Puspa Paramita, terjebak dalam hubungan asmara palsu bersama seorang rentenir anti-romantis, denial soal cinta, dan hanya tahu tentang bisnis. Hakam Astana, duda anak satu yang di paksa istrinya sendiri, Zara Naila, cerai tanpa alasan yang jelas. Walau begitu, Zara enggan membiarkan mantan suaminya pergi bersama wanita lain. Puspa yang terjebak 'hutang' pada Hakam, terpaksa harus mengikuti aturan dari sang rentenir yang dingin dan kurang terbuka. Belum lagi kenyataan bahwa Ibu mertuanya begitu membencinya, pun tindakan jahat yang selalu ia dapatkan dari Zara. Membuat hidup Puspa kacau, seakan terombang-ambing di tengah pusaran topan. Menghadapi semua masalah beruntun tanpa akhir ini, mampukah Puspa menyelesaikan kisah hidupnya dan berakhir bahagia?
View MoreKu usap bulir keringat di dahi. Kemudian, aku menatap ke arah wajah pemuda tampan yang terbaring kaku di dalam peti matinya.
"Akhirnya, selesai juga," ujarku sambil menghela nafas panjang.“Kasihan, ya. Masih muda tapi sudah meninggal. Iya ‘kan, Puspa?” Salsabila, seperti biasa, menyeletuk tidak sopan tanpa tahu tempat.Untung saja hanya ada kami berdua di ruangan ini. Dia adalah sahabat dekat sekaligus tim kerjaku di Agen Pemakaman. Ya, kalian tidak salah baca, aku selalu berurusan dengan mayat setiap hari. Termasuk si pemuda tampan yang meninggal akibat kecelakaan ini.Aku mendelik, menatap kesal ke arah Salsa. “Jangan sembarangan ngomong! Kalau ada yang dengar, kita berdua bisa dipecat!”Kulihat Salsa hanya tersenyum bodoh, kemudian kami kembali fokus menatap mayat lelaki muda yang sudah selesai di dandani dalam peti itu."Ya, mau bagaimana lagi? Habisnya dia ini definisi lelaki idaman semua wanita, lho. Lihat, wajahnya sangat tampan, keluarganya kaya raya, umurnya juga masih muda! Bisa-bisanya mati duluan dibanding orang tuanya." Salsa berdecak sambil menggelengkan kepala.Aku pun memutar bola mata, "Jangankan dia, pulang dari sini kamu meninggal pun bukan perkara mustahil, lho. Jangan suka berkomentar di depan jenazah, nanti nasibnya nular ke kamu, mau?""Duh, amit-amit!" Salsa bergidik, kemudian bersiap untuk pergi. "Aku mandi duluan, ya. Sebentar, kok. Janji!""Sebentarnya mandimu itu sama dengan dua kalinya aku mandi," Aku yang sudah hafal dengan kebiasaan Salsa, hanya bisa menggelengkan kepala. Apalagi ketika melihatnya sama sekali tak mengindahkan kalimatku.Alhasil, aku yang kelelahan dan berkeringat memutuskan turun ke lantai satu untuk mencari udara segar, di halaman gedung tempatku bekerja.***Karena hanya ada dua lantai di gedung ini, lift tidak disediakan. Puspa berjalan menuruni anak tangga terakhir, melewati meja resepsionis yang sepertinya sedang menerima tamu tak biasa.Puspa berpikir begitu karena dari gaya berpakaiannya, orang itu terlihat bukan seperti lelaki sembarangan."Aku berniat memakai jasa kalian. Hanya saja, aku perlu melihat bagaimana mekanismenya, tempat eksekusi jenazahnya, juga para pekerja yang bertugas menangani para mayat." Seorang lelaki dengan temperamen luar biasa dominan berbicara tegas tanpa senyum di wajahnya.Sang resepsionis terlihat sedikit gugup, namun ketika melihat Puspa lewat, matanya berbinar terang seolah melihat malaikat penolong yang siap membantunya."Puspa!" Panggilnya yang seketika membuat sang empu menghentikan langkah.Puspa berhenti, kemudian berbalik dan melihat dua pasang mata menatap ke arahnya dengan pandangan yang kontras berbeda.Yang satu terlihat berbinar bahagia, sementara yang lain jelas menunjukkan ekspresi hinaan di wajahnya. Lelaki yang entah siapa itu mengangkat sebelah alis, menatap Puspa seolah dia adalah sampah buangan di atas genangan air comberan yang berbau busuk.Puspa mungkin tidak sadar, namun fakta bahwa dia kelelahan akibat berturut-turut melayani 3 jenazah sekaligus, membuat energinya terkuras habis. Bedak di wajahnya belang setengah, terutama di bagian dahi yang terus berkeringat dan tentu perlu di usap setiap saat. Sementara rambutnya yang dikuncir kuda itu berantakan karena gatal ketombe akibat belum keramas dua hari ini. Jadi, terlihat jelas sekusut apa kondisinya saat ini.Namun, apa Puspa nampak peduli? Tidak sama sekali!Dia lelah! Hanya ingin istirahat lalu pulang. Jadi, ketika di panggil resepsionis itu, dia sama sekali tidak bergeming. Hanya berjalan lesu dan bertanya dengan lemas."Butuh bantuan?" Tanya Puspa dengan senyuman paksa."Banget!" Resepsionis itu tanpa basa-basi langsung mengangguk. "Ini, tolong bawa Pak Hakam berkeliling gedung. Beritahu semua fasilitas dan jelaskan mekanisme persiapan mayat sebelum masuk ke dalam peti. Bisa, kan?"Puspa terdiam. Teramat murka dalam hati, namun sulit dia tunjukkan akibat sifat 'tak enakan' yang selalu membuatnya jadi babu untuk orang lain, secara tidak langsung.Akhirnya, hanya anggukan kecil yang cukup untuk menyelesaikan persetujuan terpaksanya itu. "Oke," jawabnya singkat. Kemudian beralih pada lelaki yang diketahui bernama Hakam. "Kamu 'kan, Pak Hakam?" Lanjutnya tanpa ekspresi yang berarti, yang seketika membuat Resepsionis geram sampai memukul pelan pundak Puspa."Puspa, kamu yang sopan, ya." Resepsionis itu membulatkan mata, bersuara lirih dengan gigi terkatup. Kemudian beralih lagi pada Hakam, resepsionis itu kembali tersenyum lebar, "Pak Hakam, perkenalkan, ini Puspa. Semua pertanyaan yang sebelumnya Bapak berikan akan dijawab oleh agen kami yang cekatan ini."Melirik Puspa dengan ekor matanya, Hakam mengernyitkan dahi dan berkata dengan tidak setuju. "Ada orang lain? Hidungku alergi bau keringat. Mataku juga alergi dengan 'sesuatu' yang berantakan."Ketika kalimat ini dilontarkan, dua perempuan disana terdiam. Puspa yang sudah lelah sejak awal, jelas naik pitam. Dengan deru nafas tak beraturan, dia berbalik sambil berkata kasar."Kalau begitu cari saja orang lain! PERMISI!" Puspa berjalan dengan kedua tangan terkepal. Meninggalkan jejak udara kosong di antara Resepsionis dan lelaki jangkung bernama Hakam Astana, yang sejak tadi tidak bergeming dari tempatnya.Resepsionis itu menghela napas panjang, "Mohon maaf, sepertinya kesan pertama pertemuan kita jadi agak buruk, Pak.""Aku tidak peduli," Hakam memantik sebatang rokok. "Suruh dia mandi, kemudian minta temui aku di taman belakang. Aku mau gadis bau itu jadi pemanduku.""Hah?" Resepsionis itu berkedip bingung, namun tidak sempat bertanya karena Hakam sudah melenggang pergi melewati pintu keluar.Sungguh, dia tidak habis pikir dengan tamu spesialnya itu. Apa tamunya yang satu ini memang tipe orang yang suka keributan, ya? Atau gaya hidup setiap orang kaya memang seperti itu? Entahlah. Hanya mereka sendiri yang tahu.***Usai mandi dan keramas, Puspa merasa segar dan hidup kembali. Rambutnya yang super gatal akhirnya terasa normal. Gadis itu berkaca di cermin sambil mengoleskan krim pelembab di wajahnya.Pikirnya, dia bisa pulang dengan nyaman setelah ini. Namun, harapannya harus sirna begitu saja ketika Salsa masuk kedalam kamar dan memberitahu perihal Hakam yang hanya mau di pandu olehnya untuk berkeliling.Puspa menggebrak meja, "Maunya apa, sih?!" Sungutnya kesal."Huss, jangan begitu. Kamu lupa ada marga Astana di belakang namanya?" Sambil makan sekantong keripik singkong, Salsa bergumam pada Puspa.Puspa pun hanya bisa menghela napas, menetralkan segala emosi yang berkecamuk dalam hati, sebelum akhirnya membuka pintu kamarnya dan berjalan keluar.Namun, baru sejengkal Ia melangkah, seseorang menabrak bahunya sangat keras. Membuatnya terjungkal ke belakang dan hampir jatuh ke lantai."MINGGIR!" Teriak seorang wanita yang barusan menabrak Puspa. Wanita itu terlihat sangat gelisah sambil membawa sesuatu di pelukannya. Juga terbukti dengan gaya berlarinya yang tak beraturan, seolah menjelaskan situasinya yang sedang dalam bahaya serius.Dan untungnya, mata Puspa cukup tajam untuk mengenali benda apa yang dibawa wanita barusan. Menghadap ke belakang, Puspa lekas memberitahu Salsa."Telepon polisi!" Pekiknya yang berhasil mengejutkan Salsa.Kantong keripik yang di pegangnya melayang begitu saja, isinya pun berhamburan keluar. Namun, Salsa melihat situasi yang nampak serius, sehingga tanpa basa-basi segera mengambil ponsel pipih di sebelahnya dan mendial kontak polisi.Sementara Puspa juga bergerak cepat menyusul si pencuri. Ya, dia yakin itu pasti pencuri. Karena benda yang dibawa wanita barusan jelas adalah kotak perhiasan berisikan emas yang sengaja diberikan pihak keluarga untuk disertakan dalam peti mati putra mereka. Bagi umat Katolik sebenarnya tidak dibenarkan, hanya saja keluarga jenazah terlihat seperti keturunan Tionghoa. Sehingga masih bisa di toleransi."HEI, PENCURI!" Puspa cukup lincah. Dalam beberapa langkah lebar, dia berhasil menyusul wanita itu dan menabrak punggungnya dengan keras.Sayang, posisi keduanya saat ini berada tepat di bibir pintu menuju turunan anak tangga. Wanita pencuri itu terdorong ke depan dan jatuh berguling-guling. Sementara Puspa juga ikut terjerumus, namun bukan terdorong ke depan, melainkan ke arah pembatas pagar antara lantai satu dan lantai dua, yang seketika membuat tubuhnya melayang di udara.Untung saja, Tuhan tidak tidur. Salah satu tangan Puspa berhasil menggapai besi pembatas. Tubuhnya bergelantungan, sementara bibirnya berteriak meminta pertolongan.Di lantai satu, beberapa orang yang mendengar suara keributan itu ikut heboh. Terlebih ketika melihat tubuh seorang wanita berguling-guling dari lantai dua dan berhenti tepat di anak tangga terakhir.Hakam mengernyitkan dahi, kemudian terkejut ketika mendengar teriakan yang berasal dari atas kepalanya.Pegangan Puspa tidak terlalu kuat, terlebih tangannya berkeringat dan besi itu licin. Hingga pada akhirnya, ia tetap jatuh bebas. Namun, bersamaan dengan jatuhnya dia ke bawah, ada Hakam yang siap pasang badan. Dengan reflek cepat ala tentara militer, dia maju ke depan dan berhasil menangkap tubuh ramping itu tepat sasaran.Namun, tetap saja, jatuh dari ketinggian bukan suatu perkara mudah. Tubuh Hakam tak kuasa menahan beban yang jatuh secara tiba-tiba. Ia pun berakhir tertimpa tubuh Puspa dengan posisinya yang telentang, sementara Puspa juga mendarat dengan selamat, tepat di atas tubuh Hakam.Puspa berdiri di depan bangunan sederhana. Itu adalah rumahnya, rumah yang menjadi saksi pertumbuhannya dari kecil hingga dewasa. Hakam disamping Puspa, tangannya tidak pernah lepas menggenggam telapak halus itu. Hakam berkata dengan lembut, "Selamat datang." Hati Puspa bergetar mendengar ucapan itu. Matanya memerah dan ia berusaha keras menahan tangisannya agar tak pecah. "Hm, aku pulang." Balas Puspa dengan senyuman kecil. Keduanya berjalan bersamaan masuk kedalam rumah yang terasa begitu sunyi. Aroma familiar yang dejavu membuat Puspa berkhayal tentang sosok ibunya yang keluar dari dapur dan menyapanya dengan hangat. Aroma masakan sederhana itu jelas ia rindukan. Senyuman sang ibu yang menghangatkan kalbunya tentu saja membuatnya ingin menangis saat itu juga. "Tidak ada apa-apa disini." Puspa duduk di sofa dengan lemas. Ia menatap kosong ke depan, bingung harus kemana mencari sang ibu yang pergi tak berkabar. "Mungkinkah ibu benar-benar pergi meninggalkanku?" Hakam menghela n
"APA YANG KALIAN LAKUKAN! LEPASKAN AKU! LEPASKAN!"Ketika Puspa datang bersama Hakam dan Fajar, suara teriakan yang familiar langsung menyerbu ketiga orang itu. Puspa berhenti di depan pintu masuk dan mengambil napas panjang. Sementara Fajar sudah masuk lebih dulu, Hakam ikut berhenti di samping Puspa dan memperhatikan ekspresi rumit dari wajahnya.Puspa jelas merasakan perasaan campur aduk dalam hatinya. Tuhan tahu betapa bencinya ia pada wanita yang ada di dalam sana. Semua kekacauan yang terjadi ada di sana penyebabnya, ia bahkan tidak tahu apakah bisa menahan emosi ketika nanti langsung berhadapan dengan Zara.Tangan Puspa yang terkepal di samping badannya tiba-tiba dilingkupi rasa hangat. Puspa menoleh ke samping dan mendapati senyuman hangat dari Hakam. Tangan besar lelaki itu memberi sebuah kenyamanan yang menenangkan hati. "Jika kamu tidak mau masuk, kita bisa menunggu di mobil saja." Saran Hakam lembut.Namun, Puspa dengan cepat menggeleng. "Aku akan masuk. Ini adalah waktu
"Terima kasih sudah datang. Sampai jumpa lagi!" Puspa melambaikan tangannya dengan senyuman lebar. Hatinya benar-benar berbunga, ia merasa terharu berkat semua penggemar yang datang dan membuat harinya berwarna.Ketika Puspa berbalik dan hendak turun panggung, tiba-tiba ia mendengar sebuah teriakan lantang yang mengalahkan semua kericuhan yang ada. "PUSPA! AKU MENYAYANGIMU!" Hamun berteriak dengan putus asa. Urat-urat lehernya menonjol, matanya memerah dan ia sudah menangis sejak tadi. Anak itu benar-benar merindukan sosok Puspa. Ia juga merasa sedih dengan semua keadaan yang terjadi di antara mereka. Walau masih kecil, perasaannya tidak pernah salah, dan ia tidak bisa menahan perasaan sedih dalam hatinya lebih lama lagi.Mata Puspa bergetar dan ia langsung berbalik untuk mencari arah sumber suara. Semua orang tampak heran, terutama ketika melihat sang idola kembali ke tengah panggung dan mengedarkan pandangannya ke segala arah.Jantung Puspa berdetak sangat kencang, tangannya mengep
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" Tanya Fajar ketika melihat Puspa melamun sepanjang perjalanan. "Kalau kamu tidak keberatan, cerita saja denganku."Puspa tampak ragu, tetapi akhirnya menghela napas. "Entahlah, aku hanya ... hanya sedang memikirkan ibuku. Sampai sekarang kami tidak berkabar satu sama lain. Aku tidak tau dia dimana dan bagaimana keadaannya." Puspa akui ia merasa marah pada ibunya. Tetapi sekarang sudah reda, justru digantikan dengan rasa khawatir, karena ia tidak tahu bagaimana keadaan ibunya. Ia khawatir sesuatu terjadi padanya, mengingat bagaimana sifat licik dan jahatnya Zara."Kita akan segera bertemu dengannya. Tetapi sekarang, kamu fokuslah untuk acaramu sebentar lagi. Aku dengar dari tim yang berada di lokasi, penggemarmu yang datang tidak main-main. Mereka memenuhi semua kursi, bahkan ada yang rela berada di luar pembatas dan berdiri disana hanya untuk melihatmu.""Maaf," Puspa merasa kecewa pada dirinya sendiri. Ia harus menyadari posisinya saat ini. Ia sudah m
Untunglah, Puspa tidak kehabisan akal. Ia dengan sekuat tenaga mengarahkan tangannya ke selangkangan Anton dan meremas benda itu dengan kekuatan penuh. Anton sontak berteriak kesakitan dan mundur beberapa langkah. Puspa pun memanfaatkan kesempatan yang ada dan berlari sekuat tenaga, mencoba menghindari Anton yang berusaha mengikutinya dengan pistol hitam di tangannya. Dia berharap bisa menemukan tempat bersembunyi atau bantuan dari orang lain, tetapi jalanan sepi dan redup. Anton semakin mendekat, dan Puspa merasakan nafasnya terengah-engah. Dia tahu dia tidak akan bisa bertahan lama. Dia hanya berharap Fajar dan para polisi segera datang membantunya.Tiba-tiba, Anton menarik pelatuk dan sebuah peluru bersiul di udara. Puspa menjerit dan terjatuh, merasa darah mengucur dari lengannya. Dia melihat Anton tersenyum sinis dan mendekatinya dengan langkah pasti. Pistol hitam itu kini menempel di dahi Puspa, dan dia merasakan keringat dingin membasahi wajahnya. Dia menutup mata, menunggu det
Setelah semua kentang pesanan itu dimasukkan, mobil melaju menuju desa sebelah. Puspa deg-degan setengah mati, terutama ketika mobil mulai memasuki area jalanan sepi yang di kanan dan kirinya hanya ada pohon jati. Ini adalah daerah perbatasan desa, setelah melewati jalanan ini mereka akan sampai di tempat tujuan. Puspa sesekali melirik ke belakang, berharap melihat ada kendaraan lain. Sayangnya, hanya ada mereka di sana, jalanan begitu sepi, tidak ada kendaraan sama sekali kecuali mobil yang mereka tumpangi. Puspa menelan ludah, bersiap-siap memberi perlawanan sekuat tenaga apabila Anton tiba-tiba menyerangnya. Terutama karena dia tidak melihat ada pihak polisi yang memantau sama sekali. Ia bahkan tidak yakin mereka ada di belakang sana untuk menjaganya. "Kenapa Mbak?" Tanya Anton ketika melihat Puspa gelisah. Puspa tersentak dan menyadari kebodohannya. Ia baru menyadari gelagatnya yang terlalu kentara akibat rasa takut berlebihan dalam hatinya. "Enggak ada," Puspa tersenyum kaku,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments