Share

Bab 2. Keributan

“Jaga ucapanmu, Endang! Sifa memang tidak mau bergaul dengan kita dan memilih di dapur!” Jari telunjuk Marni mengarah ke wajah Bu Endang, bahkan kedua mata Marni menatap nyalang ke arah Bu Endang. Bu Endang terlihat santai akan kemarahan Marni kepadanya. Suasana pengajian berubah menjadi kegaduhan karena Bu Endang.

“Benarkah? Bukankah sedari subuh Sifa sudah berkutat dengan pembantumu di dapur sedangkan kamu dan kedua menantumu malah sibuk bercanda di luar rumah?” Mulut Marni serasa terkunci. Dirinya baru menyadari jika seharian ini menjadi topik warga yang lewat di depan rumahnya.

“Jangan fitnah seperti itu! Aku bukan mertua yang kejam seperti yang kau sebarkan!” Marni tetap mengelak.

“Halah, kamu itu pura-pura baik saja kepada Sifa jika sedang butuh apa-apa dengannya, coba kalau tidak butuh, menyapa pun tidak! Nih, Ibu-ibu. Aku perlihatkan sikap dia pada Sifa!” Ibu-ibu yang lain mulai mengerubungi ponsel Bu Endang. Disana terdapat rekaman Marni tengah mengejek Sifa saat tidak ada orang atau tetangga yang mengetahui perbuatannya. Satu persatu Ibu-ibu melirik ke arah Marni yang terlanjur malu. Marni benar-benar kesal karena dipermalukan saat pengajian.

“Kalian bantu ibu, dong!” Marni menyenggol lengan Irma yang duduk bersebelahan dengan Rana. Irma memutar kedua bola matanya dengan malas. Malas membantu mertuanya dalam keributan begitu pula dengan Rana, keduanya tidak ada bedanya.

“Kok aku, Bu? Irma mana tau masalah Ibu!” Irma seakan tidak mau tahu dengan masalah yang dihadapi mertuanya. 

Akibat ucapan Bu Endang, Marni seketika masuk ke dalam untuk menahan diri. Sifa merasa aneh melihat mertuanya masuk ke dapur dengan wajah muram.

“Ini semua karena kamu, Sifa! Dasar menantu tidak diuntung! Harusnya aku segera memisahkanmu dengan Sulhan!” Marni bersungut-sungut menghampiri Sifa yang tengah mencuci piring bekas makan Ibu-ibu pengajian bersama Soimah.

“Maksud Ibu apa?” Sifa merasa tidak melakukan apapun dan kini menjadi sasaran kemarahan mertuanya.

“Pergi dari sini dan jangan pernah datang lagi menginjakkan kaki di rumah ini! Haram bagimu beserta anakmu menginjak rumah ini orang miskin!” Suara Marni terdengar begitu nyaring. 

Dada Sifa mendadak sesak karena tuduhan tiba-tiba dari mertuanya. Jangankan dihormati, dianggap menantu pun tidak karena derajat dan latar belakang. Ada masalah apapun selalu dilampiaskan kepada Sifa yang tidak tahu apa-apa seperti sekarang ini. Jika ada yang menyangkut soal Sifa, pasti Marni akan marah.

“Pergilah! Aku sudah muak dengan kamu! Aku menyesal memiliki menantu sepertimu!” Tanpa bicara lagi, Sifa gegas kembali pulang. Sepanjang perjalanan, tidak hentinya butiran bening mengalir begitu saja. Berencana ingin meminta rendang baru pun gagal meski hanya sepotong saja. 

Rumah kecil peninggalan orang tuanya sudah terlihat dari kejauhan. Rumah berdekatan dengan area persawahan menjadi tempat berteduh untuk Sifa dan juga Risa selama ini. Dirinya dan Sulhan tidak diperbolehkan sekedar main di rumah Marni. Kecuali jika sedang dibutuhkan saja.

“Ibu, Ibu sudah pulang!” Risa yang tadinya sedang rebahan di kursi sambil menonton televisi menyambut kedatangan Ibunya. Risa gegas menyambut kedatangan Ibunya yang datang menjelang pukul sembilan malam. Sifa mengusap air matanya dengan kasar supaya tidak ketahuan oleh Risa. 

“Assalamu alaikum!” ucapan salam sebelum masuk rumah.

“Waalaikumsalam,” Risa mencium punggung telapak tangan Sifa yang baru saja datang. Ada hati yang kecewa ketika pulang tidak membawa makanan apapun. Meskipun hanya berupa sepotong kue. Setelah tenaganya selesai dibutuhkan, Marni sudah biasa akan mengusir Sifa begitu saja.

“Ibu istirahat saja, pasti Ibu sangat capek!” Sifa mengangguk sambil tersenyum, Risa mengambil segelas air untuk diberikan kepada Ibunya.

“Ini buat Ibu!” Sifa akhirnya meminum hingga habis. Guratan kesedihan akibat hinaan dari mertuanya menguap begitu saja. 

“Alhamdulillah, Risa sudah belajar?” 

“Sudah, Bu! Kita istirahat saja sekarang!” Usai membersihkan diri dan menjalankan kewajibannya, Sifa dan Risa segera beranjak ke peraduan. 

Keesokan harinya Sifa mulai dengan kesibukannya yaitu membuat kue basah yang akan dijual keliling. Keuntungan kue tidak seberapa, bahkan Sifa harus mencari uang tambahan dengan menjadi buruh cuci usai berkeliling menjajakan kue buatannya.

“Risa, sekolah yang pinter! Nanti biar jadi orang sukses!” Pesan yang selalu Sifa ucapkan kepada Risa sebelum berangkat ke sekolah.

“Siap, Ibu! Insyaallah Risa akan menjadi anak kebanggaan Ibu!” 

Sifa mengantar Risa berangkat ke sekolah sebelum berkeliling menjajakan kue dagangannya. Sebuah mobil melintas dan terlihat dari kaca mobil yang dibuka, wajah yang sangat familiar. Wajah yang sudah enam tahun tidak pernah pulang. Wajah sudah sangat dirindukannya sejak Risa berusia dua tahun.

“Apakah itu Bang Sulhan?” Sifa bertanya-tanya pada dirinya sendiri usai menemui wajah yang sangat dikenalnya.

“Tapi, rasanya tidak mungkin jika Bang Sulhan pulang tanpa memberi kabar terlebih dahulu!” Sifa mencoba menenangkan perasaannya supaya tidak bertindak gegabah.

“Ah, benar saja! Tadi bukan Bang Sulhan. Hanya mirip saja, Bang Sulhan pasti akan mengirim kabar jika akan pulang!” Sifa kembali menjajakan kue dagangannya keliling kampung. Tidak peduli cuaca panas, Sifa tetap bersemangat menjajakan kue buatannya untuk mencukupi kebutuhan hidup bersama anaknya.

“Kue, kue!” Suara Sifa membuat sekelompok Ibu-ibu yang sedang berkumpul di pos kamling seketika buyar. Semua berubah posisi layaknya sedang menutupi sesuatu pada Sifa.

“Kue, Bu!” Sifa menurunkan dagangannya sembari beristirahat sejenak di pos kamling.

“Mau kue putu ayunya, Fa!” 

“Silahkan ambil, Bu!” Beberapa Ibu-ibu mulai memilih kue yang diinginkan. Kue buatan Sifa tidaklah mahal, hanya dua ribu rupiah saja sudah bisa menikmati lezatnya kue buatan Sifa. Tidak jarang, Sifa terkadang mendapat pesanan kue dalam jumlah banyak jika sedang ada acara.

“Mbak Sifa, nanti kalau sudah habis dagangannya segera pulang ya!” Rina merasa kasihan jika sampai Sifa mengetahui sesuatu yang baru saja ditutupinya bersama Ibu-ibu yang lain.

“Ya jelas pulang, Bu. Kalau nggak pulang terus mau kemana lagi?” Jawaban Sifa disambut tawa renyah Ibu-ibu yang lain.

“Ya sudah, Sifa. Ini aku borong semua ya, kebetulan ada tukang di rumah!” Rina mengambil semua kue dagangan Sifa dan membawanya pulang. Sesuai dengan janjinya, Sifa langsung pulang karena kue dagangannya sudah habis.

Menjelang pukul dua belas siang, Sifa dikejutkan dengan kepulangan Risa yang tengah menangis tersedu-sedu. 

“Risa, kamu kenapa? Kenapa menangis?” Risa mengusap air matanya dengan kasar.

“Tadi Bude Irma bilang ke Risa, kalau ayah tidak akan kembali pada Risa!” Sifa mengusap dadanya, tidak disangka mulut kakak iparnya ternyata tidak segan melukai hati anak kecil.

“Sudahlah, Risa. Kita berdoa supaya Allah mengabulkan doa kita dan ayah akan segera pulang!” Sifa menghibur Risa meski ada setitik rasa tidak yakin jika Sulhan akan pulang.

Sifa menidurkan Risa sebelum pergi keluar sebentar. Langkah Sifa begitu cepat menuju ke sebuah warung, tempat Irma nongkrong saat pulang ke mertuanya. Tangannya sudah mengepal kuat kepada sosok kakak iparnya yang tega menyakiti anaknya.

Apa yang akan dilakukan Sifa?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status