Share

BAB 6

Melihat kepergian Zara, Hakam hanya diam sambil mengamati dengan tenang. Ketika dia mengalihkan pandangan ke arah Hamun, anak itu juga sama sepertinya. Nampak tidak peduli oleh sang Ibu, malah lebih perhatian pada Puspa yang bukan siapa-siapanya.

“Kamu baik?” Tanya Hamun sambil menyodorkan sebotol air mineral pada Puspa. 

Puspa meneguk setengahnya, baru kemudian balas tersenyum ke arah Hamun. “Terimakasih, tapi aku sedang tidak baik. Ternyata suhu AC tidak cocok dengan orang sepertiku,” ujarnya sambil tertawa. 

“Acara sudah selesai, sebaiknya kamu langsung pulang.” Hakam berkata singkat, kemudian masuk kedalam mobil begitu saja tanpa menunggu persetujuan dari yang lain.

Hamun berdecak, kemudian meminta Puspa menurut saja. “Papaku itu orangnya galak. Lebih baik sedikit bicara kalau dekat dengannya,” saran anak itu yang langsung mendapat anggukan setuju dari Puspa.

Setelah semua orang masuk kedalam mobil, mesin dinyalakan dan berjalan menjauhi area pemakaman. Di sepanjang perjalanan menuju rumah Puspa, tak sedetikpun dilewatkan Hamun untuk diam. Bibirnya terus mengoceh tentang banyak hal, membuat Puspa kewalahan menjawab semua keingintahuan dari si kecil tentang banyak hal yang tidak diketahui.

“Terima Kasih tumpangannya.” Puspa berucap tulus sebelum turun dari mobil. Dia sengaja turun di depan gang dekat jalan raya. Padahal rumahnya masih harus masuk kedalam.

Hamun memanjangkan leher dan melihat sekeliling, “Rumahmu dimana?”

“Ada masuk ke dalam gang, tapi tidak perlu repot-repot mengantar sampai kesana. Cukup sampai sini saja,” jawab Puspa terakhir kali sebelum akhirnya benar-benar pergi meninggalkan dua orang itu.

Hakam melihat ekspresi sang anak yang tampak murung, dia pun berkata dengan tidak senang. “Apa yang kamu sesalkan. Ingat, Hamun. Jangan terlibat dengan orang baru yang bahkan belum kita ketahui asal-usulnya.”

“Aku tahu,” Anak itu mendengus, “Siapa yang sedih, Papa sok tahu,” elaknya, walau jelas dari ekspresi wajahnya saja sudah menunjukkan segala kebenarannya.

Setelah percakapan singkat itu, suasana mobil kembali hening. Tidak ada lagi celotehan dari bibir kecil Hamun, juga Hakam tidak berinisiatif membuka percakapan lain. Sehingga ketika mobil sampai di depan gerbang besar keluarga Astana, pun, suasana dalam mobil masih sunyi. Kecuali fakta akan ada badai di balik pintu utama kediaman itu yang tidak bisa dihindari lagi.

Hakam memarkir mobil di halaman rumah, kemudian pasangan Ayah dan Anak itu turun menuju pintu utama yang nampak tertutup rapat seperti biasa. Sebelum memutar knop pintu, Hakam menatap wajah sang anak seraya berkata, “Langsung masuk ke dalam kamarmu.”

Hamun tidak banyak bicara, hanya mengangguk saja. “Oke,” jawabnya sebelum benar-benar masuk setelah daun pintu dibukakan oleh sang ayah.

Melewati ruang tamu, keduanya sudah disambut dengan ekspresi gelap seorang wanita cantik yang tak lain adalah Zara. Hamun melihat ke arah sang Ibu sejenak, kemudian memikirkan kalimat kasar yang sudah ia berikan padanya ketika di pemakaman Tetua tadi. Jadi, sebelum masuk kedalam kamarnya, Hamun berinisiatif mendekati sang Ibu dan meminta maaf.

Zara yang pura-pura tidak melihat kedatangan mereka agak terkejut ketika mendapati Hamun berjalan ke arahnya. Apalagi yang terjadi selanjutnya adalah pipinya yang mendapat ciuman langka dari sang putra.

Hamun mengecup sebelah pipi Ibunya, “Maaf, tadi Hamun bicara kasar. Selamat malam.” Si kecil hanya berkata sesingkat itu sebelum berlari masuk kedalam kamarnya sendiri, tidak berniat menunggu balasan dari sang Ibu atau apa, menuruti perintah dari sang Papa persis seperti yang diperintahkan

Zara tersenyum sendiri, pikirnya apa mungkin Hamun mulai membuka hati padanya? Walau harus diakui itu salahnya sendiri. Kurang memperhatikan sang anak sedari kecil dan hanya mengandalkan posisi asisten rumah tangga untuk mengurus semua keperluan Hamun, hingga imbasnya adalah dijauhi seakan dia adalah orang lain.

“Sesenang itukah mendapat kecupan kecil dari putramu?” Celetuk Hakam tiba-tiba.

Senyuman di bibir Zara luntur, dia pun menatap wajah Hakam dengan ekspresi sinis. “Tentu saja. Memang kenapa, ada masalah?”

“Tidak ada,” Hakam tersenyum miring, “Hanya saja aku menyayangkan kesadaranmu yang sangat terlambat. Bukankah sekarang kamu menyesal karena di jauhi oleh anakmu sendiri?”

Zara naik pitam mendengar kalimat ini, dia berdiri dan menunjuk wajah Hakam dengan telunjuknya. “Jangan sok jadi orangtua paling baik, fakta bahwa aku sudah berani melahirkan Hamun adalah bukti kuat bahwa aku peduli padanya!”

“Peduli? Kamu yakin? Bukannya pedulimu itu baru sekarang setelah kita akan bercerai saja, ya?” Hakam tertawa renyah. “Aku pikir yang benar-benar kamu pedulikan bukan Hamun, tapi sesuatu yang lain, seperti—

“DIAM!” 

PRANK! 

Vas bunga di atas meja itu hancur berkeping-keping. Pelakunya tentu saja Zara yang tidak terima dengan perkataan Hakam barusan.

“Kamu jangan bicara sembarangan, Mas! Mana mungkin aku tidak peduli dengan darah dagingku sendiri! Seharusnya aku yang tanya ke kamu, siapa perempuan tadi? Selingkuhanmu, kan?!”

Wajah Hakam menggelap, tidak terima dituduh selingkuh oleh Zara. “Bukan urusanmu.”

“Bukan urusanku?” Zara tertawa kencang, kemudian berjalan mendekati Hakam sebelum akhirnya memberi tamparan keras di pipi suaminya itu.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status