Share

Bagian 6

"Ahla shobah. Law samahti, ya Anesah (Selamat pagi. Permisi, Nona). Senang bertemu denganmu lagi."

Zea mengalihkan pandangan dari buku yang sedang dibacanya. Gadis itu mengernyit, mengenali pria yang sedang berdiri di hadapannya. Dia adalah pria berparas Jerman yang Zea temui di metro lima hari lalu. Pria berparas Jerman itu menggunakan bahasa Arab 'amiyah yang fasih.

"Ahla shobahayya khidmah? (Selamat pagi juga, ada yang bisa kubantu?)" sahut Zea.

Kini Zea berada di Maktabah Al-Azhar atau The Library of Al-Azhar yang letaknya di Salah Salem Street. Jaraknya kurang lebih 3,6 kilometer dari flatnya di El-Gamaleya. Zea memang sering menghabiskan waktu untuk menulis hasil risetnya di sana. Bahkan sejak masih berstatus sebagai mahasiswi pun tak jarang dia mengunjungi Maktabah Al-Azhar untuk mencari beberapa referensi skripsinya.

"Aku hanya ingin memberikan ini. Bita'ek. (Milikmu)."

Pria itu memberikan buku berwarna hijau toska dengan motif bunga mawar pada Zea. Sepertinya itu adalah buku diary. Gadis itu mengangkat alis, pandangannya berpindah dari wajah pria itu ke buku yang disodorkan ke arahnya, lalu kembali ke wajah pria itu.

"Aku menemukannya tergeletak di lantai metro ketika kamu sudah turun lebih dulu," ujar pria itu seolah mengerti apa yang ada di benak Zea.

"Mustasyakkir, ya Fendim. (Terima kasih, Tuan)." Zea menerima buku yang disodorkan pria itu. "Syukurlah. Aku sudah mencarinya di tas-ku bahkan di setiap sudut rumahku, ternyata terjatuh di dalam metro."

Pria itu mengangguk dan tersenyum, lalu dengan santai dia duduk di hadapan Zea.

"Kamu sering ke sini?"

"Sesekali waktu," jawab Zea singkat.

Pria itu memang sengaja berkunjung ke Maktabah Al-Azhar untuk melakukan penelitian. Sebelumnya, dia sudah meminta izin kepada petugas perpustakaan di sana. Pada pagi hari menjelang siang ini, banyak mahasiswa Al-Azhar yang berkunjung ke Maktabah Al-Azhar, mereka tengah fokus membaca buku. Pemandangan rak buku dengan puluhan hingga ratusan buku yang tersusun rapi menambah kesan indah tersendiri dari Maktabah Al-Azhar ini.

Pria itu adalah seorang penulis. Menjadi penulis lepas hingga penulis profesional merupakan hobinya sejak dia duduk di bangku sekolah menengah atas. Berawal dari hobi yang dia tekuni selama bertahan-tahun ini, akhirnya ada beberapa penerbit di Jerman yang melirik hasil karya tulisnya dan menawarkannya untuk menjadi penulis tetap.

Pria itu selalu membawa laptop dan DSLR ke manapun dia pergi. Katanya, selain dengan tulisan dia pun ingin mengabadikan moment perjalanannya dalam sebuah jepretan gambar. Tempat bersejarah yang tak pernah absen dia kunjungi selama berada di Mesir adalah The House of Knowledge yang dikenal dengan nama Dar Al-IlmAl-Azhar MosqueAl-Azhar ParkMuiz Street, Sungai Nil, Piramida Agung Giza, dan Bibliotheca Alexandria Egypt di Alexandria. Tak terkecuali Maktabah Al-Azhar, tempat ini pun merupakan salah satu tempat yang selalu menjadi objek penelitiannya setiap kali mengunjungi Mesir.

"Menurutku kamu tidak salah pilih. Ini memang tempat yang nyaman untuk membaca buku," ujar pria itu seraya membetulkan posisi kopiah hitamnya.

Zea mengalihkan pandangannya ke buku yang sedang dipegangnya. "Tuan benar sekali."

"Oh ya, jangan panggil aku 'tuan', panggil namaku saja."

"Aku tidak tahu siapa namamu."

Pria itu bergeming sesaat lalu berkata, "Ammar. Panggil saja Ammar."

Zea mengangguk-angguk. "Nama yang bagus."

"Mustasyakkir." Pria yang memiliki nama Ammar itu menaruh ranselnya di samping kaki kirinya. "Kalau boleh tahu, siapa namamu?"

"Zea ...," sahut gadis itu.

"Nama yang indah. Bukankah Zea berasal dari bahasa Arab yaitu dhiya yang maknanya adalah cahaya atau sumber cahaya?"

Zea mengangguk. "Kamu benar."

"Jika dijabarkan lebih dalam lagi maknanya adalah sesuatu yang bersinar cemerlang dan menerangi area di sekitarnya. Itu sangat indah."

Zea tersenyum sesaat lalu kembali membaca buku yang dipegangnya.

"Oh ya, kurasa buku diary milikmu itu sangat berharga untukmu," ujarnya setelah satu menit tercipta jeda saling diam di antara keduanya.

"Sangat."

"Beberapa hari ini aku memang sedang mencarimu. Kebetulan sekali aku bertemu denganmu di sini."

"Untuk apa?"

"Menanyakan lebih lanjut mengenai buku diary-mu itu."

Zea memicingkan matanya. "Kamu tidak membaca isi bukuku, kan?"

Buku berwarna hijau toska itu sering dibawa ke manapun Zea pergi. Noura dan Wafa pun segan untuk membuka buku itu. Ketika hatinya merasa harus menuliskan sesuatu dari apa yang dilihat atau dirasakannya, maka dia akan menuliskannya di setiap lembar buku itu. Sudah hampir tiga tahun buku itu membersamainya. Isinya memang tebal, sehingga masih banyak lembar-lembar kosong yang belum tercoret tinta emasnya.

"Tidak. Ta—"

Gadis itu memotong ucapan Ammar dan menghela nafas pelan. "Syukurlah."

"Aku belum selesai. Aku tidak membaca bukumu, aku hanya membukanya dan melihat beberapa lembar awal."

Zea terbelalak. "Ha? Mengapa lancang sekali! Apa saja yang sudah kamu baca?"

"Hei, sudah kubilang, aku tidak membaca buku kesayanganmu itu. Aku hanya membuka dan melihatnya." Sepertinya Ammar sedang membercandainya.

"Melihat itu tandanya secara tidak langsung kamu membacanya. Harusnya jangan kamu buka. Kamu tidak lihat tulisan di bagian cover buku ini?" Zea berbicara dengan nada yang begitu cepat seraya mengangkat buku berwarna hijau toska miliknya.

"Mana mungkin aku tahu kalau tulisan itu mengandung arti yang serius."

Zea menghela nafas.

"Aku terkesan ketika melihat tulisan di lembar awal pada buku diary-mu itu. Jika kulihat kelanjutannya, bisa kuanalisis untuk dijadikan sebuah novel," ujar pria itu dengan menekan nada bicaranya pada kata 'melihat'.

"Aku membawa beberapa kisah yang kamu tuangkan pada lembar-lembar awal bukumu itu di beberapa alur naskah novelku," lanjutnya.

Zea memutar bola matanya ke arah kiri, dia tampak berpikir. Tak lama kemudian matanya membulat.

"Tidak! Di lembar-lembar awal bukuku itu ada ...,"ucapnya terjeda. "Kamu lancang sekali!"

"Tapi—"

"Dari sampulnya saja sudah ada kalimat larangan, kan? Seharusnya kamu tidak membukanya, melihatnya, membacanya atau apa pun itu."

Ammar mengangguk-angguk.

"Tamam, ana muta-assif (Baiklah, aku minta maaf). Bagaimana jika aku mentraktirmu makan siang di restoran Khan El Khalili untuk menebus kelancanganku?"

Zea mengangkat alis, lalu menggeleng kuat. "Tidak. Aku tidak mau."

Ammar menyipitkan mata, memandangi Zea yang mendadak membuang muka ke arah lain, lalu tertawa geli.

"Kenapa kamu tertawa? Apa ada yang lucu?" tegur Zea. Pandangannya kini beralih pada pria itu seraya mengernyit gusar.

"Benar, kamu sangat lucu. Aku hanya ingin mentraktirmu makan siang, bukan yang lainnya," sahut Ammar yang masih menyisakan senyum geli.

"Kamu pasti sudah tahu. Dalam agama kita, seorang wanita diharuskan menjaga jarak dengan pria yang bukan mahram-nya."

Ammar masih memandangi Zea. "Kamu benar. Tetapi jika ada saudara laki-laki yang menemani atau teman perempuan yang ikut, bukankah itu sah-sah saja?"

Zea menghela nafas lalu mengangguk.

"Kalau begitu, aku tidak akan mengajakmu makan berdua. Kamu boleh mengajak seorang teman perempuanmu." Rupanya Ammar belum menyerah.

"Tetap tidak mau. Aku sangat sibuk."

Ammar mengelus dagunya yang tidak gatal. "Baiklah, kalau begitu kamu mau apa?"

"Tidak mau apa-apa. Aku sudah memaafkanmu."

Ammar memicingkan mata. "Kurasa kamu masih kesal terhadapku."

"Kamu tidak percaya?"

"Belum percaya, aku perlu bukti. Seperti masih ada yang mengganjal di hatiku jika seseorang masih merasa kesal padaku."

Zea bergeming.

"Atau kamu mau aku membayar apa yang kulihat dari tulisanmu?" tanya Ammar.

"Tidak usah. Tulisanmu itu belum menghasilkan apa pun."

Ammar tersenyum miris.

"Hapus saja penggalan alur yang kamu petik dari kisahku di buku ini." Zea kembali mengangkat buku diary miliknya.

"Mengapa begitu? Aku yakin kisahmu itu pasti membawa manfaat untuk setiap yang membacanya. Selama itu membawa manfaat, kenapa tidak?"

"Tapi aku belum berkenan."

"Baiklah kalau kamu bersikeras. Boleh aku minta nomor handphone-mu?"

"Untuk apa?"

"Untuk menghubungimu jika kamu berubah pikiran."

Zea menoleh cepat, matanya menyipit memandang Ammar. "Aku tidak akan berubah pikiran. Ini sudah bulat."

"Seperti bumi?"

"Jangan alihkan topik."

"Topik itu nama temanku di sini."

"Hei, aku tidak mau bercanda."

"Hei, anak muda! Tolong jaga kekondusifan di sini." Tiba-tiba saja seorang pria berjanggut yang usianya kisaran 40 tahun menegur Zea dan Ammar, sepertinya dia adalah penjaga Maktabah Al-Azhar.

Zea dan Ammar mengangguk dan meminta maaf, lalu pria itu pergi.

"Baiklah. Bagaimana maumu saja. Aku akan menghapusnya dalam naskahku," pasrah Ammar kemudian.

Zea menghela nafas dalam-dalam dan memasukkan buku kecil berwarna hijau toska itu ke dalam ranselnya.

"Tapi kalau kamu berubah—"

"Tidak akan," sahut Zea memotong ucapan Ammar.

"Baiklah."

Kini gadis itu kembali memegang buku yang tadi sedang dibacanya.

"Eih dah? (Apa itu?)" tanya Ammar seraya matanya melirik buku bacaan yang sedang dipegang Zea.

"Tanpa kujawab, pasti kamu sudah tahu."

"Maksudku, buku itu tentang apa?"

"Perlukah aku memberitahu secara detail?"

Pria itu menyeringai samar dan menaruh tangan kanannya di atas meja. "Tidak perlu. Aku cuma penasaran judulnya saja. Karena tulisannya terhalang jari tanganmu."

"Buku ini tentang filsafat Islam."

Ammar mengangguk-angguk.

Zea meraih ponselnya yang berdering. Ada pesan masuk dari seseorang. Usai membaca pesan itu, dia menaruh ponselnya ke dalam ransel cokelatnya. "Sepertinya aku pamit dulu."

Pria itu menatap buku bacaan yang dipegang Zea, lalu mengernyitkan dahi. "Ra-yeh fein? (Mau ke mana?) Bukannya tadi kamu lagi baca buku?"

"Aywah. Bass 'andi syughl, lazim akhlash-hum.(Iya. Tapi ada yang harus aku kerjakan lagi)."

Pria itu mengalungkan tali DLSR-nya ke leher, dan mengangguk usai mendengar ucapan Zea.

Zea berdiri. "Oh ya, terima kasih karena sudah mengembalikan buku diary-ku."

Ammar menempelkan jari telunjuk dan jari tengah sebelah kanannya di dahi bagian kanan. "Sama-sama."

"Assalamu'alaikum."

"W*'alaikumussalaam warahmatullah wabarakatuh," jawabnya.

Ammar tak bergerak dari tempatnya. Dia hanya memandangi kepergian Zea, lalu tersenyum. Dalam hatinya dia yakin sekali, esok atau lusa dia akan bertemu kembali dengan gadis itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status