Share

BAB 9

“Astaga, kenapa setiap hari ada saja yang meninggal, sih!” Salsabila mengeluh, padahal keringat di dahinya belum mengering. Namun panggilan selalu datang, bahkan kali ini harus pergi langsung ke TKP karena korban meninggalnya diduga akibat bunuh diri.

Kali ini, Puspa juga setuju dengan Salsa. “Betul, hari ini super banget lelahnya,” ujarnya, namun kembali membuka mata lebar-lebar ketika mengingat bahwa masih ada satu jadwal lagi yang harus mereka selesaikan sebelum benar-benar bisa mengakhiri pekerjaan dan pulang.

Salsa yang berdiri pertama kali, “Aku cuci muka sebentar, kamu siapkan semua peralatan, ya. Nanti aku yang bawa ke mobil.”

“Oke,” malas berdebat, Puspa pun mengangguk saja. Lagipula, jika tugasnya beres-beres, maka bagian yang mengangkat kebawah pasti rekannya. Anggap saja sebagai aturan tidak tertulis di antara setiap tim.

Lokasi jenazah berada tepat di tengah kota, di sebuah hotel mewah yang biasa disewa oleh pasangan-pasangan yang ingin menghabiskan malam panas tanpa gangguan dari orang lain. Ketika Puspa dan Salsa sampai disana, itu sudah pukul tujuh malam lebih sedikit.

Cukup ramai, namun karena pihak hotel tidak ingin membuat nama hotel mereka tercoreng, biasanya korban-korban meninggal yang ada di setiap kamar akan dirahasiakan dari publik. Hanya pihak tertentu seperti pihak keluarga korban, kepolisian, juga agen Rumah Duka seperti mereka berdua yang tahu kebenarannya.

Mendatangi resepsionis, Puspa langsung menunjukkan identitas agen resminya. Tanpa basa-basi, resepsionis itu juga langsung memanggil satpam dan memintanya mengantar kedua agen tersebut memasuki kamar yang menjadi tempat peristiwa naas itu terjadi.

Ketika Puspa masuk pertama kali dengan Salsa, aroma menyengat langsung menyambut hidung mereka. Juga sudah ada beberapa anggota kepolisian yang hadir untuk melakukan identifikasi. Pada dasarnya, ketika agen seperti Puspa dipanggil, TKP sudah dalam kondisi tahap akhir. Artinya, semua hal yang diperlukan pihak kepolisian sudah lebih dulu mereka amankan.

Hampir satu jam mengevakuasi dengan semua keterampilan yang mereka miliki, Puspa akhirnya bisa membuka tiga lapis masker di wajahnya dengan tenang. “Akhirnya selesai juga.”

Keduanya tepar, selonjoran di lantai depan kamar yang selesai dievakuasi tersebut dengan energi terkuras habis. Jenazahnya barusan di angkat oleh rekan lelaki mereka, jadi dengan kata lain, pekerjaan mereka hari ini benar-benar sudah berakhir.

Salsa yang memejamkan mata sambil menyandar ke tembok, sayup-sayup mendengar suara yang cukup familiar di telinganya. Karena makin penasaran, dia pun membuka mata perlahan-lahan. Namun hampir melompat kaget begitu tahu apa yang dilihatnya mungkin adalah sebuah bencana besar.

“Puspa, ayo masuk dulu.” Salsa bergerak cepat ketika menyadari sepasang kekasih yang baru keluar dari lift itu makin dekat dengan mereka.

Puspa di buat bingung, namun hanya menurut dan masuk kembali ke ruangan yang sudah di steril tersebut dengan tingkah mengendap, persis seperti maling yang sedang beraksi.

“Kenapa, sih?” Walau bingung, Puspa masih mengikuti tingkah Salsa yang mendekatkan wajah ke sela-sela pintu yang tidak mereka tutup sepenuhnya. Baru, setelah mengarahkan pandangan lurus mengikuti kemana mata Salsa bergerak, Puspa hampir berteriak kencang.

Beruntung, Salsa siaga satu dan dengan cepat menyumpal bibir Puspa menggunakan telapak tangannya sendiri. “Lihat tidak?” Tanya Salsa yang segera mendapat anggukan syok dari Puspa.

“Memang apa yang kamu lihat?” Tanya Salsa dengan kedua alis di naik-turunkan secara bersamaan.

Puspa yang masih syok hanya melongo seperti orang bodoh, “Yang barusan itu … serius? Ini kan hotel untuk …”

“Untuk pasangan yang mau ‘nganu-nganu’. Yep, kita memang tidak salah lihat. Yang tadi itu jelas Zara Naila dengan lelaki lain selain suaminya, Pak Hakam,” ujar Salsa sambil menggelengkan kepalanya. “Dasar orang kaya, ada-ada saja kelakuannya” lanjutnya dengan ekspresi masam.

***

“Kamu nakal, Mas.” Zara terkekeh geli ketika wajah lelaki itu menyusup ke ceruk lehernya. Memberi kecupan halus, lumatan sensual, juga gesekan tubuh yang memercikkan gairah seksual di antara keduanya.

Lelaki tak dikenal itu mengangkat wajah, mendekati bibir ranum Zara sebelum akhirnya memberi kecupan lembut di atasnya. “Sudah lama tidak bertemu, kamu berharap aku menahan diri?”

Zara menggeleng, “Jangan ditahan, lakukan saja sesuka hati,” ujarnya pelan, kemudian meniup cuping telinga si lelaki sambil membisikkan kalimat yang memancing hasrat. “Mandi berdua. Mau, Mas?”

“Hmm,” balas si lelaki yang sudah tak sanggup berkata-kata. Dengan hasrat menggebu, dia bawa tubuh ramping itu ke dalam bathup yang sudah terisi air hangat dengan taburan kelopak mawar di atasnya.

Tak lama setelahnya, erangan keras terdengar. Tubuh ramping itu bergerak naik turun mengikuti irama sang dominan. Zara di buat melayang, merasa begitu tertantang akan nikmatnya dosa-dosa yang sudah dia cicipi sejak beberapa bulan belakangan.

Hanya dia. Lelaki panas yang bisa memuaskannya, bisa membuatnya bahagia, juga yang selalu merindukannya dalam semua kegiatan yang dilakukannya. Bagi Zara, beginilah seharusnya seorang perempuan diperlakukan. Lagipula, dia sudah berkubang dalam genangan lumpur, apa salahnya dilanjutkan?

“Ah!” Zara menjerit. Mencapai puncak setelah di serang semua titik sensitif yang ada pada tubuhnya. Namun, apakah malam panjang ini hanya akan berakhir di sini? Tentu tidak. Mereka belum puas, merasa bahwa kerinduan yang terpendam begitu lama membutuhkan waktu yang lama pula untuk terurai.

Akibatnya, malam panas mereka terus berlanjut, ditemani erangan nakal dan ciuman basah yang penuh gairah, tanpa ada satu orangpun yang mengganggu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status