"Wah yang bener? bisalah tunggu aja jam sembilan aku akan berangkat.""Ok, aku tunggu udah dulu ya.Setelah beberapa menit kemudian Mas Andra turun dan menghampiriku di meja makan, kesempatan lagi."Sudah bangun?" tanyaku sambil menyeruput secangkir teh."Hmmm, kepalaku pusing banget, hari ini ga ke kantor ah," jawabnya sambil memijat kening, kebiasaan sakit dikit aja langsung malas."Ya sudah tidur aja di rumah kalau mau Om Juna pecat kamu."Ia melirik tajam."Emang dia siapa berani mecat aku?" tanyanya dengan menantang."Dia itu direktur dan kamu kaki tangannya, ya jelas saja seorang direktur berhak memecat karyawannya," jawabku sedikit tegas, dan ia menghela napas kasar.Aku tahu ia kesal dan ingin marah, tapi amarahnya terhalang karena ia masih membutuhkan uangku untuk membangun usahanya."Lagian ngapain sih dia balik ke kantor lagi, bukannya udah pensiun, aturan mah Om Juna di rumah aja nikmati masa tua biar aku yang masih muda yang bekerja," cerocosnya sambil meraih teh buatank
Dengan sigap tanganku meraih kembali surat yang terbungkus map berwarna biru itu, dan menyerahkan kembali ke tangan Mas Andra untuk segera ditanda tangani."Ini surat persetujuan untuk menggadaikan rumah, ayo Mas tanda tangan aku akan cepat antarkan surat ini supaya duitnya ceper cair."Mendengar kata 'duit' Ibu dan Alia berubah semringah, namanya juga mata duitan, mereka berdua memperbaiki duduknya lalu memasang tampang paling manis, apalagi maksudnya kalau bukan minta jatah.Aku mengerling malas."Kenapa harus gadaikan rumah? duitmu 'kan banyak, kamu juga punya perusahaan warisan," celetuk ibu"Iya, bener, rumah ini 'kan dibeli pake uang Kak Andra, berarti rumah ini memang miliknya," sahut Dinda so tahu.Padahal uangku pun ikut andil dalam pembelian rumah ini, karena sudah bisa membaca kelicikan mereka maka aku menggadaikan rumah ini, tentu saja jika kami bercerai mereka takkan biarkan aku menempati rumah ini."Ayo Mas tanda tangan surat yang satunya lagi!"Aku mulai geram mendengar
"Lumayan, kalau ditaksir sekitar lima tahunan mendekam di sana, hihi," ujarku lagi sambil terkekeh"Ibu kenapa kok kaya cemas gitu?" tanyaku memancing."Oh e-engga kok, engga apa-apa." Ibu gelagapan.Ya pasti panik mengingat hukuman anaknya yang tak main-main."Ok kalau gitu aku pergi dulu."Aku melenggang sempat ibu berteriak memohon."Kalau uangnya belum ada, ga apa-apa setengah dulu, Rah, Ibu sudah ga punya uang," teriaknya tapi tak kuhiraukan, enak saja kok memberinya jatah bulanan seakan-akan kewajibanku.Dunia memang sudah terbalik.Berkas-berkas untuk menggadaikan rumah sudah selesai kuantarkan ke bank, tinggal menunggu tahap berikutnya, kini aku meluncur menuju rumah Hengky.Tiba di sana aku segera turun dari mobil dan melepas kaca mata hitam, lelaki pendek berisi itu menebarkan senyum persahabatan dari kejauhan."Assalamualaikum.""Wa'alaikumus'salam, apa kabar nih? katanya kemarin sakit ya?" tanya Hengky sambil cengengesan."Udah sembuh kok, mana yang mau beli mobilnya?" Ak
Mas Andra memberontak tapi polisi memegang pergelangan tangan lalu memborgolnya, napasnya terengah-engah, apalagi saat melihat mata para tetangga, ia pasti malu disaksikan banyak mata.Rasain! Ini baru pembalasan di dunia belum di akhirat."Farah, aku ga bersalah ini pasti fitnah Si Juna," teriaknya membuatku geram."Diam! Kamu tuh ya sudah salah malah nyalahin orang! Emang kamu pikir selama ini aku ga tahu kelakuanmu di belakang kaya apa?! Mau aku beberkan sekarang juga di hadapan orang banyak?!" teriakku nyalang.Para tetangga saling berbisik ria membicarakan kami, ada yang menghina Mas Andra terang-terangan, ada juga yang termakan omong kosongnya hingga menyalahkanku."Pak, bawa benalu ini sekarang," titahku.Beberapa anggota berseragam itu langsung menyeret tubuh Mas Andra ke dalam mobil, lelaki itu tetap meronta minta dilepaskan, meraung dan juga memakiku habis-habisan.Kupandangi mobil polisi yang membawa Mas Andra mulai menjauh, tak dapat dipungkiri hati ini sakit, mengira jika
"Jangan sembarangan kalau ngomong, Farah! Ibu ga pernah mikir kaya gitu!" Ibu semakin panik."Tahu nih Kak Farah, fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan," sela Dinda dengan enteng.Fitnah katanya? "Ini bukan fitnah, dan aku denger sendiri obrolan kalian bertiga waktu di rumah Ibu, kalian tertawa terbahak-bahak dan kamu Dinda, waktu itu kamu minta dibeliin mobil baru 'kan?! jangan mimpi!" tegasku sambil menunjuk wajahnya yang berubah merah.Kebetulan kunci mobil Dinda teronggok di atas meja, aku segera menyambar kunci itu, sudah waktunya mobil Dinda disita, enak saja terus-terusan bergaya memakai uangku.Jika mereka baik dan tulus menyayangiku sebagai menantu dan saudara sih ga masalah, bahkan aku bisa berikan lebih dari ini, tapi apa yang terjadi mereka baik padaku hanya demi menutupi rencana busuknya.Serapat apapun menyembunyikan bangkai lama-lama tetap akan tercium juga, seperti itu yang terjadi pada Mas Andra dan keluarganya."Loh, kok kunci mobil Dinda diambil, Kak," rengek
Ibu dan Dinda masih terus mencoba memanjat pagar yang tinggi itu walaupun beberapa kali sempat gagal, bukannya tegang aku malah tertawa cekikikan menyaksikannya, entah berapa kali mereka terjatuh lalu berusaha naik lagi, begitu saja terus.Aku cepat keluar bukan untuk menemui ibu melainkan memasukkan mobil sitaan ini ke garasi, takut saja dua wanita itu akan berbuat nekat merusak mobil ini, 'kan sayang."Hei perempuan l1c1k! Kembalikan mobil anakku!" teriak ibu, suaranya sudah serak mungkin karena berteriak terus sejak tadi."Farah! Mau aku bilang ke warga sekitar kalau kamu sudah rampok mobil anakku hah!" teriaknya lagi.Aku tetap tak menoleh karena tak ingin terpancing, untuk apa takut BPKB mobil ini ada di tanganku juga atas namaku, beruntung nama Dinda tak aku tulis di sana, bisa berabe.saat meraba car pocker aku tertegun nampaknya STNK mobil Dinda ditaruh di sini, baguslah jadi aku tak perlu repot-repot mengurus surat kehilangan.Gegas aku memasukkan mobil ke garasi dan mengunci
Dikira kalian bakal menang gitu!Pak RT dan Pak Roni saling memandang heran, aku tahu mereka bingung harus apa."Bener itu Bu Farah?" tanya Pak RT."Begini, Pak, mobil ini memang pernah saya kasih ke anak itu, tapi setelah kakaknya menghilangkan mobil saya yang lain maka kami sepakat, jika kakaknya dia ga bisa ganti mobil yang hilang itu dalam jangka seminggu, maka mobil adiknya yang pernah saya kasih ini akan disita, sekarang sudah seminggu dan sudah waktunya mobil itu saya ambil."Pak RT tertegun memikirkan masalah rumit ini."Kamu tuh ya dasar mantu perhitungan! Mobilmu itu bukan hanya satu kenapa harus dipermasalahkan sih!" tegas ibu menunjuk wajahku."Pak RT, bilang sama Ibu ini agar tak buat keributan dan pergi dari sini, mobil ini atas nama saya bukan atas nama anaknya jadi saya berhak mengambil kembali, kemarin itu ya itung-itung nitipin, ga salah 'kan kalau saya mengambilnya lagi."Pak RT mangut-mangut begitu pun dengan Pak Roni."Mbak Farah benar, Bu, saya ga bisa lakukan ap
"Marniii!" Aku dan Mbok Tati berteriak barengan sambil berlari ke dapur.Wanita berumur dua puluh delapan tahun itu tergeletak di lantai, beruntung bubur ayam itu masih banyak tak dimakan semua oleh Marni, tak terbayang jika wanita itu memakannya hingga tandas bisa-bisa nyawanya melayang saat itu juga."Lemes, Bu," bisik Marni tak berdaya.Aku dan Mbok Tati segera membawanya ke mobil."Mbok jaga rumah biar aku bawa Marni sendirian," ujarku, ia mengangguk.Tiba di Instalasi Gawat Darurat terdekat Marni segera ditangani, diberi obat juga disuntikkan infusan ke tangannya.Dokter mengatakan jika Marni tak mengalami masalah serius hanya perlu diopname beberapa hari, karena racun itu hanya sedikit yang masuk ke dalam perutnya, aku mengucap syukur karena ia tak terlalu parah."Lain kali jangan main makan sembarangan ya, Mar, bener aja 'kan buburnya beracun," ucapku saat dokter dan suster telah meninggalkan kami."Iya, Bu saya nyesel, untung pas makan bubur itu temen saya telpon, jadi saya ma