Pemandangan yang Olivia lihat pertama kalinya adalah senyuman hangat milik Ambar dengan garis-garis wajah yang terbilang sudah tidak muda lagi. Ambar mengusap kepalanya lembut dengan mata yang masih basah oleh bekas airmata.
Olivia tidak mengerti kenapa Ambar bisa menangis sesunggukan saat melihatnya membuka mata. Ditambah lagi kenapa juga ia bisa berada di atas ranjang rumah sakit. Olivia tidak paham apa yang menimpanya. Tiba-tiba rasa sakit datang menyerang kepala Olivia. Olivia menoleh sejenak, dan menemukan selang infus yang menempel manis di punggung tangannya dengan balutan perban dipergelangan tangan.
Ada apa ini? Batin Olivia.
“Bude—"
Suara Olivia terdengar parau persis seperti orang yang habis menangis. “Bude, kenapa Via bisa ada di sini?”
“Harusnya Bude yang tanya sama kamu. Kenapa kamu nekat mengiris pergelangan tanganmu sendiri? Apa yang membuatmu nekat melakukan itu, Via?”
Olivia mengamati perban di pergelangan ta
Lima tahun lalu … Perpustakaan kampus tampak sepi pengunjung hari ini. Cuaca di luar yang terlihat mendung sehingga membuat siapapun malas dan memutuskan betah di kosan masing-masing. Namun tidak berlaku dengan mahasiswa tahun akhir seperti Olivia. Hari itu bertepatan dengan hari terakhir perpustakaan dibuka karena musim liburan tiba. Olivia harus bergegas mengambil buku referensi yang akan ia gunakan untuk tambahan materi penelitiannya kelak. Buku yang dipinjam Olivia terbilang cukup banyak peminatnya, untuk itu Olivia sengaja menitipkannya ke salah seorang teman dan rencananya akan ia ambil setelah perpustakaan ini tutup. Olivia meregangkan punggungnya yang lelah. Sedari pagi hingga petang, tidak ada satu paragraf pun yang berhasil ia ketik di layar notebook. Rasanya tumpukan buku di depannya sekalipun tidak bisa membantunya menemukan inspirasi untuk memulai tulisan. Ponsel Olivia tiba-tiba berdering. Nama ‘Alicia’ muncul di sana. “Eh, sudah mau tutup? Ok, ok, aku
Hidup itu adalah sebuah pilihan. Terdengar mudah, kan? Tapi nyatanya tidak. Memilih tidak semudah itu untuk Olivia. Keinginan terdalamnya tidak semudah itu dikabulkan oleh Sang Maha Kuasa. Setelah peristiwa tragis itu, kehidupan Olivia tidaklah sama. Ia menutup semua komunikasi dengan siapapun. Olivia bahkan tidak sudi bertatapan muka dengan lawan jenis. Tragisnya lagi ia akan menjerit dan berteriak membabi buta apabila anggota tubuhnya tidak sengaja disentuh. Bahkan yang lebih ekstrimnya, Olivia pernah mencoba bunuh diri dengan menyayat nadinya berulang kali. Tidak hanya sekali, tapi berulang kali. Sampai-sampai pihak rumah sakit harus mengikat kedua tangannya di tempat tidur. Kenyataannya korban pemerkosaan tidak banyak yang melapor ke pihak yang berwajib atau ke badan hukum lainnya. Kenapa? Karena mereka malu dengan tatapan masyarakat yang seolah mencemooh, menyalahkan diri Si Korban yang seharusnya butuh pertolongan. Secara mental mereka terguncang. Secara fisik mereka h
Yogyakarta menjadi salah satu tujuan yang sengaja dipilih Olivia untuk menyendiri. Setelah memberikan uang fee pada petugas yang mengantarkan mereka menuju kamar villa, Olivia meletakkan tas yang sedari tadi menempel dipundaknya di atas meja bundar tidak jauh dari posisinya berada. Keheningan sekaligus indahnya kota Yogyakarta di malam hari yang dilihat Olivia dari balik pintu geser, seolah-olah menyeret jiwa terdalam Olivia untuk ikut melebur dalam bayangan malam. Olivia sama sekali tidak banyak bicara sejak pesawat hengkang dari Surabaya menuju ke Yogyakarta. Olivia benar-benar tidak ingin membahas apapun saat ini, detik ini, bahkan tidak ingin terlibat apapun lagi nantinya setelah pikirannya sempat berlari pada kenangan pahit yang telah lama tersimpan bertahun-tahun lamanya. Olivia pun tahu. Tinggal menunggu waktu saja sampai Dante berhasil menemukannya. Jujur saja Olivia tidak ingin pergi dengan cara seperti ini. Jika memang harus berpisah, Olivia ingin perpisahannya kali ini di
Olivia mengaduk-aduk teh di depannya berulang kali. Olivia gugup. Apalagi saat ini sudah ada Iko, Papa Dante yang dengan begitu lahap menikmati semangkuk mie instan buatannya dalam diam. Iko kemudian mendongak memandang ke arah Olivia penuh heran. “Kamu nggak suka teh buatan Om?” tanya Iko memecah keheningan. “Ah ... ng ... nggak ... bukan begitu, Om,” timpal Olivia gelagapan lalu memilih menyeruput segelas teh itu karena merasa tidak enak hati sendiri. “Kamu nggak perlu merasa gugup begitu. Om hanya ingin ngobrol santai denganmu,” lanjut Iko lalu menyudahi santapannya. “Dan terima kasih ya sudah membuatkan Om mie instan.” Olivia hanya menjawabnya dengan mengangguk pelan. “Om langsung pada intinya saja. Jadi kapan kami bisa menemui keluargamu secara resmi?” Mata Olivia seketika melebar pertanda tidak percaya.“Maksud, Om?” Olivia balik bertanya. Iko menghela napas sembari melipat kedua lengannya didada. “Om sudah tahu semuanya,
“Dante ....” Suara familiar menyapa telinga Dante. Lambaian tangan seorang perempuan dengan jeans belel dan kaos merah polos sontak membuat Dante mau tidak mau mengulas senyuman yang sempat hilang barang sejenak. Padahal baru saja semalam mereka melakukan video call, tapi ... ah sudahlah. Intinya Dante dilanda rindu. “Kamu selalu saja membuatku cemas. Apa penerbangannya delayed?” tukasnya. Olivia menggeleng. “Aku ke toilet dulu.” “Satu jam? Perutmu bermasalah?” Olivia menggeleng lagi. “Aku memang sengaja membuatmu menunggu kok.” “Apa?!?” “Aduuh, kalian ini.” Ambar menyela di antara obrolan sepasang kekasih itu. “Tadi Bude yang habis dari toilet, Dante.” “Ya ampun sampai lupa kalau ada Bude. Bude Ambar sehat?” kata Dante sembari mencium punggung tangan perempuan paruh baya di depannya. Ambar menepuk punggung Dante kemudian berkata. “Keadaanmu sudah benar-benar pulih, Dante?” Dante mengan
Tautan tangan Dante disela jemari Olivia sama sekali tidak ingin Dante lepaskan begitu saja. Bahkan ketika keduanya telah tiba di depan pintu apartemen Olivia sekalipun tampaknya Dante masih enggan melepaskan Olivia secara cuma-cuma. Padahal Dante tahu persis jika perempuannya itu capeknya bukan kepalang melewati satu hari ini. “Mau minum teh dulu nggak?” sahut Olivia menawarkan ketika akhirnya pintu apartemen berhasil dibuka dengan salah satu tangannya yang masih bertautan erat dengan Dante. Dante sepertinya serius tidak ingin membiarkannya pergi meski hanya untuk membuka pintu. “Kamu duduk dulu deh,” sahut Olivia lagi sembari menarik lembut tangan Dante agar laki-laki itu mau duduk disebelahnya. “Cerita sama aku apa yang membuatmu nggak puas, hm? Sejak tadi tampaknya kamu nggak rela melepaskan tanganku ini. Seingatku aku nggak mengoleskan lem atau apapun itu. Kenapa bisa jadi lengket begini ya.” Dante menghela napas penjangnya kemudian berkata. “Aku benci h
Dante bersama kedua orang tuanya datang ke rumah Ambar dua hari berikutnya. Begitu banyak bingkisan yang dibawakan Martha hingga membuat Olivia merasa tidak enak sendiri. “Kok jadi repot-repot segala sih, Tante?” tukas Olivia ketika membawa beberapa bingkisan dikedua tangannya. Ada lebih dari lima bingkisan yang Olivia terima hari ini. “Ini cuma makanan, Sayang. Lagipula Tante nggak enak dong datang kemari dengan tangan kosong.” Dada Olivia menghangat ketika Mama Dante itu memanggil Olivia dengan sebutan ‘Sayang’. Artinya Olivia benar-benar telah diterima dengan baik oleh mereka. Acara perkenalan kedua keluarga berlangsung secara intimate yang akhirnya merujuk pada kesepakatan bahwa dua bulan ke depan akan dilangsungkan pernikahan. Tanpa adanya acara pertunangan dan lain sebagainya karena dari calon mempelai pria yang tidak memiliki cukup kesabaran menahan segala prosesinya. Dua bulan akan menjadi waktu tersingkat untuk Olivia serta keluarganya mempersiapkan
Tepat dihari keempatbelas Olivia bersama dengan Lussi mengunjungi mall tempat biasanya mereka berdua dulu datangi. Jadwal terakhir sebelum dipingit adalah membeli seserahan. “Maaf ya, aku terpaksa mengajak mereka berdua. Mama Elok sedang nggak di rumah.” “It’s Ok. Malahan aku yang heran jika kamu nggak mengajak mereka. Aduh, gembulnya Anti. Aro sama Ara sehat ?” sapa Olivia kepada Si Kembar. Si Kembar tertawa bersamaan sembari menghambur ke pelukan Olivia. “Aduh, Anti nggak kuat kalau menggendong kalian berdua sekaligus, Sayang. Kita gandengan tangan saja ya.” Si Kembar mengangguk bersamaan lalu bergelayut manja dikedua tangan Olivia. Kemudian beberapa toko mulai mereka masuki satu per satu. Dimulai dari toko sepatu dan tas hingga toko pakaian dalam juga tak luput dari pandangan dua sahabat itu. Sejenak Olivia terhibur dari rasa lelahnya. “Sudah ada kabar dari Dante belum?” tanya Lussi saat mengembalikan menu pesanan pada waitress. Mereka bere