Share

BAB 8

Di pagi hari berikutnya, Elisha mendiamkan Puspa. Sarapan pagi ini tidak sehangat biasanya. Terasa sunyi karena Elisha yang biasa menemani sang putri kini memilih untuk menyibukkan diri dengan urusan gereja sejak pagi-pagi buta.

Puspa juga seakan sudah terbiasa dengan perang dingin ini, karena memang bukan pertama kalinya mereka berada dalam situasi seperti ini. Setiap kali Puspa ketahuan bernyanyi oleh sang ibu, maka keesokan harinya pasti akan ada jarak di antara keduanya.

Puspa juga tidak terlalu ambil pusing, setelah memakai sepasang sepatu itu, dia berjalan melewati gereja menuju jalan setapak yang dipenuhi rumput liar. Sepanjang jalan menuju jalan raya, Puspa memikirkan banyak hal di kepalanya. Termasuk soal pertemuannya dengan Hakam kemarin. Entah mengapa, dia jadi terbayang wajah tampan namun menakutkan dari lelaki ganas itu.

“Jadi mereka benar-benar mau berpisah, ya.” Puspa bergumam, mengingat kejadian dimana dia langsung menyaksikan pertengkaran antara pasangan suami istri itu. Entah mengapa, dia merasa heran. Bukankah keduanya adalah pasangan yang serasi?

Hakam berasal dari keluarga terpandang, dan istrinya itu juga tidak terlihat seperti wanita yang dilahirkan dari keluarga pas-pasan seperti dirinya. Kadang Puspa bingung dengan pikiran yang ada di kepala orang-orang kaya. Sudah sama-sama cantik dan tampan saja masih mau berpisah, apa kabar dengan dirinya yang hanya remahan roti ini?

Puspa tertawa miris, sungguh malang hidupnya ini. Dilahirkan kedunia namun langsung dibuang seakan dia adalah bayi yang tidak diinginkan. Dibesarkan oleh seorang biarawati yang baik, namun sayangnya tidak mau mendukung hobi dan bakatnya. Bukankah ini sudah termasuk kedalam kategori malang?

Kembali ke kenyataan, bagi Puspa, perjalanan pagi selalu terasa singkat. Dia seolah baru merasa berkedip beberapa kali, namun saat ini dirinya ternyata sudah berada tepat di halaman gedung tempatnya bekerja.

“Pagi-pagi jangan ngelamun,” Salsa menggelengkan kepala. “Aku tebak, kamu pasti masih kepikiran dengan Pak Hakam, kan?”

Mata Puspa seketika mendelik, dia buru-buru melihat sekeliling dan menghela nafas lega saat tidak menemukan orang lain di sekitar mereka. Beralih ke Salsa, Puspa mendengus marah, “Sudah kubilang berapa kali, jangan bicara sembarangan! Kalau sampai ada yang dengar bisa gawat!”

“Iya. Lupa, nih.” Salsa tertawa kering, kemudian mendekatkan kepalanya ke arah Puspa. “Dengar ya, aku baru dapat gosip baru. Banyak yang bilang kalau sidang perceraian Pak Hakam dan istrinya akan segera berlangsung.”

Puspa hanya mengangguk kecil, “Sudahlah, jangan bahas gosip ini lagi. Kamu tau sendiri bagaimana buruknya sifat si Zara istri Pak Hakam itu. Kalau sampai kita jadi targetnya, mau?”

“Duh, jangan deh. Keliatan banget bengisnya itu manusia.” Salsa bergidik ngeri, kemudian keduanya kembali memasuki mode serius ketika ada panggilan dari resepsionis untuk menangani jenazah pertama mereka di pagi ini.

***

Di kediaman Astana, tirai kamar si kecil Hamun di singkap terbuka. Zara sengaja bangun pagi untuk membuat sang anak terkesan. Dia bahkan berusaha membuat sarapan untuk di makan sang putra sebelum berangkat ke sekolah.

“Hamun, ayo bangun. Kamu hari ini sekolah, lho.” Zara membangunkan sang putra dengan sikap lembut. Kemudian saat si kecil bangun, dia jadi sibuk sendiri menggantikan pekerjaan asisten rumah tangga yang biasa sibuk menyiapkan semua kebutuhan Hamun sebelum berangkat sekolah.

Tak lama setelah itu, semua orang sudah berkumpul di meja makan untuk sarapan. Hamun melihat roti panggang agak gosong dengan telur mata sapi yang tidak sempurna tampilannya. 

“Siapa yang buat sarapan?” Tanya Hamun dengan ekspresi tidak senang.

Melihat wajah masam itu, Zara langsung menyadari jika usahanya membuat sarapan pasti gagal total. Karena dia tidak ingin Hamun tahu jika itu adalah buatannya, Zara cepat bergerak ke seberang meja dan mengambil piring Hamun. 

Menatap seorang pelayan acak di belakangnya, Zara membentak keras, “Ini buatanmu, kan?! Buat roti panggang saja tidak becus! Mau dipecat?!”

Pelayan yang asal dituduh itu langsung berlutut dan meminta maaf. Sementara Zara yang masih pada akting dadakan itu, berkata, “Astaga, Hamun sayang. Sepertinya hari ini kamu sarapan di sekolah saja, ya?” 

Hamun melihat mata sang Ibu yang jelas dipenuhi dengan kebohongan, kemudian dia hanya menghela nafas, “Oke, Hamun sarapan di sekolah saja,” Ujarnya, kemudian mengambil tas dari atas sofa sebelum berjalan keluar mendatangi mobil jemputan yang biasa mengantarnya ke sekolah.

Selesai dengan urusan Hamun, Zara menghela napas, kemudian menatap sinis ke arah Hakam yang saat ini sudah terlihat begitu sibuk dengan ponsel di tangannya. Namun, sebelum Zara berhasil mengutarakan satu kalimat saja, Hakam sudah lebih dulu bicara.

“Aku tidak makan makanan beracun,” Hakam memasukkan ponselnya ke dalam tas kerjanya. “Semua ini aku berikan padamu, selamat menikmati.” 

Zara melihat punggung lelaki itu pergi, kemudian melihat semua makanan yang tak tersentuh di meja itu, amarah dalam hatinya seketika membuncah berlipat-lipat. 

Zara menatap semua pelayan yang sedang menundukkan kepala. Dengan perasaan campur aduk, dia pada akhirnya melampiaskan semua amarahnya kepada mereka yang tidak bersalah. “Jangan cuma diam saja! Ayo buang semua ini, buang semuanya ke tong sampah!”

Mendengus marah, Zara memutuskan untuk masuk ke kamarnya sendiri. Dia duduk di ranjang, membiarkan nafasnya berhembus kasar tak beraturan. Sungguh, Zara merasa sangat kesal karena sarapan buatannya sama sekali tidak dihargai oleh Hakam.

Ketika sedang sibuk menenangkan diri, ponsel di samping Zara tiba-tiba berdering. Awalnya dia kira itu agen rahasia yang ia minta mencari tahu soal Puspa, namun nyatanya dia salah. Karena kontak yang tertera di sana jelas bernama aneh dengan perpaduan huruf dan angka yang tidak terlihat seperti nama manusia.

“Halo? Hm, ini sedang dirumah,” Zara tiba-tiba tersenyum lebar. Setelah itu, dia melihat jam dinding yang ada di tembok sana. “Kencan? Hari ini?”

“Tidak juga, aku ada banyak waktu luang, kok.”

“Oke, sampai jumpa malam nanti. Bye …”

Zara menutup telepon dengan semburat merah muda di pipinya. Kemudian, matanya tak sengaja menatap sebuah bingkai besar yang ada di dalam kamar itu. Dalam foto besar dengan nuansa pernikahan yang terlihat bahagia, Zara menatap masam wajah tampan Hakam.

“Andai kamu seromantis dia, Mas.” Gumamnya pelan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status