Untunglah, Puspa tidak kehabisan akal. Ia dengan sekuat tenaga mengarahkan tangannya ke selangkangan Anton dan meremas benda itu dengan kekuatan penuh. Anton sontak berteriak kesakitan dan mundur beberapa langkah. Puspa pun memanfaatkan kesempatan yang ada dan berlari sekuat tenaga, mencoba menghindari Anton yang berusaha mengikutinya dengan pistol hitam di tangannya. Dia berharap bisa menemukan tempat bersembunyi atau bantuan dari orang lain, tetapi jalanan sepi dan redup. Anton semakin mendekat, dan Puspa merasakan nafasnya terengah-engah. Dia tahu dia tidak akan bisa bertahan lama. Dia hanya berharap Fajar dan para polisi segera datang membantunya.Tiba-tiba, Anton menarik pelatuk dan sebuah peluru bersiul di udara. Puspa menjerit dan terjatuh, merasa darah mengucur dari lengannya. Dia melihat Anton tersenyum sinis dan mendekatinya dengan langkah pasti. Pistol hitam itu kini menempel di dahi Puspa, dan dia merasakan keringat dingin membasahi wajahnya. Dia menutup mata, menunggu det
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" Tanya Fajar ketika melihat Puspa melamun sepanjang perjalanan. "Kalau kamu tidak keberatan, cerita saja denganku."Puspa tampak ragu, tetapi akhirnya menghela napas. "Entahlah, aku hanya ... hanya sedang memikirkan ibuku. Sampai sekarang kami tidak berkabar satu sama lain. Aku tidak tau dia dimana dan bagaimana keadaannya." Puspa akui ia merasa marah pada ibunya. Tetapi sekarang sudah reda, justru digantikan dengan rasa khawatir, karena ia tidak tahu bagaimana keadaan ibunya. Ia khawatir sesuatu terjadi padanya, mengingat bagaimana sifat licik dan jahatnya Zara."Kita akan segera bertemu dengannya. Tetapi sekarang, kamu fokuslah untuk acaramu sebentar lagi. Aku dengar dari tim yang berada di lokasi, penggemarmu yang datang tidak main-main. Mereka memenuhi semua kursi, bahkan ada yang rela berada di luar pembatas dan berdiri disana hanya untuk melihatmu.""Maaf," Puspa merasa kecewa pada dirinya sendiri. Ia harus menyadari posisinya saat ini. Ia sudah m
"Terima kasih sudah datang. Sampai jumpa lagi!" Puspa melambaikan tangannya dengan senyuman lebar. Hatinya benar-benar berbunga, ia merasa terharu berkat semua penggemar yang datang dan membuat harinya berwarna.Ketika Puspa berbalik dan hendak turun panggung, tiba-tiba ia mendengar sebuah teriakan lantang yang mengalahkan semua kericuhan yang ada. "PUSPA! AKU MENYAYANGIMU!" Hamun berteriak dengan putus asa. Urat-urat lehernya menonjol, matanya memerah dan ia sudah menangis sejak tadi. Anak itu benar-benar merindukan sosok Puspa. Ia juga merasa sedih dengan semua keadaan yang terjadi di antara mereka. Walau masih kecil, perasaannya tidak pernah salah, dan ia tidak bisa menahan perasaan sedih dalam hatinya lebih lama lagi.Mata Puspa bergetar dan ia langsung berbalik untuk mencari arah sumber suara. Semua orang tampak heran, terutama ketika melihat sang idola kembali ke tengah panggung dan mengedarkan pandangannya ke segala arah.Jantung Puspa berdetak sangat kencang, tangannya mengep
"APA YANG KALIAN LAKUKAN! LEPASKAN AKU! LEPASKAN!"Ketika Puspa datang bersama Hakam dan Fajar, suara teriakan yang familiar langsung menyerbu ketiga orang itu. Puspa berhenti di depan pintu masuk dan mengambil napas panjang. Sementara Fajar sudah masuk lebih dulu, Hakam ikut berhenti di samping Puspa dan memperhatikan ekspresi rumit dari wajahnya.Puspa jelas merasakan perasaan campur aduk dalam hatinya. Tuhan tahu betapa bencinya ia pada wanita yang ada di dalam sana. Semua kekacauan yang terjadi ada di sana penyebabnya, ia bahkan tidak tahu apakah bisa menahan emosi ketika nanti langsung berhadapan dengan Zara.Tangan Puspa yang terkepal di samping badannya tiba-tiba dilingkupi rasa hangat. Puspa menoleh ke samping dan mendapati senyuman hangat dari Hakam. Tangan besar lelaki itu memberi sebuah kenyamanan yang menenangkan hati. "Jika kamu tidak mau masuk, kita bisa menunggu di mobil saja." Saran Hakam lembut.Namun, Puspa dengan cepat menggeleng. "Aku akan masuk. Ini adalah waktu
Puspa berdiri di depan bangunan sederhana. Itu adalah rumahnya, rumah yang menjadi saksi pertumbuhannya dari kecil hingga dewasa. Hakam disamping Puspa, tangannya tidak pernah lepas menggenggam telapak halus itu. Hakam berkata dengan lembut, "Selamat datang." Hati Puspa bergetar mendengar ucapan itu. Matanya memerah dan ia berusaha keras menahan tangisannya agar tak pecah. "Hm, aku pulang." Balas Puspa dengan senyuman kecil. Keduanya berjalan bersamaan masuk kedalam rumah yang terasa begitu sunyi. Aroma familiar yang dejavu membuat Puspa berkhayal tentang sosok ibunya yang keluar dari dapur dan menyapanya dengan hangat. Aroma masakan sederhana itu jelas ia rindukan. Senyuman sang ibu yang menghangatkan kalbunya tentu saja membuatnya ingin menangis saat itu juga. "Tidak ada apa-apa disini." Puspa duduk di sofa dengan lemas. Ia menatap kosong ke depan, bingung harus kemana mencari sang ibu yang pergi tak berkabar. "Mungkinkah ibu benar-benar pergi meninggalkanku?" Hakam menghela n
Ku usap bulir keringat di dahi. Kemudian, aku menatap ke arah wajah pemuda tampan yang terbaring kaku di dalam peti matinya. "Akhirnya, selesai juga," ujarku sambil menghela nafas panjang.“Kasihan, ya. Masih muda tapi sudah meninggal. Iya ‘kan, Puspa?” Salsabila, seperti biasa, menyeletuk tidak sopan tanpa tahu tempat.Untung saja hanya ada kami berdua di ruangan ini. Dia adalah sahabat dekat sekaligus tim kerjaku di Agen Pemakaman. Ya, kalian tidak salah baca, aku selalu berurusan dengan mayat setiap hari. Termasuk si pemuda tampan yang meninggal akibat kecelakaan ini.Aku mendelik, menatap kesal ke arah Salsa. “Jangan sembarangan ngomong! Kalau ada yang dengar, kita berdua bisa dipecat!”Kulihat Salsa hanya tersenyum bodoh, kemudian kami kembali fokus menatap mayat lelaki muda yang sudah selesai di dandani dalam peti itu."Ya, mau bagaimana lagi? Habisnya dia ini definisi lelaki idaman semua wanita, lho. Lihat, wajahnya sangat tampan, keluarganya kaya raya, umurnya juga masih muda!
Puspa gemetar sebadan-badan, tubuhnya jadi lemas layaknya jeli. Dia bahkan tidak menyadari jika ada orang lain yang saat ini sedang menopang berat tubuhnya tanpa persiapan sama sekali. Dan di posisi seperti itu, yang paling dirugikan jelas adalah Hakam. Punggungnya terasa seperti remuk, belum lagi fakta bahwa dia harus menahan massa seorang perempuan dewasa yang beratnya jelas tidak seringan anak-anak. Melihat bahwa Puspa tidak bergerak sama sekali, Hakam menghela napas dan berdiam diri sejenak. Sebetulnya, dia pernah berada di posisi yang sama. Hanya saja waktu itu yang menimpa tubuhnya adalah anak lelakinya sendiri. Mereka jelas memiliki ciri khas yang sama pasca terjatuh, yaitu badan gemetar tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Dan hal ini pula yang Hakam rasakan pada Puspa.Setelah beberapa menit terlewati, tubuh Puspa akhirnya jadi sedikit rileks. Hakam pun membuat suara deheman kecil, menyadarkan Puspa betapa ambigunya posisi mereka saat ini. “M-maaf, Pak.” Puspa berusaha men
Setelah pertemuannya dengan Hakam barusan, semua kembali seperti biasa. Puspa sibuk dengan jenazah si nenek tua yang di gadang-gadang punya harga melebihi harga dirinya. Setelah beberapa waktu sibuk dengan semua persiapan jenazahnya di dalam peti mati, tugas Puspa akhirnya selesai. Dia dan Salsa bersiap untuk pulang dengan keadaan lelah, seperti biasanya. “Kamu yakin, pulang sendiri?” Salsa bertanya pada Puspa untuk yang kesekian kali. Biasanya, dia akan mengantar temannya itu sampai ke halte bus depan sana. Karena posisi Rumah Duka masuk ke dalam gang, yang cukup jauh dari jalan raya. Puspa memutar mata, “Memangnya aku punya pilihan? Kamu sendiri yang bilang ada urusan, ya sudah tidak apa-apa. Halte depan tidak terlalu jauh, kok.” Walaupun merasa bersalah, Salsa tidak bisa mengabaikan urusannya yang satu ini, sehingga dia benar-benar harus pergi sekarang. “Kalau begitu, aku duluan, ya. Kamu hati-hati!” Motor matic itu dinyalakan, kemudian rodanya berputar meninggalkan area Rumah Du