Share

Bagian 5

Pukul dua dini hari, Paman Omar tengah terjaga dari tidurnya. Dia hanya tidur kurang lebih tiga jam. Baginya, terlelap tiga jam itu sudah cukup untuk meremajakan seluruh saraf tubuhnya. Di tengah heningnya malam, dia masih seti melantunkan ayat-ayat kauni dengan bacaan yang fasih. Di sampingnya, tampak sang istri yang sedang terlelap usai menghidupkan malamnya.

Di tengah syahdunya lantunan tilawah Al-Qur'an yang keluar dari lisannya, terdengar seseorang mengetuk pintu rumahnya. Saat itu juga dia menyelesaikan tilawahnya dan beranjak dari duduknya. Diambilnya jubah putih kesayangannya dan langsung dia kenakan seraya berjalan menuju pintu depan. Dari jendela, dia melihat seorang pria dengan koper kecil yang dibawanya dan tengah berdiri menunggu empu-nya membuka pintu.

Ceklek!

Pintu rumah terbuka.

Dia menatapi sosok pria yang kini berdiri di hadapannya. Pria yang tak asing dalam pandangannya. Seorang pria kecil yang kini telah beranjak dewasa. Seorang pria yang merupakan darah dagingnya.

"Rasheed," ujarnya.

"Assalamu'alaikum, Ayah," ucap pria itu lirih seraya berhambur memeluk sang ayah.

"W*'alaikumussalaam warahmatullah. Apa kabarmu, Nak?"

"Kuways, Ayah. Alhamdulillah."

Dia adalah Rasheed. Putra sematawayang yang selama ini tinggal berjauhan darinya. Jerman telah menjadi saksi hidup Rasheed selama sebelas tahun terakhir. Susah senang telah dia lalui di negara Fatherland itu. Setiap musim panas biasanya Rasheed pulang ke Mesir untuk mengunjungi kedua orang tuanya.

"Mengapa pulang dini hari seperti ini? Apakah tidak bisa menunggu sampai besok pagi? Bagaimana jika ada sesuatu yang terjadi padamu di jalan?" Merasa khawatir terhadap putranya, Paman Omar melayangkan pertanyaan yang bertubi-tubi seraya kedua tangannya dia letakkan di atas pundak putranya.

Rasheed tersenyum. "Ayah, rumah temanku tidak terlalu jauh dari sini. Jadi aku sengaja datang dini hari, aku ingin memberi kalian kejutan. Aku tahu di waktu-waktu ini ayah sedang terjaga, dan benar saja dugaanku."

Paman Omar hanya tersenyum seraya mengangguk-angguk pelan dan kemudian mempersilakan putranya masuk ke dalam.

Dua tahun yang lalu, Rasheed telah mampu menyelesaikan program pascasarjananya pada prodi Arsitektur di Heidelberg University, Jerman. Meskipun dalam studinya dia mengambil prodi umum, dia tak pernah kurang menerima asupan ruhaniyah dari sang kakek. Tak jarang pula dia mengambil manfaat dari ilmu yang Allah karuniakan kepada sang ayah, secara virtual. Memang, di Jerman belum memiliki pusat pendidikan agama Islam sendiri karena masih mendatangkan imam dari luar negeri, sehingga tidak mudah untuknya menetapkan dan memilih guru dalam hal spiritual di sana.

Di usianya yang ke 23 tahun, tepatnya tiga tahun yang lalu, ketika dia sedang menjalani program pasca-nya, sang ayah sempat menawarkannya untuk menikahi seorang gadis Mesir yang bernama Shameeka. Gadis itu merupakan putri dari kawan sang ayah, Syeikh Abdul Halim Al-Kharasyi. Namun, tawaran tersebut dia tolak dengan halus tanpa niat menyakiti hati Shameeka maupun keluarganya.

"Shameeka, kau gadis yang baik. Pasti akan kautemukan seorang pria baik yang kelak akan mempersuntingmu. Maafkan aku karena tidak bisa menikahimu." Kala itu Rasheed tak sengaja berjumpa dengan Shameeka di Jalan Mustafa El-Nahas sepulang membeli makanan dari supermarket.

"Ana tahta amrak, ya Rasheed (Bagaimana kamu saja, Rasheed). Aku paham. Kau ingin fokus dengan program pascasarjanamu, dan aku pun ingin fokus dengan program sarjanaku." Gadis Mesir itu mengalihkan pandangannya ke suatu arah dan tersenyum. "Tak ada yang harus dipermasalahkan," sambungnya.

"Akan tetapi, jika kau yang telah Allah gariskan sebagai tulang rusukku sejak zaman azali, suatu saat nanti, mungkin saja aku akan kembali memintamu kepada ayahmu."

Shameeka tersenyum getir. "Jangan mengucapkan kata-kata yang hanya akan menjadi sebuah harapan untukku, Rasheed. Tak apa. Semoga kau menjadi seorang arsitektur yang tetap menjunjung nilai-nilai Islam."

"Ana muta-asif (Maafkan aku). Semoga kau juga kelak menjadi seorang kritikus sastra yang tetap taat terhadap agama."

"Amin." Shameeka masih dengan senyumnya yang menawan. "Oh ya, kau sedang berlibur?" Gadis itu mencoba mencairkan suasana yang sejak tadi terasa mencekam.

Rasheed mengangguk. "Kalau aku berkunjung ke Mesir, pasti aku sedang berlibur."

Shameeka menutup mulutnya dengan jemarinya yang lentik seraya tertawa ringkih, yang kemudian disusul dengan tawa ringkih Rasheed. Tawa yang masing-masing menyimpan getir.

Rupanya Rasheed belum bisa menerima tawaran tersebut karena dia masih ingin fokus menyelesaikan program pasca-nya. Tak ada rasa sakit hati yang hadir di antara keduanya, terutama Shameeka. Shameeka memang telah menaruh simpati terhadap Rasheed sejak dia berusia 12 tahun, yang kemudian rasa simpati itu semakin bertambah dan berubah menjadi sebuah rasa kagum. Keduanya telah berteman akrab sejak masa kanak-kanak. Namun, ketika sudah memasuki usia akil baligh, keduanya mulai menjaga jarak. Shameeka berusaha melapangkan hatinya atas jawaban yang Rasheed berikan, karena dia pun tidak mungkin memaksa Rasheed untuk menikah dengannya.

Jam dinding menunjukkan pukul setengah tiga, Paman Omar sempat ingin membangunkan sang istri untuk memberitahu bahwa putra mereka telah sampai dengan selamat, namun Rasheed mencegahnya. Dia tak ingin menganggu sang ibu yang sedang terlelap dalam mimpi indahnya. Paman Omar mengerti. Akhirnya dia kembali melantunkan ayat-ayat kauni usai mengantarkan putranya untuk beristirahat di kamar.

Sekitar pukul lima, azan Subuh berkumandang di segenap bumi Kinanah. Ini adalah Subuh pertama pada tahun ini Rasheed berangkat berjamaah ke masjid bersama sang ayah. Usai shalat Subuh berjamaah, mereka membaca Al-Qur'an kemudian bertadabbur sebentar. Hal ini sudah diajarkan oleh sang ayah sejak dia masih kecil. Meskipun ketika itu dia lebih sering merem melek ketimbang membaca Al-Qur'an dan bertadabbur.

Di musim panas, biasanya penduduk di Mesir akan langsung merebahkan tubuh di tempat tidur masing-masing setelah shalat Subuh. Karena memang ketika musim panas malamnya terasa pendek. Hal itu membuat mereka merasa kurang puas berselancar di alam mimpi. Wabilkhusus para pekerja yang bekerja di malam hari hingga pagi hari, atau para aktivis kampus yang begadang di malam harinya. Tetapi tidak untuk Paman Omar dan keluarga. Mereka tetap berusaha untuk terjaga hingga waktu Duha tiba, setelah itu barulah mereka merebahkan tubuhnya, jika mereka menginginkannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status