Suara dering ponsel yang terus terdengar akhirnya membuat Bulan tersadar perlahan dari tidurnya yang lelap. Bulan yang masih berusaha menyesuaikan matanya dengan cahaya, mencoba meraba ponselnya di meja dekat tempat tidur.
“Hmm … halo,” sapanya dengan suara malas.
“Lan.”
“Mama!” Mata Bulan langsung melebar sempurna.
“Gimana? Kamu bisa tidur di rumah Langit?”
“Rumah Lang-it…” Bulan akhirnya tersadar dirinya kini berada di rumah siapa. Astaga! Bagaimana bisa dia lupa jika sejak kemarin, statusnya sudah berubah menjadi seorang istri.
“Ma, ini jam berapa?” tanya Bulan. Dia menjauhkan ponselnya dari telinga dan melihat sendiri jam digital di sana.
“Astaga!” pekik Bulan.
“Kenapa, Lan?”
“Bulan kesiangan! Nanti Bulan telepon lagi.” Setelah mengucapkan itu, Bulan langsung menutup panggilan sang mama lalu buru-buru turun dari ranjang.
Mampus! Apa kata suami gue kalau istrinya kebo banget, baru bangun jam segini? batin Bulan. Dia menyisir rambutnya dengan tangan sambil bercermin sekilas lalu keluar dari kamar.
“Pagi, Bulan.” Langit langsung menyapanya saat Bulan akhirnya menemukan lelaki itu di meja makan. Bersamaan dengan itu, Bulan mencium aroma telur goreng dan bau cabai selesai ditumis.
“Mas, maaf. Saya … kesiangan. Saya … bikinin kopi ….” Bulan tidak melanjutkan kalimatnya karena dia sudah melihat sebuah mug hitam di hadapan Langit. Lelaki itu bahkan sudah rapi dengan kaus kerah lengan panjang.
Melihat sang istri linglung, Langit pun bangkit dari duduknya lalu mendekati Bulan. Dia menarik kursi kemudian menarik tangan Bulan pelan, membimbingnya untuk duduk.
“Ibu hamil nggak usah mikirin bikin kopi atau sarapan ya. Ayo sekarang kamu duduk, kita sarapan sama-sama,” kata Langit.
Bulan masih terdiam. Jujur saja, dia tersanjung dengan sikap Langit yang memahaminya tapi di sisi lain, dia juga malu sekali.
“Ayo Bulan, makan. Jangan sampai si dedek kelaparan,” kata Langit yang sudah kembali duduk di kursi yang berhadapan dengan Bulan.
Meski ragu dan canggung, Bulan pun akhirnya mengambil nasi. Dia melihat telur ceplok dan tumis kacang panjang tersaji untuk sarapannya.
“I-ini … siapa yang masak, Mas?” tanya Bulan.
“Saya.”
Jawaban singkat Langit membuat gerakan tangan Bulan yang sedang mengambil tumis kacang panjang pun terhenti sesaat.
“Serius?”
Langit mengangguk. “Nggak percaya ya?”
Bulan pun meringis sebagai jawaban.
“Saya sudah bertahun-tahun hidup sendiri. Kalau nggak bisa masak, ya gimana mau ngisi perut?”
“Iya juga sih. Tapi memangnya, Mas nggak tinggal sama Pak Pramono? Maksud saya … setelah beliau mencari Mas Langit.”
Langit menggeleng. “Saya memutuskan tetap tinggal berdua sama ibu saya meskipun waktu itu, Ayah minta saya ikut sama dia.”
“Terus ibu kandung Mas Langit sekarang?”
“Sudah meninggal waktu saya baru lulus SMA.” Raut Langit langsung berubah.
“Maaf, Mas.”
“Nggak papa. Kamu memang sudah seharusnya tahu,” kata Langit. Dia mencoba tersenyum meskipun terlihat sekali ekspresi sedih yang tak bisa ditutupi.
Mencoba kembali mencairkan suasana, Bulan tiba-tiba berkata, “Ini enak!” Dia memuji masakan Langit yang memang benar-benar enak.
“Harusnya makin enak kalau ada ikan terinya, tapi lagi kehabisan,” kata Langit.
“Kalau masakannya enak begini, jadi sungkan deh.”
“Sungkan kenapa, Bulan?”
“Sungkan kalau ketahuan saya makannya banyak.”
Langit langsung terkekeh. “Nggak papa. Kan kamu makan buat dua orang. Yang banyak. Habiskan, nanti saya masak lagi atau beli pas pulang sekolah,” kata Langit.
“Oiya, biasanya sekitar jam sembilan, ada ibu-ibu yang datang ke rumah buat beberes, nyuci, setrika, sama bawain belanjaan dari pasar. Namanya Bu Darti. Dia bawa kunci rumah pintu samping. Kamu nanti bilang aja kalau kamu istri saya,” jelas Langit.
“Kalau beberes rumah dan semua udah dikerjain, saya ngapain, Mas?”
“Kenapa? Memangnya kamu mau beberes sendiri? Ck. masa iya putri tunggal Pak Herdi dan Bu Inaya, beberes rumah?”
“Ya … nggak gitu. Kan saya ….”
“Di rumah orang tuamu, kamu tuan putri. Terus saya bawa kamu ke sini, buat saya jadiin ratu, bukan pembantu.”
Bulan langsung menggigit bibir saat mendengar ucapan Langit.
Gombal nggak sih dia? Pagi-pagi udah bikin baper ibu hamil aja, batin Bulan.
“Ya udah, saya harus berangkat sekolah sekarang. Maklum, guru olahraga harus datang pagi dan Pesantren Al Huda on the way nya aja hampir sejam,” kata Langit.
“Oh iya, Mas. Bawaan ke sekolah, udah disiapin? Biasanya bawa apa?” Tanya Bulan.
Langit tersenyum. Dia lalu mengangkat peluit yang tergantung bersama kunci motornya.
“Modal guru olahraga,” katanya. “Sama bawa hape terus dompet. Udah saya sakuin semua, beres.”
“Oh, iya.” Bulan tersenyum. Sekarang, dia jadi bingung sendiri harus apa karena Langit kelewat mandiri sebagai suami.
Namun, akhirnya, Bulan menemukan sesuatu.
“Belum semua disakuin, Mas,” katanya. Bulan lalu mengambil sebuah tanda pengenal guru berlogo Madrasah Aliyah Al Huda yang tergeletak di ujung meja makan.
“Nih.” Bulan pun mengulurkan benda itu untuk Langit.
Langit tersenyum. Dia lalu mengalungkan kartu pengenal itu di lehernya.
“Yakin, udah nggak ada yang kelupaan lagi?” tanya Bulan memastikan.
“Iya, insyaallah,” jawab Langit. “Saya naik motor ke sekolah biar enggak macet. Kunci mobil ada di atas kulkas misal kamu pengen pergi keluar, tapi kalau boleh saya saranin, lebih baik perginya tunggu saya pulang biar kamu nggak perlu nyetir sendiri. Takutnya kamu kecapekan.”
“Iya, Mas. Saya di rumah aja kok. Mager ke mana-mana. lagian saya belum tahu juga daerah sini. Nanti malah nyasar,” kata Bulan.
“Oke, saya berangkat dulu. Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam,” jawab Bulan.
Lalu, saat Langit sudah meninggalkan meja makan, Bulan memanggil, “Mas Langit, sebentar.”
Bulan beranjak kemudian mendekati Langit yang sudah sampai di depan pintu rumah.
“Kenapa, Lan?”
“Ma-mau … salim?” Bulan berucap sambil tertunduk malu. Dia yang salah tingkah, menyelipkan rambutnya ke belakang telinga lalu mengulurkan tangannya kepada Langit.
“Ah Iya. Gimana sih saya ini? Udah punya istri harusnya salim sama cium kening dia dulu sebelum pergi biar kerja makin berkah,” kata Langit. Dia menyambut tangan Bulan, membiarkan Bulan mengecup punggung tangannya.
“Hati-hati ya, Mas.”
Langit mengangguk. “Kalau ada apa-apa, kabarin. Kalau mau nitip apa, kamu pengin makan apa, chat aja atau telepon.”
“Tapi … saya belum punya nomor hape Mas Langit.”
“Astagfirullahal'adzim. Jadi kita belum tukeran nomor hape? Ya Allah, suami istri macam apa sih kita ini?”
Langit dan Bulan lalu tertawa bersamaan.
“Ya sudah, tulis nomor kamu, nanti saya chat.” Langit mengulurkan ponselnya.
“Simpen sekalian pakai nama … eum … istriku,” kata Langit lagi.
“Sudah, Mas.” Bulan mengulurkan ponsel Langit kembali.
“Oke.” Langit pun melangkah pergi.
“Kan ketinggalan lagi!” Dia yang sudah memakai helm, kembali lagi.
“Ada apa, Mas?”
Pertanyaan Bulan tidak dijawab karena Langit hanya mengecup keningnya dengan cepat kemudian langsung pergi lagi tanpa peduli dengan Bulan yang terkejut akan sikap manisnya.
"Saya tegaskan sekali lagi. Ini anak saya. Anak Bulan adalah anak saya. Jadi, jangan pernah kamu mengganggu dia lagi."“Aaargh, bangsat!” Beni mengumpat sambil melempar kaleng minuman kosong yang sejak tadi digenggamnya setelah isinya tandas."Eh, Anjing! Itu kaleng kalau kena jidat pelanggan gue gimana? Mau matiin warung gue, lo?" Seorang lelaki dengan kaus bergambar tengkorak, bertanya dengan nada sebal."Kasih gue sekaleng bir lagi," kata Beni alih-alih menanggapi kekesalan pemilik warung.Dengan masih cemberut si pemilik warung memberikan sekaleng bir dari dalam kulkas kepada Beni. "Ini bir nol alkohol. Mau lo minum satu tanki juga nggak bakalan mabok. Beli ciu sana kalau otak lo lagi budrek!""Masih sore, bangsat! Ntar kalau udah gelap gue mabok," kata Beni lalu membuka kaleng bir itu dan meminumnya."Lo lagi kenapa sih? Nggak jelas amat."Beni tersenyum kecut. "Hidup gue emang nggak pernah jelas, Gas.""Iya juga sih," ucap Bagas si pemilik warung. Dia lanjut menata piring berisi
Segelas susu hangat, Langit letakkan di atas karpet di dekat Bulan yang kini duduk serius menatap laptop. Aah tidak, mode serius Bulan langsung terganggu saat aroma sabun yang maskulin menggelitik indera penciumannya.“Mas, udah?” Ucapnya.Langit mengangguk. “Diminum dulu susunya.““Nanti.”“Bulan, minum susu dulu.”Bulan menggeleng. Dia lalu menggeser posisi laptopnya dan berganti menatap Langit dengan serius. “Mas pasti marah ya?” Ucapnya.“Kata siapa?”“Kataku.”“Dan itu nggak bener.”Bulan mengerucutkan bibir. “Mas, Mas Langit jangan marah ya. Please. Aku bakal jelasin semuanya. Aku ….”“Aku nggak marah, Bulan,” potong Langit.“Beneran?”Langit mengangguk. “Orang marah nggak mungkin bikinin kamu susu.”Bulan langsung nyengir. “Iya juga sih. Tapi … Aku tetep aja nggak enak. Kehadiran Kak Beni pasti mengusik Mas Langit, kan?”Langit mengangguk jujur.“Maaf,” ucap Bulan.“Aku benci ucapan dia yang merendahkan kamu. Kesel banget rasanya. Sampai aku harus mandi dulu biar otakku nggak m
Dengan laptop di atas meja lipat, Bulan duduk di atas karpet sambil menyandarkan punggungnya di dinding. Ahh tulang belakangnya memang sudah mulai rewel belakangan ini. Mungkin karena beban perutnya semakin berat. Apalagi setelah dia tahu kalau Bu Darti hari ini tidak datang, Bulan memutuskan untuk melakukan sendiri pekerjaan rumah tangga, jadilah punggungnya makin sakit.“Oke, mari kita nyalakan laptop. Istirahat sudah cukup,” gumam Bulan sendirian. Dia menyalakan laptop dua belas incinya, kemudian mengakses laman akademik kampus untuk mengurus cuti kuliah seperti yang Langit sarankan.“Oh, ternyata pakai surat pernyataan sama scan kartu mahasiswa juga. Oke, mari kita buat dulu,” gumam Bulan lagi.Lalu, baru saja dia hendak mulai menulis surat pernyataan, suara ketukan pintu depan terdengar dari ruang tengah tempatnya berada saat ini.“Mas Langit? Masa iya, udah pulang?” Gumam Bulan sembari bangkit dari duduknya kemudian melangkah menuju pintu.Seketika Bulan terperangah saat mendapa
"Kak Sinta mau pergi?" tanya Laili Atika saat melihat seniornya di kos keluar kamar dengan baju rapi. "Iya, ada janji sama teman sebelum ke kampus," jawab Sinta. Dia yang katanya mau pergi, malah ikut duduk bersama Laili di teras kamar Bulan yang mulai berdebu karena ditinggal pemiliknya."Soal Bulan ... kemarin sore, aku udah telpon dia," kata Sinta."Terus, apa kata Bulan, Kak?" tanya Laili."“Perasaan aku kok nggak enak ya, Lai,” kata Sinta. “Bulan nggak menjelaskan apa pun soal laki-laki itu.”“Tapi, selama ini kita nggak pernah lihat Bulan punya pacar kan, Kak? Dia juga nggak pernah keliatan teleponan sama cowok. Apalagi pergi kencan. Itu cowok palingan ngaku-ngaku deh, Kak,” kata Laili.“Ngaku-ngaku gimana, maksud kamu, Lai?”“Ya kan sekarang musim penipuan, Kak. Mungkin orang tadi tahu kalau anak kos sini, namanya Bulan adalah anak orang kaya. Terus dia sok kenal biar kita percaya terus ujungnya nipu,” jelas Laili.“Iya sih. Bisa juga gitu.” Sinta mencoba setuju dengan pendapa
Informasi mengenai seorang lelaki bernama Handarbeni Utomo yang diberikan oleh Darti, jelas membuat Langit was-was soal Bulan. Selain khawatir, Langit juga jadi bertanya-tanya mengenai hubungan lelaki itu dengan Bulan sebenarnya.Sedikit ragu, Langit mengetuk kamar Bulan sambil memanggil, “Lan, boleh masuk?”“Iya, Mas. Masuk aja,” sahut Bulan dari dalam.Saat masuk, Langit mendapati sang istri sedang memegang ponsel.“Habis teleponan?” tanya Langit.“Iya, Mas. Tadi … Mbak Sinta telepon.”“Sinta?”“Itu temen kos. Nanyain kabar sama nanya kapan saya ke kosan. Soalnya barang-barang saya kan masih di sana. Terus, kuliah juga saya tinggal gitu aja,” kata Bulan. Ada guratan kesedihan yang Langit lihat saat Bulan menjelaskan mengenai kuliahnya.“Memangnya, rencanamu bagaimana soal kuliah?” Tanya Langit. Dia duduk di sebelah Bulan.Bulan terdiam sesaat sebelum kemudian menggeleng. “Nggak tau. Saya nggak berani berencana apa pun setelah semua yang terjadi.”“Boleh kasih saran?”Bulan menganggu
Tidak, Bulan tidak bermaksud menolak mentah-mentah permintaan ciuman dari suaminya, tapi ini sudah tidak bisa ditahan. Bulan sudah tidak kuat lagi. Dia harus segera pergi ke kamar mandi sebelum semua kacau karena isi perutnya memberontak ingin keluar.“Kamu baik-baik aja?” tanya Langit. Dia pikir tadi dia ditolak Bulan, tapi setelah dia mendengar suara Bulan muntah, Langit sontak panik dan langsung menyusul Bulan ke kamar mandi.“Beneran keluar semua makanan sama susunya tadi,” kata Bulan. Dia menyeka dagu dan mulutnya sambil keluar dari kamar mandi.Langit yang melihat itu langsung meraih kotak tisu di atas kulkas. Dia lalu mengusap sekitar mulut Bulan.“Lain kali jangan buru-buru lagi makan sama minum susunya,” kata Langit sambil mas