Share

BAB 4

Puspa pun merasakan rintik hujan jatuh di atas kepalanya. Karena tidak punya banyak pilihan, mengingat penyakit alerginya yang merepotkan, Puspa pun buru-buru masuk ke kursi tengah dengan tergesa.

“Permisi,” ujarnya, sopan. Kemudian membuka pintu mobil bagian belakang dan duduk dengan nyaman.

Dalam perjalanan, Hamun terus menatap wajah Puspa. Anak itu begitu terus terang dalam bertindak. Dia bahkan sengaja membalik posisi badan agar bisa terus melihat wajah Puspa.

Gadis muda itu jelas tidak nyaman di perhatikan sampai sedemikian rupa, namun apalah daya, anak-anak seperti Hamun mana tahu perasaan orang dewasa, dan tentu tidak mau tahu terlepas dari apa yang mereka rasa. Sudah menjadi ciri khasnya anak-anak pada umumnya, jika kamu senang maka tunjukkanlah sikap bahwa kamu menyukainya. Begitupun sebaliknya.

“Kamu sangat cantik,” Hamun tersenyum lebar. Menunjukkan deretan gigi yang tak sepenuhnya utuh. Satu gigi depannya ompong, terlihat lucu saat di perhatikan lebih dekat.

Puspa tidak pernah di puji secara langsung seperti barusan, jadi dia benar-benar malu. Sementara di kursi kemudi, Hakam yang fokus pada jalanan secara tak sengaja melihat pantulan wajah Puspa dari kaca spion. Entah mengapa, dia jadi terusik. Seolah ada sesuatu dari dirinya yang terus merasa gatal ingin memperhatikan sosok yang sedang duduk di kursi tengah itu.

“Kami harus pergi ke pemakaman, baru setelah itu bisa mengantar kamu pulang.” Hakam menyeletuk tiba-tiba.

Puspa pun mengangguk saja sebagai jawaban. “Baik, terimakasih.”

“Sama-sama,” Jawab Hamun, persis ketika sang Ayah hendak membuka mulut untuk bicara. Namun karena sudah di wakilkan oleh sang putra, calon duda tampan itu menutup kembali bibirnya dan tetap diam sepanjang perjalanan hingga sampai ke pemakaman.

“Kakak cantik—

“Panggil nama saja. Namaku, Puspa.” Potong Puspa ketika Hamun hendak memanggilnya dengan panggilan yang membuatnya malu itu.

Hamun terkekeh, kemudian mengangguk. “Kita sudah sampai di pemakaman, kamu mau ikut turun atau tunggu di dalam mobil?” tanyanya, yang sebenarnya sangat berharap Puspa mau menemaninya pergi ke pemakaman sang Nenek buyut.

Puspa tidak langsung menjawab. Dia melihat keluar dan memperhatikan bahwa sangat ramai disana. Jelas, yang datang pasti bukan orang sembarangan. “Aku di mobil saja, ya,” jawab Puspa. Pikirnya, tidak etis bergabung bersama lelaki yang sudah berkeluarga, sementara istrinya juga ada disana. Bisa-bisa, dia kena gosip dan masuk akun Lambe Turah sebagai pelakor.

Hamun agak kecewa, namun detik berikutnya tampak biasa saja. “Kalau begitu tunggu, ya. AC-nya tetap nyala, kok. Tidak akan pengap di dalam sini.”

Puspa mengangguk, kemudian melihat pasangan ayah dan anak itu kompak berjalan bergandengan menuju keramaian.

“Serasi, ya.” Gumam Puspa. Dia selalu bermimpi memiliki keluarga seperti itu. Anak lelaki imut seperti Hamun, suami yang kaya seperti Hakam, tapi amit-amit dengan sikapnya yang jahat, ya. Jangan sampai dia dapat pasangan bak triplek kaku seperti itu.

Realistis saja, Puspa memang tidak terlalu mementingkan rupa. Yang penting dia kaya, juga bertanggung jawab pada pasangannya. Zaman sekarang yang tampan memang banyak, tapi yang jelas mapan tentu lebih eksklusif, sehingga sulit buat di cari.

Dari balik jendela kaca, Puspa bisa melihat pasangan ayah dan anak itu di datangi seorang wanita cantik yang tak lain adalah Zara. Namun, ada yang aneh. Puspa sama sekali tidak melihat adanya kedekatan layaknya anak yang sayang terhadap ibunya.

Bahkan saat Zara mencoba menggandeng tangan Hamun, anak itu sengaja menarik tangannya dan semakin mepet pada Hakam, seolah memang tidak nyaman dekat-dekat dengan ibunya sendiri.

“Aneh,” Puspa menggelengkan kepala. Membayangkan betapa dekatnya dia dan ibunya dari dulu sampai sekarang, walau jelas, mereka tidak sedarah. Ibu tirinya benar-benar berbeda, mematahkan banyak cerita yang beranggapan bahwa ibu sambung adalah neraka. Buktinya, adalah Puspa sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status