Share

BAB 5

Ketika pemakaman selesai, Zara buru-buru memanfaatkan kesempatan mendekati sang putra semata wayang yang selalu menghindar darinya. “Sayang, mau ikut pulang dengan Mama?”

“Dengan Papa saja.” Bahkan tanpa pikir panjang, Hamun langsung menolak ajakan sang Ibu. Yang mana hal itu menjadi hiburan tersendiri bagi Hakam.

Zara sangat kesal saat memperhatikan ekspresi mengejek dari suaminya itu. Dia pun menyeletuk, “Apa sih enaknya sama Papa? Dia bahkan tidak pernah ajak kamu pergi ke tempat main yang seru. Dia juga tidak pernah ajak Hamun pergi jalan-jalan, kan? Kamu itu di kekang sama Papamu, harusnya kamu sadar!”

Mendengar lontaran kalimat ini, Hakam tidak bereaksi apa-apa karena ingin mendengar jawaban langsung dari sang anak. Saat kepalanya menunduk untuk melihat ekspresi Hamun, anak itu juga sama sekali tidak bergeming. Justru saat ini Hamun memasang wajah serius ketika menatap mata sang Ibu.

“Itulah alasan kenapa aku tidak pernah mau dekat dengan orang sepertimu. Kalian berdua jelas berbeda! Kamu hanya ingin dekat denganku untuk kesenangan, sementara Papa mengajarkan aku bagaimana kenyataan hidup yang sebenarnya! Ma, hidup itu keras!”

Zara berdecak kesal, kemudian berkacak pinggang. “Lihat, gaya bicaramu bahkan sudah seperti orang tua. Hamun, kamu itu masih kecil. Yang dilakukan anak-anak lain sepertimu adalah bermain, dan memang harus begitu!”

Hakam merasakan telapak tangannya di genggam semakin erat oleh Hamun, dia jelas tetap berapi-api ketika berdebat dengan sang Ibu, seperti biasanya. Dengan alis menukik tajam, Hamun berkata dengan mantap. “Hidup tidak selalu berotasi pada kesenangan. Orang yang hidupnya hanya di habiskan untuk bersenang-senang tanpa kerja keras adalah orang paling bodoh di dunia. Dan Mama tau? Salah satu etika mengikuti pemakaman adalah menjaga sopan santun dan tutur wicara. Membicarakan kesenangan di tengah suasana berkabung benar-benar keterlaluan!”

Tidak ingin terus berhadapan dengan Zara, Hamun menarik tangan Hakam. Menyeretnya pergi menuju parkir mobil yang sudah agak sepi.

Zara pun menghela napas, “Anak itu benar-benar sudah di doktrin oleh Papanya sendiri.” Menatap punggung kedua orang itu, Zara berteriak, “Tunggu Mama! Hamun, sayang. Tunggu Mama, Nak!”

Zara menyusul kedua orang itu dengan susah payah, apalagi dengan wegdes yang dia pakai. Sangat menyiksa untuk berlarian dalam kondisi seperti itu. Namun, demi merebut hati sang anak dan memenangkan hak asuh di persidangan nanti, Zara harus meluluhkan hati Hamun.

Sementara itu, di dalam mobil milik Hakam, Puspa yang sejak tadi sudah merasakan mual yang tak tertahankan, memilih untuk keluar dan memuntahkan semua isi perutnya. Dia memang anti dingin, apalagi kalau dinginnya adalah suhu buatan seperti AC, bukan cuma bersin, yang ada kepalanya ikut pusing di sertai perut mual yang berujung pada muntah.

Hamun adalah orang pertama yang bereaksi. Anak itu berlari ke arah Puspa dan menepuk pundak gadis itu dengan lembut. “Kamu baik-baik saja?” Tanyanya dengan raut khawatir.

Sementara itu, Zara yang sejak tadi melihat dari awal kejadian merasa sangat terkejut. Dia belum bisa berpikir jernih dan merasa kebingungan. Apalagi ketika menyadari siapa perempuan yang ada di depan sana.

“Apa-apaan, ini!” Senyum Zara lenyap seketika. Dia berjalan mendekati Puspa dan menarik pundak gadis itu sampai berdiri berhadapan dengannya. “KAMU?!” Teriaknya tidak percaya ketika melihat wajah tak asing yang ada di hadapannya. Tuhan tahu betapa terkejutnya Zara melihat Puspa.

“Mama, kamu jangan kasar!” Hamun jelas tidak senang dengan cara Zara menarik Puspa untuk berdiri.

Namun, Zara malah mendelik ke arah Hamun. “Kamu bilang Mama kasar? Masih sempat kamu bicara begitu sementara ada orang asing disini, dan Mama tidak tahu apa-apa soal dia!?”

Beralih kepada Hakam, Zara mendorong tubuh sang suami hingga terdorong ke belakang. “Kamu selingkuh?” Tanyanya dengan ekspresi mengejek, “Wah, pantas kamu tidak keberatan dengan perceraian kita,” lanjutnya sambil bertepuk tangan.

Sementara itu, Puspa terkejut, dan seketika ingat akan rumor yang di ceritakan oleh Salsa beberapa jam lalu. ‘Jadi mereka benar-benar akan bercerai?!’ batinnya, tidak percaya.

Hakam sudah tahu kalau endingnya akan jadi rumit seperti ini. Tapi bukan Hakam namanya, kalau merasa gugup di waktu seperti ini. Bagi lelaki sepertinya, momen seperti ini justru bisa jadi peluang besar untuk membuat panas pihak lain.

“Bukan urusanmu. Lagipula, kamu lupa soal perceraian yang begitu kamu idam-idamkan, huh? Jadi, kenapa dengan reaksimu itu? Cemburu?” Jawab Hakam yang seketika menyadarkan kebodohan Zara.

“Bukan soal cemburu, tapi ini soal seleramu yang aku rasa makin lama semakin menurun.” Lidah perempuan seperti Zara tentu pandai berkelit. Dia dengan mudah menutupi emosinya dan mengalihkan topik ke arah lain. “Lagipula, kalian berdua sepertinya cocok mendapat predikat pasangan jomplang yang bakal jadi hinaan banyak orang. Jadi, kenapa aku harus cemburu?” Lanjutnya sambil melipat kedua tangan di dada.

Setelah itu, Zara menatap Puspa beberapa detik. Jelas, dalam rentang waktu sepersekian detik itu, ada banyak luapan emosi yang ia lontarkan lewat tatapan matanya yang tajam. ‘Orang miskin memang menyusahkan. Sepertinya ada yang harus aku urus setelah ini.’ Batin Zara ketika berjalan menjauh meninggalkan tiga orang di belakangnya.

Berjalan menuju mobilnya sendiri, Zara membuat panggilan telepon pada ponselnya. “Halo. Ini aku, Zara. Well, ya, aku memang sedang membutuhkan bantuanmu.”

“Bukan hal yang sulit. Hanya bantu aku mencari tahu soal perempuan bernama ...” Zara memutar mata, mengingat kembali akan name tag yang terpasang apik di kemeja kerja seseorang beberapa saat lalu.

“Puspa. Puspa Paramita. Gali semua informasi tentang orang ini sampai ke akar-akarnya.” Zara menarik napas panjang, kemudian melirik tiga orang yang ada di belakangnya dengan tatapan penuh arti. 'Siapapun yang berani merusak rencanaku, harus lenyap. Termasuk kamu, gadis miskin yang tidak tau diri.' Batinnya, kemudian pergi meninggalkan area pemakaman dengan perasaan campur aduk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status