Langkahnya yang cukup cepat membawanya ke sebuah warung yang cukup ramai. Warung kopi yang biasanya digunakan Ibu-ibu untuk nongkrong menunggu anaknya pulang sekolah.
“Mbak Irma!” Ibu-ibu menoleh ke pemilik sumber suara yang tak lain adalah Sifa. Wajah Sifa sudah terlihat merah padam dengan kedua tangan mengepal kuat.“Eh, si miskin!” Irma melihat kedatangan Sifa dengan tatapan meremehkan.“Kamu bilang apa sama Risa?”“Oh, aku cuma bilang jika Risa tidak punya ayah! Upsss!” Tawa Irma membuat Sifa semakin marah. Sifa melangkah hingga keduanya saling berhadapan.“Oh, jadi begini sikapmu pada keponakanmu sendiri?”“Keponakan? Mana mau aku punya keponakan seperti sampah!” Dada Sifa terasa sesak ketika anak kandungnya disamakan drngan sampah.Plak plakDua tamparan mendarat manis di pipi kanan dan kiri Irma. Bibir Irma bergetar hebat usai merasakan tamparan dari adik iparnya yang selalu dianggapnya tidak berdaya.“Kamu berani menamparku?” Kedua mata Irma terlihat sudah berkaca-kaca, ditambah lagi dirinya kini menjadi pusat perhatian orang lain.“Siapapun yang menghina Risa, pasti akan merasakan luka yang sama seperti yang dirasakannya!” Jari telunjuk Sifa mengarah ke wajah Irma yang sudah terlihat pucat.“Akan aku adukan kepada Ibu!” Irma berlalu meninggalkan warung tersebut termasuk Sifa yang masih diam membeku melihat kakak iparnya pergi menggunakan motor keluaran terbaru.Sifa kembali pulang ke rumah, bersiap menghadapi mertuanya yang kemungkinan akan datang sebentar lagi karena aduan Irma. Belum juga dirinya sampai di rumah, sudah terdengar deru motor yang sama dikendarai oleh Irma. Sifa gegas ke depan rumah untuk menyambut kedatangan mereka berdua. Marni turun dari motor dengan angkuhnya menghampiri Sifa yang sudah berdiri di depan pintu.“Berani-beraninya kamu menampar menantuku yang cantik ini, Sifa?” Sifa tersenyum menghina ke arah Irma yang sok menjadi yang tersakiti.“Cantik? Cantik tapi hatinya busuk!” jawaban Sifa semakin membuat Marni marah.“Apa kau bilang? Irma lebih baik dari kamu, Sifa!”“Begitu ya! Jadi menurut Ibu baik adalah orang yang suka menghina seorang anak kecil?” Seketika kedua mata Marni menatap Irma di sampingnya.“A-aku hanya bilang jika ayah Risa tidak akan kembali lagi! Itu memang kenyataan!” Jawab Irma dengan malu-malu. Marni menghembuskan napas besar kemudian menatap Sifa.“Yang dibilang Irma benar. Sulhan tidak akan kembali padamu karena dia sudah aku nikahkan dengan orang lain tiga tahun yang lalu!” Dada Sifa bergemuruh mendengar sebuah kenyataan dari Ibu mertuanya. Kenyataan yang sangat begitu pahit dan menyakitkan. Hampir saja Sifa terjatuh karena kabar yang baru saja didengarnya, hanya saja Sifa tetap tegar dan berusaha bersikap tegas karena sosok kedua wanita di depannya pasti akan menindasnya ketika dirinya terlihat lemah.“Oh! Ya sudah kalau begitu! Aku tidak perlu lagi menjadi pembantu di rumah Bu Marni lagi! Silahkan Irma dan Rana dipanggil jika butuh tenaga jika ada hajatan atau acara di rumah Ibu!” Marni dan Irma tidak menyangka jika niatnya membuat Sifa terluka ternyata gagal dan terlihat biasa saja.“Kamu tidak sedih?” Marni memastikan perasaan Sifa saat ini.“Kenapa harus sedih? Kami berdua sudah terbiasa tanpa Mas Sulhan. Untuk apa aku harus bersedih?” Marni dan Irma saling bertatapan, merasa ada yang aneh dengan Sifa.“Kamu sehat kan, Sifa?” Tangan Marni ditepis Sifa saat hendak memastikan dahi Sifa.“Sehat, bahkan menampar Mbak Irma juga masih sehat! Sebaiknya Bu Marni dan Irma pulang sekarang daripada saya siram pakai air!” Tidak peduli jika harus dikatakan durhaka pada mertua, asalkan anaknya tidak terganggu dan tidak mengetahui sebuah kenyataan yang baru saja dikatakan Marni.BrakSifa dengan keras menutup pintu rumahnya dan masuk memastikan Risa masih tidur siang. Baru juga hendak masuk kamar, Sifa sudah dikejutkan isak tangis gadis kecilnya di balik pintu kamarnya.“Risa, kenapa menangis?” Sifa membingkai wajah Risa dengan kedua tangannya.“Jadi benar yang dikatakan Emak, jika ayah menikah lagi?” Ingin rasanya menangis saat ini juga, tetapi tidaklah mungkin jika harus menangis di depan Risa.“Risa–“Benarkah, Bu?” Terpaksa Sifa mengangguk pelan dan mendekap Risa dalam peluknya. Tangis Sifa akhirnya pecah juga.“Risa yang sabar, ya! Kita pasti bisa tanpa ayah!” Risa belum merespon ucapan Sifa. Tangan kanan Sifa membelai rambut panjang anak gadisnya yang tengah menangis dalam dekapannya. Sifa membiarkan gadis kecilnya menangis untuk meluapkan semua rasa sedihnya. Sifa dengan sabar menenangkan Risa dengan membelai rambutnya.“Ibu, jangan tinggalkan Risa seperti ayah meninggalkan kita!” Ternyata tidak lama setelah meluapkan tangisnya, Risa akhirnya berbicara.“Tidak akan pernah, Sayang! Kita sudah terbiasa tanpa ayah, kita pasti bisa untuk hidup yang lebih baik!” Sifa memberikan semangat untuk anak semata wayangnya dari kesedihan yang teramat besar.“Risa sayang Ibu!” Keduanya kembali berpelukan. Rasa sedihnya karena pernikahan Sulhan terhapus oleh semangat dari Risa.Tok tok tok Terdengar suara ketukan pintu dari luar, Sifa melangkahkan kakinya mendekati pintu untuk membukakan tamu yang datang.CeklekPintu terbuka lebar dan melihat sosok Bu Endang tengah berdiri tegak membawa satu kantong kresek penuh berisi baju-baju.“Sifa, maaf mengganggu sebentar!”“Ada perlu apa, Bu? Mari silahkan masuk dulu!” Tidak bagus jika membiarkan tamu tetap berdiri di depan.“Ah, tidak perlu! Ibu mau minta tolong, cucikan baju-baju ini ya! Besok Ibu ambil!” Senang sekali hati Sifa karena ada pekerjaan tambahan siang ini. Apalagi tidak perlu datang dan meninggalkan Risa sendiri di rumah.“Terima kasih banyak, Bu. Sudah memberikan pekerjaan untuk Sifa!” Sifa menerima satu kantong kresek penuh berisi baju kotor dari Bu Endang.“Sama-sama, Sifa! Ini ada kue dan bandeng presto untuk kamu. Tadi Ibu dibawakan anak-anak saat berkunjung ke rumah! Jadi sekalian Ibu bawakan untuk kamu!” Benar-benar rezeki tidak terduga hari ini. Baru juga diberikan pekerjaan, kini mendapat lagi rezeki yang lain berupa makanan.“Alhamdulillah, terima kasih, Bu Endang. Semoga rezekinya lancar,” Usai dengan urusannya, Bu Endang akhirnya kembali ke rumahnya. Sifa membuka sebuah kotak terbuat dari bahan kertas berisi bandeng presto yang menggugah selera. Bahkan ada varian rasa yang tertera. Jika dilihat, merk bandeng ini termasuk bandeng yang cukup lezat.“Wah, ikan bandeng!” Aroma khas bandeng presto tercium oleh Risa.“Alhamdulillah ada orang baik yang mau berbagi dengan kita. Ibu ambilkan nasi dulu ya!” Sifa gegas ke dapur, mengambil nasi dan piring untuk menikmati bandeng tersebut.“Kenapa hanya Risa yang makan? Piring Ibu mana?” “Ibu masih kenyang, Risa. Tadi Ibu baru saja makan. Untuk Risa saja ikannya!” Risa percaya begitu saja pada Ibunya. Padahal Sifa sengaja tidak memakan bandeng tersebut karena Risa lama sekali bahkan tidak pernah menikmati makanan ini. Keadaan ekonomi yang mengharuskan mereka hidup dalam kesederhanaan.“Risa suapin!” Tangan Risa berisi nasi dan lauk sudah mendarat manis di mulut Ibunya. Mau tidak mau Sifa harus membuka mulutnya untuk menerima suapan dari gadis kecilnya. Hampir saja tangisnya pecah akan sikap gadis kecilnya.“Kenapa ya, Bu. Ayah begitu tega sama kita? Padahal kita tidak pernah meminta apapun pada ayah. Minta rendang sama Emak saja dikasih yang basi!” “Hanya Allah yang bisa membolak balikkan perasaan manusia. Ibu dan juga Risa mana tahu rencana Allah untuk kita. Kalau Allah memberikan sebuah kesedihan dari sebuah masalah seperti sekarang, itu tandanya Allah sayang sama kita!” Risa mengangguk cepat dengan penjelasan yang diucapkan oleh Sifa. Beruntung sekali Sifa memiliki anak yang selalu pengertian kepadanya.Sosok lelaki tengah berdiri di tepi jalan menatap nanar rumah Sifa. Ada rasa rindu kepada Sifa setelah bertahun-tahun tidak bertemu.Siapakah lelaki itu?Pov SifaBetapa beruntungnya aku, setelah pahitnya kehidupan selama tujuh tahun menikah dengan Mas Sulhan, aku mendapatkan sebuah kebahagiaan yang begitu besar. Menjadi istri dari seorang teman sejak kecil ternyata cukup menyenangkan. Kak Fadil selalu perhatian padaku meski usia pernikahan kami sudah menginjak lima tahun. Risa juga merasakan sosok ayah yang selama ini dirindukan kehadirannya.“Ibu, Risa lapar!” Sahut Risa sepulang sekolah. Aku menatap jilbab putih yang dikenakannya diletakkan begitu saja di sandaran kursi. Aku melihat Kak Fadil tersenyum ke arah Risa kemudian menasehatinya. Ternyata nasehat Kak Fadil berhasil membuat Risa paham arti jilbab sesungguhnya. Risa begitu penurut dengan ayah sambungnya meski mulai menginjak remaja, Kak Fadil memberikan aturan-aturan yang harus Risa patuhi. Aku sadar, aturan yang diberikan pada Risa adalah bentuk kasih sayang pada seorang anak perempuan.“Ibu, Ayah. Minggu depan Risa ada seleksi pertandingan karate. Doakan Risa agar lancar m
Waktu terus berlalu, Marisa gagal melancarkan aksinya membakar rumah Sifa di salah satu komplek. Anak buahnya berhasil digagalkan oleh warga setempat dan pelaku dibawa ke kantor polisi. Marisa yang mengetahuinya, lantas memilih kabur sehingga statusnya masuk dalam daftar pencarian orang. Marisa dibantu keluarganya, terpaksa kabur ke luar negri.Singkat cerita, lima tahun berlalu dan hari ini Marni dan juga Irma dinyatakan bebas. Sesuai rencana, mereka berdua pulang ke kampung dengan berbekal seadanya. Rumah terlihat sangat kotor karena sudah lima tahun tidak dibersihkan dan tidak ada tanda-tanda seseorang pulang ke rumah sekedar membersihkannya.“Marni, sudah bebas kamu?” Mona yang kebetulan lewat depan rumah Marni menjumpai teman lamanya itu. Akan tetapi wajah Marni tidak menunjukkan rasa senang saat disapa temannya. Malah menunjukkan tatapan angkuh.“Kamu nggak suka aku bebas, Mona?” Mona yang tadinya berharap perangai Marni berubah ternyata nihil. Perangainya masih tetap sama, bah
Uhuk uhukRana terbatuk usai melakukan shalat di sepertiga malamnya. Rana merasa dadanya sakit dan mengeluarkan bercak darah ketika batuk. Rana tidak pernah absen melakukan shalat sunnah.“Sakit!” Rintih Rana sambil memegang dadanya.“Ya Allah, hamba pasrah jika memang waktu hamba sudah dekat!” Gumam Rana sambil membersihkan bercak darah di telapak tangannya.Rana bergegas ke kamar mandi meski tubuhnya terasa lemas. Dengan gontai, Rana berusaha bisa sampai ke kamar mandi.BrukTubuh Rana limbung ke lantai, wajahnya berubah pucat dan saat itu juga Rana tengah menghembuskan nafas terakhirnya. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Rana sempat melafalkan kalimat syahadat.Keesokan harinya, salah satu tahanan menemukan Rana tewas di depan kamar mandi. Polisi segera membawa jenazah Rana ke rumah sakit untuk diotopsi. Toni yang sudah lama menyadari keadaan istrinya hanya bisa pasrah mendengar kabar duka. Toni diantar salah satu rekannya menuju ke rumah sakit untuk melihat wajah sang istri
Hari ini adalah hari pernikahan Sifa dengan Fadil. Satu bulan setelah tertangkapnya mereka bertiga, kehidupan Sifa kembali aman tanpa gangguan dari mantan mertua ataupun mantan ipar. Janur kuning melengkung di depan rumah Sifa menjadi pertanda ada sebuah acara bahagia.Pagi ini, Sifa terlihat sangat cantik dengan balutan kebaya nuansa putih. Begitu pula dengan Fadil yang sudah berada di depan penghulu dengan baju pengantin nuansa senada. Pernikahan digelar secara sederhana dan hanya dihadiri beberapa keluarga terdekat saja.“Sifa, ayo ibu antar!” Eli menggandeng tangan Sifa ke meja penghulu. Kehadiran Sifa membuat kedua mata Fadil tidak bisa berpaling dari kecantikan Sifa.“MasyaAllah calon istriku!” Gumam Fadil. Kecantikan alami yang dimiliki Sifa sejak dulu tidak pernah lekang oleh waktu meski usia bertambah.Ijab qobul segera dimulai, sedari tadi bibir Sifa menyebut nama Allah untuk meredam rasa grogi sebelum akad dilangsungkan.Penghulu dan Fadil mulai berjabat tangan dan mengikra
Marni dan Irma kini hendak dalam perjalanan dari bandara ke lokasi yang dituju dengan menggunakan jasa travel yang sudah dipesan. Namun alangkah terkejutnya ketika mobil travel yang ditumpanginya diberhentikan oleh orang tidak dikenal. Alhasil semua penumpang travel itu turun dan menjalani pemeriksaan. Tiba-tiba kedua tangan Irma dan Marni diborgol.“Loh, kenapa saya diborgol?” Pekik Marni ketika melihat dua tangannya sudah terborgol.Marni merasa cukup malu ketika tatapan semua penumpang tertuju padanya. Irma juga protes namun sebuah mobil polisi akhirnya datang dan membawa mereka berdua.Marni dan Irma kembali dibawa ke Jakarta dengan menggunakan mobil polisi. Kedua mata Irma dan Marni terbelalak melihat Rana sudah berada di kantor yang sama. Marni dan Irma memperhatikan penampilan Rana yang sudah berhijrah dari atas ke bawah.“Ini pasti karena kamu, Rana!” Irma menuduh Rana. “Dasar menantu durhaka!” Pekik Marni membuat gaduh kantor polisi tersebut. “Ibu, Mbak Irma. Semua perbuata
Kedua mata Fadil melihat sosok Marisa dari kejauhan seperti tengah mempersiapkan sesuatu. Marisa kini berada di bagian sudut lain seakan bersiap melakukan sesuatu. Fadil merasa tidak enak, berlanjut mengajak mereka berdua ke arah keramaian.“Om, Jerapahnya tinggi banget lehernya!” Fadil hanya fokus pada Marisa yang terlihat mencurigakan.“Om! Kok melamun sih!” Sifa melihat Fadil seperti memperhatikan sesuatu.“Ada apa, Kak? Apa ada sesuatu?” “Tidak ada apa-ap, Sifa. Kita agak kesana ya!” Fadil berbaur dengan pengunjung lain supaya Marisa tidak bisa menjalankan aksinya.“Istri Sulhan membawa pistol, ini gila!” Gumam Fadil Dor dor dor “Aaaa!” Risa terkejut dengan suara ledakan tidak jauh darinya. Kedua tangannya menutup kedua telinganya.Tiga peluru peluru melesat mengenai tiang besi yang tidak jauh dari Risa berdiri, semua pengunjung panik karena sebuah tembakan menyasar. Tanpa berpikir panjang, Fadil menggendong Risa dan menggenggam tangan Sifa mengajaknya menjauhi area berbahaya t