Share

BAB 7

last update Last Updated: 2023-02-02 23:27:16

“Bisa-bisanya kamu bilang itu bukan urusanku,” Zara menggelengkan kepalanya. “Aku ini masih Istrimu, Mas! Kita bahkan belum resmi bercerai, tapi kamu sudah dapat yang baru secepat itu?!”

“Jadi, ini salahku?” Hakam tidak peduli dengan tamparan yang barusan. Baginya itu hanya pukulan bayi kecil yang baru lahir, tidak berasa sama sekali. Menatap mata Zara, dia melanjutkan. “Kamu lupa, berapa kali aku tolak semua permintaan pisah yang terus kamu berikan tanpa jeda? Sekarang setelah semua, masih harus aku yang disalahkan? Lucu, kamu.” 

Hakam tertawa kecil, mengusap pipinya sambil memasang ekspresi mengejek, “Bahkan anak kecil tau seberapa buruknya kamu. Jangan terlalu mendalami peran sebagai Ibu peri, itu tidak akan berhasil.” Ujarnya sebelum berlalu dari hadapan Zara.

Zara mengepalkan kedua tangannya. Kini, rasa ingin mencabik-cabik perempuan yang ia temui tadi jadi semakin membengkak dalam hatinya. “Puspa Paramita,” Zara menggertakkan gigi. “Kamu benar-benar benalu yang harus segera disingkirkan.”

***

“Puspa pulang!” Sepasang sepatu dengan bercak rerumputan patah diletakkan di lantai begitu saja. Ketika Ibu tiri Puspa melihat ini, dia hanya menggelengkan kepala. 

“Lain kali pakai sandal saja sepulang kerja, jalan setapak kita sepertinya sudah mulai ditumbuhi rumput lagi.” Elisha Humeera, namanya. Seorang biarawati berkepala empat yang sudah merawat Puspa sejak kecil. Menurut ceritanya, Puspa ditemukan di depan pintu gereja tanpa ada siapapun yang terlihat mendampinginya. Sejak saat itu, Elisha sudah menganggap Puspa sebagai putrinya sendiri.

Puspa keluar dari dapur dengan toples berisi keripik ubi di pelukannya. “Minta tukang kebun bersihkan, dong.”

“Kok buang-buang duit. Kamu saja, sih. Libur kerja bantu Ibuk cabutin rumputnya.” Jawab Elisha yang segera mendapat balasan wajah masam dari Puspa.

“Buk, tadi Puspa ada bertemu dengan tamu yang super menyebalkan. Tau keluarga Astana, kan? Nah, mereka itu bawa jenazah nenek-nenek yang mau dimakamkan pakai jasa Rumah Duka kami, tapi …” dan mulailah kisah panjang lebar yang langsung disampaikan oleh dalang dadakan bernama Puspa Paramita.

Selesai berdongeng, Puspa nampak puas, sementara Elisha hanya menanggapi sekenanya. Kemudian, karena enggan mendengar lanjutan dongeng panjang yang akan menghabiskan waktu berharganya, Elisha buru-buru memotong pembicaraan dan memaksa Puspa mandi, sebelum akhirnya ia bawa pergi menuju gereja yang tepat berada di depan kediaman mereka. Tentu saja untuk melakukan rutinitas doa sore, seperti biasa.

Saat malam tiba, Puspa terbaring santai di atas ranjang kerasnya. Itu karena kasurnya bukan kasur mahal yang ada pir-nya. Hanya kasur kapuk biasa yang sudah menahun dipakai, sehingga kapasnya sudah tidak lagi mengembang seperti di awal-awal mereka beli.

Ketika jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, Puspa diam-diam mengendap keluar rumah menuju bangunan gereja yang berada tepat di depan kediaman mereka. Gadis itu masuk kedalam dan duduk di barisan paling depan. Membuka ponsel pintarnya, Puspa memainkan alunan musik klasik yang ia sukai, sebelum akhirnya kebablasan bersenandung dan bernyanyi dengan suara kecil.

Jangan terkejut, Puspa memang memiliki bakat menyanyi yang luar biasa. Hanya saja, sejak kecil dia di larang oleh Elisha untuk bernyanyi entah karena alasan apa. Namun semakin dewasa, jiwa pemberontak makin menjadi dalam dirinya, sehingga mau tak mau Puspa harus pintar mengakali sang Ibu, demi mendapat waktu sendirian yang hening dan tenang, yang kemudian ia gunakan waktu itu untuk menyalurkan hobinya pada dunia tarik suara.

“Puspa, sudah berapa kali Ibuk ingatkan. Jangan bernyanyi!” Dari pintu depan gereja, Elisha tiba-tiba muncul dan mengejutkan Puspa.

“B-buk …” Puspa tidak bisa berkata-kata. Apalagi ketika melihat ekspresi marah yang ditunjukkan oleh sang Ibu padanya. “Buk, Puspa cuma bernyanyi sendiri. Tidak ada orang lain disini, hanya ada Puspa!”

Elisha tidak bicara, hanya berjalan lurus ke depan sebelum mengambil alih ponsel pipih itu dari tangan anak gadisnya. “Ada orang atau tidak …” Elisha menatap tajam wajah Puspa. “Kamu tidak diizinkan untuk bernyanyi.”

“Tapi kenapa?!” Puspa benar-benar tidak memahami jalan pikiran Ibunya. Dia bisa bernyanyi dengan baik, itu fakta! Tapi kenapa dia dilarang bernyanyi seolah suaranya begitu buruk hingga tak layak didengar oleh banyak orang.

Elisha menghela napas, “Puspa, suatu saat nanti kamu pasti—

“Suatu saat nanti kamu pasti akan mengerti. YA! Puspa sampai bosan mendengar kalimat ini, Buk! Kenapa, sih. Kalau memang ada sesuatu yang mengharuskan Puspa tidak boleh bernyanyi, harusnya Ibuk langsung bicara saja apa masalahnya. Bukan cuma menjawab dengan kalimat ambigu seperti ini terus!”

Elisha terdiam beberapa saat. Menatap mata sang anak, ia akhirnya berkata lirih, “Untuk masalah ini, Ibuk belum bisa bicarakan sekarang, maaf.”

“Buk …” Puspa melihat punggung Elisha pergi menjauh. Entah mengapa, tiap kali membahas masalah ini, Ibunya seolah berubah menjadi orang lain. Rasanya seperti menghadapi orang asing yang tidak dia kenal sama sekali. Entah rahasia apa yang sebenarnya masih disembunyikan oleh Elisha. Yang pasti, Puspa tidak akan tinggal diam. Ketika waktunya tiba nanti, dia pasti akan menemukan kebenarannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 162 END

    Puspa berdiri di depan bangunan sederhana. Itu adalah rumahnya, rumah yang menjadi saksi pertumbuhannya dari kecil hingga dewasa. Hakam disamping Puspa, tangannya tidak pernah lepas menggenggam telapak halus itu. Hakam berkata dengan lembut, "Selamat datang." Hati Puspa bergetar mendengar ucapan itu. Matanya memerah dan ia berusaha keras menahan tangisannya agar tak pecah. "Hm, aku pulang." Balas Puspa dengan senyuman kecil. Keduanya berjalan bersamaan masuk kedalam rumah yang terasa begitu sunyi. Aroma familiar yang dejavu membuat Puspa berkhayal tentang sosok ibunya yang keluar dari dapur dan menyapanya dengan hangat. Aroma masakan sederhana itu jelas ia rindukan. Senyuman sang ibu yang menghangatkan kalbunya tentu saja membuatnya ingin menangis saat itu juga. "Tidak ada apa-apa disini." Puspa duduk di sofa dengan lemas. Ia menatap kosong ke depan, bingung harus kemana mencari sang ibu yang pergi tak berkabar. "Mungkinkah ibu benar-benar pergi meninggalkanku?" Hakam menghela n

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 161

    "APA YANG KALIAN LAKUKAN! LEPASKAN AKU! LEPASKAN!"Ketika Puspa datang bersama Hakam dan Fajar, suara teriakan yang familiar langsung menyerbu ketiga orang itu. Puspa berhenti di depan pintu masuk dan mengambil napas panjang. Sementara Fajar sudah masuk lebih dulu, Hakam ikut berhenti di samping Puspa dan memperhatikan ekspresi rumit dari wajahnya.Puspa jelas merasakan perasaan campur aduk dalam hatinya. Tuhan tahu betapa bencinya ia pada wanita yang ada di dalam sana. Semua kekacauan yang terjadi ada di sana penyebabnya, ia bahkan tidak tahu apakah bisa menahan emosi ketika nanti langsung berhadapan dengan Zara.Tangan Puspa yang terkepal di samping badannya tiba-tiba dilingkupi rasa hangat. Puspa menoleh ke samping dan mendapati senyuman hangat dari Hakam. Tangan besar lelaki itu memberi sebuah kenyamanan yang menenangkan hati. "Jika kamu tidak mau masuk, kita bisa menunggu di mobil saja." Saran Hakam lembut.Namun, Puspa dengan cepat menggeleng. "Aku akan masuk. Ini adalah waktu

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 160

    "Terima kasih sudah datang. Sampai jumpa lagi!" Puspa melambaikan tangannya dengan senyuman lebar. Hatinya benar-benar berbunga, ia merasa terharu berkat semua penggemar yang datang dan membuat harinya berwarna.Ketika Puspa berbalik dan hendak turun panggung, tiba-tiba ia mendengar sebuah teriakan lantang yang mengalahkan semua kericuhan yang ada. "PUSPA! AKU MENYAYANGIMU!" Hamun berteriak dengan putus asa. Urat-urat lehernya menonjol, matanya memerah dan ia sudah menangis sejak tadi. Anak itu benar-benar merindukan sosok Puspa. Ia juga merasa sedih dengan semua keadaan yang terjadi di antara mereka. Walau masih kecil, perasaannya tidak pernah salah, dan ia tidak bisa menahan perasaan sedih dalam hatinya lebih lama lagi.Mata Puspa bergetar dan ia langsung berbalik untuk mencari arah sumber suara. Semua orang tampak heran, terutama ketika melihat sang idola kembali ke tengah panggung dan mengedarkan pandangannya ke segala arah.Jantung Puspa berdetak sangat kencang, tangannya mengep

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 159

    "Apa yang sedang kamu pikirkan?" Tanya Fajar ketika melihat Puspa melamun sepanjang perjalanan. "Kalau kamu tidak keberatan, cerita saja denganku."Puspa tampak ragu, tetapi akhirnya menghela napas. "Entahlah, aku hanya ... hanya sedang memikirkan ibuku. Sampai sekarang kami tidak berkabar satu sama lain. Aku tidak tau dia dimana dan bagaimana keadaannya." Puspa akui ia merasa marah pada ibunya. Tetapi sekarang sudah reda, justru digantikan dengan rasa khawatir, karena ia tidak tahu bagaimana keadaan ibunya. Ia khawatir sesuatu terjadi padanya, mengingat bagaimana sifat licik dan jahatnya Zara."Kita akan segera bertemu dengannya. Tetapi sekarang, kamu fokuslah untuk acaramu sebentar lagi. Aku dengar dari tim yang berada di lokasi, penggemarmu yang datang tidak main-main. Mereka memenuhi semua kursi, bahkan ada yang rela berada di luar pembatas dan berdiri disana hanya untuk melihatmu.""Maaf," Puspa merasa kecewa pada dirinya sendiri. Ia harus menyadari posisinya saat ini. Ia sudah m

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 158

    Untunglah, Puspa tidak kehabisan akal. Ia dengan sekuat tenaga mengarahkan tangannya ke selangkangan Anton dan meremas benda itu dengan kekuatan penuh. Anton sontak berteriak kesakitan dan mundur beberapa langkah. Puspa pun memanfaatkan kesempatan yang ada dan berlari sekuat tenaga, mencoba menghindari Anton yang berusaha mengikutinya dengan pistol hitam di tangannya. Dia berharap bisa menemukan tempat bersembunyi atau bantuan dari orang lain, tetapi jalanan sepi dan redup. Anton semakin mendekat, dan Puspa merasakan nafasnya terengah-engah. Dia tahu dia tidak akan bisa bertahan lama. Dia hanya berharap Fajar dan para polisi segera datang membantunya.Tiba-tiba, Anton menarik pelatuk dan sebuah peluru bersiul di udara. Puspa menjerit dan terjatuh, merasa darah mengucur dari lengannya. Dia melihat Anton tersenyum sinis dan mendekatinya dengan langkah pasti. Pistol hitam itu kini menempel di dahi Puspa, dan dia merasakan keringat dingin membasahi wajahnya. Dia menutup mata, menunggu det

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 157

    Setelah semua kentang pesanan itu dimasukkan, mobil melaju menuju desa sebelah. Puspa deg-degan setengah mati, terutama ketika mobil mulai memasuki area jalanan sepi yang di kanan dan kirinya hanya ada pohon jati. Ini adalah daerah perbatasan desa, setelah melewati jalanan ini mereka akan sampai di tempat tujuan. Puspa sesekali melirik ke belakang, berharap melihat ada kendaraan lain. Sayangnya, hanya ada mereka di sana, jalanan begitu sepi, tidak ada kendaraan sama sekali kecuali mobil yang mereka tumpangi. Puspa menelan ludah, bersiap-siap memberi perlawanan sekuat tenaga apabila Anton tiba-tiba menyerangnya. Terutama karena dia tidak melihat ada pihak polisi yang memantau sama sekali. Ia bahkan tidak yakin mereka ada di belakang sana untuk menjaganya. "Kenapa Mbak?" Tanya Anton ketika melihat Puspa gelisah. Puspa tersentak dan menyadari kebodohannya. Ia baru menyadari gelagatnya yang terlalu kentara akibat rasa takut berlebihan dalam hatinya. "Enggak ada," Puspa tersenyum kaku,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status