Share

Bab 2

Nauna tersentak saat namanya dan nama suaminya disebut. Jadi, ini semacam obrolan rahasia yang disembunyikan dari dirinya dan juga Dean? Dia merapatkan tubuh ke balik tembok dan memasang telinga baik-baik.

“Tadi, aku dengar mereka sedang berdebat soal tagihan listrik yang dibayarkan Dean. Aku pikir itu akan lama. Mereka mungkin masih di kamar sampai sekarang.” Tika berkata. Rupa-rupanya dia menguping pembicaraan Nauna dan Dean di kamar. Sungguh, tidak sopan!

“Pokoknya, jangan sampai mereka dengar soal ini.” Lusi mewanti-wanti, seolah ada rahasia besar yang harus mereka pegang bersama.

“Tenang, Mbak. Kami nggak akan bocor. Jadi, bisa terjual berapa?” Tari angkat suara, dia bertanya dengan penasaran.

“Sekitar empat milyar rupiah,” sahut Lusi.

Nauna terbelalak. Benda apa yang ingin mereka jual seharga empat milyar rupiah? Dia tidak bisa menerka. Apa itu tanah warisan atau yang lainnya?

“Wah, kalau dibagi bertiga, bisa dapat masing-masing lebih dari satu milyar!” Tari berseru dengan senang, Lusi sampai harus mengingatkannya lagi agar memelankan suara.

“Itu masih sementara, harganya bisa naik lagi. Mas Rudy sedang mencari orang lain yang bisa menawar dengan harga lebih tinggi.” Lusi kembali berkata.

Nauna semakin penasaran. Dia tidak dilibatkan dalam obrolan rahasia ini dan mereka sengaja menyembunyikan darinya dan juga Dean. Apapun yang ingin mereka perjual belikan, pasti itu sesuatu yang sangat berharga.

“Nauna?”

Tersentak tubuh Nauna saat suara itu terdengar. Dia masih ingin mencuri dengar pembicaraan para iparnya, tapi seseorang sudah memergoki. Dia membalikkan badan dan menemukan suaminya berdiri di ambang pintu ruang makan.

“Kamu sedang apa?” Alis Dean yang tebal hampir bertautan. Dia berjalan sedikit lebih dekat.

Nauna melongok hati-hati ke arah dapur, hanya untuk memastikan bahwa ipar-iparnya itu tidak tahu dia menguping. Tapi, sepertinya mereka mendengar suara Dean. Terlihat dari bagaimana mereka mengubah topik pembicaraan secara tiba-tiba.

“Rey mau ikut study tour minggu depan, biayanya lumayan. Sekitar dua juta lima ratus. Makin hari, makin banyak pengeluaran,” ujar Lusi sembari tangannya sibuk mengiris sosis. Suaranya memelas, seolah dia adalah ibu paling miskin di dunia.

Nauna memutar bola matanya. Dia membuang napas kasar, lalu beranjak untuk menarik salah satu kursi yang mengelilingi meja makan besar di tengah ruangan.

“Duduk dulu, Mas. Aku siapkan sarapan,” ucap Nauna pada Dean. Laki-laki itu menurut, dia duduk di kursi yang disiapkan Nauna dan membiarkan istrinya itu bergabung di dapur bersama ipar-iparnya.

“Pagi ini, kami mau buat nasi goreng sosis dan telur dadar untuk sarapan. Kamu mau ikut menu kami atau mau masak yang lain, Nauna?” tanya Tari. Untuk yang satu ini, mereka tidak melupakan kesepakatan yang telah dibuat tentang menu masakan yang bisa didiskusikan.

“Ikut saja,” jawab Nauna acuh tak acuh. Untuk sarapan, mereka memang terbiasa dengan menu sederhana. Terkadang, hanya memasak nasi dan memanaskan lauk sisa semalam.

“Ya sudah, kalau begitu, kamu bikin telurnya,” perintah Lusi tanpa sungkan.

Nauna tidak berkata apa-apa, dia menuju kulkas besar di sisi kiri dapur dan membuka kedua pintunya bersamaan. Isi kulkas hampir kosong. Hanya ada beberapa butir telur, beberapa bungkus frozen food serta beberapa wadah berisi cabai, bawang dan lainnya.

Minuman kemasan dan snack yang baru dibeli Nauna kemarin sudah tidak ada disana. Anak-anak Tari atau Lusi pasti mengambilnya lagi atas izin orang tua mereka. Atau Tika mungkin memberikannya pada Bella—balitanya yang berumur dua tahun. Atau malah orang-orang dewasa di rumah ini yang mengambilnya tanpa sungkan.

Hal itu sudah sering terjadi. Itu lah mengapa Nauna mulai malas menyimpan apapun—selain bahan masakan—di kulkas. Sebab, siapapun di rumah ini tidak pernah meminta izin padanya. Seolah apapun isi di dalam kulkas adalah milik bersama, sementara mereka jarang sekali berkontribusi.

“Mbak, hari ini giliran Mbak Lusi belanja, kan?” Nauna memastikan, sekaligus mengingatkan. Dia menutup kembali pintu kulkas, setelah mengambil beberapa butir telur untuk didadar dan beberapa buah cabai dan bawang yang tersisa.

“Hah? Giliranku?” Lusi berlagak terkejut. “Oh, iya, aku hampir lupa,” sambungnya kemudian.

Terdengar berlebihan sekali. Padahal di pintu kulkas, sudah tertempel jadwal belanja mingguan yang beberapa bulan ini hanya jadi pajangan belaka.

“Tapi, maaf, Nau. Mas Rudy belum gajian. Uang kami sisa sedikit untuk jajan anak-anak. Rey juga sebentar lagi mau ikut study tour ke luar kota, biayanya dua juta lima ratus. Kami harus tutupi itu dulu.”

Nauna ingin marah, tapi dia menahannya sekuat hati. Tagihan bulanan yang seharusnya ditanggung Rudy—suami Lusi—sudah dilimpahkan pada Dean. Lantas, sekarang, untuk belanja mingguan pun, mereka banyak alasan.

Nauna bukan tidak mau mengerti kesulitan saudara. Tapi, akhir-akhir ini, dia mulai merasa ini tidak benar. Seolah-olah, dia dan Dean harus menanggung kewajiban orang lain setiap saat.

“Lalu bagaimana?” Nauna bertanya sembari memecahkan telur dan memindahkan isinya ke dalam mangkuk.

“Kamu tutupi dulu lah kebutuhan dapur untuk seminggu ke depan.” Enteng Lusi berkata, melimpahkan bebannya begitu saja pada Nauna.

“Kenapa harus aku lagi? Mbak Tari dan Mbak Tika seharusnya bisa membantu. Toh, beberapa bulan ini mereka juga belum pernah belanja satu kali pun,” sahut Nauna. Tangannya dengan cekatan mengiris cabai dan juga bawang sebagai pelengkap telur dadar.

“Loh, kenapa kamu jadi bawa-bawa kami?” Tari merasa tak terima.

“Ekonomi kami kan sedang nggak stabil, kami juga banyak kebutuhan, Nauna! Kamu nggak akan tau rasanya. Secara suamimu bergaji besar dan kamu nggak punya anak!” Pedas sekali mulut Tika. Sudut mata Nauna melirik ke arahnya.

“Tapi, aku lihat, kalian nggak sesusah itu sampai nggak mampu belanja kebutuhan dapur.”

“Sudah lah, Nauna. Hanya belanja kebutuhan dapur yang nggak seberapa saja, kamu begitu perhitungan. Nanti, kalau ekonomi kami sudah stabil, pasti kami akan belanja, kok,” ucap Lusi.

Seperti biasa, tiga perempuan itu selalu punya kata-kata untuk melempar tanggung jawab pada Nauna. Dia sebagai ipar termuda, seolah disudutkan untuk menerima setiap apapun yang mereka lemparkan.

Kemarin-kemarin, Nauna dengan patuh mengalah pada para iparnya. Tapi, mengingat obrolan rahasia mereka tadi, dia ingin sekali berontak.

“Ya sudah, kalau Mbak Lusi nggak mau belanja hari ini. Berarti untuk seminggu ke depan, aku dan Mas Dean akan makan di luar atau pesan makanan online,” kata Nauna sembari membuka kabinet atas dapur, lantas mengeluarkan wajan penggorengan dan menaruhnya di atas kompor. Dia mulai mendadar telur di bawah tatapan bingung ipar-iparnya.

“Maksud kamu apa, Nauna?” Lusi bertanya.

“Aku nggak akan belanja. Itu tanggung jawab Mbak Lusi, aku nggak ada kewajiban untuk itu,” jawab Nauna acuh tak acuh.

“Loh, kok kamu begitu sih, Nauna? Tega kamu lihat saudara-saudaramu dan keponakan-keponakanmu kelaparan?!” Tari membentak begitu paham maksud ucapan Nauna.

“Kalian nggak semiskin itu, sampai harus kelaparan. Jangan berlebihan, Mbak!”

“Nauna! Kamu itu benar-benar nggak punya perasaan, ya? Apa salahnya sih bantu saudara? Hanya belanja kebutuhan dapur saja, kamu pelit!” Tika mengomel seperti ibu-ibu kurang uang belanja.

“Bukan hanya belanja kebutuhan dapur yang seabrek, tapi juga bayar tagihan yang jutaan.” Nauna berkata sembari mematikan kompor dan memindahkan telur dadar yang sudah matang ke dalam piring pipih. “Kalau sesekali nggak apa-apa, aku akan mengerti dan menganggap seperti bantu saudara. Tapi, kalau sampai keterusan, apa namanya?”

“Baru beberapa kali saja sudah bilang begitu. Kami kan bukan nggak mau belanja dan bayar tagihan, tapi memang lagi banyak kebutuhan lain. Kemarin-kemarin kami belanja dan bayar tagihan sesuai kesepakatan, kok.” Lusi masih saja merasa paling benar, sama seperti Tari dan Tika.

“Kemarin-kemarin itu kapan, Mbak? Delapan bulan yang lalu?” Nauna mengungkit terakhir kali mereka menjalankan kesepakatan dengan adil.

“Perhitungan sekali kamu, Nauna! Suamimu saja nggak keberatan, kamu yang tinggal terima gaji suami malah perhitungan!”

Nauna baru menggerakkan bibir—hendak membalas ucapan Lusi—ketika dari ambang tembok pemisah, Dean muncul menghentikan debat kusir mereka pagi itu. Sebaris kalimat yang diucapkan laki-laki itu, berhasil membuat pagi Nauna semakin berantakan.

“Nau, jangan berdebat dengan kakak-kakakmu.”

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Waty Rosilawaty
Suami juga seharusnya berpihak pd isterinya bukan pd ipar2nya
goodnovel comment avatar
Waty Rosilawaty
Paling tdk baik tinggal serumah krn masing kepala berbeda pendpt, lgpula pasti ada sifat2 serakah dan tamak yg dimiliki, walaupun sebenarnya ada uangnya pasti enggan keluarkan krn sudah ke enakkan makan tanpa keluarkan uang lgian kamu Nauna jangan terus2an ikuti maunya para kakak2 iparmu
goodnovel comment avatar
Ana
lanjut terus
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status