“Astaga, kenapa setiap hari ada saja yang meninggal, sih!” Salsabila mengeluh, padahal keringat di dahinya belum mengering. Namun panggilan selalu datang, bahkan kali ini harus pergi langsung ke TKP karena korban meninggalnya diduga akibat bunuh diri.
Kali ini, Puspa juga setuju dengan Salsa. “Betul, hari ini super banget lelahnya,” ujarnya, namun kembali membuka mata lebar-lebar ketika mengingat bahwa masih ada satu jadwal lagi yang harus mereka selesaikan sebelum benar-benar bisa mengakhiri pekerjaan dan pulang.Salsa yang berdiri pertama kali, “Aku cuci muka sebentar, kamu siapkan semua peralatan, ya. Nanti aku yang bawa ke mobil.”“Oke,” malas berdebat, Puspa pun mengangguk saja. Lagipula, jika tugasnya beres-beres, maka bagian yang mengangkat kebawah pasti rekannya. Anggap saja sebagai aturan tidak tertulis di antara setiap tim.Lokasi jenazah berada tepat di tengah kota, di sebuah hotel mewah yang biasa disewa oleh pasangan-pasangan yang ingin menghabiskan malam panas tanpa gangguan dari orang lain. Ketika Puspa dan Salsa sampai disana, itu sudah pukul tujuh malam lebih sedikit.Cukup ramai, namun karena pihak hotel tidak ingin membuat nama hotel mereka tercoreng, biasanya korban-korban meninggal yang ada di setiap kamar akan dirahasiakan dari publik. Hanya pihak tertentu seperti pihak keluarga korban, kepolisian, juga agen Rumah Duka seperti mereka berdua yang tahu kebenarannya.Mendatangi resepsionis, Puspa langsung menunjukkan identitas agen resminya. Tanpa basa-basi, resepsionis itu juga langsung memanggil satpam dan memintanya mengantar kedua agen tersebut memasuki kamar yang menjadi tempat peristiwa naas itu terjadi.Ketika Puspa masuk pertama kali dengan Salsa, aroma menyengat langsung menyambut hidung mereka. Juga sudah ada beberapa anggota kepolisian yang hadir untuk melakukan identifikasi. Pada dasarnya, ketika agen seperti Puspa dipanggil, TKP sudah dalam kondisi tahap akhir. Artinya, semua hal yang diperlukan pihak kepolisian sudah lebih dulu mereka amankan.Hampir satu jam mengevakuasi dengan semua keterampilan yang mereka miliki, Puspa akhirnya bisa membuka tiga lapis masker di wajahnya dengan tenang. “Akhirnya selesai juga.”Keduanya tepar, selonjoran di lantai depan kamar yang selesai dievakuasi tersebut dengan energi terkuras habis. Jenazahnya barusan di angkat oleh rekan lelaki mereka, jadi dengan kata lain, pekerjaan mereka hari ini benar-benar sudah berakhir.Salsa yang memejamkan mata sambil menyandar ke tembok, sayup-sayup mendengar suara yang cukup familiar di telinganya. Karena makin penasaran, dia pun membuka mata perlahan-lahan. Namun hampir melompat kaget begitu tahu apa yang dilihatnya mungkin adalah sebuah bencana besar.“Puspa, ayo masuk dulu.” Salsa bergerak cepat ketika menyadari sepasang kekasih yang baru keluar dari lift itu makin dekat dengan mereka.Puspa di buat bingung, namun hanya menurut dan masuk kembali ke ruangan yang sudah di steril tersebut dengan tingkah mengendap, persis seperti maling yang sedang beraksi.“Kenapa, sih?” Walau bingung, Puspa masih mengikuti tingkah Salsa yang mendekatkan wajah ke sela-sela pintu yang tidak mereka tutup sepenuhnya. Baru, setelah mengarahkan pandangan lurus mengikuti kemana mata Salsa bergerak, Puspa hampir berteriak kencang.Beruntung, Salsa siaga satu dan dengan cepat menyumpal bibir Puspa menggunakan telapak tangannya sendiri. “Lihat tidak?” Tanya Salsa yang segera mendapat anggukan syok dari Puspa.“Memang apa yang kamu lihat?” Tanya Salsa dengan kedua alis di naik-turunkan secara bersamaan.Puspa yang masih syok hanya melongo seperti orang bodoh, “Yang barusan itu … serius? Ini kan hotel untuk …”“Untuk pasangan yang mau ‘nganu-nganu’. Yep, kita memang tidak salah lihat. Yang tadi itu jelas Zara Naila dengan lelaki lain selain suaminya, Pak Hakam,” ujar Salsa sambil menggelengkan kepalanya. “Dasar orang kaya, ada-ada saja kelakuannya” lanjutnya dengan ekspresi masam.***“Kamu nakal, Mas.” Zara terkekeh geli ketika wajah lelaki itu menyusup ke ceruk lehernya. Memberi kecupan halus, lumatan sensual, juga gesekan tubuh yang memercikkan gairah seksual di antara keduanya.Lelaki tak dikenal itu mengangkat wajah, mendekati bibir ranum Zara sebelum akhirnya memberi kecupan lembut di atasnya. “Sudah lama tidak bertemu, kamu berharap aku menahan diri?”Zara menggeleng, “Jangan ditahan, lakukan saja sesuka hati,” ujarnya pelan, kemudian meniup cuping telinga si lelaki sambil membisikkan kalimat yang memancing hasrat. “Mandi berdua. Mau, Mas?”“Hmm,” balas si lelaki yang sudah tak sanggup berkata-kata. Dengan hasrat menggebu, dia bawa tubuh ramping itu ke dalam bathup yang sudah terisi air hangat dengan taburan kelopak mawar di atasnya.Tak lama setelahnya, erangan keras terdengar. Tubuh ramping itu bergerak naik turun mengikuti irama sang dominan. Zara di buat melayang, merasa begitu tertantang akan nikmatnya dosa-dosa yang sudah dia cicipi sejak beberapa bulan belakangan.Hanya dia. Lelaki panas yang bisa memuaskannya, bisa membuatnya bahagia, juga yang selalu merindukannya dalam semua kegiatan yang dilakukannya. Bagi Zara, beginilah seharusnya seorang perempuan diperlakukan. Lagipula, dia sudah berkubang dalam genangan lumpur, apa salahnya dilanjutkan?“Ah!” Zara menjerit. Mencapai puncak setelah di serang semua titik sensitif yang ada pada tubuhnya. Namun, apakah malam panjang ini hanya akan berakhir di sini? Tentu tidak. Mereka belum puas, merasa bahwa kerinduan yang terpendam begitu lama membutuhkan waktu yang lama pula untuk terurai.Akibatnya, malam panas mereka terus berlanjut, ditemani erangan nakal dan ciuman basah yang penuh gairah, tanpa ada satu orangpun yang mengganggu.Hari berikutnya, Zara terbangun sendiri di kamar besar itu. Lelakinya sudah lama pergi, meninggalkan sepucuk surat yang berisi ungkapan manis penuh gombalan kering. Walau begitu, Zara menyukainya. Darimana lagi dia bisa dapat begitu banyak cinta selain dari kekasihnya ini? Suaminya yang cuek itu? Yang benar saja.Selesai mandi, Zara tidak langsung pulang. Dia memilih menikmati secangkir teh hangat sambil merasakan semilir angin pagi dari balkon kamarnya.Tak lama kemudian, ponsel di atas meja itu berdering. Ketika melihat siapa nama kontaknya, senyuman licik mengembang di bibirnya. "Sudah dapat semua infonya? Jangan sampai buat aku kesal karena cara kerjamu yang terlalu lambat." Zara mengharapkan jawaban pasti, dan dia berharap mendapatkannya di pagi ini.Di seberang telepon, seorang lelaki menjawab santai sambil melihat beberapa lembar kertas di tangannya. "Sesuai janji, 7 juta jika kurang dari 7 hari.""Deal." Zara sangat senang. Tanpa pikir panjang, dia langsung mematikan sambunga
"Kurang ajar!" Tukang ojek itu mengusap hidungnya yang berdarah. Menatap Puspa yang sudah lari jauh di depan, dia segera mengambil motor dan membawanya sekencang angin. Puspa yang menyadari hal ini mengumpat dalam hati, menyalahkan kebodohannya yang malah berlari begitu saja. Padahal seharusnya pakai saja motor penjahatnya lalu kabur, daripada jadi kejar-kejaran seperti ini? Sambil berlari sekencang yang dia bisa, Puspa sesekali melihat ke belakang dimana motor si penjahat itu makin lama semakin dekat dengan dirinya. Puspa mencari akal, pikirnya si penjahat akan sangat kewalahan jika dia berhasil menjauhkannya dari motornya. Tapi bagaimana caranya?! Berpikir sambil berlari bukanlah suatu perkara mudah. Puspa terengah-engah, hampir menyerah sebelum akhirnya melihat sebuah jurang dangkal di depan sana. Puspa dibesarkan di sini, tidak ada yang lebih tahu wilayah ini daripada dirinya sendiri. Bersama teman-teman kecilnya dulu, Puspa sering menyelinap ke daerah kebun sawit untuk bermain
Di sebuah kamar besar dengan aksen mewah khas milik orang-orang kaya, Zara Naila nampak tersenyum lebar sambil minum secangkir jus buah segar. Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar akibat panggilan telepon yang membuatnya naik pitam. Zara membanting gelas yang ia pegang ke lantai dan memaki dengan suara keras. "Gagal?! Bagaimana bisa!" Jika orang yang sedang bicara dengannya ini ada di depan wajahnya, pasti sudah dia cabik-cabik seluruh tubuhnya. "Maaf, tapi orangnya sudah ditangkap penjaga kebun dan dibawa ke kantor polisi," ujar seorang lelaki yang dibayar mahal oleh Zara untuk memberi pelajaran pada Puspa. Zara tidak dapat menerima kegagalan ini, terutama pelakunya sampai tertangkap dan dibawa ke kantor polisi. Jika sampai pelaku itu bicara macam-macam, namanya juga bisa ikut terseret! "Sial!" Zara kembali menghubungi seseorang, memintanya menghabisi si tukang ojek yang mereka sewa untuk melecehkan Puspa, yang saat ini sudah berada di kantor polisi. Padahal, rencanan
Puspa sedang berkemas, bersiap untuk pulang karena memang sudah waktunya. Sebenarnya, jam pulang memang selalu pukul 3 sore. Kecuali ada terlalu banyak pasien yang perlu diurus, maka hitungannya akan masuk kedalam jam lemburan. “Puspa?” Panggil seorang perempuan yang tak lain adalah Manajer Pemasar baru mereka. Puspa yang dipanggil tidak langsung menjawab. Ini dikarenakan dia belum tahu siapa namanya. Bukan karena tidak diberitahu, hanya saja Puspa sibuk bergosip dengan Salsa di aula tadi, sehingga namanya pun dia tidak ingat. “Oh, Ibu manajer baru, ternyata.” Berbasa-basi tanpa menyebut nama adalah keahlian Puspa. Manajer perempuan itu tersenyum kecil, “Nama saya Sinta, panggil nama saja, ya. Lagi pula umur kita tidak terlalu jauh, kok.” “Baik, Bu Sinta. Ada perlu apa, ya? Kebetulan hari ini saya tidak ada lembur. Kalau mau tanya-tanya terkait banyak hal, saya tidak bisa. Tapi ada banyak divisi yang lembur selain saya hari ini.” Tidak biasany
Hakam melamun sepanjang perjalanan pulang. Entah mengapa, kalimat yang keluar dari bibir Puspa terus membuatnya kepikiran. Tidak biasanya dia begini, selalunya tidak pernah peduli dengan perasaan orang lain. Namun, dengan gadis miskin itu, Hakam merasa berbeda. “Papa pulang,” Hakam membuka pintu dan berniat menyapa Hamun. Namun yang ia dapati pertama kali justru orang lain, yakni sang Ibu yang ternyata sedang berkunjung. Batari, namanya. Perempuan yang sudah berkepala hampir lima itu terlihat sedang bermain bersama cucu kesayangannya. Melihat kedatangan Hakam, Batari tersenyum. “Mama dengar kamu rajin patroli dua hari ini?” Hakam memutar mata, “Baru dua hari.” “Dua hari itu sudah termasuk kemajuan, lho. Ingat siapa yang menolak keras melanjutkan bisnis Papamu dulu? Itu kamu. Tapi coba lihat sekarang, mau tak mau, nyatanya kamu tetap melanjutkan.” Batari berdiri dan berjalan menuju meja ma
Puspa menatap langit-langit kamarnya yang sudah mengelupas. Kemudian ingatannya kembali ke waktu dimana Hakam mengatakan kalimat menyakitkan tentang antingnya yang hilang. Padahal itu masalah sepele, Puspa sering dapat cemoohan yang lebih sakit daripada itu. Namun, entah mengapa dia masih terus kepikiran sampai sekarang.“Kenapa semua orang kaya selalu begitu, ya.” Puspa menghela nafas dan memutuskan untuk keluar dari rumah, mencari udara segar. Dia berjalan tanpa alas kaki, menyusuri jalan setapak yang ditumbuhi rerumputan pendek. Menggelitik telapak kakinya, menjadikan hal itu sebagai hiburan tersendiri baginya yang tidak punya apa-apa.Ketika melihat kaki telanjangnya yang menyentuh tanah, Puspa jadi ingat masa-masa sekolah dasar yang dianggap sebagai tahun terberat baginya. Puspa ingat waktu itu sepatunya rusak parah, tapi karena ibunya belum memiliki uang lebih, dia terpaksa sekolah dengan sepatu rusaknya.Teman-temannya mengejeknya, menja
Hakam mengerang, memejamkan mata sambil menikmati setiap sentuhan yang dia berikan pada teman besarnya. Tetapi, ada yang aneh. Hakam tidak bisa memikirkan hal lain selain pemandangan es krim meleleh yang beberapa saat lalu membuatnya terkesan. Setiap kali dia mencoba untuk membayangkan hal lainnya, libidonya menurun. Namun, akan naik lagi dengan cepat ketika membayangkan adegan yang barusan di lihatnya di pinggir jalan. “Sial!” Hakam mengumpat, merasa seakan melayang diudara ketika lahar panas di bawah sana berhasil di muntahkan. Sungguh, satu tahun adalah waktu yang cukup lama untuk menyimpan semua benih dalam dirinya. Kini, ketika akhirnya dibebaskan, masing-masing dari mereka seakan menggila. Membuat pelepasannya kali ini menjadi salah satu yang paling memuaskan, layaknya gunung meletus yang memuntahkan lahar panas.Terengah-engah, Hakam memejamkan matanya sebentar untuk rehat. Akhirnya, pikirannya kembali jernih setelah berhasil menjinakkan si cacing alaska. Mengingat kelakuannya
Karena ada dua mayat, Puspa dan Salsa harus mengerjakan satu-persatu. Ternyata kedua jenazah tersebut adalah sepasang suami istri yang meninggal akibat kecelakaan. Yang sedang digarap mereka saat ini adalah si lelakinya. Sementara mayat perempuan diletakkan di ruangan lain. Bu Sinta yang sejak tadi masih bersembunyi di balik tikungan, kini perlahan muncul dan berjalan melewati lorong dengan masing-masing pintu tertutup. Kemudian dia berhenti di depan salah satu pintu dan masuk kedalamnya. Melihat mayat perempuan itu masih tergeletak di tempat yang seharusnya, dia buru-buru mendekat dan mencari-cari sesuatu.Ya, dia memang punya niat jahat. Ingin mengambil barang berharga apapun dari si mayat, yang nantinya akan diletakkan ke dalam tas kerja Puspa. “Ketemu,” Sinta tertawa ketika melihat jari manis mayat itu masih terpasang cincin kawinnya. “Ini pasti akan jadi hiburan yang menarik,” Sinta tersenyum licik, kemudian bergerak cepat mengambil cincin itu sebelum dibawa pergi dengan langk