Nauna tersentak saat namanya dan nama suaminya disebut. Jadi, ini semacam obrolan rahasia yang disembunyikan dari dirinya dan juga Dean? Dia merapatkan tubuh ke balik tembok dan memasang telinga baik-baik.
“Tadi, aku dengar mereka sedang berdebat soal tagihan listrik yang dibayarkan Dean. Aku pikir itu akan lama. Mereka mungkin masih di kamar sampai sekarang.” Tika berkata. Rupa-rupanya dia menguping pembicaraan Nauna dan Dean di kamar. Sungguh, tidak sopan!“Pokoknya, jangan sampai mereka dengar soal ini.” Lusi mewanti-wanti, seolah ada rahasia besar yang harus mereka pegang bersama.“Tenang, Mbak. Kami nggak akan bocor. Jadi, bisa terjual berapa?” Tari angkat suara, dia bertanya dengan penasaran.“Sekitar empat milyar rupiah,” sahut Lusi.Nauna terbelalak. Benda apa yang ingin mereka jual seharga empat milyar rupiah? Dia tidak bisa menerka. Apa itu tanah warisan atau yang lainnya?“Wah, kalau dibagi bertiga, bisa dapat masing-masing lebih dari satu milyar!” Tari berseru dengan senang, Lusi sampai harus mengingatkannya lagi agar memelankan suara.“Itu masih sementara, harganya bisa naik lagi. Mas Rudy sedang mencari orang lain yang bisa menawar dengan harga lebih tinggi.” Lusi kembali berkata.Nauna semakin penasaran. Dia tidak dilibatkan dalam obrolan rahasia ini dan mereka sengaja menyembunyikan darinya dan juga Dean. Apapun yang ingin mereka perjual belikan, pasti itu sesuatu yang sangat berharga.“Nauna?”Tersentak tubuh Nauna saat suara itu terdengar. Dia masih ingin mencuri dengar pembicaraan para iparnya, tapi seseorang sudah memergoki. Dia membalikkan badan dan menemukan suaminya berdiri di ambang pintu ruang makan.“Kamu sedang apa?” Alis Dean yang tebal hampir bertautan. Dia berjalan sedikit lebih dekat.Nauna melongok hati-hati ke arah dapur, hanya untuk memastikan bahwa ipar-iparnya itu tidak tahu dia menguping. Tapi, sepertinya mereka mendengar suara Dean. Terlihat dari bagaimana mereka mengubah topik pembicaraan secara tiba-tiba.“Rey mau ikut study tour minggu depan, biayanya lumayan. Sekitar dua juta lima ratus. Makin hari, makin banyak pengeluaran,” ujar Lusi sembari tangannya sibuk mengiris sosis. Suaranya memelas, seolah dia adalah ibu paling miskin di dunia.Nauna memutar bola matanya. Dia membuang napas kasar, lalu beranjak untuk menarik salah satu kursi yang mengelilingi meja makan besar di tengah ruangan.“Duduk dulu, Mas. Aku siapkan sarapan,” ucap Nauna pada Dean. Laki-laki itu menurut, dia duduk di kursi yang disiapkan Nauna dan membiarkan istrinya itu bergabung di dapur bersama ipar-iparnya.“Pagi ini, kami mau buat nasi goreng sosis dan telur dadar untuk sarapan. Kamu mau ikut menu kami atau mau masak yang lain, Nauna?” tanya Tari. Untuk yang satu ini, mereka tidak melupakan kesepakatan yang telah dibuat tentang menu masakan yang bisa didiskusikan.“Ikut saja,” jawab Nauna acuh tak acuh. Untuk sarapan, mereka memang terbiasa dengan menu sederhana. Terkadang, hanya memasak nasi dan memanaskan lauk sisa semalam.“Ya sudah, kalau begitu, kamu bikin telurnya,” perintah Lusi tanpa sungkan.Nauna tidak berkata apa-apa, dia menuju kulkas besar di sisi kiri dapur dan membuka kedua pintunya bersamaan. Isi kulkas hampir kosong. Hanya ada beberapa butir telur, beberapa bungkus frozen food serta beberapa wadah berisi cabai, bawang dan lainnya.Minuman kemasan dan snack yang baru dibeli Nauna kemarin sudah tidak ada disana. Anak-anak Tari atau Lusi pasti mengambilnya lagi atas izin orang tua mereka. Atau Tika mungkin memberikannya pada Bella—balitanya yang berumur dua tahun. Atau malah orang-orang dewasa di rumah ini yang mengambilnya tanpa sungkan.Hal itu sudah sering terjadi. Itu lah mengapa Nauna mulai malas menyimpan apapun—selain bahan masakan—di kulkas. Sebab, siapapun di rumah ini tidak pernah meminta izin padanya. Seolah apapun isi di dalam kulkas adalah milik bersama, sementara mereka jarang sekali berkontribusi.“Mbak, hari ini giliran Mbak Lusi belanja, kan?” Nauna memastikan, sekaligus mengingatkan. Dia menutup kembali pintu kulkas, setelah mengambil beberapa butir telur untuk didadar dan beberapa buah cabai dan bawang yang tersisa.“Hah? Giliranku?” Lusi berlagak terkejut. “Oh, iya, aku hampir lupa,” sambungnya kemudian.Terdengar berlebihan sekali. Padahal di pintu kulkas, sudah tertempel jadwal belanja mingguan yang beberapa bulan ini hanya jadi pajangan belaka.“Tapi, maaf, Nau. Mas Rudy belum gajian. Uang kami sisa sedikit untuk jajan anak-anak. Rey juga sebentar lagi mau ikut study tour ke luar kota, biayanya dua juta lima ratus. Kami harus tutupi itu dulu.”Nauna ingin marah, tapi dia menahannya sekuat hati. Tagihan bulanan yang seharusnya ditanggung Rudy—suami Lusi—sudah dilimpahkan pada Dean. Lantas, sekarang, untuk belanja mingguan pun, mereka banyak alasan.Nauna bukan tidak mau mengerti kesulitan saudara. Tapi, akhir-akhir ini, dia mulai merasa ini tidak benar. Seolah-olah, dia dan Dean harus menanggung kewajiban orang lain setiap saat.“Lalu bagaimana?” Nauna bertanya sembari memecahkan telur dan memindahkan isinya ke dalam mangkuk.“Kamu tutupi dulu lah kebutuhan dapur untuk seminggu ke depan.” Enteng Lusi berkata, melimpahkan bebannya begitu saja pada Nauna.“Kenapa harus aku lagi? Mbak Tari dan Mbak Tika seharusnya bisa membantu. Toh, beberapa bulan ini mereka juga belum pernah belanja satu kali pun,” sahut Nauna. Tangannya dengan cekatan mengiris cabai dan juga bawang sebagai pelengkap telur dadar.“Loh, kenapa kamu jadi bawa-bawa kami?” Tari merasa tak terima.“Ekonomi kami kan sedang nggak stabil, kami juga banyak kebutuhan, Nauna! Kamu nggak akan tau rasanya. Secara suamimu bergaji besar dan kamu nggak punya anak!” Pedas sekali mulut Tika. Sudut mata Nauna melirik ke arahnya.“Tapi, aku lihat, kalian nggak sesusah itu sampai nggak mampu belanja kebutuhan dapur.”“Sudah lah, Nauna. Hanya belanja kebutuhan dapur yang nggak seberapa saja, kamu begitu perhitungan. Nanti, kalau ekonomi kami sudah stabil, pasti kami akan belanja, kok,” ucap Lusi.Seperti biasa, tiga perempuan itu selalu punya kata-kata untuk melempar tanggung jawab pada Nauna. Dia sebagai ipar termuda, seolah disudutkan untuk menerima setiap apapun yang mereka lemparkan.Kemarin-kemarin, Nauna dengan patuh mengalah pada para iparnya. Tapi, mengingat obrolan rahasia mereka tadi, dia ingin sekali berontak.“Ya sudah, kalau Mbak Lusi nggak mau belanja hari ini. Berarti untuk seminggu ke depan, aku dan Mas Dean akan makan di luar atau pesan makanan online,” kata Nauna sembari membuka kabinet atas dapur, lantas mengeluarkan wajan penggorengan dan menaruhnya di atas kompor. Dia mulai mendadar telur di bawah tatapan bingung ipar-iparnya.“Maksud kamu apa, Nauna?” Lusi bertanya.“Aku nggak akan belanja. Itu tanggung jawab Mbak Lusi, aku nggak ada kewajiban untuk itu,” jawab Nauna acuh tak acuh.“Loh, kok kamu begitu sih, Nauna? Tega kamu lihat saudara-saudaramu dan keponakan-keponakanmu kelaparan?!” Tari membentak begitu paham maksud ucapan Nauna.“Kalian nggak semiskin itu, sampai harus kelaparan. Jangan berlebihan, Mbak!”“Nauna! Kamu itu benar-benar nggak punya perasaan, ya? Apa salahnya sih bantu saudara? Hanya belanja kebutuhan dapur saja, kamu pelit!” Tika mengomel seperti ibu-ibu kurang uang belanja.“Bukan hanya belanja kebutuhan dapur yang seabrek, tapi juga bayar tagihan yang jutaan.” Nauna berkata sembari mematikan kompor dan memindahkan telur dadar yang sudah matang ke dalam piring pipih. “Kalau sesekali nggak apa-apa, aku akan mengerti dan menganggap seperti bantu saudara. Tapi, kalau sampai keterusan, apa namanya?”“Baru beberapa kali saja sudah bilang begitu. Kami kan bukan nggak mau belanja dan bayar tagihan, tapi memang lagi banyak kebutuhan lain. Kemarin-kemarin kami belanja dan bayar tagihan sesuai kesepakatan, kok.” Lusi masih saja merasa paling benar, sama seperti Tari dan Tika.“Kemarin-kemarin itu kapan, Mbak? Delapan bulan yang lalu?” Nauna mengungkit terakhir kali mereka menjalankan kesepakatan dengan adil.“Perhitungan sekali kamu, Nauna! Suamimu saja nggak keberatan, kamu yang tinggal terima gaji suami malah perhitungan!”Nauna baru menggerakkan bibir—hendak membalas ucapan Lusi—ketika dari ambang tembok pemisah, Dean muncul menghentikan debat kusir mereka pagi itu. Sebaris kalimat yang diucapkan laki-laki itu, berhasil membuat pagi Nauna semakin berantakan.“Nau, jangan berdebat dengan kakak-kakakmu.”Andaikan bisa menolak, Jihan tentu tidak akan mengatakan iya. Masalahnya adalah, apa yang diminta oleh Jeremy juga merupakan tuntutan dari pengadilan. Oleh karena itu, dia sama sekali tidak punya pilihan, selain menerima dengan berat hati. Pada akhirnya, rumah itu benar-benar dikembalikan kepada pemiliknya. Betapa bersyukurnya Dean dan Nauna ketika menerima kembali sertifikat rumah yang selama ini mereka perjuangkan. Air mata bahagia tumpah ruah, pasangan suami istri itu saling memeluk, sambil tak henti mengucap syukur. Hari berganti. Jihan dan Viola mulai mengemasi barang-barang milik mereka dan juga milik Jeremy untuk di bawa pergi. Alvaro dan beberapa orang suruhan membantu mereka membawakan barang-barang tersebut ke dalam mobil pickup. Setelah memastikan semuanya sudah terbawa, Jihan melangkah keluar dengan langkah yang begitu berat. Raut wajahnya benar-benar suram. Kesedihan masih tampak jelas dari kedua matanya yang sembab. Viola dan Alvaro yang mendampingi sang ibu, hanya bi
“Apa yang dilakukan perempuan itu di sini tadi? Dia menemuimu?” Alvaro bertanya dengan tajam. Tatapannya mengarah lurus pada Jeremy yang duduk diam di hadapannya. Tidak ada jawaban. Jeremy tidak berkata apa-apa. Dia hanya mengangkat pandangan yang semula terpaku pada permukaan meja, lalu menatap Alvaro dengan tatapan dingin. Aura suram menguar dari keseluruhan dia pada saat ini. Sangat jauh berbeda dibandingkan dengan pada saat dia berhadapan dengan Dinara. Alvaro berdecak kesal, tidak suka dengan reaksi Jeremy yang seperti ini. Dia menginginkan jawaban atas pertanyaannya, bukan sorot mata dingin dan mengintimidasi. “Nggak salah lagi, dia pasti datang untuk menemuimu dan kamu pasti bersedia bertemu dengannya.” Alvaro menyimpulkan sendiri, sebab tak kunjung mendapat jawaban. Jeremy masih belum menanggapi, alih-alih membiarkan Alvaro kembali berkata-kata, “Seharusnya, kamu menolak bertemu dengannya, Kak. Dia pasti datang untuk menertawakanmu, kan? Dia pasti senang melihatmu seperti
Hampir tiga puluh menit berlalu sejak tiba di kantor polisi, Dinara masih saja berdiam diri di dalam mobil. Bukan tanpa alasan, perempuan itu hanya perlu waktu sedikit lebih lama, untuk menyiapkan hati dan meyakinkan diri, sebelum benar-benar pergi menemui Jeremy. Sebab, bukan hal mudah untuk berhadapan dengan Jeremy di ketika ini. Jika kemarin siang saja laki-laki itu bisa menunjukkan kemarahan yang begitu menggebu-gebu terhadap dirinya, lantas bagaimana dengan hari ini? Biar bagaimanapun, ditahannya Jeremy, tidak terlepas dari upaya Dinara yang diam-diam merekam pembicaraan mereka kemarin lalu. Jadi, bukan tidak mungkin dia akan meluapkan kemarahan, jika mereka bertemu nanti. Pemikiran itulah yang membuat Dinara merasa was-was. Namun demikian, dia tidak bisa mundur begitu saja. Apapun yang terjadi, dia harus tetap bertemu dan bicara dengan Jeremy. Bukan sekedar untuk memenuhi permintaan Viola, melainkan juga untuk menuruti kata hatinya sendiri. Pada akhirnya, setelah memeriksa w
Sebagaimana yang dikatakan oleh Dinara, rekaman suara itu benar-benar bisa menjadi barang bukti yang kuat. Beberapa jam setelah Dean menyerahkannya pada polisi, Jeremy akhirnya resmi di tahan. Rasa kaget dan tak percaya tentu saja menyeruak dalam diri Jeremy, saat polisi menunjukkan surat perintah penahanan terhadap dirinya. Mereka mengatakan, sudah ada bukti yang menguatkan dugaan, bahwa dirinya terlibat dalam kasus penipuan yang dilakukan oleh Rudy. Hal yang membuat Jeremy merasa semakin kalut adalah, polisi menahannya ketika dia sedang memimpin rapat di kantor. Akibatnya, bukan hanya orang-orang yang berada di ruang rapat, tapi hampir semua orang yang ada di kantor melihat dengan mata kepala mereka sendiri, bagaimana dia dibawa pergi oleh polisi. Desas-desus tentang sang CEO yang ditangkap oleh polisi seketika menyebar dengan cepat. Berbagai spekulasi bermunculan. Dalam sekejap, Jeremy telah menjadi perbincangan hangat semua orang di perusahaannya, dan reputasinya benar-benar te
Jeremy menyorot Dinara dengan bias kemarahan di kedua matanya. Aura suram dan mengintimidasi yang menyeruak dari kesuluruhan dia, berhasil membuat mantan istrinya itu menahan napas selama sepersekian detik. “Apa yang sudah kamu katakan pada ibuku?” Sekali lagi, Jeremy mengulang pertanyaan yang sama, namun dengan nada yang lebih ditekan-tekankan dari sebelumnya. Dinara tidak segera menjawab, alih-alih menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Dalam diam, dia tengah mengatur debar jantung yang sempat berpacu dengan kencang, begitu pula dengan ritme pernapasan yang sempat tertahan hingga akhirnya menjadi berantakan. Dinara sepenuhnya mengerti, cara terbaik menghadapi seseorang yang sedang diselimuti emosi seperti Jeremy di ketika ini, adalah dengan bersikap tenang dan hati-hati. Karena itu, Dinara sebisa mungkin menciptakan aura tenang di keseluruhan dirinya, alih-alih menunjukkan ketakutan dan rasa terintimidasi yang kentara. “Kamu bilang padanya tentang kasus pen
"Mas?" Nauna menahan langkah saat dia dan Dean baru saja keluar dari ruangan tempat bertemu dengan Lusi. Ketika laki-laki itu menoleh dan mengunci tatap padanya, dia segera bertanya dengan hati-hati, "Kamu sungguh-sungguh sudah memaafkan Mbak Lusi?"Dean tidak langsung menjawab. Sesaat, dia menatap Nauna dalam-dalam. Sekian detik kemudian, barulah dia buka suara, tapi bukan untuk memberikan jawaban, alih-alih balik bertanya, "Apa aku terlihat nggak bersungguh-sungguh, Nau?""Bukan begitu, Mas." Nauna segera menyangkal. "Aku hanya ingin memastikan. Maksudku... Mbak Lusi sudah melakukan hal yang sangat merugikanmu. Apakah semudah itu dia mendapatkan maaf darimu?"Dean lagi-lagi tidak segera menjawab, alih-alih mengajak Nauna duduk di kursi yang berada tak jauh dari mereka. Setelah duduk, Dean mulai berkata-kata, "Sebenarnya, nggak semudah itu, Nau. Jujur, aku juga merasa berat, tapi..." Dean menggantung sebentar kalimatnya. Setelah menghela napas berat, barulah dia genapkan, "Bagaimanap