Share

Bab 3. Kemarahan Sifa

Langkahnya yang cukup cepat membawanya ke sebuah warung yang cukup ramai. Warung kopi yang biasanya digunakan Ibu-ibu untuk nongkrong menunggu anaknya pulang sekolah.

“Mbak Irma!” Ibu-ibu menoleh ke pemilik sumber suara yang tak lain adalah Sifa. Wajah Sifa sudah terlihat merah padam dengan kedua tangan mengepal kuat.

“Eh, si miskin!” Irma melihat kedatangan Sifa dengan tatapan meremehkan.

“Kamu bilang apa sama Risa?”

“Oh, aku cuma bilang jika Risa tidak punya ayah! Upsss!” Tawa Irma membuat Sifa semakin marah. Sifa melangkah hingga keduanya saling berhadapan.

“Oh, jadi begini sikapmu pada keponakanmu sendiri?”

“Keponakan? Mana mau aku punya keponakan seperti sampah!” Dada Sifa terasa sesak ketika anak kandungnya disamakan drngan sampah.

Plak plak

Dua tamparan mendarat manis di pipi kanan dan kiri Irma. Bibir Irma bergetar hebat usai merasakan tamparan dari adik iparnya yang selalu dianggapnya tidak berdaya.

“Kamu berani menamparku?” Kedua mata Irma terlihat sudah berkaca-kaca, ditambah lagi dirinya kini menjadi pusat perhatian orang lain.

“Siapapun yang menghina Risa, pasti akan merasakan luka yang sama seperti yang dirasakannya!” Jari telunjuk Sifa mengarah ke wajah Irma yang sudah terlihat pucat.

“Akan aku adukan kepada Ibu!” Irma berlalu meninggalkan warung tersebut termasuk Sifa yang masih diam membeku melihat kakak iparnya pergi menggunakan motor keluaran terbaru.

Sifa kembali pulang ke rumah, bersiap menghadapi mertuanya yang kemungkinan akan datang sebentar lagi karena aduan Irma. Belum juga dirinya sampai di rumah, sudah terdengar deru motor yang sama dikendarai oleh Irma. Sifa gegas ke depan rumah untuk menyambut kedatangan mereka berdua. Marni turun dari motor dengan angkuhnya menghampiri Sifa yang sudah berdiri di depan pintu.

“Berani-beraninya kamu menampar menantuku yang cantik ini, Sifa?” Sifa tersenyum menghina ke arah Irma yang sok menjadi yang tersakiti.

“Cantik? Cantik tapi hatinya busuk!” jawaban Sifa semakin membuat Marni marah.

“Apa kau bilang? Irma lebih baik dari kamu, Sifa!”

“Begitu ya! Jadi menurut Ibu baik adalah orang yang suka menghina seorang anak kecil?” Seketika kedua mata Marni menatap Irma di sampingnya.

“A-aku hanya bilang jika ayah Risa tidak akan kembali lagi! Itu memang kenyataan!” Jawab Irma dengan malu-malu. Marni menghembuskan napas besar kemudian menatap Sifa.

“Yang dibilang Irma benar. Sulhan tidak akan kembali padamu karena dia sudah aku nikahkan dengan orang lain tiga tahun yang lalu!” Dada Sifa bergemuruh mendengar sebuah kenyataan dari Ibu mertuanya. Kenyataan yang sangat begitu pahit dan menyakitkan. Hampir saja Sifa terjatuh karena kabar yang baru saja didengarnya, hanya saja Sifa tetap tegar dan berusaha bersikap tegas karena sosok kedua wanita di depannya pasti akan menindasnya ketika dirinya terlihat lemah.

“Oh! Ya sudah kalau begitu! Aku tidak perlu lagi menjadi pembantu di rumah Bu Marni lagi! Silahkan Irma dan Rana dipanggil jika butuh tenaga jika ada hajatan atau acara di rumah Ibu!” Marni dan Irma tidak menyangka jika niatnya membuat Sifa terluka ternyata gagal dan terlihat biasa saja.

“Kamu tidak sedih?” Marni memastikan perasaan Sifa saat ini.

“Kenapa harus sedih? Kami berdua sudah terbiasa tanpa Mas Sulhan. Untuk apa aku harus bersedih?” Marni dan Irma saling bertatapan, merasa ada yang aneh dengan Sifa.

“Kamu sehat kan, Sifa?” Tangan Marni ditepis Sifa saat hendak memastikan dahi Sifa.

“Sehat, bahkan menampar Mbak Irma juga masih sehat! Sebaiknya Bu Marni dan Irma pulang sekarang daripada saya siram pakai air!” Tidak peduli jika harus dikatakan durhaka pada mertua, asalkan anaknya tidak terganggu dan tidak mengetahui sebuah kenyataan yang baru saja dikatakan Marni.

Brak

Sifa dengan keras menutup pintu rumahnya dan masuk memastikan Risa masih tidur siang. Baru juga hendak masuk kamar, Sifa sudah dikejutkan isak tangis gadis kecilnya di balik pintu kamarnya.

“Risa, kenapa menangis?” Sifa membingkai wajah Risa dengan kedua tangannya.

“Jadi benar yang dikatakan Emak, jika ayah menikah lagi?” Ingin rasanya menangis saat ini juga, tetapi tidaklah mungkin jika harus menangis di depan Risa.

“Risa–

“Benarkah, Bu?” Terpaksa Sifa mengangguk pelan dan mendekap Risa dalam peluknya. Tangis Sifa akhirnya pecah juga.

“Risa yang sabar, ya! Kita pasti bisa tanpa ayah!” Risa belum merespon ucapan Sifa. Tangan kanan Sifa membelai rambut panjang anak gadisnya yang tengah menangis dalam dekapannya. Sifa membiarkan gadis kecilnya menangis untuk meluapkan semua rasa sedihnya. Sifa dengan sabar menenangkan Risa dengan membelai rambutnya.

“Ibu, jangan tinggalkan Risa seperti ayah meninggalkan kita!” Ternyata tidak lama setelah meluapkan tangisnya, Risa akhirnya berbicara.

“Tidak akan pernah, Sayang! Kita sudah terbiasa tanpa ayah, kita pasti bisa untuk hidup yang lebih baik!” Sifa memberikan semangat untuk anak semata wayangnya dari kesedihan yang teramat besar.

“Risa sayang Ibu!” Keduanya kembali berpelukan. Rasa sedihnya karena pernikahan Sulhan terhapus oleh semangat dari Risa.

Tok tok tok 

Terdengar suara ketukan pintu dari luar, Sifa melangkahkan kakinya mendekati pintu untuk membukakan tamu yang datang.

Ceklek

Pintu terbuka lebar dan melihat sosok Bu Endang tengah berdiri tegak membawa satu kantong kresek penuh berisi baju-baju.

“Sifa, maaf mengganggu sebentar!”

“Ada perlu apa, Bu? Mari silahkan masuk dulu!” Tidak bagus jika membiarkan tamu tetap berdiri di depan.

“Ah, tidak perlu! Ibu mau minta tolong, cucikan baju-baju ini ya! Besok Ibu ambil!” Senang sekali hati Sifa karena ada pekerjaan tambahan siang ini. Apalagi tidak perlu datang dan meninggalkan Risa sendiri di rumah.

“Terima kasih banyak, Bu. Sudah memberikan  pekerjaan untuk Sifa!” Sifa menerima satu kantong kresek penuh berisi baju kotor dari Bu Endang.

“Sama-sama, Sifa! Ini ada kue dan bandeng presto untuk kamu. Tadi Ibu dibawakan anak-anak saat berkunjung ke rumah! Jadi sekalian Ibu bawakan untuk kamu!” Benar-benar rezeki tidak terduga hari ini. Baru juga diberikan pekerjaan, kini mendapat lagi rezeki yang lain berupa makanan.

“Alhamdulillah, terima kasih, Bu Endang. Semoga rezekinya lancar,” Usai dengan urusannya, Bu Endang akhirnya kembali ke rumahnya. 

Sifa membuka sebuah kotak terbuat dari bahan kertas berisi bandeng presto yang menggugah selera. Bahkan ada varian rasa yang tertera. Jika dilihat, merk bandeng ini termasuk bandeng yang cukup lezat.

“Wah, ikan bandeng!” Aroma khas bandeng presto tercium oleh Risa.

“Alhamdulillah ada orang baik yang mau berbagi dengan kita. Ibu ambilkan nasi dulu ya!” Sifa gegas ke dapur, mengambil nasi dan piring untuk menikmati bandeng tersebut.

“Kenapa hanya Risa yang makan? Piring Ibu mana?” 

“Ibu masih kenyang, Risa. Tadi Ibu baru saja makan. Untuk Risa saja ikannya!” Risa percaya begitu saja pada Ibunya. Padahal Sifa sengaja tidak memakan bandeng tersebut karena Risa lama sekali bahkan tidak pernah menikmati makanan ini. Keadaan ekonomi yang mengharuskan mereka hidup dalam kesederhanaan.

“Risa suapin!” Tangan Risa berisi nasi dan lauk sudah mendarat manis di mulut Ibunya. Mau tidak mau Sifa harus membuka mulutnya untuk menerima suapan dari gadis kecilnya. Hampir saja tangisnya pecah akan sikap gadis kecilnya.

“Kenapa ya, Bu. Ayah begitu tega sama kita? Padahal kita tidak pernah meminta apapun pada ayah. Minta rendang sama Emak saja dikasih yang basi!” 

“Hanya Allah yang bisa membolak balikkan perasaan manusia. Ibu dan juga Risa mana tahu rencana Allah untuk kita. Kalau Allah memberikan sebuah kesedihan dari sebuah masalah seperti sekarang, itu tandanya Allah sayang sama kita!” Risa mengangguk cepat dengan penjelasan yang diucapkan oleh Sifa. Beruntung sekali Sifa memiliki anak yang selalu pengertian kepadanya.

Sosok lelaki tengah berdiri di tepi jalan menatap nanar rumah Sifa. Ada rasa rindu kepada Sifa setelah bertahun-tahun tidak bertemu.

Siapakah lelaki itu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status