Di pagi hari berikutnya, Elisha mendiamkan Puspa. Sarapan pagi ini tidak sehangat biasanya. Terasa sunyi karena Elisha yang biasa menemani sang putri kini memilih untuk menyibukkan diri dengan urusan gereja sejak pagi-pagi buta.
Puspa juga seakan sudah terbiasa dengan perang dingin ini, karena memang bukan pertama kalinya mereka berada dalam situasi seperti ini. Setiap kali Puspa ketahuan bernyanyi oleh sang ibu, maka keesokan harinya pasti akan ada jarak di antara keduanya.
Puspa juga tidak terlalu ambil pusing, setelah memakai sepasang sepatu itu, dia berjalan melewati gereja menuju jalan setapak yang dipenuhi rumput liar. Sepanjang jalan menuju jalan raya, Puspa memikirkan banyak hal di kepalanya. Termasuk soal pertemuannya dengan Hakam kemarin. Entah mengapa, dia jadi terbayang wajah tampan namun menakutkan dari lelaki ganas itu.
“Jadi mereka benar-benar mau berpisah, ya.” Puspa bergumam, mengingat kejadian dimana dia langsung menyaksikan pertengkaran antara pasangan suami istri itu. Entah mengapa, dia merasa heran. Bukankah keduanya adalah pasangan yang serasi?
Hakam berasal dari keluarga terpandang, dan istrinya itu juga tidak terlihat seperti wanita yang dilahirkan dari keluarga pas-pasan seperti dirinya. Kadang Puspa bingung dengan pikiran yang ada di kepala orang-orang kaya. Sudah sama-sama cantik dan tampan saja masih mau berpisah, apa kabar dengan dirinya yang hanya remahan roti ini?Puspa tertawa miris, sungguh malang hidupnya ini. Dilahirkan kedunia namun langsung dibuang seakan dia adalah bayi yang tidak diinginkan. Dibesarkan oleh seorang biarawati yang baik, namun sayangnya tidak mau mendukung hobi dan bakatnya. Bukankah ini sudah termasuk kedalam kategori malang?
Kembali ke kenyataan, bagi Puspa, perjalanan pagi selalu terasa singkat. Dia seolah baru merasa berkedip beberapa kali, namun saat ini dirinya ternyata sudah berada tepat di halaman gedung tempatnya bekerja.“Pagi-pagi jangan ngelamun,” Salsa menggelengkan kepala. “Aku tebak, kamu pasti masih kepikiran dengan Pak Hakam, kan?”Mata Puspa seketika mendelik, dia buru-buru melihat sekeliling dan menghela nafas lega saat tidak menemukan orang lain di sekitar mereka. Beralih ke Salsa, Puspa mendengus marah, “Sudah kubilang berapa kali, jangan bicara sembarangan! Kalau sampai ada yang dengar bisa gawat!”
“Iya. Lupa, nih.” Salsa tertawa kering, kemudian mendekatkan kepalanya ke arah Puspa. “Dengar ya, aku baru dapat gosip baru. Banyak yang bilang kalau sidang perceraian Pak Hakam dan istrinya akan segera berlangsung.”
Puspa hanya mengangguk kecil, “Sudahlah, jangan bahas gosip ini lagi. Kamu tau sendiri bagaimana buruknya sifat si Zara istri Pak Hakam itu. Kalau sampai kita jadi targetnya, mau?”
“Duh, jangan deh. Keliatan banget bengisnya itu manusia.” Salsa bergidik ngeri, kemudian keduanya kembali memasuki mode serius ketika ada panggilan dari resepsionis untuk menangani jenazah pertama mereka di pagi ini.
***
Di kediaman Astana, tirai kamar si kecil Hamun di singkap terbuka. Zara sengaja bangun pagi untuk membuat sang anak terkesan. Dia bahkan berusaha membuat sarapan untuk di makan sang putra sebelum berangkat ke sekolah.
“Hamun, ayo bangun. Kamu hari ini sekolah, lho.” Zara membangunkan sang putra dengan sikap lembut. Kemudian saat si kecil bangun, dia jadi sibuk sendiri menggantikan pekerjaan asisten rumah tangga yang biasa sibuk menyiapkan semua kebutuhan Hamun sebelum berangkat sekolah.
Tak lama setelah itu, semua orang sudah berkumpul di meja makan untuk sarapan. Hamun melihat roti panggang agak gosong dengan telur mata sapi yang tidak sempurna tampilannya.
“Siapa yang buat sarapan?” Tanya Hamun dengan ekspresi tidak senang.
Melihat wajah masam itu, Zara langsung menyadari jika usahanya membuat sarapan pasti gagal total. Karena dia tidak ingin Hamun tahu jika itu adalah buatannya, Zara cepat bergerak ke seberang meja dan mengambil piring Hamun.
Menatap seorang pelayan acak di belakangnya, Zara membentak keras, “Ini buatanmu, kan?! Buat roti panggang saja tidak becus! Mau dipecat?!”
Pelayan yang asal dituduh itu langsung berlutut dan meminta maaf. Sementara Zara yang masih pada akting dadakan itu, berkata, “Astaga, Hamun sayang. Sepertinya hari ini kamu sarapan di sekolah saja, ya?”
Hamun melihat mata sang Ibu yang jelas dipenuhi dengan kebohongan, kemudian dia hanya menghela nafas, “Oke, Hamun sarapan di sekolah saja,” Ujarnya, kemudian mengambil tas dari atas sofa sebelum berjalan keluar mendatangi mobil jemputan yang biasa mengantarnya ke sekolah.
Selesai dengan urusan Hamun, Zara menghela napas, kemudian menatap sinis ke arah Hakam yang saat ini sudah terlihat begitu sibuk dengan ponsel di tangannya. Namun, sebelum Zara berhasil mengutarakan satu kalimat saja, Hakam sudah lebih dulu bicara.
“Aku tidak makan makanan beracun,” Hakam memasukkan ponselnya ke dalam tas kerjanya. “Semua ini aku berikan padamu, selamat menikmati.”
Zara melihat punggung lelaki itu pergi, kemudian melihat semua makanan yang tak tersentuh di meja itu, amarah dalam hatinya seketika membuncah berlipat-lipat.
Zara menatap semua pelayan yang sedang menundukkan kepala. Dengan perasaan campur aduk, dia pada akhirnya melampiaskan semua amarahnya kepada mereka yang tidak bersalah. “Jangan cuma diam saja! Ayo buang semua ini, buang semuanya ke tong sampah!”
Mendengus marah, Zara memutuskan untuk masuk ke kamarnya sendiri. Dia duduk di ranjang, membiarkan nafasnya berhembus kasar tak beraturan. Sungguh, Zara merasa sangat kesal karena sarapan buatannya sama sekali tidak dihargai oleh Hakam.
Ketika sedang sibuk menenangkan diri, ponsel di samping Zara tiba-tiba berdering. Awalnya dia kira itu agen rahasia yang ia minta mencari tahu soal Puspa, namun nyatanya dia salah. Karena kontak yang tertera di sana jelas bernama aneh dengan perpaduan huruf dan angka yang tidak terlihat seperti nama manusia.
“Halo? Hm, ini sedang dirumah,” Zara tiba-tiba tersenyum lebar. Setelah itu, dia melihat jam dinding yang ada di tembok sana. “Kencan? Hari ini?”
“Tidak juga, aku ada banyak waktu luang, kok.”
“Oke, sampai jumpa malam nanti. Bye …”
Zara menutup telepon dengan semburat merah muda di pipinya. Kemudian, matanya tak sengaja menatap sebuah bingkai besar yang ada di dalam kamar itu. Dalam foto besar dengan nuansa pernikahan yang terlihat bahagia, Zara menatap masam wajah tampan Hakam.
“Andai kamu seromantis dia, Mas.” Gumamnya pelan.
“Astaga, kenapa setiap hari ada saja yang meninggal, sih!” Salsabila mengeluh, padahal keringat di dahinya belum mengering. Namun panggilan selalu datang, bahkan kali ini harus pergi langsung ke TKP karena korban meninggalnya diduga akibat bunuh diri. Kali ini, Puspa juga setuju dengan Salsa. “Betul, hari ini super banget lelahnya,” ujarnya, namun kembali membuka mata lebar-lebar ketika mengingat bahwa masih ada satu jadwal lagi yang harus mereka selesaikan sebelum benar-benar bisa mengakhiri pekerjaan dan pulang. Salsa yang berdiri pertama kali, “Aku cuci muka sebentar, kamu siapkan semua peralatan, ya. Nanti aku yang bawa ke mobil.” “Oke,” malas berdebat, Puspa pun mengangguk saja. Lagipula, jika tugasnya beres-beres, maka bagian yang mengangkat kebawah pasti rekannya. Anggap saja sebagai aturan tidak tertulis di antara setiap tim. Lokasi jenazah berada tepat di tengah kota, di sebuah hotel mewah yang biasa disewa oleh pasangan-pasangan yang ingin menghabiskan malam panas tanpa g
Hari berikutnya, Zara terbangun sendiri di kamar besar itu. Lelakinya sudah lama pergi, meninggalkan sepucuk surat yang berisi ungkapan manis penuh gombalan kering. Walau begitu, Zara menyukainya. Darimana lagi dia bisa dapat begitu banyak cinta selain dari kekasihnya ini? Suaminya yang cuek itu? Yang benar saja.Selesai mandi, Zara tidak langsung pulang. Dia memilih menikmati secangkir teh hangat sambil merasakan semilir angin pagi dari balkon kamarnya.Tak lama kemudian, ponsel di atas meja itu berdering. Ketika melihat siapa nama kontaknya, senyuman licik mengembang di bibirnya. "Sudah dapat semua infonya? Jangan sampai buat aku kesal karena cara kerjamu yang terlalu lambat." Zara mengharapkan jawaban pasti, dan dia berharap mendapatkannya di pagi ini.Di seberang telepon, seorang lelaki menjawab santai sambil melihat beberapa lembar kertas di tangannya. "Sesuai janji, 7 juta jika kurang dari 7 hari.""Deal." Zara sangat senang. Tanpa pikir panjang, dia langsung mematikan sambunga
"Kurang ajar!" Tukang ojek itu mengusap hidungnya yang berdarah. Menatap Puspa yang sudah lari jauh di depan, dia segera mengambil motor dan membawanya sekencang angin. Puspa yang menyadari hal ini mengumpat dalam hati, menyalahkan kebodohannya yang malah berlari begitu saja. Padahal seharusnya pakai saja motor penjahatnya lalu kabur, daripada jadi kejar-kejaran seperti ini? Sambil berlari sekencang yang dia bisa, Puspa sesekali melihat ke belakang dimana motor si penjahat itu makin lama semakin dekat dengan dirinya. Puspa mencari akal, pikirnya si penjahat akan sangat kewalahan jika dia berhasil menjauhkannya dari motornya. Tapi bagaimana caranya?! Berpikir sambil berlari bukanlah suatu perkara mudah. Puspa terengah-engah, hampir menyerah sebelum akhirnya melihat sebuah jurang dangkal di depan sana. Puspa dibesarkan di sini, tidak ada yang lebih tahu wilayah ini daripada dirinya sendiri. Bersama teman-teman kecilnya dulu, Puspa sering menyelinap ke daerah kebun sawit untuk bermain
Di sebuah kamar besar dengan aksen mewah khas milik orang-orang kaya, Zara Naila nampak tersenyum lebar sambil minum secangkir jus buah segar. Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar akibat panggilan telepon yang membuatnya naik pitam. Zara membanting gelas yang ia pegang ke lantai dan memaki dengan suara keras. "Gagal?! Bagaimana bisa!" Jika orang yang sedang bicara dengannya ini ada di depan wajahnya, pasti sudah dia cabik-cabik seluruh tubuhnya. "Maaf, tapi orangnya sudah ditangkap penjaga kebun dan dibawa ke kantor polisi," ujar seorang lelaki yang dibayar mahal oleh Zara untuk memberi pelajaran pada Puspa. Zara tidak dapat menerima kegagalan ini, terutama pelakunya sampai tertangkap dan dibawa ke kantor polisi. Jika sampai pelaku itu bicara macam-macam, namanya juga bisa ikut terseret! "Sial!" Zara kembali menghubungi seseorang, memintanya menghabisi si tukang ojek yang mereka sewa untuk melecehkan Puspa, yang saat ini sudah berada di kantor polisi. Padahal, rencanan
Puspa sedang berkemas, bersiap untuk pulang karena memang sudah waktunya. Sebenarnya, jam pulang memang selalu pukul 3 sore. Kecuali ada terlalu banyak pasien yang perlu diurus, maka hitungannya akan masuk kedalam jam lemburan. “Puspa?” Panggil seorang perempuan yang tak lain adalah Manajer Pemasar baru mereka. Puspa yang dipanggil tidak langsung menjawab. Ini dikarenakan dia belum tahu siapa namanya. Bukan karena tidak diberitahu, hanya saja Puspa sibuk bergosip dengan Salsa di aula tadi, sehingga namanya pun dia tidak ingat. “Oh, Ibu manajer baru, ternyata.” Berbasa-basi tanpa menyebut nama adalah keahlian Puspa. Manajer perempuan itu tersenyum kecil, “Nama saya Sinta, panggil nama saja, ya. Lagi pula umur kita tidak terlalu jauh, kok.” “Baik, Bu Sinta. Ada perlu apa, ya? Kebetulan hari ini saya tidak ada lembur. Kalau mau tanya-tanya terkait banyak hal, saya tidak bisa. Tapi ada banyak divisi yang lembur selain saya hari ini.” Tidak biasany
Hakam melamun sepanjang perjalanan pulang. Entah mengapa, kalimat yang keluar dari bibir Puspa terus membuatnya kepikiran. Tidak biasanya dia begini, selalunya tidak pernah peduli dengan perasaan orang lain. Namun, dengan gadis miskin itu, Hakam merasa berbeda. “Papa pulang,” Hakam membuka pintu dan berniat menyapa Hamun. Namun yang ia dapati pertama kali justru orang lain, yakni sang Ibu yang ternyata sedang berkunjung. Batari, namanya. Perempuan yang sudah berkepala hampir lima itu terlihat sedang bermain bersama cucu kesayangannya. Melihat kedatangan Hakam, Batari tersenyum. “Mama dengar kamu rajin patroli dua hari ini?” Hakam memutar mata, “Baru dua hari.” “Dua hari itu sudah termasuk kemajuan, lho. Ingat siapa yang menolak keras melanjutkan bisnis Papamu dulu? Itu kamu. Tapi coba lihat sekarang, mau tak mau, nyatanya kamu tetap melanjutkan.” Batari berdiri dan berjalan menuju meja ma
Puspa menatap langit-langit kamarnya yang sudah mengelupas. Kemudian ingatannya kembali ke waktu dimana Hakam mengatakan kalimat menyakitkan tentang antingnya yang hilang. Padahal itu masalah sepele, Puspa sering dapat cemoohan yang lebih sakit daripada itu. Namun, entah mengapa dia masih terus kepikiran sampai sekarang.“Kenapa semua orang kaya selalu begitu, ya.” Puspa menghela nafas dan memutuskan untuk keluar dari rumah, mencari udara segar. Dia berjalan tanpa alas kaki, menyusuri jalan setapak yang ditumbuhi rerumputan pendek. Menggelitik telapak kakinya, menjadikan hal itu sebagai hiburan tersendiri baginya yang tidak punya apa-apa.Ketika melihat kaki telanjangnya yang menyentuh tanah, Puspa jadi ingat masa-masa sekolah dasar yang dianggap sebagai tahun terberat baginya. Puspa ingat waktu itu sepatunya rusak parah, tapi karena ibunya belum memiliki uang lebih, dia terpaksa sekolah dengan sepatu rusaknya.Teman-temannya mengejeknya, menja
Hakam mengerang, memejamkan mata sambil menikmati setiap sentuhan yang dia berikan pada teman besarnya. Tetapi, ada yang aneh. Hakam tidak bisa memikirkan hal lain selain pemandangan es krim meleleh yang beberapa saat lalu membuatnya terkesan. Setiap kali dia mencoba untuk membayangkan hal lainnya, libidonya menurun. Namun, akan naik lagi dengan cepat ketika membayangkan adegan yang barusan di lihatnya di pinggir jalan. “Sial!” Hakam mengumpat, merasa seakan melayang diudara ketika lahar panas di bawah sana berhasil di muntahkan. Sungguh, satu tahun adalah waktu yang cukup lama untuk menyimpan semua benih dalam dirinya. Kini, ketika akhirnya dibebaskan, masing-masing dari mereka seakan menggila. Membuat pelepasannya kali ini menjadi salah satu yang paling memuaskan, layaknya gunung meletus yang memuntahkan lahar panas.Terengah-engah, Hakam memejamkan matanya sebentar untuk rehat. Akhirnya, pikirannya kembali jernih setelah berhasil menjinakkan si cacing alaska. Mengingat kelakuannya