Share

Bab 3

Itu bukan yang Nauna inginkan. Dia tidak berharap Dean mendukungnya, tapi setidaknya jangan ikut campur.

“Apa yang kalian perdebatkan?” Meski sedari tadi dia mendengar apa yang diperdebatkan istri dan ipar-iparnya, tapi Dean tetap bertanya untuk memastikan.

“Hari ini giliran Mbak Lusi belanja mingguan dan dia nggak mau melakukan itu.” Nauna mengadu.

“Bukan nggak mau, tapi lagi nggak bisa.” Lusi meralat. Dia lalu menatap adik iparnya yang laki-laki. “Dean, kamu tau sendiri kami lagi banyak kebutuhan. Anak-anak lagi banyak kegiatan di sekolah. Rey bahkan mau study tour ke luar kota dengan biaya yang nggak sedikit.”

“Nggak apa-apa, Mbak. Biar minggu ini kami yang belanja.” Dean berkata tanpa berpikir dua kali. Nauna melayangkan tatapan protes, tapi dia tidak mengubah keputusannya. “Nauna, sarapannya sudah siap? Aku harus segera berangkat. Tolong cepat sedikit, ya?”

Setelah berkata begitu, Dean beranjak meninggalkan dapur. Nauna mendengus tak percaya. Tapi, dia tidak membantah.

“Lihat, suamimu saja nggak keberatan.” Lusi tersenyum puas. Begitu pun dengan Tika dan Tari.

Nauna memilih tidak menanggapi. Pada saat ini, nasi goreng sudah matang. Nauna menunggu sampai Tari memindahkan nasi goreng itu ke dalam mangkuk besar. Lalu, dia mengambil alih dan membawanya ke ruang makan.

Ternyata, meja makan sudah ramai. Kursi-kursi sudah terisi sebagian. Semua penghuni rumah—kecuali para istri—sudah mengambil tempat duduk masing-masing.

Nauna meletakkan mangkuk besar di tengah-tengah meja. Kemudian, Lusi datang membawa sepiring telur dadar yang sudah dipotong-potong. Tari menyusul membawa teko air dan gelas untuk minum. Sedangkan Tika membawa peralatan makan seperti piring dan sendok.

Para istri mulai melayani keluarga mereka masing-masing. Tari adalah yang paling sibuk, sebab anak kembarnya sangat berisik. Sienna dan Sierra bertengkar memperebutkan ponsel dan itu sudah sering terjadi—hampir setiap pagi.

Tika juga sibuk, saling bergantian dengan Daniel, memangku Bella yang rewel enggan makan. Sementara Lusi, dia mulai bicara tentang hal-hal yang tidak penting dengan suami dan anak-anaknya.

Nauna dan Dean adalah yang paling tenang. Mereka makan dan selesai tanpa bicara. Sesaat kemudian, Dean berpamitan pada semua orang—yang masih makan—untuk segera berangkat ke kantor. Nauna mengantarnya ke depan.

“Nauna, maaf soal tadi. Aku nggak bermaksud membela mereka dibanding kamu. Aku cuma nggak mau ada perdebatan yang nggak berujung.” Dean berkata dalam perjalanan mereka menuju ke luar rumah.

“Mas, bisa nggak, sekali saja, kita nggak mengalah sama mereka?” Nauna bertanya hati-hati.

“Mereka itu saudara kita, Nauna. Keluarga kita. Ekonomi mereka sedang nggak stabil. Nggak ada salahnya membantu.” Dean memang murah hati. Dia mungkin tidak pernah berpikir negatif tentang orang lain. Tapi, Nauna tidak bisa seperti dia.

“Aku mulai berpikir, bagaimana kalau ternyata mereka hanya memanfaatkan kita?” Nauna mengutarakan kecurigaannya. “Mungkin, mereka bukan nggak punya uang, tapi memang nggak mau mengeluarkan uang.”

“Astaghfirullah, Nauna. Nggak boleh berpikiran buruk terhadap saudara sendiri. Nggak baik. Jangan begitu, ya?” Dean menasehatinya.

“Tapi, mereka mencurigakan, Mas. Tadi aku dengar kalau—”

“Om! Mau ikut!” teriak dua suara secara bersamaan.

Pada saat ini, Sienna dan Sierra muncul. Seragam dan jilbab serupa membuat mereka nyaris tidak bisa dibedakan. Ini adalah tahun ke-empat si kembar memakai seragam merah putih.

Di belakang si kembar, menyusul Yoga yang terlihat buru-buru memakai jaket. “Dean, kamu anterin si kembar ke sekolah, ya! Aku buru-buru mau ke kantor. Titip mereka, ya!”

Setelah berkata begitu, Yoga berlari ke garasi. Dia mengeluarkan motor dan melesat pergi begitu saja. Dean tidak bisa berkata apa-apa selain membawa dua keponakannya itu masuk ke dalam mobil.

Ini bukan pertama kali Yoga meninggalkan anak-anaknya seperti ini. Sudah sangat sering dan Dean yang penurut tidak pernah membantah. Padahal, sekolah si kembar dan kantornya berbeda arah.

Nauna berjalan menyusul. Dean belum masuk ke dalam mobil. Dia menunggu istrinya tiba di dekatnya, kemudian mengulurkan tangannya.

“Jangan lupa makan siang. Makanan kantin masih enak, kan? Kalau sudah bosan, bilang, ya? Biar aku buatkan bekal,” ucap Nauna sembari meraih tangan Dean dan menciumnya dengan takzim. Dia tidak jadi menyambung kalimat yang terpotong dan memutuskan untuk bicara nanti.

Dean mengangguk dan tersenyum. Dia masuk ke dalam mobil, sementara Nauna berlari untuk membuka pintu gerbang. Yoga yang buru-buru hanya membukanya sedikit untuk meloloskan motor.

“Aku berangkat, ya?” Dean menyembulkan kepala lewat jendela mobil saat hampir melewati gerbang. “Assalamu’alaikum,” pamitnya.

“Wa'alaikumsalam. Hati-hati, Mas!”

Klakson dibunyikan satu kali. Nauna melepas kepergian Dean untuk beberapa saat. Setelah memastikan mobil yang dikendarai suaminya tak lagi terlihat, dia beranjak masuk ke dalam rumah.

Pada saat melewati pintu, dia berpapasan dengan Rey dan Citra. Dua anak remaja dengan seragam yang berbeda itu melewatinya begitu saja. Mereka memang tidak akrab sama sekali.

Tiba-tiba, Nauna teringat sesuatu. Dia memanggil Rey yang baru akan pergi ke garasi untuk mengambil motornya. Anak laki-laki itu menoleh. Pada saat ini, Nauna baru menyadari bahwa mereka jarang sekali berbicara selama tinggal satu atap.

“Rey, kamu mau ikut study tour ke luar kota, ya? Benar begitu?”

Pertanyaan Nauna, menimbulkan garis-garis bingung di wajah Rey. Sementara Citra yang berdiri di sebelah kakaknya hanya menyimak tanpa menyela.

“Nggak.” Rey menjawab singkat. Dia memang tidak banyak bicara.

“Nggak? Kamu yakin?” Nauna masih ingin memastikan.

Rey mengangguk. “Kenapa?”

“Ah... Nggak. Tante hanya bertanya.” Nauna tersenyum canggung. “Ya sudah, kalian berangkat lah. Hati-hati di jalan, ya! Tante masuk dulu.”

Di bawah tatapan bingung Rey dan Citra, Nauna beranjak masuk ke dalam rumah. Dia mendengus, mengingat bagaimana Lusi mengarang kebohongan tentang studytour Rey ke luar kota. Anak itu bahkan tidak tahu apa-apa.

“Kamu sudah urus semua suratnya, Mas?”

Samar-samar, Nauna mendengar suara Lusi dari ruang makan. Lagi-lagi, dia merapatkan tubuh ke tembok dan mencoba mencuri dengar.

“Nanti dulu lah. Jangan buru-buru. Aku masih mau mencari pembeli yang bisa menawar dengan harga lebih mahal lagi.” Suara Rudy terdengar menyahut pelan. “Setelah itu, baru urus surat dan susun rencana untuk dapat tanda tangan Dean.”

Nauna terkesiap mendengar nama suaminya terselip dalam obrolan mereka. Apa yang mereka ingin perjual belikan sampai harus menyusun rencana untuk mendapatkan tanda tangan Dean?

“Itu yang paling sulit, Mas. Dia nggak akan semudah itu mau tanda tangan. Apalagi kalau dia tahu apa yang ingin kita jual.”

“Karena itu, aku bilang jangan buru-buru. Kita susun rencana dulu.”

Nauna tidak mengerti. Apa yang mereka rencanakan? Sepertinya, itu bukan hal baik untuk Dean. Terdengar dari betapa ambisius ucapan Lusi berikutnya.

“Pokoknya, Dean harus tanda tangan surat itu, bagaimana pun caranya!”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dewi Rb
cerita bodoh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status