Melihat kepergian Zara, Hakam hanya diam sambil mengamati dengan tenang. Ketika dia mengalihkan pandangan ke arah Hamun, anak itu juga sama sepertinya. Nampak tidak peduli oleh sang Ibu, malah lebih perhatian pada Puspa yang bukan siapa-siapanya.
“Kamu baik?” Tanya Hamun sambil menyodorkan sebotol air mineral pada Puspa.
Puspa meneguk setengahnya, baru kemudian balas tersenyum ke arah Hamun. “Terimakasih, tapi aku sedang tidak baik. Ternyata suhu AC tidak cocok dengan orang sepertiku,” ujarnya sambil tertawa.
“Acara sudah selesai, sebaiknya kamu langsung pulang.” Hakam berkata singkat, kemudian masuk kedalam mobil begitu saja tanpa menunggu persetujuan dari yang lain.
Hamun berdecak, kemudian meminta Puspa menurut saja. “Papaku itu orangnya galak. Lebih baik sedikit bicara kalau dekat dengannya,” saran anak itu yang langsung mendapat anggukan setuju dari Puspa.
Setelah semua orang masuk kedalam mobil, mesin dinyalakan dan berjalan menjauhi area pemakaman. Di sepanjang perjalanan menuju rumah Puspa, tak sedetikpun dilewatkan Hamun untuk diam. Bibirnya terus mengoceh tentang banyak hal, membuat Puspa kewalahan menjawab semua keingintahuan dari si kecil tentang banyak hal yang tidak diketahui.
“Terima Kasih tumpangannya.” Puspa berucap tulus sebelum turun dari mobil. Dia sengaja turun di depan gang dekat jalan raya. Padahal rumahnya masih harus masuk kedalam.
Hamun memanjangkan leher dan melihat sekeliling, “Rumahmu dimana?”
“Ada masuk ke dalam gang, tapi tidak perlu repot-repot mengantar sampai kesana. Cukup sampai sini saja,” jawab Puspa terakhir kali sebelum akhirnya benar-benar pergi meninggalkan dua orang itu.
Hakam melihat ekspresi sang anak yang tampak murung, dia pun berkata dengan tidak senang. “Apa yang kamu sesalkan. Ingat, Hamun. Jangan terlibat dengan orang baru yang bahkan belum kita ketahui asal-usulnya.”
“Aku tahu,” Anak itu mendengus, “Siapa yang sedih, Papa sok tahu,” elaknya, walau jelas dari ekspresi wajahnya saja sudah menunjukkan segala kebenarannya.
Setelah percakapan singkat itu, suasana mobil kembali hening. Tidak ada lagi celotehan dari bibir kecil Hamun, juga Hakam tidak berinisiatif membuka percakapan lain. Sehingga ketika mobil sampai di depan gerbang besar keluarga Astana, pun, suasana dalam mobil masih sunyi. Kecuali fakta akan ada badai di balik pintu utama kediaman itu yang tidak bisa dihindari lagi.
Hakam memarkir mobil di halaman rumah, kemudian pasangan Ayah dan Anak itu turun menuju pintu utama yang nampak tertutup rapat seperti biasa. Sebelum memutar knop pintu, Hakam menatap wajah sang anak seraya berkata, “Langsung masuk ke dalam kamarmu.”
Hamun tidak banyak bicara, hanya mengangguk saja. “Oke,” jawabnya sebelum benar-benar masuk setelah daun pintu dibukakan oleh sang ayah.
Melewati ruang tamu, keduanya sudah disambut dengan ekspresi gelap seorang wanita cantik yang tak lain adalah Zara. Hamun melihat ke arah sang Ibu sejenak, kemudian memikirkan kalimat kasar yang sudah ia berikan padanya ketika di pemakaman Tetua tadi. Jadi, sebelum masuk kedalam kamarnya, Hamun berinisiatif mendekati sang Ibu dan meminta maaf.
Zara yang pura-pura tidak melihat kedatangan mereka agak terkejut ketika mendapati Hamun berjalan ke arahnya. Apalagi yang terjadi selanjutnya adalah pipinya yang mendapat ciuman langka dari sang putra.
Hamun mengecup sebelah pipi Ibunya, “Maaf, tadi Hamun bicara kasar. Selamat malam.” Si kecil hanya berkata sesingkat itu sebelum berlari masuk kedalam kamarnya sendiri, tidak berniat menunggu balasan dari sang Ibu atau apa, menuruti perintah dari sang Papa persis seperti yang diperintahkan
Zara tersenyum sendiri, pikirnya apa mungkin Hamun mulai membuka hati padanya? Walau harus diakui itu salahnya sendiri. Kurang memperhatikan sang anak sedari kecil dan hanya mengandalkan posisi asisten rumah tangga untuk mengurus semua keperluan Hamun, hingga imbasnya adalah dijauhi seakan dia adalah orang lain.
“Sesenang itukah mendapat kecupan kecil dari putramu?” Celetuk Hakam tiba-tiba.
Senyuman di bibir Zara luntur, dia pun menatap wajah Hakam dengan ekspresi sinis. “Tentu saja. Memang kenapa, ada masalah?”
“Tidak ada,” Hakam tersenyum miring, “Hanya saja aku menyayangkan kesadaranmu yang sangat terlambat. Bukankah sekarang kamu menyesal karena di jauhi oleh anakmu sendiri?”
Zara naik pitam mendengar kalimat ini, dia berdiri dan menunjuk wajah Hakam dengan telunjuknya. “Jangan sok jadi orangtua paling baik, fakta bahwa aku sudah berani melahirkan Hamun adalah bukti kuat bahwa aku peduli padanya!”
“Peduli? Kamu yakin? Bukannya pedulimu itu baru sekarang setelah kita akan bercerai saja, ya?” Hakam tertawa renyah. “Aku pikir yang benar-benar kamu pedulikan bukan Hamun, tapi sesuatu yang lain, seperti—
“DIAM!”
PRANK!
Vas bunga di atas meja itu hancur berkeping-keping. Pelakunya tentu saja Zara yang tidak terima dengan perkataan Hakam barusan.
“Kamu jangan bicara sembarangan, Mas! Mana mungkin aku tidak peduli dengan darah dagingku sendiri! Seharusnya aku yang tanya ke kamu, siapa perempuan tadi? Selingkuhanmu, kan?!”
Wajah Hakam menggelap, tidak terima dituduh selingkuh oleh Zara. “Bukan urusanmu.”
“Bukan urusanku?” Zara tertawa kencang, kemudian berjalan mendekati Hakam sebelum akhirnya memberi tamparan keras di pipi suaminya itu.
Puspa berdiri di depan bangunan sederhana. Itu adalah rumahnya, rumah yang menjadi saksi pertumbuhannya dari kecil hingga dewasa. Hakam disamping Puspa, tangannya tidak pernah lepas menggenggam telapak halus itu. Hakam berkata dengan lembut, "Selamat datang." Hati Puspa bergetar mendengar ucapan itu. Matanya memerah dan ia berusaha keras menahan tangisannya agar tak pecah. "Hm, aku pulang." Balas Puspa dengan senyuman kecil. Keduanya berjalan bersamaan masuk kedalam rumah yang terasa begitu sunyi. Aroma familiar yang dejavu membuat Puspa berkhayal tentang sosok ibunya yang keluar dari dapur dan menyapanya dengan hangat. Aroma masakan sederhana itu jelas ia rindukan. Senyuman sang ibu yang menghangatkan kalbunya tentu saja membuatnya ingin menangis saat itu juga. "Tidak ada apa-apa disini." Puspa duduk di sofa dengan lemas. Ia menatap kosong ke depan, bingung harus kemana mencari sang ibu yang pergi tak berkabar. "Mungkinkah ibu benar-benar pergi meninggalkanku?" Hakam menghela n
"APA YANG KALIAN LAKUKAN! LEPASKAN AKU! LEPASKAN!"Ketika Puspa datang bersama Hakam dan Fajar, suara teriakan yang familiar langsung menyerbu ketiga orang itu. Puspa berhenti di depan pintu masuk dan mengambil napas panjang. Sementara Fajar sudah masuk lebih dulu, Hakam ikut berhenti di samping Puspa dan memperhatikan ekspresi rumit dari wajahnya.Puspa jelas merasakan perasaan campur aduk dalam hatinya. Tuhan tahu betapa bencinya ia pada wanita yang ada di dalam sana. Semua kekacauan yang terjadi ada di sana penyebabnya, ia bahkan tidak tahu apakah bisa menahan emosi ketika nanti langsung berhadapan dengan Zara.Tangan Puspa yang terkepal di samping badannya tiba-tiba dilingkupi rasa hangat. Puspa menoleh ke samping dan mendapati senyuman hangat dari Hakam. Tangan besar lelaki itu memberi sebuah kenyamanan yang menenangkan hati. "Jika kamu tidak mau masuk, kita bisa menunggu di mobil saja." Saran Hakam lembut.Namun, Puspa dengan cepat menggeleng. "Aku akan masuk. Ini adalah waktu
"Terima kasih sudah datang. Sampai jumpa lagi!" Puspa melambaikan tangannya dengan senyuman lebar. Hatinya benar-benar berbunga, ia merasa terharu berkat semua penggemar yang datang dan membuat harinya berwarna.Ketika Puspa berbalik dan hendak turun panggung, tiba-tiba ia mendengar sebuah teriakan lantang yang mengalahkan semua kericuhan yang ada. "PUSPA! AKU MENYAYANGIMU!" Hamun berteriak dengan putus asa. Urat-urat lehernya menonjol, matanya memerah dan ia sudah menangis sejak tadi. Anak itu benar-benar merindukan sosok Puspa. Ia juga merasa sedih dengan semua keadaan yang terjadi di antara mereka. Walau masih kecil, perasaannya tidak pernah salah, dan ia tidak bisa menahan perasaan sedih dalam hatinya lebih lama lagi.Mata Puspa bergetar dan ia langsung berbalik untuk mencari arah sumber suara. Semua orang tampak heran, terutama ketika melihat sang idola kembali ke tengah panggung dan mengedarkan pandangannya ke segala arah.Jantung Puspa berdetak sangat kencang, tangannya mengep
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" Tanya Fajar ketika melihat Puspa melamun sepanjang perjalanan. "Kalau kamu tidak keberatan, cerita saja denganku."Puspa tampak ragu, tetapi akhirnya menghela napas. "Entahlah, aku hanya ... hanya sedang memikirkan ibuku. Sampai sekarang kami tidak berkabar satu sama lain. Aku tidak tau dia dimana dan bagaimana keadaannya." Puspa akui ia merasa marah pada ibunya. Tetapi sekarang sudah reda, justru digantikan dengan rasa khawatir, karena ia tidak tahu bagaimana keadaan ibunya. Ia khawatir sesuatu terjadi padanya, mengingat bagaimana sifat licik dan jahatnya Zara."Kita akan segera bertemu dengannya. Tetapi sekarang, kamu fokuslah untuk acaramu sebentar lagi. Aku dengar dari tim yang berada di lokasi, penggemarmu yang datang tidak main-main. Mereka memenuhi semua kursi, bahkan ada yang rela berada di luar pembatas dan berdiri disana hanya untuk melihatmu.""Maaf," Puspa merasa kecewa pada dirinya sendiri. Ia harus menyadari posisinya saat ini. Ia sudah m
Untunglah, Puspa tidak kehabisan akal. Ia dengan sekuat tenaga mengarahkan tangannya ke selangkangan Anton dan meremas benda itu dengan kekuatan penuh. Anton sontak berteriak kesakitan dan mundur beberapa langkah. Puspa pun memanfaatkan kesempatan yang ada dan berlari sekuat tenaga, mencoba menghindari Anton yang berusaha mengikutinya dengan pistol hitam di tangannya. Dia berharap bisa menemukan tempat bersembunyi atau bantuan dari orang lain, tetapi jalanan sepi dan redup. Anton semakin mendekat, dan Puspa merasakan nafasnya terengah-engah. Dia tahu dia tidak akan bisa bertahan lama. Dia hanya berharap Fajar dan para polisi segera datang membantunya.Tiba-tiba, Anton menarik pelatuk dan sebuah peluru bersiul di udara. Puspa menjerit dan terjatuh, merasa darah mengucur dari lengannya. Dia melihat Anton tersenyum sinis dan mendekatinya dengan langkah pasti. Pistol hitam itu kini menempel di dahi Puspa, dan dia merasakan keringat dingin membasahi wajahnya. Dia menutup mata, menunggu det
Setelah semua kentang pesanan itu dimasukkan, mobil melaju menuju desa sebelah. Puspa deg-degan setengah mati, terutama ketika mobil mulai memasuki area jalanan sepi yang di kanan dan kirinya hanya ada pohon jati. Ini adalah daerah perbatasan desa, setelah melewati jalanan ini mereka akan sampai di tempat tujuan. Puspa sesekali melirik ke belakang, berharap melihat ada kendaraan lain. Sayangnya, hanya ada mereka di sana, jalanan begitu sepi, tidak ada kendaraan sama sekali kecuali mobil yang mereka tumpangi. Puspa menelan ludah, bersiap-siap memberi perlawanan sekuat tenaga apabila Anton tiba-tiba menyerangnya. Terutama karena dia tidak melihat ada pihak polisi yang memantau sama sekali. Ia bahkan tidak yakin mereka ada di belakang sana untuk menjaganya. "Kenapa Mbak?" Tanya Anton ketika melihat Puspa gelisah. Puspa tersentak dan menyadari kebodohannya. Ia baru menyadari gelagatnya yang terlalu kentara akibat rasa takut berlebihan dalam hatinya. "Enggak ada," Puspa tersenyum kaku,