Puspa pun merasakan rintik hujan jatuh di atas kepalanya. Karena tidak punya banyak pilihan, mengingat penyakit alerginya yang merepotkan, Puspa pun buru-buru masuk ke kursi tengah dengan tergesa.
“Permisi,” ujarnya, sopan. Kemudian membuka pintu mobil bagian belakang dan duduk dengan nyaman.Dalam perjalanan, Hamun terus menatap wajah Puspa. Anak itu begitu terus terang dalam bertindak. Dia bahkan sengaja membalik posisi badan agar bisa terus melihat wajah Puspa.Gadis muda itu jelas tidak nyaman di perhatikan sampai sedemikian rupa, namun apalah daya, anak-anak seperti Hamun mana tahu perasaan orang dewasa, dan tentu tidak mau tahu terlepas dari apa yang mereka rasa. Sudah menjadi ciri khasnya anak-anak pada umumnya, jika kamu senang maka tunjukkanlah sikap bahwa kamu menyukainya. Begitupun sebaliknya.“Kamu sangat cantik,” Hamun tersenyum lebar. Menunjukkan deretan gigi yang tak sepenuhnya utuh. Satu gigi depannya ompong, terlihat lucu saat di perhatikan lebih dekat.Puspa tidak pernah di puji secara langsung seperti barusan, jadi dia benar-benar malu. Sementara di kursi kemudi, Hakam yang fokus pada jalanan secara tak sengaja melihat pantulan wajah Puspa dari kaca spion. Entah mengapa, dia jadi terusik. Seolah ada sesuatu dari dirinya yang terus merasa gatal ingin memperhatikan sosok yang sedang duduk di kursi tengah itu.“Kami harus pergi ke pemakaman, baru setelah itu bisa mengantar kamu pulang.” Hakam menyeletuk tiba-tiba.Puspa pun mengangguk saja sebagai jawaban. “Baik, terimakasih.”“Sama-sama,” Jawab Hamun, persis ketika sang Ayah hendak membuka mulut untuk bicara. Namun karena sudah di wakilkan oleh sang putra, calon duda tampan itu menutup kembali bibirnya dan tetap diam sepanjang perjalanan hingga sampai ke pemakaman.“Kakak cantik—“Panggil nama saja. Namaku, Puspa.” Potong Puspa ketika Hamun hendak memanggilnya dengan panggilan yang membuatnya malu itu.Hamun terkekeh, kemudian mengangguk. “Kita sudah sampai di pemakaman, kamu mau ikut turun atau tunggu di dalam mobil?” tanyanya, yang sebenarnya sangat berharap Puspa mau menemaninya pergi ke pemakaman sang Nenek buyut.Puspa tidak langsung menjawab. Dia melihat keluar dan memperhatikan bahwa sangat ramai disana. Jelas, yang datang pasti bukan orang sembarangan. “Aku di mobil saja, ya,” jawab Puspa. Pikirnya, tidak etis bergabung bersama lelaki yang sudah berkeluarga, sementara istrinya juga ada disana. Bisa-bisa, dia kena gosip dan masuk akun Lambe Turah sebagai pelakor.Hamun agak kecewa, namun detik berikutnya tampak biasa saja. “Kalau begitu tunggu, ya. AC-nya tetap nyala, kok. Tidak akan pengap di dalam sini.”Puspa mengangguk, kemudian melihat pasangan ayah dan anak itu kompak berjalan bergandengan menuju keramaian.“Serasi, ya.” Gumam Puspa. Dia selalu bermimpi memiliki keluarga seperti itu. Anak lelaki imut seperti Hamun, suami yang kaya seperti Hakam, tapi amit-amit dengan sikapnya yang jahat, ya. Jangan sampai dia dapat pasangan bak triplek kaku seperti itu.Realistis saja, Puspa memang tidak terlalu mementingkan rupa. Yang penting dia kaya, juga bertanggung jawab pada pasangannya. Zaman sekarang yang tampan memang banyak, tapi yang jelas mapan tentu lebih eksklusif, sehingga sulit buat di cari.Dari balik jendela kaca, Puspa bisa melihat pasangan ayah dan anak itu di datangi seorang wanita cantik yang tak lain adalah Zara. Namun, ada yang aneh. Puspa sama sekali tidak melihat adanya kedekatan layaknya anak yang sayang terhadap ibunya.Bahkan saat Zara mencoba menggandeng tangan Hamun, anak itu sengaja menarik tangannya dan semakin mepet pada Hakam, seolah memang tidak nyaman dekat-dekat dengan ibunya sendiri.“Aneh,” Puspa menggelengkan kepala. Membayangkan betapa dekatnya dia dan ibunya dari dulu sampai sekarang, walau jelas, mereka tidak sedarah. Ibu tirinya benar-benar berbeda, mematahkan banyak cerita yang beranggapan bahwa ibu sambung adalah neraka. Buktinya, adalah Puspa sendiri.Puspa berdiri di depan bangunan sederhana. Itu adalah rumahnya, rumah yang menjadi saksi pertumbuhannya dari kecil hingga dewasa. Hakam disamping Puspa, tangannya tidak pernah lepas menggenggam telapak halus itu. Hakam berkata dengan lembut, "Selamat datang." Hati Puspa bergetar mendengar ucapan itu. Matanya memerah dan ia berusaha keras menahan tangisannya agar tak pecah. "Hm, aku pulang." Balas Puspa dengan senyuman kecil. Keduanya berjalan bersamaan masuk kedalam rumah yang terasa begitu sunyi. Aroma familiar yang dejavu membuat Puspa berkhayal tentang sosok ibunya yang keluar dari dapur dan menyapanya dengan hangat. Aroma masakan sederhana itu jelas ia rindukan. Senyuman sang ibu yang menghangatkan kalbunya tentu saja membuatnya ingin menangis saat itu juga. "Tidak ada apa-apa disini." Puspa duduk di sofa dengan lemas. Ia menatap kosong ke depan, bingung harus kemana mencari sang ibu yang pergi tak berkabar. "Mungkinkah ibu benar-benar pergi meninggalkanku?" Hakam menghela n
"APA YANG KALIAN LAKUKAN! LEPASKAN AKU! LEPASKAN!"Ketika Puspa datang bersama Hakam dan Fajar, suara teriakan yang familiar langsung menyerbu ketiga orang itu. Puspa berhenti di depan pintu masuk dan mengambil napas panjang. Sementara Fajar sudah masuk lebih dulu, Hakam ikut berhenti di samping Puspa dan memperhatikan ekspresi rumit dari wajahnya.Puspa jelas merasakan perasaan campur aduk dalam hatinya. Tuhan tahu betapa bencinya ia pada wanita yang ada di dalam sana. Semua kekacauan yang terjadi ada di sana penyebabnya, ia bahkan tidak tahu apakah bisa menahan emosi ketika nanti langsung berhadapan dengan Zara.Tangan Puspa yang terkepal di samping badannya tiba-tiba dilingkupi rasa hangat. Puspa menoleh ke samping dan mendapati senyuman hangat dari Hakam. Tangan besar lelaki itu memberi sebuah kenyamanan yang menenangkan hati. "Jika kamu tidak mau masuk, kita bisa menunggu di mobil saja." Saran Hakam lembut.Namun, Puspa dengan cepat menggeleng. "Aku akan masuk. Ini adalah waktu
"Terima kasih sudah datang. Sampai jumpa lagi!" Puspa melambaikan tangannya dengan senyuman lebar. Hatinya benar-benar berbunga, ia merasa terharu berkat semua penggemar yang datang dan membuat harinya berwarna.Ketika Puspa berbalik dan hendak turun panggung, tiba-tiba ia mendengar sebuah teriakan lantang yang mengalahkan semua kericuhan yang ada. "PUSPA! AKU MENYAYANGIMU!" Hamun berteriak dengan putus asa. Urat-urat lehernya menonjol, matanya memerah dan ia sudah menangis sejak tadi. Anak itu benar-benar merindukan sosok Puspa. Ia juga merasa sedih dengan semua keadaan yang terjadi di antara mereka. Walau masih kecil, perasaannya tidak pernah salah, dan ia tidak bisa menahan perasaan sedih dalam hatinya lebih lama lagi.Mata Puspa bergetar dan ia langsung berbalik untuk mencari arah sumber suara. Semua orang tampak heran, terutama ketika melihat sang idola kembali ke tengah panggung dan mengedarkan pandangannya ke segala arah.Jantung Puspa berdetak sangat kencang, tangannya mengep
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" Tanya Fajar ketika melihat Puspa melamun sepanjang perjalanan. "Kalau kamu tidak keberatan, cerita saja denganku."Puspa tampak ragu, tetapi akhirnya menghela napas. "Entahlah, aku hanya ... hanya sedang memikirkan ibuku. Sampai sekarang kami tidak berkabar satu sama lain. Aku tidak tau dia dimana dan bagaimana keadaannya." Puspa akui ia merasa marah pada ibunya. Tetapi sekarang sudah reda, justru digantikan dengan rasa khawatir, karena ia tidak tahu bagaimana keadaan ibunya. Ia khawatir sesuatu terjadi padanya, mengingat bagaimana sifat licik dan jahatnya Zara."Kita akan segera bertemu dengannya. Tetapi sekarang, kamu fokuslah untuk acaramu sebentar lagi. Aku dengar dari tim yang berada di lokasi, penggemarmu yang datang tidak main-main. Mereka memenuhi semua kursi, bahkan ada yang rela berada di luar pembatas dan berdiri disana hanya untuk melihatmu.""Maaf," Puspa merasa kecewa pada dirinya sendiri. Ia harus menyadari posisinya saat ini. Ia sudah m
Untunglah, Puspa tidak kehabisan akal. Ia dengan sekuat tenaga mengarahkan tangannya ke selangkangan Anton dan meremas benda itu dengan kekuatan penuh. Anton sontak berteriak kesakitan dan mundur beberapa langkah. Puspa pun memanfaatkan kesempatan yang ada dan berlari sekuat tenaga, mencoba menghindari Anton yang berusaha mengikutinya dengan pistol hitam di tangannya. Dia berharap bisa menemukan tempat bersembunyi atau bantuan dari orang lain, tetapi jalanan sepi dan redup. Anton semakin mendekat, dan Puspa merasakan nafasnya terengah-engah. Dia tahu dia tidak akan bisa bertahan lama. Dia hanya berharap Fajar dan para polisi segera datang membantunya.Tiba-tiba, Anton menarik pelatuk dan sebuah peluru bersiul di udara. Puspa menjerit dan terjatuh, merasa darah mengucur dari lengannya. Dia melihat Anton tersenyum sinis dan mendekatinya dengan langkah pasti. Pistol hitam itu kini menempel di dahi Puspa, dan dia merasakan keringat dingin membasahi wajahnya. Dia menutup mata, menunggu det
Setelah semua kentang pesanan itu dimasukkan, mobil melaju menuju desa sebelah. Puspa deg-degan setengah mati, terutama ketika mobil mulai memasuki area jalanan sepi yang di kanan dan kirinya hanya ada pohon jati. Ini adalah daerah perbatasan desa, setelah melewati jalanan ini mereka akan sampai di tempat tujuan. Puspa sesekali melirik ke belakang, berharap melihat ada kendaraan lain. Sayangnya, hanya ada mereka di sana, jalanan begitu sepi, tidak ada kendaraan sama sekali kecuali mobil yang mereka tumpangi. Puspa menelan ludah, bersiap-siap memberi perlawanan sekuat tenaga apabila Anton tiba-tiba menyerangnya. Terutama karena dia tidak melihat ada pihak polisi yang memantau sama sekali. Ia bahkan tidak yakin mereka ada di belakang sana untuk menjaganya. "Kenapa Mbak?" Tanya Anton ketika melihat Puspa gelisah. Puspa tersentak dan menyadari kebodohannya. Ia baru menyadari gelagatnya yang terlalu kentara akibat rasa takut berlebihan dalam hatinya. "Enggak ada," Puspa tersenyum kaku,