Share

Bab 7. Kedatangan Marisa

Irma dan Rana saling bertatapan, belum ada keputusan berani atau tidak mengusir Sifa di saksikan warga.

“Sama saja dengan mencari gara-gara, Mbak Irma!” Bisik Rana kepada Irma. 

“Iya, bisa berabe kalau begini!” Sahut Irma. Dari jauh terlihat Bu Endang dan Fadil tengah memperhatikan mereka bertiga. Bu Endang hanya tersenyum simpul melihat Irma dan Rana mati kutu karena syarat dari Sifa.

Tanpa menjawab sepatah kata, Irma dan Rana segera meninggalkan Sifa. Keduanya mulai mencari cara untuk mengusir Sifa dari kampungnya. 

Ketika sampai di rumah, Sifa terkejut dengan kehadiran sosok Marisa yang berdiri di depan pintu rumahnya. Ada rasa malas untuk menemuinya salah satu dari anggota keluarga Marni, namun tidak pantas jika Sifa membiarkannya menunggu.

“Assalamu alaikum!” Marisa berbalik dan mendapati Sifa berada di belakangnya dengan membawa keranjang jualannya yang sudah kosong.

“Waalaikum salam!” Jawab Marisa. Sifa membuka pintu dan mempersilahkan Marisa masuk.

Marisa duduk di sebuah kursi kayu yang cukup usang. Kedua mata Marisa menyapu keadaan rumah yang Sifa tempati. Semua barang sudah usang tetapi rumah selalu bersih.

“Minumlah, aku hanya bisa menyuguhkan teh dan kue buatanku saja padamu, tentu saja ini berbeda jauh dengan keadaanmu!” 

Marisa menyesap teh hangat yang disuguhkan Sifa kepadanya dan beberapa kue terlihat di piring. Sifa duduk di kursi kayu di samping Marisa.

“Aku datang kemari karena menginginkan sesuatu!” Sifa mengernyitkan kedua alisnya bersiap mendengar permintaan Marisa.

“Bilang saja, kalau aku mampu aku pasti membantumu!”

“Aku hanya ingin kamu menggugat Mas Sulhan. Aku baru tahu kalau ternyata kamu dan Mas Sulhan belum bercerai secara resmi! Aku tidak ingin Mas Sulhan kembali padamu suatu saat nanti, karena aku memiliki seorang putri darinya!” Sifa tersenyum kecut mendengar permintaan konyol Marisa. Terlihat sekali jika dirinya begitu egois dengan meminta Sifa menggugatnya.

“Aku sudah lama terpisah dengannya, jika memang kamu mau ambil, silahkan saja! Suruh suamimu yang pengecut itu mengirim berkas perceraian kepadaku. Pasti aku akan menandatanganinya!” Ucapan Sifa terdengar begitu tenang tanpa ada beban sama sekali. Marisa bahkan sampai heran melihatnya, biasanya istri pertama akan sangat marah jika diminta untuk mengalah.

“Apa kamu serius?” Marisa terkejut dibuatnya.

“Aku sangat serius, kami sudah lama hidup tanpa sosok Mas Sulhan. Bahkan Risa sudah terbiasa tanpa ayahnya. Jadi untuk apa aku berharap kehadiran dia?” Marisa terdiam sejenak, wanita yang dianggapnya lemah ternyata sekuat baja. Ditatapnya Risa yang keluar dan bermain bersama teman sebayanya, tawa riangnya seakan tidak memiliki masalah atau beban sama sekali. Wanita yang seharusnya menangis meraung karena suaminya diambil wanita lain ternyata salah.

“Apa masih ada yang perlu kamù sampaikan padaku?” Marisa mengeluarkan sebuah amplop coklat yang cukup tebal dan diletakkan di atas meja. Sifa tersenyum simpul melihat aksi istri suaminya ini.

“Ini sedikit rezeki untukmu, Sifa. Aku harap–

“Bawalah kembali uang itu, aku sudah cukup bahagia dan bersyukur bisa tetap memenuhi kebutuhan dengan caraku sendiri. Tidak perlu kasihan padaku, aku sudah terbiasa dengan kehidupan seperti ini!” Marisa semakin heran dengan penolakan Sifa atas uang yang diberikannya.

“Anggap saja sebagai ganti nafkah Risa yang sudah tidak tersampaikan selama bertahun-tahun!” Sifa terkekeh dengan alasan yang diberikan Marisa. Sifa berdiri dan masuk ke kamarnya. Di meja teronggok satu tumpuk amplop berwarna putih dan membawanya ke meja ruang tamu.

Marisa terkejut melihat Sifa yang membawa setumpuk amplop kosong berwarna putih di depannya.

“Masukkan saja setiap satu lembar ke dalam amplop tersebut dan berikan kepada orang yang membutuhkan!” Marisa benar-benar tercengang dengan pemikiran Sifa. 

“Sifa, apa kamu menghinaku?”

“Apakah mengajarkanmu cara bersedekah kepada yang membutuhkan adalah suatu kesalahan?” Marisa diam sejenak, ada rasa malu karena berhadapan dengan Sifa.

“Kalau kamu ragu, ambillah kembali uangmu, kami tidak membutuhkannya. Kami akan tetap baik-baik saja tanpa nafkah dari siapapun!” Sifa meraih amplop coklat dan memberikannya kembali kepada Marisa. Tanpa berpamitan, Marisa pergi setelah mengambil uangnya kembali.

Sesampai di rumah, Marisa terkejut melihat Putri sendirian bermain di halaman rumah tanpa neneknya. Padahal dirinya sudah menitipkan Putri kepada Marni sebelum pergi ke rumah Sifa. Tidak berapa lama suara deru motor yang ditumpangi Irma dan Rana secara berboncengan datang.

“Marisa, tolong buatkan Ibu minuman yang seger!” Marisa melihat Marni sudah berada di samping Putri dan memintanya untuk membuatkan minuman untuknya. 

“Baik, Bu!” Marisa masuk ke dapur dan membuatkan minuman kesukaan Ibunya. Badannya cukup lelah hari ini, sedari pagi sudah sibuk memasak untuk semuanya. 

“Kita beruntung sekali bisa mendapatkan Marisa. Anak juragan itu begitu baik pada Ibu. Nih, untuk kalian!” Marni memberikan Irma dan Rana masing-masing uang pecahan seratus ribu sebanyak lima lembar. Tentu saja keduanya sangat senang menerima uang secara cuma-cuma.

Marisa tidak mengetahui jika dirinya juga hanya dimanfaatkan oleh Marni. Keduanya mendadak diam saat langkah Marisa mulai terdengar dari dalam.

“Marisa, darimana tadi?” Rana mulai pasang wajah sok baik pada Marisa.

“Dari jalan-jalan, Mbak! Cari angin!” Marisa sengaja menyembunyikan jika dirinya dari rumah Sifa.

“Marisa. Pinjem duit dong!” Tanpa malu, Rana mengatakan niatnya meminjam uang kepada Marisa.

“Uang? Usaha Marisa sedang terombang ambing, Mbak. Maaf jika Marisa tidak bisa bantu!” Marisa kemudian melihat wajah Rana dan muram. Marni juga memutar bola matanya dengan malas setelah mendengar kebangkrutan Marisa.

Marisa mulai merasa aneh dengan sikap kedua iparnya. Jika ada Sulhan, dirinya bak ratu di rumah ini. Namun keadaan berubah sebaliknya jika Sulhan tidak di rumah.

“Apakah Sifa dulu merasakan hal yang sama sepertiku?” Marisa hanya membatin saja sambil memperhatikan gerak gerik mertua dan iparnya.

Satu persatu mereka masuk rumah meninggalkan Marisa seorang diri. Wanita yang tidak tahu apapun dengan sifat asli keluarga suaminya.

*

Setelah Marisa pulang, seperti biasa Sifa kembali dengan pekerjaan selanjutnya yang sudah menantinya. Sebuah sumur di dalam rumah menjadi saksi perjuangan Sifa untuk memenuhi semua kebutuhan hidup bersama Risa.

“Ibu!” Risa berteriak memanggil Ibunya.

“Ada apa, Risa. Jangan berlari seperti itu, nanti jatuh!” 

“Dari Om Fadil, katanya buat Ibu!” Sifa menerima sebuah paper bag dari tangan Risa.

“Risa juga dapat dari Bu Endang!” Risa memamerkan paper bag yang sama dengan Sifa. Sifa tidak langsung membukanya, ada rasa takut jika suatu saat akan ada sesuatu yang harus dibayar untuk hadiah yang diberi.

“Ibu, kata Om Fadil, Ibu harus pakai!” Sifa terpaksa membuka paper bag dan mengeluarkan isinya. Sebuah ponsel pintar meski bukan keluaran terbaru menjadi sebuah hadiah untuk Sifa, lengkap beserta kartu perdana dan voucher pulsa di dalamnya. 

Kedua mata Sifa berkaca-kaca melihat benda yang seharusnya dimiliki sejak lama, hanya saja ada kebutuhan yang lebih penting daripada membeli sebuah ponsel.

Tok tok tok

Pintu kembali diketuk oleh seseorang. Sifa gegas keluar dan mempersilahkan tamu yang datang.

“Mbak Rina, ada apa, Mbak?”

“Hanya mau bilang padamu, Sifa. Tadi lupa waktu ada kamu. Besok aku pesan kue putu ayu dan kue pukis masing-masing seratus biji. Dan ini uang mukanya dulu, sisanya waktu kue aku ambil, besok sore aku ambil bisa kan?” 

“Alhamdulillah. Terima kasih, Mbak. Insyaallah bisa, Mbak!” Sifa bersyukur sekali mendapatkan pesanan kue yang cukup banyak. Besok dirinya tidak perlu berkeliling karena harus mengerjakan kue pesanan salah satu tetangganya.

“Alhamdulillah, dapat pesanan ya, Bu!” Risa turut senang atas kelancaran usaha Ibunya. 

Tiba-tiba Sifa dibuat terkejut saat Marni sudah berdiri di ambang pintu rumahnya dengan berkacak pinggang. Risa yang ketakutan berlari bersembunyi di balik punggung Ibunya.

Ada apa dengan Marni??

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status