“Ini apa, Mas?”
Nauna tidak berharap akan menemukan sesuatu yang membuat paginya berantakan hari ini. Tapi, selembar kertas itu seperti sengaja menunjukkan diri ketika dia sibuk memasukkan berkas-berkas penting ke dalam tas kerja suaminya.Pada saat itu, Dean belum selesai menata rambut. Dia terpaksa menoleh dan mendapati sorot mata tajam mengarah padanya. Lantas, dia menurunkan kelopak mata, hingga jatuh tatapnya pada selembar kertas di antara jari-jari Nauna.Oh, Dean tau kertas itu. Kemarin, dia memasukkannya ke dalam tas dan lupa membuangnya ke tempat sampah. Sekarang, dia sedikit menyesal.“Kamu bayarin tagihan air dan listrik bulan ini, Mas? Bukannya bulan ini giliran Mas Rudy yang bayar? Kenapa kamu lagi yang bayarin?” Nauna menatap penuh selidik.“Ah, itu, aku bantuin Mas Rudy untuk bayar pakai uangnya.” Dean tidak pandai berbohong, gelagatnya sungguh mencurigakan. Rambut yang hampir klimis berantakan lagi karena digaruk dengan asal.“Jangan bohong, Mas. Kamu yang bayarin pakai uangmu lagi kan? Sama seperti bulan-bulan lalu, dimana seharusnya kakak-kakakmu yang bayar.” Nauna terlihat kecewa.“Maaf, Nauna. Aku kasihan sama Mas Rudy, dia sedang banyak pengeluaran.”Dean akhirnya mengakui, dengan alasan yang selalu sama—rasa kasihan. Padahal Rudy—kakak pertamanya—tidak terlihat seperti seseorang yang harus dikasihani. Dia punya pekerjaan tetap sebagai karyawan di sebuah perusahaan percetakan. Tapi, Rudy selalu mengeluh gajinya kecil dan terpakai habis untuk kebutuhan istri dan anak-anaknya.Nauna bukan tak tahu bagaimana keseharian Lusi—istri Rudy. Dia sering berkumpul dengan ibu-ibu komplek, ikut arisan dan sering belanja, entah itu kebutuhan sendiri atau kebutuhan anak-anaknya yang sudah remaja. Tapi, untuk kebutuhan dapur, jarang sekali mau keluar uang. Padahal dia salah satu yang mencetuskan kesepakatan agar para istri yang tinggal di rumah ini saling bergantian berbelanja kebutuhan dapur setiap minggunya.“Kamu nggak seharusnya begini, Mas. Kita tinggal sama-sama di rumah ini. Kita sudah sepakat bayar tagihan air dan listrik secara bergiliran setiap bulannya. Begitupun dengan belanja kebutuhan dapur, kita semua sepakat bergantian mengisi kulkas setiap minggu. Tapi, selama satu tahun aku tinggal disini, kesepakatan itu hampir nggak pernah berjalan seperti seharusnya. Padahal, kakak-kakakmu lah yang membuat kesepakatan itu meskipun aku nggak setuju.” Nauna bicara panjang lebar.Dean menatapnya dengan raut bersalah. “Maaf, Nauna. Mereka semua sedang banyak pengeluaran. Anak-anak mereka sedang banyak kebutuhan.”“Tapi, bukan berarti kita harus menanggung kewajiban mereka, Mas. Tagihan di rumah ini nggak sedikit untuk ditanggung oleh satu orang. Padahal, di antara kita, kakak-kakakmu dan keluarganya lah yang lebih banyak memakai air dan juga listrik. Begitu juga soal urusan dapur, kita yang sering belanja, tapi mereka yang lebih banyak menghabiskan. Kalau seperti ini terus, seharusnya aturan dan kesepakatan itu nggak perlu ada, karena hanya kita berdua yang patuh.”“Nauna, tolong mengerti. Ini nggak akan selamanya. Seenggaknya, sampai ekonomi mereka stabil.”Nauna membuang napas kasar. Dia tidak suka berdebat soal ini dan ini bukan pertama kalinya. Karena itu, dia mengalah dan mengembalikan kertas di tangannya ke tempat dimana dia menemukannya.“Aku turun dulu, mau siapkan sarapan.”Setelah berkata begitu, Nauna beranjak keluar dari kamar dengan perasaan tak karuan.Satu tahun lalu, takdir membawa Nauna menikah dengan Dean—anak bungsu dari empat bersaudara. Semua kakak Dean adalah laki-laki. Mereka semua sudah menikah dan tinggal bersama-sama dalam satu rumah. Lantas, Nauna dibawa ikut tinggal disana. Meski awalnya menolak, dia akhirnya mengalah setelah Dean memberinya alasan mengapa mereka semua harus tinggal dalam satu atap.Dean bilang, rumah yang sekarang mereka tempati adalah satu-satunya harta peninggalan orang tuanya. Dulu, mereka punya perusahaan yang bergerak di bidang properti, namun setelah sang ayah meninggal sepuluh tahun lalu, perusahaan itu gulung tikar. Segala aset telah dijual untuk mempertahankan perusahaan, tapi semuanya sia-sia.Pada akhirnya, yang tersisa hanyalah rumah mewah berlantai dua dengan harga ditaksir mencapai milyaran. Sang Ibu tidak ingin rumah penuh kenangan itu dijual, lagi pula perusahaan sudah tidak dapat diselamatkan. Sebelum meninggal delapan tahun lalu, beliau berpesan agar anak-anaknya tidak meninggalkan rumah tersebut dan tetap tinggal bersama-sama disana.Nauna tidak mengetahui cerita itu sebelumnya. Dean tidak pernah menceritakan padanya sebelum menikah. Dia hanya bilang bahwa setelah menikah, mereka akan menempati rumah peninggalan orang tuanya. Dia tidak bilang, bahwa semua kakaknya juga tinggal disana bersama keluarga masing-masing.Pada hari dimana Nauna menginjakkan kaki untuk pertama kali di rumah itu dan melihat ada begitu banyak orang yang tinggal disana, dia baru mengetahui semuanya.“Ini permintaan terakhir ibuku, Nauna. Ibu ingin kami semua tinggal di sini bersama-sama, karena itu rumah ini nggak boleh dijual.” Begitu kata Dean untuk meyakinkan Nauna.Sebenarnya, Nauna agak heran. Bukankah dalam agama tidak boleh ada wasiat seperti itu? Setiap orang yang meninggal dunia, harus mewariskan harta peninggalan pada anak-anaknya dan dibagikan secara adil. Tidak boleh berwasiat agar anak-anaknya tidak menjual harta peninggalan. Rasanya tidak mungkin orang tua Dean tidak mengetahui hal itu.Apakah benar itu wasiat mending mertuanya? Nauna ragu, tapi tidak ingin memperpanjang urusan.Sekarang, rumah itu ditempati oleh empat keluarga—termasuk Dean dan Nauna. Rumah dua lantai dengan desain klasik modern itu cukup besar dan terlihat mewah. Ada banyak kamar dan ruangan yang bisa dipakai. Di setiap kamar, ada kamar mandi tersendiri. Halaman depan cukup luas dengan taman yang begitu asri. Ada kolam renang di bagian samping rumah dan tempat bersantai di halaman belakang.Tapi, semua itu tak lantas membuat Nauna merasa nyaman. Apalagi, ketika para ipar memberitahunya aturan dan kesepakatan yang telah mereka buat.“Di rumah ini, kita pakai dapur sama-sama dan masak sama-sama. Jadi, untuk kebutuhan dapur juga kita penuhi sama-sama. Supaya adil, setiap minggu kita bergiliran belanja kebutuhan dapur untuk stok satu minggu ke depan. Misalnya, minggu ini aku yang belanja, minggu depan Tari, minggu depannya lagi Tika, minggu selanjutnya kamu. Begitu seterusnya.” Lusi menjelaskan secara detail di hari pertama Nauna tinggal bersama ipar-iparnya.“Maaf, Mbak. Aku kurang setuju. Kenapa nggak masing-masing aja? Menurutku, urusan dapur nggak seharusnya dicampur. Apalagi selera kita berbeda-beda, nggak mungkin kita masak bersama-sama.” Nauna mencoba berpendapat kala itu, tapi dia malah mendapat tatapan sinis dari ipar-iparnya yang perempuan.“Kami udah terbiasa seperti itu. Soal selera bisa didiskusikan, kok. Kamu bisa ikut menu kami atau tinggal bilang mau makan apa, nanti kita masak sama-sama.” kata Tari, istri Yoga—kakak ke-dua Dean.“Benar. Selama ini, kami selalu seperti itu. Sebelum nikah sama kamu, Dean juga kami masakin sesuai seleranya, kok.” Tika, istri Daniel—kakak ke-tiga Dean—menimpali. Ah, betapa merepotkannya bagi Nauna, tapi dia tidak diberi pilihan lain.“Kita disini nggak ada pembantu. Cuma ada tukang kebun yang datang untuk bersihin halaman dan taman belakang. Itu juga kemauan Dean karena para laki-laki disini semua kerja. Jadi, nggak sempat ngurusin." Lusi bicara lagi."Kita perempuan mandiri, jadi nggak boleh manja dan bergantung sama orang lain. Nyapu, ngepel, nyuci piring dan lain-lain, kita lakukan secara bersama-sama. Untuk urusan nyuci baju, silahkan masing-masing, tapi harus di hari yang berbeda supaya nggak bentrok.” Kembali dia membeberkan apa-apa saja aturan di rumah ini.Rumah sebesar ini tidak ada pembantu? Terheran-heran Nauna kala itu. Dia rasa tidak berlebihan jika mereka mempekerjakan satu orang saja untuk meringankan pekerjaan rumah tangga. Tapi, mereka kan perempuan mandiri.“Lalu, untuk urusan bayar tagihan air, listrik, dan lain-lain, itu sudah disepakati oleh suami-suami kita, termasuk suami kamu, Nauna. Mereka sepakat bayar tagihan secara bergiliran setiap bulan. Jadi, adil,” terang Lusi lagi.Empat bulan pertama, aturan dan kesepakatan itu masih mereka lakukan seperti apa yang sudah dikatakan. Namun, bulan-bulan berikutnya, mereka mulai ingkar. Ketika tiba giliran untuk belanja, mereka mulai membuat banyak alasan. Begitupun saat tiba giliran bayar tagihan, ada saja alasan yang membuat Nauna dan Dean terpaksa menanggungnya.“Aku dan Mas Rudy lagi banyak pengeluaran. Kamu tau sendiri Rey dan Citra sedang banyak kegiatan di sekolah. Tiap hari kami keluar uang untuk anak-anak, sementara gaji Mas Rudy itu kecil. Dean kan gajinya paling besar diantara kakak-kakaknya, nggak apa-apa kan kalau bantu saudara sekali-sekali.”Itu salah satu senjata Lusi tiap kali ingin lari dari tanggung jawab. Selalu bawa-bawa anak dan menyinggung soal penghasilan Dean yang lebih besar dari kakak-kakaknya.Gaji Dean sebagai supervisor di sebuah perusahaan terkemuka di ibu kota memang lumayan besar, tapi bukan berarti semua tanggung jawab di rumah ini harus dilimpahkan kepadanya. Apalagi, tagihan yang lumayan tinggi setiap bulan. Belum lagi untuk belanja kebutuhan dapur. Mereka tinggal bersama, tapi tidak bekerjasama dalam hal ini.“Perusahaan tempat Mas Yoga bekerja sedang mengalami masalah. Itu berdampak pada gaji karyawannya, termasuk Mas Yoga. Gaji yang nggak seberapa, semakin dikurangi. Mana si kembar lagi banyak kebutuhan. Kamu ngerti dikit lah kondisi kami.” Tari punya alasannya sendiri untuk lepas dari tanggung jawab.“Aku bukan nggak mau belanja, tapi akhir-akhir ini toko lagi sepi, pemasukan berkurang. Sementara pampers dan susu Bella jalan terus. Kamu mana ngerti rasanya harus mementingkan kebutuhan anak daripada kebutuhan sendiri.” Alasan Tika memang sedikit menyakitkan. Dia memang sering menyinggung Nauna yang belum dikaruniai buah hati seperti mereka.Untungnya untuk urusan masak dan beres-beres rumah, mereka masih mau bekerjasama. Seperti pagi ini, saat Nauna turun untuk menyiapkan sarapan, para ipar perempuannya sudah ada disana lebih dulu.Belum sempat Nauna melewati tembok pemisah antara dapur dan ruang makan, langkahnya terhenti ketika mendengar para iparnya berbicara pelan.“Jadi, Mas Rudy sudah dapat calon pembeli?” Suara Tika yang pertama terdengar. “Laku berapa, Mbak?”“Sstt! Jangan keras-keras! Nanti Nauna dan Dean dengar!”Andaikan bisa menolak, Jihan tentu tidak akan mengatakan iya. Masalahnya adalah, apa yang diminta oleh Jeremy juga merupakan tuntutan dari pengadilan. Oleh karena itu, dia sama sekali tidak punya pilihan, selain menerima dengan berat hati. Pada akhirnya, rumah itu benar-benar dikembalikan kepada pemiliknya. Betapa bersyukurnya Dean dan Nauna ketika menerima kembali sertifikat rumah yang selama ini mereka perjuangkan. Air mata bahagia tumpah ruah, pasangan suami istri itu saling memeluk, sambil tak henti mengucap syukur. Hari berganti. Jihan dan Viola mulai mengemasi barang-barang milik mereka dan juga milik Jeremy untuk di bawa pergi. Alvaro dan beberapa orang suruhan membantu mereka membawakan barang-barang tersebut ke dalam mobil pickup. Setelah memastikan semuanya sudah terbawa, Jihan melangkah keluar dengan langkah yang begitu berat. Raut wajahnya benar-benar suram. Kesedihan masih tampak jelas dari kedua matanya yang sembab. Viola dan Alvaro yang mendampingi sang ibu, hanya bi
“Apa yang dilakukan perempuan itu di sini tadi? Dia menemuimu?” Alvaro bertanya dengan tajam. Tatapannya mengarah lurus pada Jeremy yang duduk diam di hadapannya. Tidak ada jawaban. Jeremy tidak berkata apa-apa. Dia hanya mengangkat pandangan yang semula terpaku pada permukaan meja, lalu menatap Alvaro dengan tatapan dingin. Aura suram menguar dari keseluruhan dia pada saat ini. Sangat jauh berbeda dibandingkan dengan pada saat dia berhadapan dengan Dinara. Alvaro berdecak kesal, tidak suka dengan reaksi Jeremy yang seperti ini. Dia menginginkan jawaban atas pertanyaannya, bukan sorot mata dingin dan mengintimidasi. “Nggak salah lagi, dia pasti datang untuk menemuimu dan kamu pasti bersedia bertemu dengannya.” Alvaro menyimpulkan sendiri, sebab tak kunjung mendapat jawaban. Jeremy masih belum menanggapi, alih-alih membiarkan Alvaro kembali berkata-kata, “Seharusnya, kamu menolak bertemu dengannya, Kak. Dia pasti datang untuk menertawakanmu, kan? Dia pasti senang melihatmu seperti
Hampir tiga puluh menit berlalu sejak tiba di kantor polisi, Dinara masih saja berdiam diri di dalam mobil. Bukan tanpa alasan, perempuan itu hanya perlu waktu sedikit lebih lama, untuk menyiapkan hati dan meyakinkan diri, sebelum benar-benar pergi menemui Jeremy. Sebab, bukan hal mudah untuk berhadapan dengan Jeremy di ketika ini. Jika kemarin siang saja laki-laki itu bisa menunjukkan kemarahan yang begitu menggebu-gebu terhadap dirinya, lantas bagaimana dengan hari ini? Biar bagaimanapun, ditahannya Jeremy, tidak terlepas dari upaya Dinara yang diam-diam merekam pembicaraan mereka kemarin lalu. Jadi, bukan tidak mungkin dia akan meluapkan kemarahan, jika mereka bertemu nanti. Pemikiran itulah yang membuat Dinara merasa was-was. Namun demikian, dia tidak bisa mundur begitu saja. Apapun yang terjadi, dia harus tetap bertemu dan bicara dengan Jeremy. Bukan sekedar untuk memenuhi permintaan Viola, melainkan juga untuk menuruti kata hatinya sendiri. Pada akhirnya, setelah memeriksa w
Sebagaimana yang dikatakan oleh Dinara, rekaman suara itu benar-benar bisa menjadi barang bukti yang kuat. Beberapa jam setelah Dean menyerahkannya pada polisi, Jeremy akhirnya resmi di tahan. Rasa kaget dan tak percaya tentu saja menyeruak dalam diri Jeremy, saat polisi menunjukkan surat perintah penahanan terhadap dirinya. Mereka mengatakan, sudah ada bukti yang menguatkan dugaan, bahwa dirinya terlibat dalam kasus penipuan yang dilakukan oleh Rudy. Hal yang membuat Jeremy merasa semakin kalut adalah, polisi menahannya ketika dia sedang memimpin rapat di kantor. Akibatnya, bukan hanya orang-orang yang berada di ruang rapat, tapi hampir semua orang yang ada di kantor melihat dengan mata kepala mereka sendiri, bagaimana dia dibawa pergi oleh polisi. Desas-desus tentang sang CEO yang ditangkap oleh polisi seketika menyebar dengan cepat. Berbagai spekulasi bermunculan. Dalam sekejap, Jeremy telah menjadi perbincangan hangat semua orang di perusahaannya, dan reputasinya benar-benar te
Jeremy menyorot Dinara dengan bias kemarahan di kedua matanya. Aura suram dan mengintimidasi yang menyeruak dari kesuluruhan dia, berhasil membuat mantan istrinya itu menahan napas selama sepersekian detik. “Apa yang sudah kamu katakan pada ibuku?” Sekali lagi, Jeremy mengulang pertanyaan yang sama, namun dengan nada yang lebih ditekan-tekankan dari sebelumnya. Dinara tidak segera menjawab, alih-alih menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Dalam diam, dia tengah mengatur debar jantung yang sempat berpacu dengan kencang, begitu pula dengan ritme pernapasan yang sempat tertahan hingga akhirnya menjadi berantakan. Dinara sepenuhnya mengerti, cara terbaik menghadapi seseorang yang sedang diselimuti emosi seperti Jeremy di ketika ini, adalah dengan bersikap tenang dan hati-hati. Karena itu, Dinara sebisa mungkin menciptakan aura tenang di keseluruhan dirinya, alih-alih menunjukkan ketakutan dan rasa terintimidasi yang kentara. “Kamu bilang padanya tentang kasus pen
"Mas?" Nauna menahan langkah saat dia dan Dean baru saja keluar dari ruangan tempat bertemu dengan Lusi. Ketika laki-laki itu menoleh dan mengunci tatap padanya, dia segera bertanya dengan hati-hati, "Kamu sungguh-sungguh sudah memaafkan Mbak Lusi?"Dean tidak langsung menjawab. Sesaat, dia menatap Nauna dalam-dalam. Sekian detik kemudian, barulah dia buka suara, tapi bukan untuk memberikan jawaban, alih-alih balik bertanya, "Apa aku terlihat nggak bersungguh-sungguh, Nau?""Bukan begitu, Mas." Nauna segera menyangkal. "Aku hanya ingin memastikan. Maksudku... Mbak Lusi sudah melakukan hal yang sangat merugikanmu. Apakah semudah itu dia mendapatkan maaf darimu?"Dean lagi-lagi tidak segera menjawab, alih-alih mengajak Nauna duduk di kursi yang berada tak jauh dari mereka. Setelah duduk, Dean mulai berkata-kata, "Sebenarnya, nggak semudah itu, Nau. Jujur, aku juga merasa berat, tapi..." Dean menggantung sebentar kalimatnya. Setelah menghela napas berat, barulah dia genapkan, "Bagaimanap