Puspa menceritakan tentang pertemuannya dengan Bu Sinta pada Salsa yang datang terlambat. Dan dia pun marah besar. “Kenapa tidak tunggu aku dulu, sih! Aku sudah bilang mau ikut, kan?!”Puspa menjawab dengan santai, “Salah sendiri datang kesiangan.”“Motorku itu yang segala pecah ban, jadi aku harus antre di bengkel!”Puspa menahan tawa, “Ya, sudah sih. Kenapa harus marah-marah coba. Lagian semua sudah terbukti kalau memang Bu Sinta pelakunya. Cuma sayangnya kita belum punya bukti yang kuat. Coba kalau ada, pasti sudah dipecat.”“Jadi, rencana selanjutnya apa?” Tanya Salsa penasaran.Puspa menjawab, “Jaga mata, jaga telinga. Setelah tau sifat aslinya, kita harus hati-hati. Walaupun aku masih belum yakin, cuma firasatku biasanya selalu benar.”“Firasat apa?”“Kalau kedatangan Bu Sinta di perusahaan ini bukan cuma kebetulan,” bisik Puspa pelan
Sementara Hakam berada di tempat lain, Zara dan Batari baru saja keluar dari toko pakaian ternama yang pastinya hanya menjual baju-baju dengan harga di atas satu juta. Keduanya berbincang santai sambil berjalan ke kafetaria tempat terakhir kali mereka tinggalkan Hamun dan Hakam.“Loh, kok mereka tidak ada, ya.” Zara bertanya-tanya.“Mungkin bosan menunggu, jadi mereka jalan-jalan. Tunggu saja sebentar lagi.” Saran Batari.Zara mengangguk sambil menurunkan ponsel dari telinganya. “Di telepon juga tidak diangkat.”“Sudah, biarkan saja. Nanti juga pulang.” Batari mengambil kursi berhadapan dengan Zara kemudian melanjutkan obrolan yang tadi sempat tertunda.Sementara itu, di toko perhiasan, ada Puspa yang jadi tidak nyaman karena merasa diawasi oleh dua orang asing. Dia sejak awal sudah salah langkah sebenarnya, ini jelas toko perhiasan mahal yang sudah melebihi ekspektasinya. Akan tetapi, kalau keluar begitu saja, dia nanti jadi merasa rendah diri. Seakan-akan tidak jadi beli karena tid
Ketika pasangan ayah dan anak itu sampai di tempat mereka sebelumnya, dua wanita yang ada disana sudah menunggu dengan ekspresi masam. Zara menatap sang suami dengan tatapan tajam, “Dari mana?” tanyanya.“Jalan-jalan, bosan menunggu kalian belanja,” jawab Hakam singkat.“Betul,” Hamun pun tiba-tiba menyahut. “Tadi Hamun bermain di Time Zone, Nenek tidak marah, kan?”Batari yang sebenarnya sedang kesal, kini memaksakan senyum di wajah tuanya. “Tentu saja, mana mungkin Nenek kesal.”Hamun tersenyum lebar, kemudian rombongan itu pun bersama-sama pulang kerumah dengan isi pikiran yang berbeda-beda. Sampai dirumah, semua orang turun dan berkumpul diruang tamu. Namun, ada yang aneh dengan atmosfer yang terjadi diantara para orang dewasa. Hamun sampai kebingungan ketika melihat ketiga orang dewasa di sekitarnya nampak berdiam diri tanpa ada niat untuk bicara.Hal ini bukannya tanpa sebab. Karena saat dalam perjalanan pulang tadi, Hakam dan Zara masing-masing mendapat pesan selular dari pela
Hamun merenung dalam perjalanan menuju kediaman sang Nenek. Sementara Batari juga memahami perasaan sang cucu yang pasti merasa janggal akan sikap kedua orangtuanya.“Hamun lapar? Mau makan sesuatu?” Tanya Batari memecah keheningan. Keduanya duduk bersebelahan di kursi penumpang dengan Hamun yang terus menatap keluar jendela semenjak masuk kedalam mobil. Mendengar panggilan dari sang Nenek, anak itu terpaksa menoleh dan menggeleng kecil. “Hamun tidak lapar. Hamun cuma bingung, kenapa Papa dan Mama sering marah akhir-akhir ini.”Batari terdiam, kemudian mencoba memikirkan jawaban tepat untuk diberikan pada sang cucu yang cukup pandai menilai situasi. Anak itu memang sudah cerdas sejak kecil. Bahkan di umurnya yang masih kecil saja, dia sudah bisa membaca berbagai situasi yang terjadi di antara orang dewasa.“Hamun jangan memikirkan hal aneh, ya. Papa dan Mamamu hanya sedang bertengkar biasa. Seperti Hamun yang marahan dengan teman sekelas,” ujar Batari, kemudian melanjutkan. “Oh, beso
“Bunga apa yang mau kamu beli, tuan kecil?” Penjaga toko bunga terlihat gemas dengan kedatangan Hamun yang terlihat seperti bos kecil. Karena di belakangnya memang berdiri dua orang dewasa yang merupakan pengasuh dan juga sopirnya.“Bunga untuk orang cantik, yang mana?” Tanya Hamun dengan serius. Namun malah menimbulkan gelak tawa di antara orang-orang dewasa yang ada disana.“Wah, kamu sudah punya pacar, ya?” Tanya penjaga toko bunga. Yang kemudian membuat Hamun menyadari bahwa ketiga orang dewasa itu salah paham dengan tujuannya.Kendati demikian, wajahnya masih memerah. Dan dia menjawab dengan gelengan kecil, “Bukan untuk pacar. Aku tidak punya pacar, pokoknya pilihkan saja bunga yang cocok untuk wanita cantik. Jangan menertawakanku!” Pekiknya di akhir kalimat ketika memperhatikan orang-orang dewasa di sekitarnya itu masih tertawa walaupun sedikit.“Tolong maafkan saya,” Penjaga toko wanita itu menahan senyuman dan meminta maaf pada Hamun. Berbalik ke belakang, dia mengambil karang
“Kamu ini lambat sekali bermainnya!” Seorang anak lelaki gemuk memarahi Hamun. Dia merasa bahwa orang asing yang entah berasal dari mana itu adalah penyebab kekalahan timnya. Hamun yang tidak terima disalahkan, menjawab. “Bermain bola itu ada aturannya. Kita tidak boleh asal tendang kaki lawan. Itu namanya pelanggaran!” “Anak kecil tahu apa!” Jawab si gendut. “Kami selalu main seperti ini, kok. Pokoknya yang lemah harus rela kena tendang!” “Mana bisa begitu!” Hamun sangat kesal. Si gendut ini berkali-kali menendang kaki lawan secara sadar, atau lebih parahnya juga sampai di jegal. Yang mana hal ini jelas menyebabkan lawan jadi kalah. Nah, letak permasalahannya disini. Si gendut ingin semua timnya bar-bar seperti dia. Termasuk meminta Hamun bermain kasar pada lawan. Hamun menolak dalam diam dan tidak mau menuruti aturan tersebut. Alhasil, si gendut geram ketika melihat Hamun bermain ‘sportif’ dan membiarkan lawan terus mengambil alih bola. Hingga akhirnya tim mereka kalah berkali-k
Kembali pada Hamun dan Puspa. Saat ini keduanya masih bersama karena si kecil masih ingin ingin ditemani Puspa. Dan untungnya, tidak ada luka serius pada Hamun, kecuali sedikit memar di dahinya akibat tendangan bola yang didapatkan dari si gendut nakal yang tadi berkelahi dengannya. “Kenapa kamu tinggal dengan Nenekmu?” Tanya Puspa setelah mendengar cerita dari Hamun. Keduanya sedang berada di sebuah cafe, memesan makanan ringan yang jadi teman obrolan di antara keduanya. Bibi pengasuh dan sopir diperintahkan Hamun untuk duduk di kursi yang agak jauh darinya. Kendati demikian, kedua penjaga majikan kecil itu tak sekalipun melepaskan pandangan mereka dari Hamun. “Dia ini siapa, sih?” Tanya Bibi pengasuh pada sopir. Cukup penasaran dengan kedekatan antara Hamun dan gadis muda asing yang tidak pernah dia dengar sebelumnya. Pak sopir mengangkat kedua bahunya. “Tidak tahu juga. Bos tidak pernah beri perintah untuk cari tahu soal dia.” Bibi pengasuh dan pak sopir tetap memperhatikan H
Puspa hanya diam ketika ditampar di depan banyak orang seperti itu. Ingat, dia sudah berpengalaman dalam hal diskriminasi sejak sekolah dasar. Jadi, hanya tamparan seperti ini tidak membuatnya takut sama sekali.“Sudah selesai?” Tanya Puspa sambil mengusap pipinya seolah baru terpapar kuman dan bakteri. “Kalau sudah selesai, permisi. Aku harus pulang.”Zara merasa diabaikan dan di ejek dengan gaya bicara Puspa. Sehingga Ia kembali naik pitam dengan amarah yang membuncah ruah. Dengan begitu, tangannya terangkat lagi hendak memberi tamparan lain di pipi Puspa, namun gadis muda itu tidak membiarkan hal itu terulang dan menangkap lengan Zara, dicengkram dengan kuat hingga sang empu meringis kesakitan.“Lepas!” Zara mendelik ketika merasakan cengkraman itu terasa menyakitkan. Puspa tersenyum sambil menghempaskan pergelangan tangan yang barusan di cengkramnya. “Kalau mau adu tampar, aku juga bisa. Kamu salah sasaran kalau marah denganku. Dengar, ya. Kalau kamu berpikir aku adalah selingkuh