“Ibu, kenapa akte kelahiranku beda sama teman-teman, Bu? Di akte teman-temanku, semua tulisannya ada nama ayah sama ibunya, tapi punyaku, cuma ada nama ibu. Memang benar ya kalau aku nggak punya ayah?”
“Langit, kamu nggak boleh ngomong gitu. Setiap anak pasti punya ayah. Suatu saat, ayah kamu pasti datang.”
“Ibu bohong! Ibu selalu bilang begitu dari dulu tapi apa? Sampai aku sudah mau lulus SD, aku nggak pernah lihat ayah. Bahkan namanya saja aku tidak tahu, Bu.”
“Langit, ayah kamu itu orang hebat, Nak. Dia sibuk. Kamu sabar ya.”
“Siapa namanya, Bu?”
“Namanya ….”
“Langit, penghulu sudah datang.” Ucapan sang ayah menyadarkan Langit dari lamunan tentang masa kecilnya.
“Oh ya. Sebentar. Langit pakai peci dulu,” kata Langit. Dia kemudian menatap cermin sembari memakai peci abu-abu senada dengan pakaian yang dia kenakan.
“Duh! Anak ayah ganteng sekali. Jadi ingat waktu Ayah muda. Ck, benar kata orang-orang kalau kamu versi 2.0 dari Ayah,” kata Pramono.
Mendengar itu, Langit tersenyum getir. “Wajah boleh mirip, tapi sikapku bukan cara bersikap Ayah di masa muda,” ucapnya.
Pramono langsung tertohok. Dia menutup rapat mulutnya tak berkomentar soal ucapan Langit.
“Semoga ijab kabulmu lancar, Nak. Ayah doakan niat baikmu benar-benar menjadi jalan terbaik,” kata Pramono setelah melihat Langit benar-benar siap.
Langit mengangguk. Di tengah rasa gugup yang luar biasa, dia melafalkan doa dalam hatinya untuk keputusan besar yang akan mengubah hidupnya hari ini.
***
“Saya terima nikah dan kawinnya Rembulan Kusumaning Ayu binti Herdi Suseno dengan mas kawin yang tersebut dibayar tunai.”
Bulan jelas mendengar kalimat penerimaan ijab kabul yang dengan lantang Langit ucapkan. Bersamaan dengan itu, Bulan pun meremas telapak tangannya sendiri yang sejak tadi terasa dingin.
Bulan jelas tahu, setelah kalimat yang tadi Langit ucapkan dan disahuti oleh seruan sah dari para saksi dan hadirin, dirinya bukan lagi seorang yang sendirian. Bulan sudah jadi istri Langit. Dia dan laki-laki itu terikat seumur hidup.
“Udah sah, Mbak. Sekarang, udah bisa senyum ya. Udah nggak gugup lagi,” ucap penata rias yang sejak tadi bersama Bulan di sebuah ruangan yang terhubung langsung dengan Masjid Pesantren Al Huda, tempat Langit dan Bulan melakukan akad nikah.
Bulan tersenyum kecil menanggapi ucapan penata riasnya. Dia paham, orang lain tidak tahu apa yang sedang menimpanya. Orang lain juga tidak tahu bahwa kegugupan Bulan justru baru dimulai setelah kata sah itu tersemat untuk dirinya dan Langit.
Habis ini, gue bahkan nggak kebayang mau hidup seperti apa sama Pak Langit. Dia orang asing yang nggak bisa gue pahami alasannya nikahin gue. Apa iya gue bisa hidup bersama dia seumur hidup? Apa gue nanti akan menemukan bahagia? atau … memang rasa bahagia udah nggak akan gue dapetin lagi? batin Bulan.
“Lan, ayo! Sudah waktunya kamu keluar.” Inaya pun muncul menghampiri putrinya.
“Senyum ya, Mbak. Biar cantiknya makin kelihatan,” kata penata rias yang membantu Bulan berdiri lalu merapikan posisi kebayanya.
“Ayo jalan masuk ke ruang utama masjid. Suamimu sudah menunggu di sana,” kata Inaya. Dia pun menggandeng Bulan menuju lokasi akad.
Saat Bulan sudah terlihat, semua orang di masjid langsung berdiri menyambutnya. Semua yang di sana tersenyum. Tidak terkecuali Langit yang dalam hatinya memuji kecantikan perempuan yang kini sudah sah menjadi istrinya itu.
“Istri saya cantik sekali,” puji langit dengan suara lirih saat Bulan sudah berdiri di sisinya.
Bulan tersenyum. Dia sekarang dalam belenggu rasa gugup, salah tingkah, dan malu.
“Yuk salaman dulu ya. Kita ambil fotonya!” seru seorang fotografer.
Langit mengangguk. Dia pun mengulurkan tangannya kepada Bulan. Lalu dengan sangat canggung, Bulan meraih tangan Langit lalu menciumnya.
Tanpa permisi, air mata Bulan pun menetes. Ini air mata kesedihan ahh tapi … tidak. Bulan tidak seharusnya merasa sedih karena tak ada yang perlu ditangisi. Apalagi, saat Bulan mendongak mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan tatapan Langit yang begitu lembut. Lelaki itu bahkan menyeka air mata Bulan dengan ibu jarinya.
“Terima kasih sudah menikahi saya,” ucap Bulan lirih lalu dia menyambut sebuah kecupan dari Langit puncak kepalanya.
***
“BULAAAAAANNN!!!”
Seruan itu membuat Bulan berjengkit kaget setelah sebuah panggilan video dari Sinta, dia terima. Bulan bahkan langsung melirik Langit yang sedang mengemudikan mobil karena takut, teriakan teman-teman kosnya mengganggu konsentrasi sang suami.
“Maaf ya, berisik,” kata Bulan.
“Nggak papa, Bulan. Santai saja,” kata Langit.
Bulan lalu kembali menaruh perhatian pada layar ponselnya yang menampakkan wajah Sinta, Laili, dan Antika.
“Bulan, kamu tega banget! Bisa-bisanya kita tahu kamu nikah dari i***a story mama kamu? Untung aja aku sempat follow beliau, kalau enggak? Pasti aku nggak bakalan tahu kalau kamu nikah,” kata Sinta.
Belum menanggapi protes dari Sinta, Bulan justru menghela napas. Dia heran, mengapa Mamanya malah memajang pernikahan Bulan di sosial media? Bukankah ini harusnya dirahasiakan? Atau … Sang mama justru bangga karena berbesan dengan Pramono Susetyo yang merupakan seorang pengacara.
“Kamu nggak ngundang kita, tahu-tahu hilang nggak ke kosan berhari-hari, eh taunya nikah.” Antika ikut mengomel.
“Iya, Bulan. Iiih jahat banget!” Laili pun menambahi.
“Maaf ya semuanya, tapi emang nggak ada acara apa-apa, cuma akad aja sederhana di masjid,” kata Bulan.
“Ya tapi harusnya tetep ngabari, Bulan. Apalagi selama kita satu kos, kamu nggak pernah tuh ada tanda-tanda punya pacar atau lagi deket sama cowok. Beda deh sama si bocah satu ini!” Sinta mengarahkan kamera ponselnya kepada Antika. Yang tersorot pun langsung nyengir.
“Eh, Lan! Mana suamimu? Sini lihat!” tanya Antika.
“Kan, katanya udah pada lihat foto di story mamaku di i*******m. Ya udah, itu suamiku,” kata Bulan. Dia meringis salah tingkah sambil sekilas, dia melirik Langit yang sedang berkonsentrasi menyetir.
“Itu fotonya enggak jelas, Bulan! Kita butuh penampakan wajah yang sejelas-jelasnya,” kata Laili.
“Betul!” Antika menyahut.
“Ta-tapi ….” Bulan yang ragu, malah dikejutkan dengan sikap Langit yang langsung mengambil alih ponsel Bulan lalu mengarahkan kamera depan pada dirinya.
“Halo, teman-temannya Bulan. Salam kenal dari saya ya,” ucap Langit. “Tapi maaf, ini lagi nyetir, jadi nggak bisa ikut nimbrung.”
Setelah mengatakan itu, Langit mengembalikan ponsel kepada Bulan. “Ini, Sayang,” ucapnya.
“Uwoowww! Sayang euyy! ck. Pengantin baru emang vibesnya beda ya,” ledek Laili. “Anyway, kamu kenapa sih kok nikah muda?”
“Kamu nggak hamil duluan kan, Lan?”
Pertanyaan Antika langsung membuat Bulan panik. Namun, untung saja, Sinta menenangkan suasana.
“Nggak mungkin si Bulan hamil! Emangnya kamu, bawa laki ke kosan mulu? Bulan aja nggak kelihatan punya pacar. Dia pasti nikahnya taaruf jadi halal baru pacaran, ya kan, Lan?”
Bulan meringis saja sebagai jawaban. Sementara hatinya membatin miris, Kalian enggak tahu aja kalau gue emang beneran hamil.
Tanpa Bulan duga, diam-diam, Langit yang mendengar pertanyaan Antika ituMengul, mengulurkan tangan untuk mengusap bahu Bulan seolah sedang menguatkan.
“Udah ah. Kalian denger kan kata suamiku tadi, kita lagi di jalan jadi, udahan aja ya video call nya?” kata Bulan akhirnya. Dia harus segera menyudahi percakapan telepon ini sebelum makin banyak pertanyaan dari teman-teman kosnya.
“Halah, bilang aja pengantin baru enggak mau diganggu,” kata Antika.
“Ya udah, nggak papa. Selamat berbahagia, Bulan. Salam sayang dari Bandung. See you,” ucap Sinta.
Bulan pun melambaikan tangannya lalu menyudahi panggilan. Setelah menyimpan kembali ponselnya di tas, Bulan dengan sedikit gugup berkata, “Makasih ya, Pak Langit.”
“Makasih buat apa?” tanya Langit sambil membelokkan kemudi.
“Ya … tadi teman-teman saya ….”
“Mereka nanyain suami kamu. Saya suami kamu, jadi ya nggak ada yang salah, kan?” kata Langit.
Bulan pun mengangguk membenarkan. “Tapi, ini masih berasa aneh, canggung, dan … asing.”
Langit tersenyum. Dia lalu menghentikan mobil karena lampu merah. Setelah itu, Langit menatap Bulan.
“Yang asing akan menjadi dekat, seperti yang dekat akan menjadi asing, Bulan,” ucapnya. Langit kemudian meraih tangan Bulan lalu menggenggamnya.
“Kita akan menjalani ini seumur hidup, bukan sehari dua hari, jadi mari membiasakan diri,” lanjut Langit.
Bulan mengangguk meskipun agak ragu. “Ya, saya … akan coba.”
“Satu hal lagi, Lan.”
“Apa?”
“Mau sampai kapan kamu memanggil Pak pada suamimu sendiri?” tanya Langit. Dia kembali memegang kemudi karena lampu segera hijau. “Saya jadi berasa nikahin murid sekolahan.”
“Ya, kan umur saya emang nggak beda jauh sama murid-murid, Pak Langit.”
“Gitu? Ahh ya sudahlah! Terserah kamu nyamannya bagaimana,” kata Langit. Nadanya terdengar seperti orang meajuk.
Bulan yang melihat ekspresi sang suami langsung terkekeh geli. “Diih, bocah banget! Gitu aja merajuk,” katanya.
“Enggak. Siapa yang merajuk?” Langit melirik Bulan sekilas lalu membuang muka lagi.
Bulan makin terkekeh. “Iya iya, Mas Langit. Jangan ngambek gitu dong! Masa udah sedewasa ini masih ngambekan?”
Langit langsung tersenyum. Ada debaran tak biasa saat dia mendengar panggilan itu dari mulut Bulan.
Gemas, Langit pun mengusap puncak kepala istrinya itu.
“Kamu mau langsung pulang ke rumah, atau mau mampir ke satu tempat dulu?” tanya Langit kemudian.
“Langsung ke rumah saja. Saya … nggak kuat kalau harus jalan lama lagi. Kaki saya mulai bengkak,” kata Bulan.
“Oke, sampai di rumah, biar barang-barang kamu saya yang bereskan. Kamu nanti istirahat saja.”
“Eng-nggak usah, Mas. Jadi ngerepotin nanti,” tolak Bulan.
“Ngelawan kemauan suami dosa, Bulan.”
“Ta-tapi ….”
“Istirahat saja biar saya yang beberes, oke?”“Eum … o-oke, Mas,” kata Bulan akhirnya.
Namun, detik berikutnya, Langit justru terbahak.
“Kenapa Mas Langit ketawa?” Tanya Bulan.
“Kamu tu lucu banget. Masa iya langsung nurut gitu aja? Ekspresi kamu juga kayak patuh banget.”
“Ya, kan kata Mas Langit, ngelawan suami dosa.”
“Tapi kamu boleh berpendapat juga, Bulan. Lagi pula, ini cuma soal beberes barang bawaan kamu. Kalau kamu enggak nyaman saya bantu bereskan, ya kamu tetap boleh menolak,” kata Langit.
“Beneran nggak papa kalau saya nolak?”
“Ya nggak papa. Memangnya kenapa? Kamu bebas berpendapat, bahkan menolak.”
“Tapi … saya nggak biasa berpendapat apalagi menolak, Mas. Karena … di rumah, keputusan Mama dan Papa selalu mutlak. Saya cuma bisa nurut.”
“Berarti. Kita memang jodoh,” ucap Langit.
“Maksudnya?”
“Ya, karena kamu si penurut sementara saya adalah pembangkang.”
Bulan langsung mengernyit. Dia bahkan menoleh kepada Langit. “Masa iya? Tapi … yang saya lihat … Mas Langit nggak begitu,” kata Bulan.
Langit menoleh sekilas. Dia masih mendapati Bulan melihat ke arahnya.
“Memangnya saya seperti apa, Bulan?” tanya Langit.
Mendengar pernyataan itu … Bulan langsung menggigit bibir. Dia menelusuri raut laki-laki yang kini sudah jadi suaminya itu. Namun, dia tidak mendapat jawaban karena Langit seperti menyimpan sesuatu.
Merasa diperhatikan oleh Bulan, Langit menoleh lalu tersenyum. Dia pun membatin. Kamu baru melihat permukaan diriku, Bulan. Nanti, saat sisi terdalamku terungkap, semoga kamu tetap mau menjadi istriku karena hidupku sesungguhnya memiliki banyak sisi gelap.
“Bulan, bagaimanapun saya, semoga kamu tetap betah untuk bertahan,” kata Langit setelah beberapa saat.
Bulan tersenyum saja menanggapi ucapan Langit sembari membatin, Kamu ini sebenarnya siapa, Mas? Niatmu apa? Kenapa kamu begitu mantap menikahiku bahkan menginginkan selamanya?
“Ibu, kenapa akte kelahiranku beda sama teman-teman, Bu? Di akte teman-temanku, semua tulisannya ada nama ayah sama ibunya, tapi punyaku, cuma ada nama ibu. Memang benar ya kalau aku nggak punya ayah?”“Langit, kamu nggak boleh ngomong gitu. Setiap anak pasti punya ayah. Suatu saat, ayah kamu pasti datang.”“Ibu bohong! Ibu selalu bilang begitu dari dulu tapi apa? Sampai aku sudah mau lulus SD, aku nggak pernah lihat ayah. Bahkan namanya saja aku tidak tahu, Bu.”“Langit, ayah kamu itu orang hebat, Nak. Dia sibuk. Kamu sabar ya.”“Siapa namanya, Bu?”“Namanya ….”“Langit, penghulu sudah datang.” Ucapan sang ayah menyadarkan Langit dari lamunan tentang masa kecilnya.“Oh ya. Sebentar. Langit pakai peci dulu,” kata Langit. Dia kemudian menatap cermin sembari memakai peci abu-abu senada dengan pakaian yang dia kenakan.“Duh! Anak ayah ganteng sekali. Jadi ingat waktu Ayah muda. Ck, benar kata orang-orang kalau kamu versi 2.0 dari Ayah,” kata Pramono.Mendengar itu, Langit tersenyum getir
Laki-laki berbalut kemeja batik lengan panjang itu turun dari mobil SUV putih. Untuk sesaat, lelaki itu menatap bangunan rumah dua lantai bernuansa putih dan krem di hadapannya sampai akhirnya, bahunya ditepuk. “Deg-degan?” Lelaki berkemeja batik tadi pun tersenyum saja tanpa menjawab. “Kyai Rais nggak usah tanya. Sudah jelas dia kelihatan gugup sekali.” Seorang pria paruh baya menyahut. “Ayah ngeledek aku?” “Kenapa? Kamu salah tingkah ya? Ck, tarik napas dalam-dalam ya. Ayah tahu ini keputusan besar, Nak, tapi kalau kamu sudah yakin, insyaallah semua akan berjalan baik.” “Aamiin.” “Ayah kamu benar, Langit. Keyakinan kamu beriring dengan niat baikmu. Insyaallah, akan dimudahkan,” tambah Kyai Rais. “Tapi, Langit ragu, Ayah, Kyai,” ungkap Langit. “Kenapa?” “Apa iya dia benar-benar mau sama bujang tua seperti Langit?” Belum sempat Kyai Rais dan ayahnya menjawab, seseorang yang muncul dari balik pintu rumah, berseru, “Pak Pram, Kyai Rais, Nak Langit, ayo masuk!” “Masyaallah,
Tangan Bulan bergetar hebat saat mengangkat benda pipih memanjang itu dari dalam gelas kecil. Setelah menunda-nunda, akhirnya pagi ini Bulan memantapkan hati untuk mengecek agar semuanya benar-benar pasti. Entah kepastian baik atau buruk, yang jelas, Bulan harus siap.Air matanya langsung mengalir deras tanpa bisa dibendung saat garis dua terpampang di benda pipih memanjang itu. Bulan langsung terduduk di atas closet yang tertutup kemudian melemparkan benda yang dia pegang ke lantai kamar mandi kosnya. Kesakitannya akibat pemerkosaan itu sepertinya belum cukup pedih. Kini, bebannya bertambah dengan kehadiran benih Beni dalam perutnya.Tanpa pikir panjang, Bulan keluar dari kamar mandi dan langsung mengambil ponselnya di atas kasur. Dia melakukan pencarian mengenai obat penggugur kandungan sampai akhirnya dia memesan dua merek obat yang berbeda melalui salah satu aplikasi belanja daring.Anak ini nggak boleh berkembang. Gue nggak boleh hamil, batin Bulan dengan napas naik turun. Dia te
“Hai, kamu lulusan tahun berapa?”Seseorang dengan jaket jeans menyapa. “Aku … baru lulus tahun ini, Kak.” Bulan menjawab dengan nada sedikit ragu. “Oh, baru lulus. Nama kamu?” Orang itu bertanya lagi. “Rembulan” “Wow, nama yang sesuai sama orangnya. Cantik. Kalau istilah sekarang, glowing. Oh iya, kenalin. Aku … Handarbeni Utomo. Panggil aja Beni.” Seandainya Bulan tidak datang pada acara reuni lintas angkatan itu, mungkin semuanya tidak akan terjadi. Dia tidak akan mengenal Beni. Dia juga tidak perlu mengalami hal seperti ini. Waktu itu, Bulan yang baru lulus terlalu bersemangat untuk datag karena ingin bertemu dengan teman-teman sekolahnya lagi setelah beberapa bulan mereka berpisah dan jadi mahasiswa baru, “Bulan, ini kuesioner kelompok kita. Udah beres tugasku ya. Sekarang bagian kamu input datanya.” Seseorang menyodorkan beberapa lembar kertas yang dijepit jadi satu kepada Bulan. Namun, Bulan malah bergeming. “Bulan.” Orang itu memanggilnya lagi. “Lan?” “Oh iya, m
“Bulan, aku pamit!”Teriakan itu membuat Bulan langsung melongok dari pintu kamar kosnya. “Loh! Kak Sinta pulang juga? Yaaahh, kenapa semua orang pulang sih? Aku di kosan sendirian dong!” kata Bulan.“Sama Laili.”“Laili balik tadi siang, Kak.”“Loh iya, kah? Ya emang ini long weekend sih, Lan. Kamu juga harusnya balik,” kata Sinta.Bulan menghela napas. “Lagi banyak tugas, Kak. Kalau di rumah, mager banget mau ngerjain,” kata Bulan.“Halah, baru semester dua juga. Santai aja! Aku yang bulan depan harus magang aja santai,” kata Sinta.“Haduh! Maunya ya santai, tapi omelan Mama enggak bisa diajak santai, Kak.”“Yah, mama kamu dosen sih, pasti ekspektasinya tinggi ya.”Bulan mencebik sambil mengangguk.“Hmm ... kaciaaaan. Ya udah, nggak papa kalau nggak pulang. Masih ada Antika kok, jadi kamu nggak beneran sendiri. Cuma, sabar ya kalau nanti si Antika ....”“Sssst! Udah paham,” sambung Bulang. Dia dan Sinta langsung terkekeh bersamaan karena keduanya paham soal Antika si paling sering b