Malam menjijikkan itu benar-benar merenggut kebahagiaan hidup Bulan dalam sekejap. Bulan hamil akibat ulah lelaki yang tak mungkin diterima orang tuanya sebagai menantu. Akhirnya, demi menutupi aib kehamilannya itu, Bulan hanya bisa pasrah saat dinikahkan dengan Langit, lelaki asing yang umurnya lima belas tahun lebih tua darinya. Bulan pikir, Langit adalah bapak-bapak tua membosankan yang akan membuat kehidupannya yang sudah hancur semakin kacau dan dirundung kesedihan. Namun, nyatanya Bulan salah besar. Langit yang kini mendekapnya membuat Bulan menjalani kehidupan baru yang penuh kejutan.
View More“Bulan, aku pamit!”
Teriakan itu membuat Bulan langsung melongok dari pintu kamar kosnya. “Loh! Kak Sinta pulang juga? Yaaahh, kenapa semua orang pulang sih? Aku di kosan sendirian dong!” kata Bulan.
“Sama Laili.”
“Laili balik tadi siang, Kak.”
“Loh iya, kah? Ya emang ini long weekend sih, Lan. Kamu juga harusnya balik,” kata Sinta.
Bulan menghela napas. “Lagi banyak tugas, Kak. Kalau di rumah, mager banget mau ngerjain,” kata Bulan.
“Halah, baru semester dua juga. Santai aja! Aku yang bulan depan harus magang aja santai,” kata Sinta.
“Haduh! Maunya ya santai, tapi omelan Mama enggak bisa diajak santai, Kak.”
“Yah, mama kamu dosen sih, pasti ekspektasinya tinggi ya.”
Bulan mencebik sambil mengangguk.
“Hmm ... kaciaaaan. Ya udah, nggak papa kalau nggak pulang. Masih ada Antika kok, jadi kamu nggak beneran sendiri. Cuma, sabar ya kalau nanti si Antika ....”
“Sssst! Udah paham,” sambung Bulang. Dia dan Sinta langsung terkekeh bersamaan karena keduanya paham soal Antika si paling sering bawa pacar ke kos-kosan.
“Yang penting kamu kunci pintu kamar aja. Takutnya ntar cowoknya dia salah masuk.”
“Ish! Kak Sin bisa aja,” kata Bulan.
“Ya udah, aku pergi dulu ya. Sampai ketemu Hari Senin, Moonlight!”
Bulan tersenyum. “Hati-hati, Kak,” ucapnya.
Setelah Sinta pergi, Bulan menatap suasana kos-kosannya yang sepi. Sekitar tujuh kamar dengan tiga melintang ke barat-timur dan dua ke utara-selatan itu, terlihat menutup semuanya.Lampu kamar juga mati. Sepertinya benar kata Sinta, long weekend membuat para mahasiswa penghuni kosan memutuskan untuk pulang kampung. Tidak seperti Bulan yang justru memilih menghindari kata pulang. Ya, karena pulang bagi Bulan, sama dengan menghadapi tekanan dari orang tuanya soal IP-nya semester ini yang harus naik dari semester lalu atau setidaknya konstan 3,6.
Bulan akhirnya masuk kembali ke kamarnya. Seperti pesan Sinta, dia pun mengunci pintu karena kosan sedang sepi sekali. Apalagi, pintu kamar kos di sini langsung terhubung dengan teras, tidak berada di dalam bangunan.
Suara ketukan pintu terdengar saat Bulan baru saja hendak memainkan ponsel. Sedikit ragu, Bulan pun membuka pintu kamarnya.
“Kak Beni,” gumamnya menyebut satu nama dengan raut terkejut. “Kak Beni, gimana bisa sampai di sini?”
Lelaki dengan jaket jeans balel yang disebut Bulan bernama Beni itu pun tersenyum. “Nggak usah kaget, Lan. Kamu kan tahu, apa aja bakal aku lakuin buat kamu. Termasuk nyusulin kamu ke Bandung.”
“Ta-tapi ... kalau orang tuaku tahu, gimana?” tanya Bulan. Rautnya masih terlihat tidak percaya jika Beni bisa menyusulnya ke kota ini.
“Enggaklah! Orang tua kamu kan di Jakarta, Lan. Justru di sini, kita mungkin bisa bebas,” kata Beni.
“Tapi, Kak. A-aku takut … Papa tu ….”
“Ssstt … Bulan, aku baru dateng loh! Jauh-jauh perjalanan tiga jam nembus macet, masa sambutan kamu begini? Udah ya, lupain soal Papa kamu. Lagi pula, aku siap menanggung semua risikonya demi kamu, Bulan,” kata Beni. Lelaki itu menatap Bulan lekat.
Bulan menghela napas. Dia tetap terlihat khawatir, tetapi mencoba berdamai dengan situasi karena Beni sudah terlanjur di sini.
“Oke, Kak Beni silakan duduk,” kata Bulan.
Beni pun tersenyum. “Nah, gitu dong, Cantik,” kata Beni sembari tangannya mencolek dagu Bulan tetapi gadis itu dengan cepat memalingkan wajah.
“Kak Beni mau minum apa? Eum … tapi, aku cuma ada air putih sama teh. Maklum anak kos,” kata Bulan.
“Nggak usah, Cantik. Aku tadi udah ngopi di deket sini. Malah aku bawain kamu minuman nih.” Beni merogoh saku jaketnya lalu mengeluarkan minuman dalam kemasan kotak.
“Susu stroberi kesukaan kamu,” katanya.
Bulan tersenyum tipis. Dia agak tersanjung dengan apa yang Beni lakukan. Mungkin, ini terdengar terlalu gampangan, tetapi selama sembilan belas tahun Bulan hidup, dirinya tidak pernah sempat untuk mengurusi urusan perasaan. Jangankan untuk jatuh cinta, berpikir untuk dekat laki-laki saja Bulan tidak sempat.
Masa remajanya sudah terlalu sibuk dengan jadwal les dan segala tuntutan kesempurnaan dari orang tuanya. Lalu, saat Beni datang belum lama ini, Bulan yang awam soal percintaan jadi sedikit tersentuh dengan sikap lelaki itu.
“Aku kangen banget sama kamu, Lan. Kamu jarang balas chat aku beberapa hari ini. Sibuk ya?” Beni bertanya setelah dirinya dan Bulan sama-sama duduk di kursi plastik yang memang tersedia di teras kecil yang ada di depan setiap kamar kos.
Bulan yang sedang menyedot susu stroberi pemberian Beni tadi, langsung menghentikan gerakannya.
“Maaf, Kak. A-aku ….”
“Sengaja menghindar?” Potong Beni.
“Maaf, tapi semenjak kejadian minggu lalu di rumah, aku bingung harus bersikap apa. Aku nggak mau menentang orang tuaku, Kak,” kata Bulan.
“Lan, kita berjuang bersama-sama, oke?”
Berjuang? Perjuangan macam apa yang Beni maksud? Berjuang meluluhkan hati orang tua Bulan agar mereka direstui? Ahh, Bulan tidak yakin. Dia tahu persis bagaimana kedua orang tuanya. Mengubah apa yang sudah mereka atur sangat mustahil.
“Kak Beni, kenapa nggak nyerah aja sih? Aku capek terus berdebat sama Papa dan Mama.” Bulan akhirnya buka suara lagi. Wajahnya terlihat sendu dan lelah. Masalah tugas kuliahnya saja sudah membuat Bulan jungkir balik. Sekarang, masalah cinta ikut-ikutan.
“Bulan, kamu pikir aku peduli sama cemoohan orang tua kamu? Terserah mereka mau bilang aku berandalan, aku cowok nggak punya masa depan, preman nggak beradab. Aku masa bodoh, Lan. Yang penting kamu. Kamu yang aku mau, Bulan.”
Beni benar-benar merasa tidak mau menyerah begitu saja. Semenjak pertemuannya dengan Bulan saat reuni SMA lebaran lalu, dia benar-benar jatuh hati. Rembulan Kusumaning Ayu, si cantik nan polos yang membuat Beni benar-benar tergila-gila.
“Jangan diam, Lan,” kata Beni lagi. Dia benar-benar berharap akan mendapatkan sambutan indah dari Bulan tentang perasaannya. Beni tidak peduli apa kata orang, asal Bulan mau dengannya, dia akan terjang apa pun rintangan yang ada. Termasuk, kalau harus membawa Bulan kabur.
Bulan masih belum merespons. Sejak Beni mendekatinya, sebenarnya Bulan merasa spesial. Bulan yang selama ini tidak peduli soal cinta karena sibuk untuk belajar, meraih prestasi, dan mengikuti tuntutan kedua orang tuanya, mulai goyah saat Beni mendekat. Namun, Bulan bimbang. Dia tak yakin kalau perasaannya pada Beni adalah cinta atau mungkin Bulan terlalu takut untuk menyebutnya cinta.
“Katakan kalau kamu mencintai aku juga, Lan! Aku akan berjuang sampai akhir kalau kamu juga mencintaiku.” Beni berucap dengan raut teduh sambil menatap Bulan lekat. Seorang Handarbeni Utomo yang hobi balapan liar dan nongkrong di kelab malam, terlihat seperti kucing manis di hadapan Bulan.
Cinta? Apa aku mencintai Kak Beni? Bulan bertanya dalam hati. Sungguh, Bulan bingung. Umurnya sudah lewat dua puluh tahun, tetapi sekali saja dia belum pernah menentukan jalan hidupnya sendiri termasuk menentukan kepada siapa hatinya jatuh. Lalu, sekarang pun, Bulan sepertinya akan tetap memilih untuk jadi anak penurut, mengikuti apa yang orang tuanya pilihkan.
“Bulan ...,” panggil Beni yang tak kunjung mendapatkan jawaban. Raut teduh Beni sudah sedikit berubah menjadi kesal. Tolonglah, Beni bukan sosok lelaki penyabar.
Akhirnya Bulan menggeleng. “Papa bilang, aku harus jauhin kamu karena kamu berandalan tidak bermasa depan, Kak Beni. Kakak juga sudah dengar sendiri kan, hari Sabtu lalu waktu Kakak ke rumah, papaku bicara apa? Jadi, maaf, tidak usah berharap lagi soal cinta.”
“Bulan ….”
“Cukup, Kak! Aku capek berdebat sama Papa dan Mama. Jangankan untuk berhubungan dengan Kak Beni, untuk bertemu begini saja kalau ketahuan Papa Mama juga pasti aku dimarahi.”
“Lan, aku akan berusaha. Asal kamu berkata iya, kamu berkata menerima cintaku, aku akan berubah. Aku bakal mencoba jadi lebih baik. Aku akan cari pekerjaan. Aku ….” Beni menghentikan ucapannya saat melihat Bulan bangkit dari kursi.
“Bulan,” panggil Beni masih dengan penuh harap.
“Sebaiknya Kak Beni pulang. Sudah malam dan sepertinya akan hujan.”
Beni bergeming. Dia masih duduk sambil menatap Bulan yang berusaha menghindarinya. Ada tatapan kecewa dari mata Beni. Dia sungguh-sungguh mencintai Bulan. Ini cinta pertamanya. Beni bahkan berniat berubah, tetapi apa yang dia dapat? Sepertinya niat tulusnya tidak mendapat balasan baik.
“Aku masuk ya. Terima kasih sudah mencintaiku. Maaf untuk semuanya. Jangan temui aku lagi,” ucap Bulan sebelum akhirnya berbalik, berjalan menuju pintu kamar kosnya.
Namun, saat Bulan baru saja membuka pintu kamarnya, Beni tiba-tiba mencekal lengan Bulan. Apa yang dilakukan Beni jelas membuat Bulan terkejut.
“Kak Beni, mau apa?” tanya Bulan dengan raut cemas. Dia takut. Apalagi raut Beni yang biasa menatapnya dengan lembut, kini berubah gelap.
“Kamu sombong, Bulan! Kamu dan orang tuamu sama sombongnya!” ucap Beni dengan penuh penekanan sambil merapatkan tubuhnya pada Bulan. Sejurus kemudian, Beni berhasil mendorong Bulan ke dalam kamar. Sambil tersenyum asimetris yang membuat aura gelapnya semakin jelas, Beni mengunci pintu kamar kos Bulan, lalu menutup tirai jendela.
Bulan jelas merasakan firasat buruk. Dia lalu beringsut mundur, berusaha menjaga jarak dari Beni, tetapi, sial, langkahnya justru menubruk tepian ranjang hingga dia jatuh terduduk di atasnya.
“Kalian para orang yang merasa terhormat dan sombong, harus tahu bagaimana kerasnya hidup jadi orang yang dipandang sebelah mata.”
“Kak Beni ....” Bulan memanggil lirih, masih berharap Beni tidak akan gelap mata. Meskipun Bulan tahu, Beni sedang dikuasai amarah.
“Papa kamu bilang, aku berandalan, kan?” tanya Beni, lalu kembali menyeringai asimetris. “Biar aku tunjukkan seberapa berandalnya aku.”
Air mata Bulan tentu saja langsung mengalir deras karena ketakutan. Apalagi Bulan melihat Beni mulai menanggalkan jaket dan kausnya. Bulan ingin lari, ingin menuju pintu lalu kabur, tetapi tubuhnya seolah terpaku di tempat karena rasa takut.
Tidak ada yang bisa Bulan lakukan selain menangis. Suaranya pun seolah hilang entah ke mana hingga dia bahkan tidak berteriak meminta pertolongan. Mungkin Bulan takut atau malah sudah pasrah karena mustahil untuk berharap bantuan dari tetangga kamarnya yang semua sedang pulang kampung kecuali Antika yang sekarang entah di mana.
Bagian atas Beni sudah polos. Bulan bahkan bisa melihat dengan jelas tato sayap burung yang tergambar di sepanjang dada atas hingga leher Beni. Merasa tidak pantas, Bulan berusaha memalingkan wajah agar tidak melihat apa yang ada di hadapannya.
Sementara itu, Beni justru menatap Bulan lekat dengan tatapan penuh nafsu yang menyeramkan. Beni bahkan juga sudah tidak peduli dengan tangis gadis yang katanya dia cintai itu.
“Jangan menangis, Bulan. Aku melakukan ini karena aku mencintaimu,” kata Beni sambil mengusap pipi Bulan yang basah karena air mata.
Bulan menggeleng kuat.
“Kamu mau ngomong sesuatu, Bulan sayang?” tanya Beni sambil mencengkeram rahang Bulan dengan jarinya.
“Aku mohon, jangan, Kak!”
Mendengar permohonan Bulan, Beni tersenyum. “Biar orang tuamu tahu bagaimana rasanya direndahkan, Sayang.” Beni mulai membuka perlahan kancing kemeja lengan pendek yang Bulan pakai.
“Please, jangan! Jangan begini, Kak.” Bulan memohon, tetapi Beni sudah tidak mau peduli lagi. “Maafin aku, maafin orang tuaku. Maaf, Kak, maaf.”
“Aku mencintaimu, tapi karena itu aku jadi seperti sampah yang rendah dan tak berharga.”
“Maaf, Kak.”
Beni menggeleng. “Aku terlanjur menginginkanmu untuk aku miliki walaupun harus dengan paksaan.”
Enam tahun yang laluTak kurang dari dua puluh orang berkumpul di sebuah gedung yang pembangunannya terbengkalai. Mereka yang mayoritas berjaket gelap itu memfokuskan pandangan pada lelaki bertubuh tinggi yang sedang berdiri berkacak pinggang. Dia, sosok paling mencolok di antara yang lain karena mengenakan flanel merah itu, berkata, "Gue harap siapa pun pelakunya, ngaku sekarang, sebelum gue repot-repot ngecek satu-satu tato di badan kalian karena kalau ternyata kalian terbukti bohongin gue, kalian bakal tahu akibatnya."Semua yang di sana diam. Beberapa saling menoleh lalu berbisik, beberapa menggeleng, meyakinkan bahwa mereka bukan pelaku yang dicari, dan beberapa yang lain hanya diam tertunduk karena takut akan ancaman pemimpin mereka meski mereka tak melakukan apa pun."Berkali-kali gue udah bilang, jangan recokin pembangunan fasilitas umum! Termasuk pasar. Mikir dong pakai otak! Sebagian kalian nyari duit di situ. Emang kalian nggak mau pasar jadi bagus, hah? Kalian mau pasar te
Mas Langit: Bulan, perasaanmu belum baikan ya? Maaf soal ketidakjujuranku tadi. Aku berangkat ke sekolah dulu ya.Mas Langit: Istriku yang cantik, apa perasaanmu sudah membaik? Ini aku sudah di sekolah. lagi ngawasi anak murid main voli.Mas Langit: Sudah ya sedihnya. Aku minta maaf sekali. Sedihmu bikin dedek bayi sedih juga. Ayo senyum lagi.Bulan meletakkan begitu saja ponselnya di meja. Dia belum berminat membalas rentetan chat dari sang suami. Tidak, dia tidak marah pada Langit karena Bulan justru sebal dengan dirinya sendiri yang tidak becus jadi istri. Langit terlalu baik. Bulan hanya ingin menjadi istri yang baik juga agar Langit bahagia.“Duaar!”Seseorang mengejutkan Bulan.“Bu Darti,” ucap Bulan setelah mendapati asisten rumah tangganya itu.“Ibu hamil jangan kebanyakan ngelamun nanti auranya nggak positif. Kasihan bayi dalam perut,” kata Bu Darti.Bulan tersenyum getir. “Lagi galau,” ucapnya.“Cantik-cantik kok galau. Kenapa sih, Bulan? Hidupmu udah enak. Wajah cantik, dui
Dengan sedikit ragu, Langit menepikan mobilnya di depan sebuah toko yang sudah tutup dan lampunya tak menyala. Dia sengaja memilih tempat itu agar keberadaannya tak mengundang kecurigaan.Dari jarak sekitar sepuluh meter, Langit bisa melihat sebuah warung bertuliskan Warung kopi Bagas Waras. Sebuah tempat yang sedari bertahun lalu menjadi tempat nongkrong anak-anak geng scorpio.Seseorang tiba-tiba mengetuk kaca jendela mobil Langit."Masuk," kata Langit setelah membuka pintu sebelah kirinya."Ini hasil print out yang Mas Bos minta," kata orang itu sambil mengulurkan kertas dokumen yang dibungkus plastik kepada Langit."Oh iya. Ini buat bayar ngeprintnya." Langit memberikan lembaran dua puluh ribuan."Nggak usah, Mas. Mana bisa gue nerima bayaran ngeprint dari orang yang beliin gue tiga unit komputer, dua printer, dan mesin potokopi, hmm?""Ya jangan gitu, Dis." Langit bersikeras memberikan uangnya. Namun, Yudis tetap menggeleng."Oke, semoga rejeki lo makin lancar. Usaha cetak dan fo
"Saya tegaskan sekali lagi. Ini anak saya. Anak Bulan adalah anak saya. Jadi, jangan pernah kamu mengganggu dia lagi."“Aaargh, bangsat!” Beni mengumpat sambil melempar kaleng minuman kosong yang sejak tadi digenggamnya setelah isinya tandas."Eh, Anjing! Itu kaleng kalau kena jidat pelanggan gue gimana? Mau matiin warung gue, lo?" Seorang lelaki dengan kaus bergambar tengkorak, bertanya dengan nada sebal."Kasih gue sekaleng bir lagi," kata Beni alih-alih menanggapi kekesalan pemilik warung.Dengan masih cemberut si pemilik warung memberikan sekaleng bir dari dalam kulkas kepada Beni. "Ini bir nol alkohol. Mau lo minum satu tanki juga nggak bakalan mabok. Beli ciu sana kalau otak lo lagi budrek!""Masih sore, bangsat! Ntar kalau udah gelap gue mabok," kata Beni lalu membuka kaleng bir itu dan meminumnya."Lo lagi kenapa sih? Nggak jelas amat."Beni tersenyum kecut. "Hidup gue emang nggak pernah jelas, Gas.""Iya juga sih," ucap Bagas si pemilik warung. Dia lanjut menata piring berisi
Segelas susu hangat, Langit letakkan di atas karpet di dekat Bulan yang kini duduk serius menatap laptop. Aah tidak, mode serius Bulan langsung terganggu saat aroma sabun yang maskulin menggelitik indera penciumannya.“Mas, udah?” Ucapnya.Langit mengangguk. “Diminum dulu susunya.““Nanti.”“Bulan, minum susu dulu.”Bulan menggeleng. Dia lalu menggeser posisi laptopnya dan berganti menatap Langit dengan serius. “Mas pasti marah ya?” Ucapnya.“Kata siapa?”“Kataku.”“Dan itu nggak bener.”Bulan mengerucutkan bibir. “Mas, Mas Langit jangan marah ya. Please. Aku bakal jelasin semuanya. Aku ….”“Aku nggak marah, Bulan,” potong Langit.“Beneran?”Langit mengangguk. “Orang marah nggak mungkin bikinin kamu susu.”Bulan langsung nyengir. “Iya juga sih. Tapi … Aku tetep aja nggak enak. Kehadiran Kak Beni pasti mengusik Mas Langit, kan?”Langit mengangguk jujur.“Maaf,” ucap Bulan.“Aku benci ucapan dia yang merendahkan kamu. Kesel banget rasanya. Sampai aku harus mandi dulu biar otakku nggak m
Dengan laptop di atas meja lipat, Bulan duduk di atas karpet sambil menyandarkan punggungnya di dinding. Ahh tulang belakangnya memang sudah mulai rewel belakangan ini. Mungkin karena beban perutnya semakin berat. Apalagi setelah dia tahu kalau Bu Darti hari ini tidak datang, Bulan memutuskan untuk melakukan sendiri pekerjaan rumah tangga, jadilah punggungnya makin sakit.“Oke, mari kita nyalakan laptop. Istirahat sudah cukup,” gumam Bulan sendirian. Dia menyalakan laptop dua belas incinya, kemudian mengakses laman akademik kampus untuk mengurus cuti kuliah seperti yang Langit sarankan.“Oh, ternyata pakai surat pernyataan sama scan kartu mahasiswa juga. Oke, mari kita buat dulu,” gumam Bulan lagi.Lalu, baru saja dia hendak mulai menulis surat pernyataan, suara ketukan pintu depan terdengar dari ruang tengah tempatnya berada saat ini.“Mas Langit? Masa iya, udah pulang?” Gumam Bulan sembari bangkit dari duduknya kemudian melangkah menuju pintu.Seketika Bulan terperangah saat mendapa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments