Share

BAB 7

“Bisa-bisanya kamu bilang itu bukan urusanku,” Zara menggelengkan kepalanya. “Aku ini masih Istrimu, Mas! Kita bahkan belum resmi bercerai, tapi kamu sudah dapat yang baru secepat itu?!”

“Jadi, ini salahku?” Hakam tidak peduli dengan tamparan yang barusan. Baginya itu hanya pukulan bayi kecil yang baru lahir, tidak berasa sama sekali. Menatap mata Zara, dia melanjutkan. “Kamu lupa, berapa kali aku tolak semua permintaan pisah yang terus kamu berikan tanpa jeda? Sekarang setelah semua, masih harus aku yang disalahkan? Lucu, kamu.” 

Hakam tertawa kecil, mengusap pipinya sambil memasang ekspresi mengejek, “Bahkan anak kecil tau seberapa buruknya kamu. Jangan terlalu mendalami peran sebagai Ibu peri, itu tidak akan berhasil.” Ujarnya sebelum berlalu dari hadapan Zara.

Zara mengepalkan kedua tangannya. Kini, rasa ingin mencabik-cabik perempuan yang ia temui tadi jadi semakin membengkak dalam hatinya. “Puspa Paramita,” Zara menggertakkan gigi. “Kamu benar-benar benalu yang harus segera disingkirkan.”

***

“Puspa pulang!” Sepasang sepatu dengan bercak rerumputan patah diletakkan di lantai begitu saja. Ketika Ibu tiri Puspa melihat ini, dia hanya menggelengkan kepala. 

“Lain kali pakai sandal saja sepulang kerja, jalan setapak kita sepertinya sudah mulai ditumbuhi rumput lagi.” Elisha Humeera, namanya. Seorang biarawati berkepala empat yang sudah merawat Puspa sejak kecil. Menurut ceritanya, Puspa ditemukan di depan pintu gereja tanpa ada siapapun yang terlihat mendampinginya. Sejak saat itu, Elisha sudah menganggap Puspa sebagai putrinya sendiri.

Puspa keluar dari dapur dengan toples berisi keripik ubi di pelukannya. “Minta tukang kebun bersihkan, dong.”

“Kok buang-buang duit. Kamu saja, sih. Libur kerja bantu Ibuk cabutin rumputnya.” Jawab Elisha yang segera mendapat balasan wajah masam dari Puspa.

“Buk, tadi Puspa ada bertemu dengan tamu yang super menyebalkan. Tau keluarga Astana, kan? Nah, mereka itu bawa jenazah nenek-nenek yang mau dimakamkan pakai jasa Rumah Duka kami, tapi …” dan mulailah kisah panjang lebar yang langsung disampaikan oleh dalang dadakan bernama Puspa Paramita.

Selesai berdongeng, Puspa nampak puas, sementara Elisha hanya menanggapi sekenanya. Kemudian, karena enggan mendengar lanjutan dongeng panjang yang akan menghabiskan waktu berharganya, Elisha buru-buru memotong pembicaraan dan memaksa Puspa mandi, sebelum akhirnya ia bawa pergi menuju gereja yang tepat berada di depan kediaman mereka. Tentu saja untuk melakukan rutinitas doa sore, seperti biasa.

Saat malam tiba, Puspa terbaring santai di atas ranjang kerasnya. Itu karena kasurnya bukan kasur mahal yang ada pir-nya. Hanya kasur kapuk biasa yang sudah menahun dipakai, sehingga kapasnya sudah tidak lagi mengembang seperti di awal-awal mereka beli.

Ketika jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, Puspa diam-diam mengendap keluar rumah menuju bangunan gereja yang berada tepat di depan kediaman mereka. Gadis itu masuk kedalam dan duduk di barisan paling depan. Membuka ponsel pintarnya, Puspa memainkan alunan musik klasik yang ia sukai, sebelum akhirnya kebablasan bersenandung dan bernyanyi dengan suara kecil.

Jangan terkejut, Puspa memang memiliki bakat menyanyi yang luar biasa. Hanya saja, sejak kecil dia di larang oleh Elisha untuk bernyanyi entah karena alasan apa. Namun semakin dewasa, jiwa pemberontak makin menjadi dalam dirinya, sehingga mau tak mau Puspa harus pintar mengakali sang Ibu, demi mendapat waktu sendirian yang hening dan tenang, yang kemudian ia gunakan waktu itu untuk menyalurkan hobinya pada dunia tarik suara.

“Puspa, sudah berapa kali Ibuk ingatkan. Jangan bernyanyi!” Dari pintu depan gereja, Elisha tiba-tiba muncul dan mengejutkan Puspa.

“B-buk …” Puspa tidak bisa berkata-kata. Apalagi ketika melihat ekspresi marah yang ditunjukkan oleh sang Ibu padanya. “Buk, Puspa cuma bernyanyi sendiri. Tidak ada orang lain disini, hanya ada Puspa!”

Elisha tidak bicara, hanya berjalan lurus ke depan sebelum mengambil alih ponsel pipih itu dari tangan anak gadisnya. “Ada orang atau tidak …” Elisha menatap tajam wajah Puspa. “Kamu tidak diizinkan untuk bernyanyi.”

“Tapi kenapa?!” Puspa benar-benar tidak memahami jalan pikiran Ibunya. Dia bisa bernyanyi dengan baik, itu fakta! Tapi kenapa dia dilarang bernyanyi seolah suaranya begitu buruk hingga tak layak didengar oleh banyak orang.

Elisha menghela napas, “Puspa, suatu saat nanti kamu pasti—

“Suatu saat nanti kamu pasti akan mengerti. YA! Puspa sampai bosan mendengar kalimat ini, Buk! Kenapa, sih. Kalau memang ada sesuatu yang mengharuskan Puspa tidak boleh bernyanyi, harusnya Ibuk langsung bicara saja apa masalahnya. Bukan cuma menjawab dengan kalimat ambigu seperti ini terus!”

Elisha terdiam beberapa saat. Menatap mata sang anak, ia akhirnya berkata lirih, “Untuk masalah ini, Ibuk belum bisa bicarakan sekarang, maaf.”

“Buk …” Puspa melihat punggung Elisha pergi menjauh. Entah mengapa, tiap kali membahas masalah ini, Ibunya seolah berubah menjadi orang lain. Rasanya seperti menghadapi orang asing yang tidak dia kenal sama sekali. Entah rahasia apa yang sebenarnya masih disembunyikan oleh Elisha. Yang pasti, Puspa tidak akan tinggal diam. Ketika waktunya tiba nanti, dia pasti akan menemukan kebenarannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status