Itu bukan yang Nauna inginkan. Dia tidak berharap Dean mendukungnya, tapi setidaknya jangan ikut campur.
“Apa yang kalian perdebatkan?” Meski sedari tadi dia mendengar apa yang diperdebatkan istri dan ipar-iparnya, tapi Dean tetap bertanya untuk memastikan.“Hari ini giliran Mbak Lusi belanja mingguan dan dia nggak mau melakukan itu.” Nauna mengadu.“Bukan nggak mau, tapi lagi nggak bisa.” Lusi meralat. Dia lalu menatap adik iparnya yang laki-laki. “Dean, kamu tau sendiri kami lagi banyak kebutuhan. Anak-anak lagi banyak kegiatan di sekolah. Rey bahkan mau study tour ke luar kota dengan biaya yang nggak sedikit.”“Nggak apa-apa, Mbak. Biar minggu ini kami yang belanja.” Dean berkata tanpa berpikir dua kali. Nauna melayangkan tatapan protes, tapi dia tidak mengubah keputusannya. “Nauna, sarapannya sudah siap? Aku harus segera berangkat. Tolong cepat sedikit, ya?”Setelah berkata begitu, Dean beranjak meninggalkan dapur. Nauna mendengus tak percaya. Tapi, dia tidak membantah.“Lihat, suamimu saja nggak keberatan.” Lusi tersenyum puas. Begitu pun dengan Tika dan Tari.Nauna memilih tidak menanggapi. Pada saat ini, nasi goreng sudah matang. Nauna menunggu sampai Tari memindahkan nasi goreng itu ke dalam mangkuk besar. Lalu, dia mengambil alih dan membawanya ke ruang makan.Ternyata, meja makan sudah ramai. Kursi-kursi sudah terisi sebagian. Semua penghuni rumah—kecuali para istri—sudah mengambil tempat duduk masing-masing.Nauna meletakkan mangkuk besar di tengah-tengah meja. Kemudian, Lusi datang membawa sepiring telur dadar yang sudah dipotong-potong. Tari menyusul membawa teko air dan gelas untuk minum. Sedangkan Tika membawa peralatan makan seperti piring dan sendok.Para istri mulai melayani keluarga mereka masing-masing. Tari adalah yang paling sibuk, sebab anak kembarnya sangat berisik. Sienna dan Sierra bertengkar memperebutkan ponsel dan itu sudah sering terjadi—hampir setiap pagi.Tika juga sibuk, saling bergantian dengan Daniel, memangku Bella yang rewel enggan makan. Sementara Lusi, dia mulai bicara tentang hal-hal yang tidak penting dengan suami dan anak-anaknya.Nauna dan Dean adalah yang paling tenang. Mereka makan dan selesai tanpa bicara. Sesaat kemudian, Dean berpamitan pada semua orang—yang masih makan—untuk segera berangkat ke kantor. Nauna mengantarnya ke depan.“Nauna, maaf soal tadi. Aku nggak bermaksud membela mereka dibanding kamu. Aku cuma nggak mau ada perdebatan yang nggak berujung.” Dean berkata dalam perjalanan mereka menuju ke luar rumah.“Mas, bisa nggak, sekali saja, kita nggak mengalah sama mereka?” Nauna bertanya hati-hati.“Mereka itu saudara kita, Nauna. Keluarga kita. Ekonomi mereka sedang nggak stabil. Nggak ada salahnya membantu.” Dean memang murah hati. Dia mungkin tidak pernah berpikir negatif tentang orang lain. Tapi, Nauna tidak bisa seperti dia.“Aku mulai berpikir, bagaimana kalau ternyata mereka hanya memanfaatkan kita?” Nauna mengutarakan kecurigaannya. “Mungkin, mereka bukan nggak punya uang, tapi memang nggak mau mengeluarkan uang.”“Astaghfirullah, Nauna. Nggak boleh berpikiran buruk terhadap saudara sendiri. Nggak baik. Jangan begitu, ya?” Dean menasehatinya.“Tapi, mereka mencurigakan, Mas. Tadi aku dengar kalau—”“Om! Mau ikut!” teriak dua suara secara bersamaan.Pada saat ini, Sienna dan Sierra muncul. Seragam dan jilbab serupa membuat mereka nyaris tidak bisa dibedakan. Ini adalah tahun ke-empat si kembar memakai seragam merah putih.Di belakang si kembar, menyusul Yoga yang terlihat buru-buru memakai jaket. “Dean, kamu anterin si kembar ke sekolah, ya! Aku buru-buru mau ke kantor. Titip mereka, ya!”Setelah berkata begitu, Yoga berlari ke garasi. Dia mengeluarkan motor dan melesat pergi begitu saja. Dean tidak bisa berkata apa-apa selain membawa dua keponakannya itu masuk ke dalam mobil.Ini bukan pertama kali Yoga meninggalkan anak-anaknya seperti ini. Sudah sangat sering dan Dean yang penurut tidak pernah membantah. Padahal, sekolah si kembar dan kantornya berbeda arah.Nauna berjalan menyusul. Dean belum masuk ke dalam mobil. Dia menunggu istrinya tiba di dekatnya, kemudian mengulurkan tangannya.“Jangan lupa makan siang. Makanan kantin masih enak, kan? Kalau sudah bosan, bilang, ya? Biar aku buatkan bekal,” ucap Nauna sembari meraih tangan Dean dan menciumnya dengan takzim. Dia tidak jadi menyambung kalimat yang terpotong dan memutuskan untuk bicara nanti.Dean mengangguk dan tersenyum. Dia masuk ke dalam mobil, sementara Nauna berlari untuk membuka pintu gerbang. Yoga yang buru-buru hanya membukanya sedikit untuk meloloskan motor.“Aku berangkat, ya?” Dean menyembulkan kepala lewat jendela mobil saat hampir melewati gerbang. “Assalamu’alaikum,” pamitnya.“Wa'alaikumsalam. Hati-hati, Mas!”Klakson dibunyikan satu kali. Nauna melepas kepergian Dean untuk beberapa saat. Setelah memastikan mobil yang dikendarai suaminya tak lagi terlihat, dia beranjak masuk ke dalam rumah.Pada saat melewati pintu, dia berpapasan dengan Rey dan Citra. Dua anak remaja dengan seragam yang berbeda itu melewatinya begitu saja. Mereka memang tidak akrab sama sekali.Tiba-tiba, Nauna teringat sesuatu. Dia memanggil Rey yang baru akan pergi ke garasi untuk mengambil motornya. Anak laki-laki itu menoleh. Pada saat ini, Nauna baru menyadari bahwa mereka jarang sekali berbicara selama tinggal satu atap.“Rey, kamu mau ikut study tour ke luar kota, ya? Benar begitu?”Pertanyaan Nauna, menimbulkan garis-garis bingung di wajah Rey. Sementara Citra yang berdiri di sebelah kakaknya hanya menyimak tanpa menyela.“Nggak.” Rey menjawab singkat. Dia memang tidak banyak bicara.“Nggak? Kamu yakin?” Nauna masih ingin memastikan.Rey mengangguk. “Kenapa?”“Ah... Nggak. Tante hanya bertanya.” Nauna tersenyum canggung. “Ya sudah, kalian berangkat lah. Hati-hati di jalan, ya! Tante masuk dulu.”Di bawah tatapan bingung Rey dan Citra, Nauna beranjak masuk ke dalam rumah. Dia mendengus, mengingat bagaimana Lusi mengarang kebohongan tentang studytour Rey ke luar kota. Anak itu bahkan tidak tahu apa-apa.“Kamu sudah urus semua suratnya, Mas?”Samar-samar, Nauna mendengar suara Lusi dari ruang makan. Lagi-lagi, dia merapatkan tubuh ke tembok dan mencoba mencuri dengar.“Nanti dulu lah. Jangan buru-buru. Aku masih mau mencari pembeli yang bisa menawar dengan harga lebih mahal lagi.” Suara Rudy terdengar menyahut pelan. “Setelah itu, baru urus surat dan susun rencana untuk dapat tanda tangan Dean.”Nauna terkesiap mendengar nama suaminya terselip dalam obrolan mereka. Apa yang mereka ingin perjual belikan sampai harus menyusun rencana untuk mendapatkan tanda tangan Dean?“Itu yang paling sulit, Mas. Dia nggak akan semudah itu mau tanda tangan. Apalagi kalau dia tahu apa yang ingin kita jual.”“Karena itu, aku bilang jangan buru-buru. Kita susun rencana dulu.”Nauna tidak mengerti. Apa yang mereka rencanakan? Sepertinya, itu bukan hal baik untuk Dean. Terdengar dari betapa ambisius ucapan Lusi berikutnya.“Pokoknya, Dean harus tanda tangan surat itu, bagaimana pun caranya!”Andaikan bisa menolak, Jihan tentu tidak akan mengatakan iya. Masalahnya adalah, apa yang diminta oleh Jeremy juga merupakan tuntutan dari pengadilan. Oleh karena itu, dia sama sekali tidak punya pilihan, selain menerima dengan berat hati. Pada akhirnya, rumah itu benar-benar dikembalikan kepada pemiliknya. Betapa bersyukurnya Dean dan Nauna ketika menerima kembali sertifikat rumah yang selama ini mereka perjuangkan. Air mata bahagia tumpah ruah, pasangan suami istri itu saling memeluk, sambil tak henti mengucap syukur. Hari berganti. Jihan dan Viola mulai mengemasi barang-barang milik mereka dan juga milik Jeremy untuk di bawa pergi. Alvaro dan beberapa orang suruhan membantu mereka membawakan barang-barang tersebut ke dalam mobil pickup. Setelah memastikan semuanya sudah terbawa, Jihan melangkah keluar dengan langkah yang begitu berat. Raut wajahnya benar-benar suram. Kesedihan masih tampak jelas dari kedua matanya yang sembab. Viola dan Alvaro yang mendampingi sang ibu, hanya bi
“Apa yang dilakukan perempuan itu di sini tadi? Dia menemuimu?” Alvaro bertanya dengan tajam. Tatapannya mengarah lurus pada Jeremy yang duduk diam di hadapannya. Tidak ada jawaban. Jeremy tidak berkata apa-apa. Dia hanya mengangkat pandangan yang semula terpaku pada permukaan meja, lalu menatap Alvaro dengan tatapan dingin. Aura suram menguar dari keseluruhan dia pada saat ini. Sangat jauh berbeda dibandingkan dengan pada saat dia berhadapan dengan Dinara. Alvaro berdecak kesal, tidak suka dengan reaksi Jeremy yang seperti ini. Dia menginginkan jawaban atas pertanyaannya, bukan sorot mata dingin dan mengintimidasi. “Nggak salah lagi, dia pasti datang untuk menemuimu dan kamu pasti bersedia bertemu dengannya.” Alvaro menyimpulkan sendiri, sebab tak kunjung mendapat jawaban. Jeremy masih belum menanggapi, alih-alih membiarkan Alvaro kembali berkata-kata, “Seharusnya, kamu menolak bertemu dengannya, Kak. Dia pasti datang untuk menertawakanmu, kan? Dia pasti senang melihatmu seperti
Hampir tiga puluh menit berlalu sejak tiba di kantor polisi, Dinara masih saja berdiam diri di dalam mobil. Bukan tanpa alasan, perempuan itu hanya perlu waktu sedikit lebih lama, untuk menyiapkan hati dan meyakinkan diri, sebelum benar-benar pergi menemui Jeremy. Sebab, bukan hal mudah untuk berhadapan dengan Jeremy di ketika ini. Jika kemarin siang saja laki-laki itu bisa menunjukkan kemarahan yang begitu menggebu-gebu terhadap dirinya, lantas bagaimana dengan hari ini? Biar bagaimanapun, ditahannya Jeremy, tidak terlepas dari upaya Dinara yang diam-diam merekam pembicaraan mereka kemarin lalu. Jadi, bukan tidak mungkin dia akan meluapkan kemarahan, jika mereka bertemu nanti. Pemikiran itulah yang membuat Dinara merasa was-was. Namun demikian, dia tidak bisa mundur begitu saja. Apapun yang terjadi, dia harus tetap bertemu dan bicara dengan Jeremy. Bukan sekedar untuk memenuhi permintaan Viola, melainkan juga untuk menuruti kata hatinya sendiri. Pada akhirnya, setelah memeriksa w
Sebagaimana yang dikatakan oleh Dinara, rekaman suara itu benar-benar bisa menjadi barang bukti yang kuat. Beberapa jam setelah Dean menyerahkannya pada polisi, Jeremy akhirnya resmi di tahan. Rasa kaget dan tak percaya tentu saja menyeruak dalam diri Jeremy, saat polisi menunjukkan surat perintah penahanan terhadap dirinya. Mereka mengatakan, sudah ada bukti yang menguatkan dugaan, bahwa dirinya terlibat dalam kasus penipuan yang dilakukan oleh Rudy. Hal yang membuat Jeremy merasa semakin kalut adalah, polisi menahannya ketika dia sedang memimpin rapat di kantor. Akibatnya, bukan hanya orang-orang yang berada di ruang rapat, tapi hampir semua orang yang ada di kantor melihat dengan mata kepala mereka sendiri, bagaimana dia dibawa pergi oleh polisi. Desas-desus tentang sang CEO yang ditangkap oleh polisi seketika menyebar dengan cepat. Berbagai spekulasi bermunculan. Dalam sekejap, Jeremy telah menjadi perbincangan hangat semua orang di perusahaannya, dan reputasinya benar-benar te
Jeremy menyorot Dinara dengan bias kemarahan di kedua matanya. Aura suram dan mengintimidasi yang menyeruak dari kesuluruhan dia, berhasil membuat mantan istrinya itu menahan napas selama sepersekian detik. “Apa yang sudah kamu katakan pada ibuku?” Sekali lagi, Jeremy mengulang pertanyaan yang sama, namun dengan nada yang lebih ditekan-tekankan dari sebelumnya. Dinara tidak segera menjawab, alih-alih menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Dalam diam, dia tengah mengatur debar jantung yang sempat berpacu dengan kencang, begitu pula dengan ritme pernapasan yang sempat tertahan hingga akhirnya menjadi berantakan. Dinara sepenuhnya mengerti, cara terbaik menghadapi seseorang yang sedang diselimuti emosi seperti Jeremy di ketika ini, adalah dengan bersikap tenang dan hati-hati. Karena itu, Dinara sebisa mungkin menciptakan aura tenang di keseluruhan dirinya, alih-alih menunjukkan ketakutan dan rasa terintimidasi yang kentara. “Kamu bilang padanya tentang kasus pen
"Mas?" Nauna menahan langkah saat dia dan Dean baru saja keluar dari ruangan tempat bertemu dengan Lusi. Ketika laki-laki itu menoleh dan mengunci tatap padanya, dia segera bertanya dengan hati-hati, "Kamu sungguh-sungguh sudah memaafkan Mbak Lusi?"Dean tidak langsung menjawab. Sesaat, dia menatap Nauna dalam-dalam. Sekian detik kemudian, barulah dia buka suara, tapi bukan untuk memberikan jawaban, alih-alih balik bertanya, "Apa aku terlihat nggak bersungguh-sungguh, Nau?""Bukan begitu, Mas." Nauna segera menyangkal. "Aku hanya ingin memastikan. Maksudku... Mbak Lusi sudah melakukan hal yang sangat merugikanmu. Apakah semudah itu dia mendapatkan maaf darimu?"Dean lagi-lagi tidak segera menjawab, alih-alih mengajak Nauna duduk di kursi yang berada tak jauh dari mereka. Setelah duduk, Dean mulai berkata-kata, "Sebenarnya, nggak semudah itu, Nau. Jujur, aku juga merasa berat, tapi..." Dean menggantung sebentar kalimatnya. Setelah menghela napas berat, barulah dia genapkan, "Bagaimanap