Rentenir Duda Itu Suamiku

Rentenir Duda Itu Suamiku

Oleh:  Apsarasswatama  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
2 Peringkat
162Bab
3.9KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Puspa Paramita, terjebak dalam hubungan asmara palsu bersama seorang rentenir anti-romantis, denial soal cinta, dan hanya tahu tentang bisnis. Hakam Astana, duda anak satu yang di paksa istrinya sendiri, Zara Naila, cerai tanpa alasan yang jelas. Walau begitu, Zara enggan membiarkan mantan suaminya pergi bersama wanita lain. Puspa yang terjebak 'hutang' pada Hakam, terpaksa harus mengikuti aturan dari sang rentenir yang dingin dan kurang terbuka. Belum lagi kenyataan bahwa Ibu mertuanya begitu membencinya, pun tindakan jahat yang selalu ia dapatkan dari Zara. Membuat hidup Puspa kacau, seakan terombang-ambing di tengah pusaran topan. Menghadapi semua masalah beruntun tanpa akhir ini, mampukah Puspa menyelesaikan kisah hidupnya dan berakhir bahagia?

Lihat lebih banyak
Rentenir Duda Itu Suamiku Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Roslina Hassan
ceritanya bagus...tolong disambung secepatnya tak sabar menunggu...
2023-05-14 07:38:36
1
user avatar
Ibo Zayanibrahim
bagus banget ceritanya..., lanjut dong Thor...
2023-05-13 23:06:45
1
162 Bab
BAB 1
Ku usap bulir keringat di dahi. Kemudian, aku menatap ke arah wajah pemuda tampan yang terbaring kaku di dalam peti matinya. "Akhirnya, selesai juga," ujarku sambil menghela nafas panjang.“Kasihan, ya. Masih muda tapi sudah meninggal. Iya ‘kan, Puspa?” Salsabila, seperti biasa, menyeletuk tidak sopan tanpa tahu tempat.Untung saja hanya ada kami berdua di ruangan ini. Dia adalah sahabat dekat sekaligus tim kerjaku di Agen Pemakaman. Ya, kalian tidak salah baca, aku selalu berurusan dengan mayat setiap hari. Termasuk si pemuda tampan yang meninggal akibat kecelakaan ini.Aku mendelik, menatap kesal ke arah Salsa. “Jangan sembarangan ngomong! Kalau ada yang dengar, kita berdua bisa dipecat!”Kulihat Salsa hanya tersenyum bodoh, kemudian kami kembali fokus menatap mayat lelaki muda yang sudah selesai di dandani dalam peti itu."Ya, mau bagaimana lagi? Habisnya dia ini definisi lelaki idaman semua wanita, lho. Lihat, wajahnya sangat tampan, keluarganya kaya raya, umurnya juga masih muda!
Baca selengkapnya
BAB 2
Puspa gemetar sebadan-badan, tubuhnya jadi lemas layaknya jeli. Dia bahkan tidak menyadari jika ada orang lain yang saat ini sedang menopang berat tubuhnya tanpa persiapan sama sekali. Dan di posisi seperti itu, yang paling dirugikan jelas adalah Hakam. Punggungnya terasa seperti remuk, belum lagi fakta bahwa dia harus menahan massa seorang perempuan dewasa yang beratnya jelas tidak seringan anak-anak. Melihat bahwa Puspa tidak bergerak sama sekali, Hakam menghela napas dan berdiam diri sejenak. Sebetulnya, dia pernah berada di posisi yang sama. Hanya saja waktu itu yang menimpa tubuhnya adalah anak lelakinya sendiri. Mereka jelas memiliki ciri khas yang sama pasca terjatuh, yaitu badan gemetar tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Dan hal ini pula yang Hakam rasakan pada Puspa.Setelah beberapa menit terlewati, tubuh Puspa akhirnya jadi sedikit rileks. Hakam pun membuat suara deheman kecil, menyadarkan Puspa betapa ambigunya posisi mereka saat ini. “M-maaf, Pak.” Puspa berusaha men
Baca selengkapnya
BAB 3
Setelah pertemuannya dengan Hakam barusan, semua kembali seperti biasa. Puspa sibuk dengan jenazah si nenek tua yang di gadang-gadang punya harga melebihi harga dirinya. Setelah beberapa waktu sibuk dengan semua persiapan jenazahnya di dalam peti mati, tugas Puspa akhirnya selesai. Dia dan Salsa bersiap untuk pulang dengan keadaan lelah, seperti biasanya. “Kamu yakin, pulang sendiri?” Salsa bertanya pada Puspa untuk yang kesekian kali. Biasanya, dia akan mengantar temannya itu sampai ke halte bus depan sana. Karena posisi Rumah Duka masuk ke dalam gang, yang cukup jauh dari jalan raya. Puspa memutar mata, “Memangnya aku punya pilihan? Kamu sendiri yang bilang ada urusan, ya sudah tidak apa-apa. Halte depan tidak terlalu jauh, kok.” Walaupun merasa bersalah, Salsa tidak bisa mengabaikan urusannya yang satu ini, sehingga dia benar-benar harus pergi sekarang. “Kalau begitu, aku duluan, ya. Kamu hati-hati!” Motor matic itu dinyalakan, kemudian rodanya berputar meninggalkan area Rumah Du
Baca selengkapnya
BAB 4
Puspa pun merasakan rintik hujan jatuh di atas kepalanya. Karena tidak punya banyak pilihan, mengingat penyakit alerginya yang merepotkan, Puspa pun buru-buru masuk ke kursi tengah dengan tergesa. “Permisi,” ujarnya, sopan. Kemudian membuka pintu mobil bagian belakang dan duduk dengan nyaman. Dalam perjalanan, Hamun terus menatap wajah Puspa. Anak itu begitu terus terang dalam bertindak. Dia bahkan sengaja membalik posisi badan agar bisa terus melihat wajah Puspa. Gadis muda itu jelas tidak nyaman di perhatikan sampai sedemikian rupa, namun apalah daya, anak-anak seperti Hamun mana tahu perasaan orang dewasa, dan tentu tidak mau tahu terlepas dari apa yang mereka rasa. Sudah menjadi ciri khasnya anak-anak pada umumnya, jika kamu senang maka tunjukkanlah sikap bahwa kamu menyukainya. Begitupun sebaliknya. “Kamu sangat cantik,” Hamun tersenyum lebar. Menunjukkan deretan gigi yang tak sepenuhnya utuh. Satu gigi depannya ompong, terlihat lucu saat di perhatikan lebih dekat. Puspa tida
Baca selengkapnya
BAB 5
Ketika pemakaman selesai, Zara buru-buru memanfaatkan kesempatan mendekati sang putra semata wayang yang selalu menghindar darinya. “Sayang, mau ikut pulang dengan Mama?” “Dengan Papa saja.” Bahkan tanpa pikir panjang, Hamun langsung menolak ajakan sang Ibu. Yang mana hal itu menjadi hiburan tersendiri bagi Hakam. Zara sangat kesal saat memperhatikan ekspresi mengejek dari suaminya itu. Dia pun menyeletuk, “Apa sih enaknya sama Papa? Dia bahkan tidak pernah ajak kamu pergi ke tempat main yang seru. Dia juga tidak pernah ajak Hamun pergi jalan-jalan, kan? Kamu itu di kekang sama Papamu, harusnya kamu sadar!” Mendengar lontaran kalimat ini, Hakam tidak bereaksi apa-apa karena ingin mendengar jawaban langsung dari sang anak. Saat kepalanya menunduk untuk melihat ekspresi Hamun, anak itu juga sama sekali tidak bergeming. Justru saat ini Hamun memasang wajah serius ketika menatap mata sang Ibu. “Itulah alasan kenapa aku tidak pernah mau dekat dengan orang sepertimu. Kalian berdua jelas
Baca selengkapnya
BAB 6
Melihat kepergian Zara, Hakam hanya diam sambil mengamati dengan tenang. Ketika dia mengalihkan pandangan ke arah Hamun, anak itu juga sama sepertinya. Nampak tidak peduli oleh sang Ibu, malah lebih perhatian pada Puspa yang bukan siapa-siapanya. “Kamu baik?” Tanya Hamun sambil menyodorkan sebotol air mineral pada Puspa. Puspa meneguk setengahnya, baru kemudian balas tersenyum ke arah Hamun. “Terimakasih, tapi aku sedang tidak baik. Ternyata suhu AC tidak cocok dengan orang sepertiku,” ujarnya sambil tertawa. “Acara sudah selesai, sebaiknya kamu langsung pulang.” Hakam berkata singkat, kemudian masuk kedalam mobil begitu saja tanpa menunggu persetujuan dari yang lain. Hamun berdecak, kemudian meminta Puspa menurut saja. “Papaku itu orangnya galak. Lebih baik sedikit bicara kalau dekat dengannya,” saran anak itu yang langsung mendapat anggukan setuju dari Puspa. Setelah semua orang masuk kedalam mobil, mesin dinyalakan dan berjalan menjauhi area pemakaman. Di sepanjang perjalana
Baca selengkapnya
BAB 7
“Bisa-bisanya kamu bilang itu bukan urusanku,” Zara menggelengkan kepalanya. “Aku ini masih Istrimu, Mas! Kita bahkan belum resmi bercerai, tapi kamu sudah dapat yang baru secepat itu?!” “Jadi, ini salahku?” Hakam tidak peduli dengan tamparan yang barusan. Baginya itu hanya pukulan bayi kecil yang baru lahir, tidak berasa sama sekali. Menatap mata Zara, dia melanjutkan. “Kamu lupa, berapa kali aku tolak semua permintaan pisah yang terus kamu berikan tanpa jeda? Sekarang setelah semua, masih harus aku yang disalahkan? Lucu, kamu.” Hakam tertawa kecil, mengusap pipinya sambil memasang ekspresi mengejek, “Bahkan anak kecil tau seberapa buruknya kamu. Jangan terlalu mendalami peran sebagai Ibu peri, itu tidak akan berhasil.” Ujarnya sebelum berlalu dari hadapan Zara. Zara mengepalkan kedua tangannya. Kini, rasa ingin mencabik-cabik perempuan yang ia temui tadi jadi semakin membengkak dalam hatinya. “Puspa Paramita,” Zara menggertakkan gigi. “Kamu benar-benar benalu yang harus segera d
Baca selengkapnya
BAB 8
Di pagi hari berikutnya, Elisha mendiamkan Puspa. Sarapan pagi ini tidak sehangat biasanya. Terasa sunyi karena Elisha yang biasa menemani sang putri kini memilih untuk menyibukkan diri dengan urusan gereja sejak pagi-pagi buta. Puspa juga seakan sudah terbiasa dengan perang dingin ini, karena memang bukan pertama kalinya mereka berada dalam situasi seperti ini. Setiap kali Puspa ketahuan bernyanyi oleh sang ibu, maka keesokan harinya pasti akan ada jarak di antara keduanya. Puspa juga tidak terlalu ambil pusing, setelah memakai sepasang sepatu itu, dia berjalan melewati gereja menuju jalan setapak yang dipenuhi rumput liar. Sepanjang jalan menuju jalan raya, Puspa memikirkan banyak hal di kepalanya. Termasuk soal pertemuannya dengan Hakam kemarin. Entah mengapa, dia jadi terbayang wajah tampan namun menakutkan dari lelaki ganas itu. “Jadi mereka benar-benar mau berpisah, ya.” Puspa bergumam, mengingat kejadian dimana dia langsung menyaksikan pertengkaran antara pasangan suami istr
Baca selengkapnya
BAB 9
“Astaga, kenapa setiap hari ada saja yang meninggal, sih!” Salsabila mengeluh, padahal keringat di dahinya belum mengering. Namun panggilan selalu datang, bahkan kali ini harus pergi langsung ke TKP karena korban meninggalnya diduga akibat bunuh diri. Kali ini, Puspa juga setuju dengan Salsa. “Betul, hari ini super banget lelahnya,” ujarnya, namun kembali membuka mata lebar-lebar ketika mengingat bahwa masih ada satu jadwal lagi yang harus mereka selesaikan sebelum benar-benar bisa mengakhiri pekerjaan dan pulang. Salsa yang berdiri pertama kali, “Aku cuci muka sebentar, kamu siapkan semua peralatan, ya. Nanti aku yang bawa ke mobil.” “Oke,” malas berdebat, Puspa pun mengangguk saja. Lagipula, jika tugasnya beres-beres, maka bagian yang mengangkat kebawah pasti rekannya. Anggap saja sebagai aturan tidak tertulis di antara setiap tim. Lokasi jenazah berada tepat di tengah kota, di sebuah hotel mewah yang biasa disewa oleh pasangan-pasangan yang ingin menghabiskan malam panas tanpa g
Baca selengkapnya
BAB 10
Hari berikutnya, Zara terbangun sendiri di kamar besar itu. Lelakinya sudah lama pergi, meninggalkan sepucuk surat yang berisi ungkapan manis penuh gombalan kering. Walau begitu, Zara menyukainya. Darimana lagi dia bisa dapat begitu banyak cinta selain dari kekasihnya ini? Suaminya yang cuek itu? Yang benar saja.Selesai mandi, Zara tidak langsung pulang. Dia memilih menikmati secangkir teh hangat sambil merasakan semilir angin pagi dari balkon kamarnya.Tak lama kemudian, ponsel di atas meja itu berdering. Ketika melihat siapa nama kontaknya, senyuman licik mengembang di bibirnya. "Sudah dapat semua infonya? Jangan sampai buat aku kesal karena cara kerjamu yang terlalu lambat." Zara mengharapkan jawaban pasti, dan dia berharap mendapatkannya di pagi ini.Di seberang telepon, seorang lelaki menjawab santai sambil melihat beberapa lembar kertas di tangannya. "Sesuai janji, 7 juta jika kurang dari 7 hari.""Deal." Zara sangat senang. Tanpa pikir panjang, dia langsung mematikan sambunga
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status