“Bisa-bisanya kamu bilang itu bukan urusanku,” Zara menggelengkan kepalanya. “Aku ini masih Istrimu, Mas! Kita bahkan belum resmi bercerai, tapi kamu sudah dapat yang baru secepat itu?!”
“Jadi, ini salahku?” Hakam tidak peduli dengan tamparan yang barusan. Baginya itu hanya pukulan bayi kecil yang baru lahir, tidak berasa sama sekali. Menatap mata Zara, dia melanjutkan. “Kamu lupa, berapa kali aku tolak semua permintaan pisah yang terus kamu berikan tanpa jeda? Sekarang setelah semua, masih harus aku yang disalahkan? Lucu, kamu.”
Hakam tertawa kecil, mengusap pipinya sambil memasang ekspresi mengejek, “Bahkan anak kecil tau seberapa buruknya kamu. Jangan terlalu mendalami peran sebagai Ibu peri, itu tidak akan berhasil.” Ujarnya sebelum berlalu dari hadapan Zara.
Zara mengepalkan kedua tangannya. Kini, rasa ingin mencabik-cabik perempuan yang ia temui tadi jadi semakin membengkak dalam hatinya. “Puspa Paramita,” Zara menggertakkan gigi. “Kamu benar-benar benalu yang harus segera disingkirkan.”
***
“Puspa pulang!” Sepasang sepatu dengan bercak rerumputan patah diletakkan di lantai begitu saja. Ketika Ibu tiri Puspa melihat ini, dia hanya menggelengkan kepala.
“Lain kali pakai sandal saja sepulang kerja, jalan setapak kita sepertinya sudah mulai ditumbuhi rumput lagi.” Elisha Humeera, namanya. Seorang biarawati berkepala empat yang sudah merawat Puspa sejak kecil. Menurut ceritanya, Puspa ditemukan di depan pintu gereja tanpa ada siapapun yang terlihat mendampinginya. Sejak saat itu, Elisha sudah menganggap Puspa sebagai putrinya sendiri.
Puspa keluar dari dapur dengan toples berisi keripik ubi di pelukannya. “Minta tukang kebun bersihkan, dong.”
“Kok buang-buang duit. Kamu saja, sih. Libur kerja bantu Ibuk cabutin rumputnya.” Jawab Elisha yang segera mendapat balasan wajah masam dari Puspa.
“Buk, tadi Puspa ada bertemu dengan tamu yang super menyebalkan. Tau keluarga Astana, kan? Nah, mereka itu bawa jenazah nenek-nenek yang mau dimakamkan pakai jasa Rumah Duka kami, tapi …” dan mulailah kisah panjang lebar yang langsung disampaikan oleh dalang dadakan bernama Puspa Paramita.
Selesai berdongeng, Puspa nampak puas, sementara Elisha hanya menanggapi sekenanya. Kemudian, karena enggan mendengar lanjutan dongeng panjang yang akan menghabiskan waktu berharganya, Elisha buru-buru memotong pembicaraan dan memaksa Puspa mandi, sebelum akhirnya ia bawa pergi menuju gereja yang tepat berada di depan kediaman mereka. Tentu saja untuk melakukan rutinitas doa sore, seperti biasa.
Saat malam tiba, Puspa terbaring santai di atas ranjang kerasnya. Itu karena kasurnya bukan kasur mahal yang ada pir-nya. Hanya kasur kapuk biasa yang sudah menahun dipakai, sehingga kapasnya sudah tidak lagi mengembang seperti di awal-awal mereka beli.
Ketika jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, Puspa diam-diam mengendap keluar rumah menuju bangunan gereja yang berada tepat di depan kediaman mereka. Gadis itu masuk kedalam dan duduk di barisan paling depan. Membuka ponsel pintarnya, Puspa memainkan alunan musik klasik yang ia sukai, sebelum akhirnya kebablasan bersenandung dan bernyanyi dengan suara kecil.
Jangan terkejut, Puspa memang memiliki bakat menyanyi yang luar biasa. Hanya saja, sejak kecil dia di larang oleh Elisha untuk bernyanyi entah karena alasan apa. Namun semakin dewasa, jiwa pemberontak makin menjadi dalam dirinya, sehingga mau tak mau Puspa harus pintar mengakali sang Ibu, demi mendapat waktu sendirian yang hening dan tenang, yang kemudian ia gunakan waktu itu untuk menyalurkan hobinya pada dunia tarik suara.
“Puspa, sudah berapa kali Ibuk ingatkan. Jangan bernyanyi!” Dari pintu depan gereja, Elisha tiba-tiba muncul dan mengejutkan Puspa.
“B-buk …” Puspa tidak bisa berkata-kata. Apalagi ketika melihat ekspresi marah yang ditunjukkan oleh sang Ibu padanya. “Buk, Puspa cuma bernyanyi sendiri. Tidak ada orang lain disini, hanya ada Puspa!”
Elisha tidak bicara, hanya berjalan lurus ke depan sebelum mengambil alih ponsel pipih itu dari tangan anak gadisnya. “Ada orang atau tidak …” Elisha menatap tajam wajah Puspa. “Kamu tidak diizinkan untuk bernyanyi.”
“Tapi kenapa?!” Puspa benar-benar tidak memahami jalan pikiran Ibunya. Dia bisa bernyanyi dengan baik, itu fakta! Tapi kenapa dia dilarang bernyanyi seolah suaranya begitu buruk hingga tak layak didengar oleh banyak orang.
Elisha menghela napas, “Puspa, suatu saat nanti kamu pasti—
“Suatu saat nanti kamu pasti akan mengerti. YA! Puspa sampai bosan mendengar kalimat ini, Buk! Kenapa, sih. Kalau memang ada sesuatu yang mengharuskan Puspa tidak boleh bernyanyi, harusnya Ibuk langsung bicara saja apa masalahnya. Bukan cuma menjawab dengan kalimat ambigu seperti ini terus!”
Elisha terdiam beberapa saat. Menatap mata sang anak, ia akhirnya berkata lirih, “Untuk masalah ini, Ibuk belum bisa bicarakan sekarang, maaf.”
“Buk …” Puspa melihat punggung Elisha pergi menjauh. Entah mengapa, tiap kali membahas masalah ini, Ibunya seolah berubah menjadi orang lain. Rasanya seperti menghadapi orang asing yang tidak dia kenal sama sekali. Entah rahasia apa yang sebenarnya masih disembunyikan oleh Elisha. Yang pasti, Puspa tidak akan tinggal diam. Ketika waktunya tiba nanti, dia pasti akan menemukan kebenarannya.
Di pagi hari berikutnya, Elisha mendiamkan Puspa. Sarapan pagi ini tidak sehangat biasanya. Terasa sunyi karena Elisha yang biasa menemani sang putri kini memilih untuk menyibukkan diri dengan urusan gereja sejak pagi-pagi buta. Puspa juga seakan sudah terbiasa dengan perang dingin ini, karena memang bukan pertama kalinya mereka berada dalam situasi seperti ini. Setiap kali Puspa ketahuan bernyanyi oleh sang ibu, maka keesokan harinya pasti akan ada jarak di antara keduanya. Puspa juga tidak terlalu ambil pusing, setelah memakai sepasang sepatu itu, dia berjalan melewati gereja menuju jalan setapak yang dipenuhi rumput liar. Sepanjang jalan menuju jalan raya, Puspa memikirkan banyak hal di kepalanya. Termasuk soal pertemuannya dengan Hakam kemarin. Entah mengapa, dia jadi terbayang wajah tampan namun menakutkan dari lelaki ganas itu. “Jadi mereka benar-benar mau berpisah, ya.” Puspa bergumam, mengingat kejadian dimana dia langsung menyaksikan pertengkaran antara pasangan suami istr
“Astaga, kenapa setiap hari ada saja yang meninggal, sih!” Salsabila mengeluh, padahal keringat di dahinya belum mengering. Namun panggilan selalu datang, bahkan kali ini harus pergi langsung ke TKP karena korban meninggalnya diduga akibat bunuh diri. Kali ini, Puspa juga setuju dengan Salsa. “Betul, hari ini super banget lelahnya,” ujarnya, namun kembali membuka mata lebar-lebar ketika mengingat bahwa masih ada satu jadwal lagi yang harus mereka selesaikan sebelum benar-benar bisa mengakhiri pekerjaan dan pulang. Salsa yang berdiri pertama kali, “Aku cuci muka sebentar, kamu siapkan semua peralatan, ya. Nanti aku yang bawa ke mobil.” “Oke,” malas berdebat, Puspa pun mengangguk saja. Lagipula, jika tugasnya beres-beres, maka bagian yang mengangkat kebawah pasti rekannya. Anggap saja sebagai aturan tidak tertulis di antara setiap tim. Lokasi jenazah berada tepat di tengah kota, di sebuah hotel mewah yang biasa disewa oleh pasangan-pasangan yang ingin menghabiskan malam panas tanpa g
Hari berikutnya, Zara terbangun sendiri di kamar besar itu. Lelakinya sudah lama pergi, meninggalkan sepucuk surat yang berisi ungkapan manis penuh gombalan kering. Walau begitu, Zara menyukainya. Darimana lagi dia bisa dapat begitu banyak cinta selain dari kekasihnya ini? Suaminya yang cuek itu? Yang benar saja.Selesai mandi, Zara tidak langsung pulang. Dia memilih menikmati secangkir teh hangat sambil merasakan semilir angin pagi dari balkon kamarnya.Tak lama kemudian, ponsel di atas meja itu berdering. Ketika melihat siapa nama kontaknya, senyuman licik mengembang di bibirnya. "Sudah dapat semua infonya? Jangan sampai buat aku kesal karena cara kerjamu yang terlalu lambat." Zara mengharapkan jawaban pasti, dan dia berharap mendapatkannya di pagi ini.Di seberang telepon, seorang lelaki menjawab santai sambil melihat beberapa lembar kertas di tangannya. "Sesuai janji, 7 juta jika kurang dari 7 hari.""Deal." Zara sangat senang. Tanpa pikir panjang, dia langsung mematikan sambunga
"Kurang ajar!" Tukang ojek itu mengusap hidungnya yang berdarah. Menatap Puspa yang sudah lari jauh di depan, dia segera mengambil motor dan membawanya sekencang angin. Puspa yang menyadari hal ini mengumpat dalam hati, menyalahkan kebodohannya yang malah berlari begitu saja. Padahal seharusnya pakai saja motor penjahatnya lalu kabur, daripada jadi kejar-kejaran seperti ini? Sambil berlari sekencang yang dia bisa, Puspa sesekali melihat ke belakang dimana motor si penjahat itu makin lama semakin dekat dengan dirinya. Puspa mencari akal, pikirnya si penjahat akan sangat kewalahan jika dia berhasil menjauhkannya dari motornya. Tapi bagaimana caranya?! Berpikir sambil berlari bukanlah suatu perkara mudah. Puspa terengah-engah, hampir menyerah sebelum akhirnya melihat sebuah jurang dangkal di depan sana. Puspa dibesarkan di sini, tidak ada yang lebih tahu wilayah ini daripada dirinya sendiri. Bersama teman-teman kecilnya dulu, Puspa sering menyelinap ke daerah kebun sawit untuk bermain
Di sebuah kamar besar dengan aksen mewah khas milik orang-orang kaya, Zara Naila nampak tersenyum lebar sambil minum secangkir jus buah segar. Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar akibat panggilan telepon yang membuatnya naik pitam. Zara membanting gelas yang ia pegang ke lantai dan memaki dengan suara keras. "Gagal?! Bagaimana bisa!" Jika orang yang sedang bicara dengannya ini ada di depan wajahnya, pasti sudah dia cabik-cabik seluruh tubuhnya. "Maaf, tapi orangnya sudah ditangkap penjaga kebun dan dibawa ke kantor polisi," ujar seorang lelaki yang dibayar mahal oleh Zara untuk memberi pelajaran pada Puspa. Zara tidak dapat menerima kegagalan ini, terutama pelakunya sampai tertangkap dan dibawa ke kantor polisi. Jika sampai pelaku itu bicara macam-macam, namanya juga bisa ikut terseret! "Sial!" Zara kembali menghubungi seseorang, memintanya menghabisi si tukang ojek yang mereka sewa untuk melecehkan Puspa, yang saat ini sudah berada di kantor polisi. Padahal, rencanan
Puspa sedang berkemas, bersiap untuk pulang karena memang sudah waktunya. Sebenarnya, jam pulang memang selalu pukul 3 sore. Kecuali ada terlalu banyak pasien yang perlu diurus, maka hitungannya akan masuk kedalam jam lemburan. “Puspa?” Panggil seorang perempuan yang tak lain adalah Manajer Pemasar baru mereka. Puspa yang dipanggil tidak langsung menjawab. Ini dikarenakan dia belum tahu siapa namanya. Bukan karena tidak diberitahu, hanya saja Puspa sibuk bergosip dengan Salsa di aula tadi, sehingga namanya pun dia tidak ingat. “Oh, Ibu manajer baru, ternyata.” Berbasa-basi tanpa menyebut nama adalah keahlian Puspa. Manajer perempuan itu tersenyum kecil, “Nama saya Sinta, panggil nama saja, ya. Lagi pula umur kita tidak terlalu jauh, kok.” “Baik, Bu Sinta. Ada perlu apa, ya? Kebetulan hari ini saya tidak ada lembur. Kalau mau tanya-tanya terkait banyak hal, saya tidak bisa. Tapi ada banyak divisi yang lembur selain saya hari ini.” Tidak biasany
Hakam melamun sepanjang perjalanan pulang. Entah mengapa, kalimat yang keluar dari bibir Puspa terus membuatnya kepikiran. Tidak biasanya dia begini, selalunya tidak pernah peduli dengan perasaan orang lain. Namun, dengan gadis miskin itu, Hakam merasa berbeda. “Papa pulang,” Hakam membuka pintu dan berniat menyapa Hamun. Namun yang ia dapati pertama kali justru orang lain, yakni sang Ibu yang ternyata sedang berkunjung. Batari, namanya. Perempuan yang sudah berkepala hampir lima itu terlihat sedang bermain bersama cucu kesayangannya. Melihat kedatangan Hakam, Batari tersenyum. “Mama dengar kamu rajin patroli dua hari ini?” Hakam memutar mata, “Baru dua hari.” “Dua hari itu sudah termasuk kemajuan, lho. Ingat siapa yang menolak keras melanjutkan bisnis Papamu dulu? Itu kamu. Tapi coba lihat sekarang, mau tak mau, nyatanya kamu tetap melanjutkan.” Batari berdiri dan berjalan menuju meja ma
Puspa menatap langit-langit kamarnya yang sudah mengelupas. Kemudian ingatannya kembali ke waktu dimana Hakam mengatakan kalimat menyakitkan tentang antingnya yang hilang. Padahal itu masalah sepele, Puspa sering dapat cemoohan yang lebih sakit daripada itu. Namun, entah mengapa dia masih terus kepikiran sampai sekarang.“Kenapa semua orang kaya selalu begitu, ya.” Puspa menghela nafas dan memutuskan untuk keluar dari rumah, mencari udara segar. Dia berjalan tanpa alas kaki, menyusuri jalan setapak yang ditumbuhi rerumputan pendek. Menggelitik telapak kakinya, menjadikan hal itu sebagai hiburan tersendiri baginya yang tidak punya apa-apa.Ketika melihat kaki telanjangnya yang menyentuh tanah, Puspa jadi ingat masa-masa sekolah dasar yang dianggap sebagai tahun terberat baginya. Puspa ingat waktu itu sepatunya rusak parah, tapi karena ibunya belum memiliki uang lebih, dia terpaksa sekolah dengan sepatu rusaknya.Teman-temannya mengejeknya, menja