun pelakunya, ngaku sekarang, sebelum gue repot-repot ngecek satu-satu tato di badan kalian karena kalau ternyata kalian terbukti bohongin gue, kalian bakal tahu akibatnya."Semua yang di sana diam. Beberapa saling menoleh lalu berbisik, beberapa menggeleng, meyakinkan bahwa mereka bukan pelaku yang dicari, dan beberapa yang lain hanya diam tertunduk karena takut akan ancaman pemimpin mereka meski mereka tak melakukan apa pun."Berkali-kali gue udah bilang, jangan recokin pembangunan fasilitas umum! Termasuk pasar. Mikir dong pakai otak! Sebagian kalian nyari duit di situ. Emang kalian nggak mau pasar jadi bagus, hah? Kalian mau pasar te
Mas Langit: Bulan, perasaanmu belum baikan ya? Maaf soal ketidakjujuranku tadi. Aku berangkat ke sekolah dulu ya.Mas Langit: Istriku yang cantik, apa perasaanmu sudah membaik? Ini aku sudah di sekolah. lagi ngawasi anak murid main voli.Mas Langit: Sudah ya sedihnya. Aku minta maaf sekali. Sedihmu bikin dedek bayi sedih juga. Ayo senyum lagi.Bulan meletakkan begitu saja ponselnya di meja. Dia belum berminat membalas rentetan chat dari sang suami. Tidak, dia tidak marah pada Langit karena Bulan justru sebal dengan dirinya sendiri yang tidak becus jadi istri. Langit terlalu baik. Bulan hanya ingin menjadi istri yang baik juga agar Langit bahagia.“Duaar!”Seseorang mengejutkan Bulan.“Bu Darti,” ucap Bulan setelah mendapati asisten rumah tangganya itu.“Ibu hamil jangan kebanyakan ngelamun nanti auranya nggak positif. Kasihan bayi dalam perut,” kata Bu Darti.Bulan tersenyum getir. “Lagi galau,” ucapnya.“Cantik-cantik kok galau. Kenapa sih, Bulan? Hidupmu udah enak. Wajah cantik, dui
Dengan sedikit ragu, Langit menepikan mobilnya di depan sebuah toko yang sudah tutup dan lampunya tak menyala. Dia sengaja memilih tempat itu agar keberadaannya tak mengundang kecurigaan.Dari jarak sekitar sepuluh meter, Langit bisa melihat sebuah warung bertuliskan Warung kopi Bagas Waras. Sebuah tempat yang sedari bertahun lalu menjadi tempat nongkrong anak-anak geng scorpio.Seseorang tiba-tiba mengetuk kaca jendela mobil Langit."Masuk," kata Langit setelah membuka pintu sebelah kirinya."Ini hasil print out yang Mas Bos minta," kata orang itu sambil mengulurkan kertas dokumen yang dibungkus plastik kepada Langit."Oh iya. Ini buat bayar ngeprintnya." Langit memberikan lembaran dua puluh ribuan."Nggak usah, Mas. Mana bisa gue nerima bayaran ngeprint dari orang yang beliin gue tiga unit komputer, dua printer, dan mesin potokopi, hmm?""Ya jangan gitu, Dis." Langit bersikeras memberikan uangnya. Namun, Yudis tetap menggeleng."Oke, semoga rejeki lo makin lancar. Usaha cetak dan fo
"Saya tegaskan sekali lagi. Ini anak saya. Anak Bulan adalah anak saya. Jadi, jangan pernah kamu mengganggu dia lagi."“Aaargh, bangsat!” Beni mengumpat sambil melempar kaleng minuman kosong yang sejak tadi digenggamnya setelah isinya tandas."Eh, Anjing! Itu kaleng kalau kena jidat pelanggan gue gimana? Mau matiin warung gue, lo?" Seorang lelaki dengan kaus bergambar tengkorak, bertanya dengan nada sebal."Kasih gue sekaleng bir lagi," kata Beni alih-alih menanggapi kekesalan pemilik warung.Dengan masih cemberut si pemilik warung memberikan sekaleng bir dari dalam kulkas kepada Beni. "Ini bir nol alkohol. Mau lo minum satu tanki juga nggak bakalan mabok. Beli ciu sana kalau otak lo lagi budrek!""Masih sore, bangsat! Ntar kalau udah gelap gue mabok," kata Beni lalu membuka kaleng bir itu dan meminumnya."Lo lagi kenapa sih? Nggak jelas amat."Beni tersenyum kecut. "Hidup gue emang nggak pernah jelas, Gas.""Iya juga sih," ucap Bagas si pemilik warung. Dia lanjut menata piring berisi
Segelas susu hangat, Langit letakkan di atas karpet di dekat Bulan yang kini duduk serius menatap laptop. Aah tidak, mode serius Bulan langsung terganggu saat aroma sabun yang maskulin menggelitik indera penciumannya.“Mas, udah?” Ucapnya.Langit mengangguk. “Diminum dulu susunya.““Nanti.”“Bulan, minum susu dulu.”Bulan menggeleng. Dia lalu menggeser posisi laptopnya dan berganti menatap Langit dengan serius. “Mas pasti marah ya?” Ucapnya.“Kata siapa?”“Kataku.”“Dan itu nggak bener.”Bulan mengerucutkan bibir. “Mas, Mas Langit jangan marah ya. Please. Aku bakal jelasin semuanya. Aku ….”“Aku nggak marah, Bulan,” potong Langit.“Beneran?”Langit mengangguk. “Orang marah nggak mungkin bikinin kamu susu.”Bulan langsung nyengir. “Iya juga sih. Tapi … Aku tetep aja nggak enak. Kehadiran Kak Beni pasti mengusik Mas Langit, kan?”Langit mengangguk jujur.“Maaf,” ucap Bulan.“Aku benci ucapan dia yang merendahkan kamu. Kesel banget rasanya. Sampai aku harus mandi dulu biar otakku nggak m
Dengan laptop di atas meja lipat, Bulan duduk di atas karpet sambil menyandarkan punggungnya di dinding. Ahh tulang belakangnya memang sudah mulai rewel belakangan ini. Mungkin karena beban perutnya semakin berat. Apalagi setelah dia tahu kalau Bu Darti hari ini tidak datang, Bulan memutuskan untuk melakukan sendiri pekerjaan rumah tangga, jadilah punggungnya makin sakit.“Oke, mari kita nyalakan laptop. Istirahat sudah cukup,” gumam Bulan sendirian. Dia menyalakan laptop dua belas incinya, kemudian mengakses laman akademik kampus untuk mengurus cuti kuliah seperti yang Langit sarankan.“Oh, ternyata pakai surat pernyataan sama scan kartu mahasiswa juga. Oke, mari kita buat dulu,” gumam Bulan lagi.Lalu, baru saja dia hendak mulai menulis surat pernyataan, suara ketukan pintu depan terdengar dari ruang tengah tempatnya berada saat ini.“Mas Langit? Masa iya, udah pulang?” Gumam Bulan sembari bangkit dari duduknya kemudian melangkah menuju pintu.Seketika Bulan terperangah saat mendapa