Share

BAB 5

last update Last Updated: 2023-01-17 21:35:15

Ketika pemakaman selesai, Zara buru-buru memanfaatkan kesempatan mendekati sang putra semata wayang yang selalu menghindar darinya. “Sayang, mau ikut pulang dengan Mama?”

“Dengan Papa saja.” Bahkan tanpa pikir panjang, Hamun langsung menolak ajakan sang Ibu. Yang mana hal itu menjadi hiburan tersendiri bagi Hakam.

Zara sangat kesal saat memperhatikan ekspresi mengejek dari suaminya itu. Dia pun menyeletuk, “Apa sih enaknya sama Papa? Dia bahkan tidak pernah ajak kamu pergi ke tempat main yang seru. Dia juga tidak pernah ajak Hamun pergi jalan-jalan, kan? Kamu itu di kekang sama Papamu, harusnya kamu sadar!”

Mendengar lontaran kalimat ini, Hakam tidak bereaksi apa-apa karena ingin mendengar jawaban langsung dari sang anak. Saat kepalanya menunduk untuk melihat ekspresi Hamun, anak itu juga sama sekali tidak bergeming. Justru saat ini Hamun memasang wajah serius ketika menatap mata sang Ibu.

“Itulah alasan kenapa aku tidak pernah mau dekat dengan orang sepertimu. Kalian berdua jelas berbeda! Kamu hanya ingin dekat denganku untuk kesenangan, sementara Papa mengajarkan aku bagaimana kenyataan hidup yang sebenarnya! Ma, hidup itu keras!”

Zara berdecak kesal, kemudian berkacak pinggang. “Lihat, gaya bicaramu bahkan sudah seperti orang tua. Hamun, kamu itu masih kecil. Yang dilakukan anak-anak lain sepertimu adalah bermain, dan memang harus begitu!”

Hakam merasakan telapak tangannya di genggam semakin erat oleh Hamun, dia jelas tetap berapi-api ketika berdebat dengan sang Ibu, seperti biasanya. Dengan alis menukik tajam, Hamun berkata dengan mantap. “Hidup tidak selalu berotasi pada kesenangan. Orang yang hidupnya hanya di habiskan untuk bersenang-senang tanpa kerja keras adalah orang paling bodoh di dunia. Dan Mama tau? Salah satu etika mengikuti pemakaman adalah menjaga sopan santun dan tutur wicara. Membicarakan kesenangan di tengah suasana berkabung benar-benar keterlaluan!”

Tidak ingin terus berhadapan dengan Zara, Hamun menarik tangan Hakam. Menyeretnya pergi menuju parkir mobil yang sudah agak sepi.

Zara pun menghela napas, “Anak itu benar-benar sudah di doktrin oleh Papanya sendiri.” Menatap punggung kedua orang itu, Zara berteriak, “Tunggu Mama! Hamun, sayang. Tunggu Mama, Nak!”

Zara menyusul kedua orang itu dengan susah payah, apalagi dengan wegdes yang dia pakai. Sangat menyiksa untuk berlarian dalam kondisi seperti itu. Namun, demi merebut hati sang anak dan memenangkan hak asuh di persidangan nanti, Zara harus meluluhkan hati Hamun.

Sementara itu, di dalam mobil milik Hakam, Puspa yang sejak tadi sudah merasakan mual yang tak tertahankan, memilih untuk keluar dan memuntahkan semua isi perutnya. Dia memang anti dingin, apalagi kalau dinginnya adalah suhu buatan seperti AC, bukan cuma bersin, yang ada kepalanya ikut pusing di sertai perut mual yang berujung pada muntah.

Hamun adalah orang pertama yang bereaksi. Anak itu berlari ke arah Puspa dan menepuk pundak gadis itu dengan lembut. “Kamu baik-baik saja?” Tanyanya dengan raut khawatir.

Sementara itu, Zara yang sejak tadi melihat dari awal kejadian merasa sangat terkejut. Dia belum bisa berpikir jernih dan merasa kebingungan. Apalagi ketika menyadari siapa perempuan yang ada di depan sana.

“Apa-apaan, ini!” Senyum Zara lenyap seketika. Dia berjalan mendekati Puspa dan menarik pundak gadis itu sampai berdiri berhadapan dengannya. “KAMU?!” Teriaknya tidak percaya ketika melihat wajah tak asing yang ada di hadapannya. Tuhan tahu betapa terkejutnya Zara melihat Puspa.

“Mama, kamu jangan kasar!” Hamun jelas tidak senang dengan cara Zara menarik Puspa untuk berdiri.

Namun, Zara malah mendelik ke arah Hamun. “Kamu bilang Mama kasar? Masih sempat kamu bicara begitu sementara ada orang asing disini, dan Mama tidak tahu apa-apa soal dia!?”

Beralih kepada Hakam, Zara mendorong tubuh sang suami hingga terdorong ke belakang. “Kamu selingkuh?” Tanyanya dengan ekspresi mengejek, “Wah, pantas kamu tidak keberatan dengan perceraian kita,” lanjutnya sambil bertepuk tangan.

Sementara itu, Puspa terkejut, dan seketika ingat akan rumor yang di ceritakan oleh Salsa beberapa jam lalu. ‘Jadi mereka benar-benar akan bercerai?!’ batinnya, tidak percaya.

Hakam sudah tahu kalau endingnya akan jadi rumit seperti ini. Tapi bukan Hakam namanya, kalau merasa gugup di waktu seperti ini. Bagi lelaki sepertinya, momen seperti ini justru bisa jadi peluang besar untuk membuat panas pihak lain.

“Bukan urusanmu. Lagipula, kamu lupa soal perceraian yang begitu kamu idam-idamkan, huh? Jadi, kenapa dengan reaksimu itu? Cemburu?” Jawab Hakam yang seketika menyadarkan kebodohan Zara.

“Bukan soal cemburu, tapi ini soal seleramu yang aku rasa makin lama semakin menurun.” Lidah perempuan seperti Zara tentu pandai berkelit. Dia dengan mudah menutupi emosinya dan mengalihkan topik ke arah lain. “Lagipula, kalian berdua sepertinya cocok mendapat predikat pasangan jomplang yang bakal jadi hinaan banyak orang. Jadi, kenapa aku harus cemburu?” Lanjutnya sambil melipat kedua tangan di dada.

Setelah itu, Zara menatap Puspa beberapa detik. Jelas, dalam rentang waktu sepersekian detik itu, ada banyak luapan emosi yang ia lontarkan lewat tatapan matanya yang tajam. ‘Orang miskin memang menyusahkan. Sepertinya ada yang harus aku urus setelah ini.’ Batin Zara ketika berjalan menjauh meninggalkan tiga orang di belakangnya.

Berjalan menuju mobilnya sendiri, Zara membuat panggilan telepon pada ponselnya. “Halo. Ini aku, Zara. Well, ya, aku memang sedang membutuhkan bantuanmu.”

“Bukan hal yang sulit. Hanya bantu aku mencari tahu soal perempuan bernama ...” Zara memutar mata, mengingat kembali akan name tag yang terpasang apik di kemeja kerja seseorang beberapa saat lalu.

“Puspa. Puspa Paramita. Gali semua informasi tentang orang ini sampai ke akar-akarnya.” Zara menarik napas panjang, kemudian melirik tiga orang yang ada di belakangnya dengan tatapan penuh arti. 'Siapapun yang berani merusak rencanaku, harus lenyap. Termasuk kamu, gadis miskin yang tidak tau diri.' Batinnya, kemudian pergi meninggalkan area pemakaman dengan perasaan campur aduk.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 162 END

    Puspa berdiri di depan bangunan sederhana. Itu adalah rumahnya, rumah yang menjadi saksi pertumbuhannya dari kecil hingga dewasa. Hakam disamping Puspa, tangannya tidak pernah lepas menggenggam telapak halus itu. Hakam berkata dengan lembut, "Selamat datang." Hati Puspa bergetar mendengar ucapan itu. Matanya memerah dan ia berusaha keras menahan tangisannya agar tak pecah. "Hm, aku pulang." Balas Puspa dengan senyuman kecil. Keduanya berjalan bersamaan masuk kedalam rumah yang terasa begitu sunyi. Aroma familiar yang dejavu membuat Puspa berkhayal tentang sosok ibunya yang keluar dari dapur dan menyapanya dengan hangat. Aroma masakan sederhana itu jelas ia rindukan. Senyuman sang ibu yang menghangatkan kalbunya tentu saja membuatnya ingin menangis saat itu juga. "Tidak ada apa-apa disini." Puspa duduk di sofa dengan lemas. Ia menatap kosong ke depan, bingung harus kemana mencari sang ibu yang pergi tak berkabar. "Mungkinkah ibu benar-benar pergi meninggalkanku?" Hakam menghela n

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 161

    "APA YANG KALIAN LAKUKAN! LEPASKAN AKU! LEPASKAN!"Ketika Puspa datang bersama Hakam dan Fajar, suara teriakan yang familiar langsung menyerbu ketiga orang itu. Puspa berhenti di depan pintu masuk dan mengambil napas panjang. Sementara Fajar sudah masuk lebih dulu, Hakam ikut berhenti di samping Puspa dan memperhatikan ekspresi rumit dari wajahnya.Puspa jelas merasakan perasaan campur aduk dalam hatinya. Tuhan tahu betapa bencinya ia pada wanita yang ada di dalam sana. Semua kekacauan yang terjadi ada di sana penyebabnya, ia bahkan tidak tahu apakah bisa menahan emosi ketika nanti langsung berhadapan dengan Zara.Tangan Puspa yang terkepal di samping badannya tiba-tiba dilingkupi rasa hangat. Puspa menoleh ke samping dan mendapati senyuman hangat dari Hakam. Tangan besar lelaki itu memberi sebuah kenyamanan yang menenangkan hati. "Jika kamu tidak mau masuk, kita bisa menunggu di mobil saja." Saran Hakam lembut.Namun, Puspa dengan cepat menggeleng. "Aku akan masuk. Ini adalah waktu

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 160

    "Terima kasih sudah datang. Sampai jumpa lagi!" Puspa melambaikan tangannya dengan senyuman lebar. Hatinya benar-benar berbunga, ia merasa terharu berkat semua penggemar yang datang dan membuat harinya berwarna.Ketika Puspa berbalik dan hendak turun panggung, tiba-tiba ia mendengar sebuah teriakan lantang yang mengalahkan semua kericuhan yang ada. "PUSPA! AKU MENYAYANGIMU!" Hamun berteriak dengan putus asa. Urat-urat lehernya menonjol, matanya memerah dan ia sudah menangis sejak tadi. Anak itu benar-benar merindukan sosok Puspa. Ia juga merasa sedih dengan semua keadaan yang terjadi di antara mereka. Walau masih kecil, perasaannya tidak pernah salah, dan ia tidak bisa menahan perasaan sedih dalam hatinya lebih lama lagi.Mata Puspa bergetar dan ia langsung berbalik untuk mencari arah sumber suara. Semua orang tampak heran, terutama ketika melihat sang idola kembali ke tengah panggung dan mengedarkan pandangannya ke segala arah.Jantung Puspa berdetak sangat kencang, tangannya mengep

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 159

    "Apa yang sedang kamu pikirkan?" Tanya Fajar ketika melihat Puspa melamun sepanjang perjalanan. "Kalau kamu tidak keberatan, cerita saja denganku."Puspa tampak ragu, tetapi akhirnya menghela napas. "Entahlah, aku hanya ... hanya sedang memikirkan ibuku. Sampai sekarang kami tidak berkabar satu sama lain. Aku tidak tau dia dimana dan bagaimana keadaannya." Puspa akui ia merasa marah pada ibunya. Tetapi sekarang sudah reda, justru digantikan dengan rasa khawatir, karena ia tidak tahu bagaimana keadaan ibunya. Ia khawatir sesuatu terjadi padanya, mengingat bagaimana sifat licik dan jahatnya Zara."Kita akan segera bertemu dengannya. Tetapi sekarang, kamu fokuslah untuk acaramu sebentar lagi. Aku dengar dari tim yang berada di lokasi, penggemarmu yang datang tidak main-main. Mereka memenuhi semua kursi, bahkan ada yang rela berada di luar pembatas dan berdiri disana hanya untuk melihatmu.""Maaf," Puspa merasa kecewa pada dirinya sendiri. Ia harus menyadari posisinya saat ini. Ia sudah m

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 158

    Untunglah, Puspa tidak kehabisan akal. Ia dengan sekuat tenaga mengarahkan tangannya ke selangkangan Anton dan meremas benda itu dengan kekuatan penuh. Anton sontak berteriak kesakitan dan mundur beberapa langkah. Puspa pun memanfaatkan kesempatan yang ada dan berlari sekuat tenaga, mencoba menghindari Anton yang berusaha mengikutinya dengan pistol hitam di tangannya. Dia berharap bisa menemukan tempat bersembunyi atau bantuan dari orang lain, tetapi jalanan sepi dan redup. Anton semakin mendekat, dan Puspa merasakan nafasnya terengah-engah. Dia tahu dia tidak akan bisa bertahan lama. Dia hanya berharap Fajar dan para polisi segera datang membantunya.Tiba-tiba, Anton menarik pelatuk dan sebuah peluru bersiul di udara. Puspa menjerit dan terjatuh, merasa darah mengucur dari lengannya. Dia melihat Anton tersenyum sinis dan mendekatinya dengan langkah pasti. Pistol hitam itu kini menempel di dahi Puspa, dan dia merasakan keringat dingin membasahi wajahnya. Dia menutup mata, menunggu det

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 157

    Setelah semua kentang pesanan itu dimasukkan, mobil melaju menuju desa sebelah. Puspa deg-degan setengah mati, terutama ketika mobil mulai memasuki area jalanan sepi yang di kanan dan kirinya hanya ada pohon jati. Ini adalah daerah perbatasan desa, setelah melewati jalanan ini mereka akan sampai di tempat tujuan. Puspa sesekali melirik ke belakang, berharap melihat ada kendaraan lain. Sayangnya, hanya ada mereka di sana, jalanan begitu sepi, tidak ada kendaraan sama sekali kecuali mobil yang mereka tumpangi. Puspa menelan ludah, bersiap-siap memberi perlawanan sekuat tenaga apabila Anton tiba-tiba menyerangnya. Terutama karena dia tidak melihat ada pihak polisi yang memantau sama sekali. Ia bahkan tidak yakin mereka ada di belakang sana untuk menjaganya. "Kenapa Mbak?" Tanya Anton ketika melihat Puspa gelisah. Puspa tersentak dan menyadari kebodohannya. Ia baru menyadari gelagatnya yang terlalu kentara akibat rasa takut berlebihan dalam hatinya. "Enggak ada," Puspa tersenyum kaku,

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 156

    Puspa dan kedua orangtua Fajar bergegas ke kantor polisi. Mobil hitam itu melesat kencang menuju kantor polisi terdekat. Mereka hanya bisa berharap pihak kepolisian bisa dengan mudah membantu rencana mereka."Ada yang bisa kami bantu?" Tanya salah seorang polisi kepada ketiga orang itu.Puspa mengangguk, "Ini sangat mendesak. Saya harap bapak mau mendengarkan."Pak polisi mengangguk, kemudian mendengarkan dengan seksama laporan dari ketiga orang di depannya. Begitu mereka selesai menjelaskan, ia terkejut. Terutama ketika ia mendengar rekaman yang baru saja di putar."Apa rekaman ini asli?" Tanya polisi itu.Kali ini, ibu fajar mengangguk. Ia langsung menjelaskan secara lebih rinci tentang permasalahan yang mereka hadapi. Sementara itu, Puspa merasa semakin gelisah. Telapak tangannya berkeringat, pikirannya kacau. Berada di kantor polisi tidak membuatnya merasa tenang sama sekali.Ia takut hal ini akan membawa keluarga Fajar berada dalam masalah. Tetapi masalahnya, ia juga tidak yakin

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 155

    Setelah Anton kembali, Fajar berbasa-basi sejenak, kemudian berpamitan dan langsung pergi ke studio untuk berdiskusi dengan Puspa."Apa? Kenapa?" Puspa kebingungan ketika Fajar tiba-tiba datang dengan ekspresi aneh. Dia langsung menutup pintu rapat-rapat dan membawa Puspa duduk di atas sofa.Fajar terdiam sejenak, terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu. "Itu ...""Apa? Apa yang itu?" Puspa mengerutkan kening."Ada hal penting yang harus aku katakan. Tapi ... ""Jangan buat aku penasaran!" Puspa yang tidak tahan, reflek memukul pundak Fajar.Fajar langsung duduk tegap, kemudian agak takut melihat ekspresi yang dipasang oleh Puspa saat ini. Setelah menarik napas panjang, ia akhirnya berani membuka mulutnya."Aku tidak yakin bisa mengatakannya, sebaiknya kamu mendengarnya secara langsung." Fajar langsung memasangkan earphone ke telinga Puspa dan memutar rekaman yang baru saja ia dapatkan.Puspa awalnya bingung, karena tidak ada suara apapun selama beberapa saat. Itu karena Fajar sedang m

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 154

    "Aku sudah curiga sejak awal, tapi masih terasa sakit mendengarnya langsung dari orang lain." Puspa mengusap air mata di pipinya. Dia masih tidak menyangka jika sang ibu tega melakukan hal jahat demi uang."Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Apalagi ibumu bukan ibu kandung, kan? Bukan maksudku menjelek-jelekkan ibumu. Tetapi itu mungkin karena kalian berdua tidak memiliki ikatan darah."Puspa tidak setuju, "Seharusnya lebih daripada itu. Jika memang hanya karena alasan hubungan darah, sejak kecil aku tidak mungkin mendapat kasih sayang darinya. Ini pasti ada alasan lain mengapa Ibuk mau bekerja sama dengan Zara. Mungkin Zara mengancamnya.""Mengancam dengan apa?" Tanya Fajar penasaran.Puspa menggeleng, "Aku juga belum tahu, tetapi akan segera aku caritahu kebenarannya.""Tetapi kamu akan sibuk akhir-akhir ini. Bagaimana mungkin kamu punya waktu untuk menyelidiki sesuatu yang jauh disana?""Entahlah," Puspa tertawa, "Aku yakin pasti ada jalan jika memang takdirku mengatakan ha

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status