Share

Rencana Rahasia Para Ipar Serakah
Rencana Rahasia Para Ipar Serakah
Penulis: Vhiena Vhie

Bab 1

“Ini apa, Mas?”

Nauna tidak berharap akan menemukan sesuatu yang membuat paginya berantakan hari ini. Tapi, selembar kertas itu seperti sengaja menunjukkan diri ketika dia sibuk memasukkan berkas-berkas penting ke dalam tas kerja suaminya.

Pada saat itu, Dean belum selesai menata rambut. Dia terpaksa menoleh dan mendapati sorot mata tajam mengarah padanya. Lantas, dia menurunkan kelopak mata, hingga jatuh tatapnya pada selembar kertas di antara jari-jari Nauna.

Oh, Dean tau kertas itu. Kemarin, dia memasukkannya ke dalam tas dan lupa membuangnya ke tempat sampah. Sekarang, dia sedikit menyesal.

“Kamu bayarin tagihan air dan listrik bulan ini, Mas? Bukannya bulan ini giliran Mas Rudy yang bayar? Kenapa kamu lagi yang bayarin?” Nauna menatap penuh selidik.

“Ah, itu, aku bantuin Mas Rudy untuk bayar pakai uangnya.” Dean tidak pandai berbohong, gelagatnya sungguh mencurigakan. Rambut yang hampir klimis berantakan lagi karena digaruk dengan asal.

“Jangan bohong, Mas. Kamu yang bayarin pakai uangmu lagi kan? Sama seperti bulan-bulan lalu, dimana seharusnya kakak-kakakmu yang bayar.” Nauna terlihat kecewa.

“Maaf, Nauna. Aku kasihan sama Mas Rudy, dia sedang banyak pengeluaran.”

Dean akhirnya mengakui, dengan alasan yang selalu sama—rasa kasihan. Padahal Rudy—kakak pertamanya—tidak terlihat seperti seseorang yang harus dikasihani. Dia punya pekerjaan tetap sebagai karyawan di sebuah perusahaan percetakan. Tapi, Rudy selalu mengeluh gajinya kecil dan terpakai habis untuk kebutuhan istri dan anak-anaknya.

Nauna bukan tak tahu bagaimana keseharian Lusi—istri Rudy. Dia sering berkumpul dengan ibu-ibu komplek, ikut arisan dan sering belanja, entah itu kebutuhan sendiri atau kebutuhan anak-anaknya yang sudah remaja. Tapi, untuk kebutuhan dapur, jarang sekali mau keluar uang. Padahal dia salah satu yang mencetuskan kesepakatan agar para istri yang tinggal di rumah ini saling bergantian berbelanja kebutuhan dapur setiap minggunya.

“Kamu nggak seharusnya begini, Mas. Kita tinggal sama-sama di rumah ini. Kita sudah sepakat bayar tagihan air dan listrik secara bergiliran setiap bulannya. Begitupun dengan belanja kebutuhan dapur, kita semua sepakat bergantian mengisi kulkas setiap minggu. Tapi, selama satu tahun aku tinggal disini, kesepakatan itu hampir nggak pernah berjalan seperti seharusnya. Padahal, kakak-kakakmu lah yang membuat kesepakatan itu meskipun aku nggak setuju.” Nauna bicara panjang lebar.

Dean menatapnya dengan raut bersalah. “Maaf, Nauna. Mereka semua sedang banyak pengeluaran. Anak-anak mereka sedang banyak kebutuhan.”

“Tapi, bukan berarti kita harus menanggung kewajiban mereka, Mas. Tagihan di rumah ini nggak sedikit untuk ditanggung oleh satu orang. Padahal, di antara kita, kakak-kakakmu dan keluarganya lah yang lebih banyak memakai air dan juga listrik. Begitu juga soal urusan dapur, kita yang sering belanja, tapi mereka yang lebih banyak menghabiskan. Kalau seperti ini terus, seharusnya aturan dan kesepakatan itu nggak perlu ada, karena hanya kita berdua yang patuh.”

“Nauna, tolong mengerti. Ini nggak akan selamanya. Seenggaknya, sampai ekonomi mereka stabil.”

Nauna membuang napas kasar. Dia tidak suka berdebat soal ini dan ini bukan pertama kalinya. Karena itu, dia mengalah dan mengembalikan kertas di tangannya ke tempat dimana dia menemukannya.

“Aku turun dulu, mau siapkan sarapan.”

Setelah berkata begitu, Nauna beranjak keluar dari kamar dengan perasaan tak karuan.

Satu tahun lalu, takdir membawa Nauna menikah dengan Dean—anak bungsu dari empat bersaudara. Semua kakak Dean adalah laki-laki. Mereka semua sudah menikah dan tinggal bersama-sama dalam satu rumah. Lantas, Nauna dibawa ikut tinggal disana. Meski awalnya menolak, dia akhirnya mengalah setelah Dean memberinya alasan mengapa mereka semua harus tinggal dalam satu atap.

Dean bilang, rumah yang sekarang mereka tempati adalah satu-satunya harta peninggalan orang tuanya. Dulu, mereka punya perusahaan yang bergerak di bidang properti, namun setelah sang ayah meninggal sepuluh tahun lalu, perusahaan itu gulung tikar. Segala aset telah dijual untuk mempertahankan perusahaan, tapi semuanya sia-sia.

Pada akhirnya, yang tersisa hanyalah rumah mewah berlantai dua dengan harga ditaksir mencapai milyaran. Sang Ibu tidak ingin rumah penuh kenangan itu dijual, lagi pula perusahaan sudah tidak dapat diselamatkan. Sebelum meninggal delapan tahun lalu, beliau berpesan agar anak-anaknya tidak meninggalkan rumah tersebut dan tetap tinggal bersama-sama disana.

Nauna tidak mengetahui cerita itu sebelumnya. Dean tidak pernah menceritakan padanya sebelum menikah. Dia hanya bilang bahwa setelah menikah, mereka akan menempati rumah peninggalan orang tuanya. Dia tidak bilang, bahwa semua kakaknya juga tinggal disana bersama keluarga masing-masing.

Pada hari dimana Nauna menginjakkan kaki untuk pertama kali di rumah itu dan melihat ada begitu banyak orang yang tinggal disana, dia baru mengetahui semuanya.

“Ini permintaan terakhir ibuku, Nauna. Ibu ingin kami semua tinggal di sini bersama-sama, karena itu rumah ini nggak boleh dijual.” Begitu kata Dean untuk meyakinkan Nauna.

Sebenarnya, Nauna agak heran. Bukankah dalam agama tidak boleh ada wasiat seperti itu? Setiap orang yang meninggal dunia, harus mewariskan harta peninggalan pada anak-anaknya dan dibagikan secara adil. Tidak boleh berwasiat agar anak-anaknya tidak menjual harta peninggalan. Rasanya tidak mungkin orang tua Dean tidak mengetahui hal itu.

Apakah benar itu wasiat mending mertuanya? Nauna ragu, tapi tidak ingin memperpanjang urusan.

Sekarang, rumah itu ditempati oleh empat keluarga—termasuk Dean dan Nauna. Rumah dua lantai dengan desain klasik modern itu cukup besar dan terlihat mewah. Ada banyak kamar dan ruangan yang bisa dipakai. Di setiap kamar, ada kamar mandi tersendiri. Halaman depan cukup luas dengan taman yang begitu asri. Ada kolam renang di bagian samping rumah dan tempat bersantai di halaman belakang.

Tapi, semua itu tak lantas membuat Nauna merasa nyaman. Apalagi, ketika para ipar memberitahunya aturan dan kesepakatan yang telah mereka buat.

“Di rumah ini, kita pakai dapur sama-sama dan masak sama-sama. Jadi, untuk kebutuhan dapur juga kita penuhi sama-sama. Supaya adil, setiap minggu kita bergiliran belanja kebutuhan dapur untuk stok satu minggu ke depan. Misalnya, minggu ini aku yang belanja, minggu depan Tari, minggu depannya lagi Tika, minggu selanjutnya kamu. Begitu seterusnya.” Lusi menjelaskan secara detail di hari pertama Nauna tinggal bersama ipar-iparnya.

“Maaf, Mbak. Aku kurang setuju. Kenapa nggak masing-masing aja? Menurutku, urusan dapur nggak seharusnya dicampur. Apalagi selera kita berbeda-beda, nggak mungkin kita masak bersama-sama.” Nauna mencoba berpendapat kala itu, tapi dia malah mendapat tatapan sinis dari ipar-iparnya yang perempuan.

“Kami udah terbiasa seperti itu. Soal selera bisa didiskusikan, kok. Kamu bisa ikut menu kami atau tinggal bilang mau makan apa, nanti kita masak sama-sama.” kata Tari, istri Yoga—kakak ke-dua Dean.

“Benar. Selama ini, kami selalu seperti itu. Sebelum nikah sama kamu, Dean juga kami masakin sesuai seleranya, kok.” Tika, istri Daniel—kakak ke-tiga Dean—menimpali. Ah, betapa merepotkannya bagi Nauna, tapi dia tidak diberi pilihan lain.

“Kita disini nggak ada pembantu. Cuma ada tukang kebun yang datang untuk bersihin halaman dan taman belakang. Itu juga kemauan Dean karena para laki-laki disini semua kerja. Jadi, nggak sempat ngurusin." Lusi bicara lagi.

"Kita perempuan mandiri, jadi nggak boleh manja dan bergantung sama orang lain. Nyapu, ngepel, nyuci piring dan lain-lain, kita lakukan secara bersama-sama. Untuk urusan nyuci baju, silahkan masing-masing, tapi harus di hari yang berbeda supaya nggak bentrok.” Kembali dia membeberkan apa-apa saja aturan di rumah ini.

Rumah sebesar ini tidak ada pembantu? Terheran-heran Nauna kala itu. Dia rasa tidak berlebihan jika mereka mempekerjakan satu orang saja untuk meringankan pekerjaan rumah tangga. Tapi, mereka kan perempuan mandiri.

“Lalu, untuk urusan bayar tagihan air, listrik, dan lain-lain, itu sudah disepakati oleh suami-suami kita, termasuk suami kamu, Nauna. Mereka sepakat bayar tagihan secara bergiliran setiap bulan. Jadi, adil,” terang Lusi lagi.

Empat bulan pertama, aturan dan kesepakatan itu masih mereka lakukan seperti apa yang sudah dikatakan. Namun, bulan-bulan berikutnya, mereka mulai ingkar. Ketika tiba giliran untuk belanja, mereka mulai membuat banyak alasan. Begitupun saat tiba giliran bayar tagihan, ada saja alasan yang membuat Nauna dan Dean terpaksa menanggungnya.

“Aku dan Mas Rudy lagi banyak pengeluaran. Kamu tau sendiri Rey dan Citra sedang banyak kegiatan di sekolah. Tiap hari kami keluar uang untuk anak-anak, sementara gaji Mas Rudy itu kecil. Dean kan gajinya paling besar diantara kakak-kakaknya, nggak apa-apa kan kalau bantu saudara sekali-sekali.”

Itu salah satu senjata Lusi tiap kali ingin lari dari tanggung jawab. Selalu bawa-bawa anak dan menyinggung soal penghasilan Dean yang lebih besar dari kakak-kakaknya.

Gaji Dean sebagai supervisor di sebuah perusahaan terkemuka di ibu kota memang lumayan besar, tapi bukan berarti semua tanggung jawab di rumah ini harus dilimpahkan kepadanya. Apalagi, tagihan yang lumayan tinggi setiap bulan. Belum lagi untuk belanja kebutuhan dapur. Mereka tinggal bersama, tapi tidak bekerjasama dalam hal ini.

“Perusahaan tempat Mas Yoga bekerja sedang mengalami masalah. Itu berdampak pada gaji karyawannya, termasuk Mas Yoga. Gaji yang nggak seberapa, semakin dikurangi. Mana si kembar lagi banyak kebutuhan. Kamu ngerti dikit lah kondisi kami.” Tari punya alasannya sendiri untuk lepas dari tanggung jawab.

“Aku bukan nggak mau belanja, tapi akhir-akhir ini toko lagi sepi, pemasukan berkurang. Sementara pampers dan susu Bella jalan terus. Kamu mana ngerti rasanya harus mementingkan kebutuhan anak daripada kebutuhan sendiri.” Alasan Tika memang sedikit menyakitkan. Dia memang sering menyinggung Nauna yang belum dikaruniai buah hati seperti mereka.

Untungnya untuk urusan masak dan beres-beres rumah, mereka masih mau bekerjasama. Seperti pagi ini, saat Nauna turun untuk menyiapkan sarapan, para ipar perempuannya sudah ada disana lebih dulu.

Belum sempat Nauna melewati tembok pemisah antara dapur dan ruang makan, langkahnya terhenti ketika mendengar para iparnya berbicara pelan.

“Jadi, Mas Rudy sudah dapat calon pembeli?” Suara Tika yang pertama terdengar. “Laku berapa, Mbak?”

“Sstt! Jangan keras-keras! Nanti Nauna dan Dean dengar!”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ana
nice story
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status