Ketika pemakaman selesai, Zara buru-buru memanfaatkan kesempatan mendekati sang putra semata wayang yang selalu menghindar darinya. “Sayang, mau ikut pulang dengan Mama?”
“Dengan Papa saja.” Bahkan tanpa pikir panjang, Hamun langsung menolak ajakan sang Ibu. Yang mana hal itu menjadi hiburan tersendiri bagi Hakam.Zara sangat kesal saat memperhatikan ekspresi mengejek dari suaminya itu. Dia pun menyeletuk, “Apa sih enaknya sama Papa? Dia bahkan tidak pernah ajak kamu pergi ke tempat main yang seru. Dia juga tidak pernah ajak Hamun pergi jalan-jalan, kan? Kamu itu di kekang sama Papamu, harusnya kamu sadar!”Mendengar lontaran kalimat ini, Hakam tidak bereaksi apa-apa karena ingin mendengar jawaban langsung dari sang anak. Saat kepalanya menunduk untuk melihat ekspresi Hamun, anak itu juga sama sekali tidak bergeming. Justru saat ini Hamun memasang wajah serius ketika menatap mata sang Ibu.“Itulah alasan kenapa aku tidak pernah mau dekat dengan orang sepertimu. Kalian berdua jelas berbeda! Kamu hanya ingin dekat denganku untuk kesenangan, sementara Papa mengajarkan aku bagaimana kenyataan hidup yang sebenarnya! Ma, hidup itu keras!”Zara berdecak kesal, kemudian berkacak pinggang. “Lihat, gaya bicaramu bahkan sudah seperti orang tua. Hamun, kamu itu masih kecil. Yang dilakukan anak-anak lain sepertimu adalah bermain, dan memang harus begitu!”Hakam merasakan telapak tangannya di genggam semakin erat oleh Hamun, dia jelas tetap berapi-api ketika berdebat dengan sang Ibu, seperti biasanya. Dengan alis menukik tajam, Hamun berkata dengan mantap. “Hidup tidak selalu berotasi pada kesenangan. Orang yang hidupnya hanya di habiskan untuk bersenang-senang tanpa kerja keras adalah orang paling bodoh di dunia. Dan Mama tau? Salah satu etika mengikuti pemakaman adalah menjaga sopan santun dan tutur wicara. Membicarakan kesenangan di tengah suasana berkabung benar-benar keterlaluan!”Tidak ingin terus berhadapan dengan Zara, Hamun menarik tangan Hakam. Menyeretnya pergi menuju parkir mobil yang sudah agak sepi.Zara pun menghela napas, “Anak itu benar-benar sudah di doktrin oleh Papanya sendiri.” Menatap punggung kedua orang itu, Zara berteriak, “Tunggu Mama! Hamun, sayang. Tunggu Mama, Nak!”Zara menyusul kedua orang itu dengan susah payah, apalagi dengan wegdes yang dia pakai. Sangat menyiksa untuk berlarian dalam kondisi seperti itu. Namun, demi merebut hati sang anak dan memenangkan hak asuh di persidangan nanti, Zara harus meluluhkan hati Hamun.Sementara itu, di dalam mobil milik Hakam, Puspa yang sejak tadi sudah merasakan mual yang tak tertahankan, memilih untuk keluar dan memuntahkan semua isi perutnya. Dia memang anti dingin, apalagi kalau dinginnya adalah suhu buatan seperti AC, bukan cuma bersin, yang ada kepalanya ikut pusing di sertai perut mual yang berujung pada muntah.Hamun adalah orang pertama yang bereaksi. Anak itu berlari ke arah Puspa dan menepuk pundak gadis itu dengan lembut. “Kamu baik-baik saja?” Tanyanya dengan raut khawatir.Sementara itu, Zara yang sejak tadi melihat dari awal kejadian merasa sangat terkejut. Dia belum bisa berpikir jernih dan merasa kebingungan. Apalagi ketika menyadari siapa perempuan yang ada di depan sana.“Apa-apaan, ini!” Senyum Zara lenyap seketika. Dia berjalan mendekati Puspa dan menarik pundak gadis itu sampai berdiri berhadapan dengannya. “KAMU?!” Teriaknya tidak percaya ketika melihat wajah tak asing yang ada di hadapannya. Tuhan tahu betapa terkejutnya Zara melihat Puspa.“Mama, kamu jangan kasar!” Hamun jelas tidak senang dengan cara Zara menarik Puspa untuk berdiri.Namun, Zara malah mendelik ke arah Hamun. “Kamu bilang Mama kasar? Masih sempat kamu bicara begitu sementara ada orang asing disini, dan Mama tidak tahu apa-apa soal dia!?”Beralih kepada Hakam, Zara mendorong tubuh sang suami hingga terdorong ke belakang. “Kamu selingkuh?” Tanyanya dengan ekspresi mengejek, “Wah, pantas kamu tidak keberatan dengan perceraian kita,” lanjutnya sambil bertepuk tangan.Sementara itu, Puspa terkejut, dan seketika ingat akan rumor yang di ceritakan oleh Salsa beberapa jam lalu. ‘Jadi mereka benar-benar akan bercerai?!’ batinnya, tidak percaya.Hakam sudah tahu kalau endingnya akan jadi rumit seperti ini. Tapi bukan Hakam namanya, kalau merasa gugup di waktu seperti ini. Bagi lelaki sepertinya, momen seperti ini justru bisa jadi peluang besar untuk membuat panas pihak lain.“Bukan urusanmu. Lagipula, kamu lupa soal perceraian yang begitu kamu idam-idamkan, huh? Jadi, kenapa dengan reaksimu itu? Cemburu?” Jawab Hakam yang seketika menyadarkan kebodohan Zara.“Bukan soal cemburu, tapi ini soal seleramu yang aku rasa makin lama semakin menurun.” Lidah perempuan seperti Zara tentu pandai berkelit. Dia dengan mudah menutupi emosinya dan mengalihkan topik ke arah lain. “Lagipula, kalian berdua sepertinya cocok mendapat predikat pasangan jomplang yang bakal jadi hinaan banyak orang. Jadi, kenapa aku harus cemburu?” Lanjutnya sambil melipat kedua tangan di dada.Setelah itu, Zara menatap Puspa beberapa detik. Jelas, dalam rentang waktu sepersekian detik itu, ada banyak luapan emosi yang ia lontarkan lewat tatapan matanya yang tajam. ‘Orang miskin memang menyusahkan. Sepertinya ada yang harus aku urus setelah ini.’ Batin Zara ketika berjalan menjauh meninggalkan tiga orang di belakangnya.Berjalan menuju mobilnya sendiri, Zara membuat panggilan telepon pada ponselnya. “Halo. Ini aku, Zara. Well, ya, aku memang sedang membutuhkan bantuanmu.”“Bukan hal yang sulit. Hanya bantu aku mencari tahu soal perempuan bernama ...” Zara memutar mata, mengingat kembali akan name tag yang terpasang apik di kemeja kerja seseorang beberapa saat lalu.“Puspa. Puspa Paramita. Gali semua informasi tentang orang ini sampai ke akar-akarnya.” Zara menarik napas panjang, kemudian melirik tiga orang yang ada di belakangnya dengan tatapan penuh arti. 'Siapapun yang berani merusak rencanaku, harus lenyap. Termasuk kamu, gadis miskin yang tidak tau diri.' Batinnya, kemudian pergi meninggalkan area pemakaman dengan perasaan campur aduk.Melihat kepergian Zara, Hakam hanya diam sambil mengamati dengan tenang. Ketika dia mengalihkan pandangan ke arah Hamun, anak itu juga sama sepertinya. Nampak tidak peduli oleh sang Ibu, malah lebih perhatian pada Puspa yang bukan siapa-siapanya. “Kamu baik?” Tanya Hamun sambil menyodorkan sebotol air mineral pada Puspa. Puspa meneguk setengahnya, baru kemudian balas tersenyum ke arah Hamun. “Terimakasih, tapi aku sedang tidak baik. Ternyata suhu AC tidak cocok dengan orang sepertiku,” ujarnya sambil tertawa. “Acara sudah selesai, sebaiknya kamu langsung pulang.” Hakam berkata singkat, kemudian masuk kedalam mobil begitu saja tanpa menunggu persetujuan dari yang lain. Hamun berdecak, kemudian meminta Puspa menurut saja. “Papaku itu orangnya galak. Lebih baik sedikit bicara kalau dekat dengannya,” saran anak itu yang langsung mendapat anggukan setuju dari Puspa. Setelah semua orang masuk kedalam mobil, mesin dinyalakan dan berjalan menjauhi area pemakaman. Di sepanjang perjalana
“Bisa-bisanya kamu bilang itu bukan urusanku,” Zara menggelengkan kepalanya. “Aku ini masih Istrimu, Mas! Kita bahkan belum resmi bercerai, tapi kamu sudah dapat yang baru secepat itu?!” “Jadi, ini salahku?” Hakam tidak peduli dengan tamparan yang barusan. Baginya itu hanya pukulan bayi kecil yang baru lahir, tidak berasa sama sekali. Menatap mata Zara, dia melanjutkan. “Kamu lupa, berapa kali aku tolak semua permintaan pisah yang terus kamu berikan tanpa jeda? Sekarang setelah semua, masih harus aku yang disalahkan? Lucu, kamu.” Hakam tertawa kecil, mengusap pipinya sambil memasang ekspresi mengejek, “Bahkan anak kecil tau seberapa buruknya kamu. Jangan terlalu mendalami peran sebagai Ibu peri, itu tidak akan berhasil.” Ujarnya sebelum berlalu dari hadapan Zara. Zara mengepalkan kedua tangannya. Kini, rasa ingin mencabik-cabik perempuan yang ia temui tadi jadi semakin membengkak dalam hatinya. “Puspa Paramita,” Zara menggertakkan gigi. “Kamu benar-benar benalu yang harus segera d
Di pagi hari berikutnya, Elisha mendiamkan Puspa. Sarapan pagi ini tidak sehangat biasanya. Terasa sunyi karena Elisha yang biasa menemani sang putri kini memilih untuk menyibukkan diri dengan urusan gereja sejak pagi-pagi buta. Puspa juga seakan sudah terbiasa dengan perang dingin ini, karena memang bukan pertama kalinya mereka berada dalam situasi seperti ini. Setiap kali Puspa ketahuan bernyanyi oleh sang ibu, maka keesokan harinya pasti akan ada jarak di antara keduanya. Puspa juga tidak terlalu ambil pusing, setelah memakai sepasang sepatu itu, dia berjalan melewati gereja menuju jalan setapak yang dipenuhi rumput liar. Sepanjang jalan menuju jalan raya, Puspa memikirkan banyak hal di kepalanya. Termasuk soal pertemuannya dengan Hakam kemarin. Entah mengapa, dia jadi terbayang wajah tampan namun menakutkan dari lelaki ganas itu. “Jadi mereka benar-benar mau berpisah, ya.” Puspa bergumam, mengingat kejadian dimana dia langsung menyaksikan pertengkaran antara pasangan suami istr
“Astaga, kenapa setiap hari ada saja yang meninggal, sih!” Salsabila mengeluh, padahal keringat di dahinya belum mengering. Namun panggilan selalu datang, bahkan kali ini harus pergi langsung ke TKP karena korban meninggalnya diduga akibat bunuh diri. Kali ini, Puspa juga setuju dengan Salsa. “Betul, hari ini super banget lelahnya,” ujarnya, namun kembali membuka mata lebar-lebar ketika mengingat bahwa masih ada satu jadwal lagi yang harus mereka selesaikan sebelum benar-benar bisa mengakhiri pekerjaan dan pulang. Salsa yang berdiri pertama kali, “Aku cuci muka sebentar, kamu siapkan semua peralatan, ya. Nanti aku yang bawa ke mobil.” “Oke,” malas berdebat, Puspa pun mengangguk saja. Lagipula, jika tugasnya beres-beres, maka bagian yang mengangkat kebawah pasti rekannya. Anggap saja sebagai aturan tidak tertulis di antara setiap tim. Lokasi jenazah berada tepat di tengah kota, di sebuah hotel mewah yang biasa disewa oleh pasangan-pasangan yang ingin menghabiskan malam panas tanpa g
Hari berikutnya, Zara terbangun sendiri di kamar besar itu. Lelakinya sudah lama pergi, meninggalkan sepucuk surat yang berisi ungkapan manis penuh gombalan kering. Walau begitu, Zara menyukainya. Darimana lagi dia bisa dapat begitu banyak cinta selain dari kekasihnya ini? Suaminya yang cuek itu? Yang benar saja.Selesai mandi, Zara tidak langsung pulang. Dia memilih menikmati secangkir teh hangat sambil merasakan semilir angin pagi dari balkon kamarnya.Tak lama kemudian, ponsel di atas meja itu berdering. Ketika melihat siapa nama kontaknya, senyuman licik mengembang di bibirnya. "Sudah dapat semua infonya? Jangan sampai buat aku kesal karena cara kerjamu yang terlalu lambat." Zara mengharapkan jawaban pasti, dan dia berharap mendapatkannya di pagi ini.Di seberang telepon, seorang lelaki menjawab santai sambil melihat beberapa lembar kertas di tangannya. "Sesuai janji, 7 juta jika kurang dari 7 hari.""Deal." Zara sangat senang. Tanpa pikir panjang, dia langsung mematikan sambunga
"Kurang ajar!" Tukang ojek itu mengusap hidungnya yang berdarah. Menatap Puspa yang sudah lari jauh di depan, dia segera mengambil motor dan membawanya sekencang angin. Puspa yang menyadari hal ini mengumpat dalam hati, menyalahkan kebodohannya yang malah berlari begitu saja. Padahal seharusnya pakai saja motor penjahatnya lalu kabur, daripada jadi kejar-kejaran seperti ini? Sambil berlari sekencang yang dia bisa, Puspa sesekali melihat ke belakang dimana motor si penjahat itu makin lama semakin dekat dengan dirinya. Puspa mencari akal, pikirnya si penjahat akan sangat kewalahan jika dia berhasil menjauhkannya dari motornya. Tapi bagaimana caranya?! Berpikir sambil berlari bukanlah suatu perkara mudah. Puspa terengah-engah, hampir menyerah sebelum akhirnya melihat sebuah jurang dangkal di depan sana. Puspa dibesarkan di sini, tidak ada yang lebih tahu wilayah ini daripada dirinya sendiri. Bersama teman-teman kecilnya dulu, Puspa sering menyelinap ke daerah kebun sawit untuk bermain
Di sebuah kamar besar dengan aksen mewah khas milik orang-orang kaya, Zara Naila nampak tersenyum lebar sambil minum secangkir jus buah segar. Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar akibat panggilan telepon yang membuatnya naik pitam. Zara membanting gelas yang ia pegang ke lantai dan memaki dengan suara keras. "Gagal?! Bagaimana bisa!" Jika orang yang sedang bicara dengannya ini ada di depan wajahnya, pasti sudah dia cabik-cabik seluruh tubuhnya. "Maaf, tapi orangnya sudah ditangkap penjaga kebun dan dibawa ke kantor polisi," ujar seorang lelaki yang dibayar mahal oleh Zara untuk memberi pelajaran pada Puspa. Zara tidak dapat menerima kegagalan ini, terutama pelakunya sampai tertangkap dan dibawa ke kantor polisi. Jika sampai pelaku itu bicara macam-macam, namanya juga bisa ikut terseret! "Sial!" Zara kembali menghubungi seseorang, memintanya menghabisi si tukang ojek yang mereka sewa untuk melecehkan Puspa, yang saat ini sudah berada di kantor polisi. Padahal, rencanan
Puspa sedang berkemas, bersiap untuk pulang karena memang sudah waktunya. Sebenarnya, jam pulang memang selalu pukul 3 sore. Kecuali ada terlalu banyak pasien yang perlu diurus, maka hitungannya akan masuk kedalam jam lemburan. “Puspa?” Panggil seorang perempuan yang tak lain adalah Manajer Pemasar baru mereka. Puspa yang dipanggil tidak langsung menjawab. Ini dikarenakan dia belum tahu siapa namanya. Bukan karena tidak diberitahu, hanya saja Puspa sibuk bergosip dengan Salsa di aula tadi, sehingga namanya pun dia tidak ingat. “Oh, Ibu manajer baru, ternyata.” Berbasa-basi tanpa menyebut nama adalah keahlian Puspa. Manajer perempuan itu tersenyum kecil, “Nama saya Sinta, panggil nama saja, ya. Lagi pula umur kita tidak terlalu jauh, kok.” “Baik, Bu Sinta. Ada perlu apa, ya? Kebetulan hari ini saya tidak ada lembur. Kalau mau tanya-tanya terkait banyak hal, saya tidak bisa. Tapi ada banyak divisi yang lembur selain saya hari ini.” Tidak biasany