Sebuah mobil Jeep berhenti tepat di samping Zalila, membuatnya terkejut dan menghentikan langkahnya. Dua pria terlihat turun dari mobil itu. Satu pria berbadan kekar memakai kaus berwarna hitam dengan rompi jeans biru tanpa lengan satu pria lagi berbadan kurus dengan pakaian biasa, sepertinya dia hanya asisten atau kacung saja.
Kedua pria itu menghadang laju langkah Zalila. Dengan tertawa-tawa, pria berbadan kekar itu lebih mendekat pada Zalila. Semakin Ia mundur, semakin pula pria itu maju masih dengan tertawanya.
Panik dan ketakutannya Zalila, semakin membuat dua pria itu kegirangan. Zalila berusaha ingin menghindar dan berniat lari, namun tembok di samping kirinya menghalanginya serta mobil Jeep itu menjaganya dari samping kanan, ditambah pria berbadan kurus itu dengan sigap berlari menghadang dari belakang.
"Mau lari kemana, nona manis?" ledek pria berbadan kekar itu.
"Kau tidak akan bisa lari kemana-mana," katanya lagi.
Setiap pria berbadan kekar itu usai berucap disambut gelak tawa pria berbadan kurus dibelakang Zalila.
"Jangan dekat!" pekik Zalila.
Lagi-lagi, mereka tertawa dengan renyahnya. Kemudian memberi kode kepada pria kurus, agar segera menangkap Zalila.
"Lepaskan!" teriak Zalila, berusaha melawan. Sebuah bungkusan plastik kresek berwarna hitam jatuh, lepas dari pegangannya.
Mendengar teriakkan Zalila, pria itu membekap mulut Zalila,dan menahan tangannya agar tidak berontak.
"Cepat, bawa masuk gadis itu sebelum ada warga memergoki kita lagi!" titah pria berbadan kekar, lalu segera masuk ke mobil untuk kembali memegang kendali setirnya.
Ini memang kedua kalinya Mereka berusaha menangkap Zalila, setelah usaha pertama mereka gagal karena ada seorang warga yang melihat mereka lalu meneriaki mereka, hingga membuat mereka lari terbirit-birit.
Kali ini nasib baik sedang tidak berpihak pada Zalila, Ia berhasil dimasukkan ke dalam mobil Jeep yang mulai melaju kencang.
"Kalian itu tidak malu ya, dengan badan yang besar kalian melawan wanita?" ledek Zalila usai dibiarkan bebas tanpa dibekap lagi.
"Diam, Kau!" teriak pria berbadan kurus di samping Zalila.
Gertakan pria itu berhasil membuat Zalila yang berbadan kecil menjadi ketakutan.
Zalila, gadis berusia 23 tahun itu kini pasrah tanpa perlawanan lagi.
Terus melaju kencang Jeep itu, hingga berhenti di sebuah rumah mewah berlantai dua dengan pilar-pilar kokoh tinggi hingga sampai ke lantai dua rumah itu.
"Turun!" teriak pria berbadan kurus sambil menarik tangan Zalila.
"Tidak bisa kah, kalian bersikap lembut pada wanita? bukan kah Ibu kalian juga wanita?" ucap Zalila, tak menerima perlakuan kasar mereka.
Tak terpengaruh dengan ucapan Zalila, dua pria itu tetap membawa paksa Zalila untuk masuk lebih dalam ke rumah itu.
Di dalam rumah itu, sudah ada duduk seorang pria lagi. Namun laki-laki ini lebih tua usianya sekitar lima puluh tahun kira-kira. Ia bernama Betara Subekti. Berbadan sedikit gendut, dengan pakaian layaknya juragan.
"Ini, Tuan. Gadis ini telah berhasil kami tangkap," ujar pria berbadan kekar.
"Lepaskan, dia!" titah Betara dengan suara beratnya.
Pria berbadan kekar itu menoleh pada pria berbadan kurus, memberi kode untuk melepaskan Zalila.
Zalila memegangi pergelangan tangannya, merasa sedikit perih akibat cekalan kuat si pria kurus.
Melangkah maju, Betara mendekati Zalila.
"Bagaimana, kapan Kau bisa membayar hutang mu?" tanyanya pelan.
"Tuan, Saya belum bisa membayarnya untuk saat ini," sahut Zalila.
"Tapi Saya sedang berusaha mencari uang," lanjut Zalila meyakinkan.
Wajah Betara tampak meremehkan ucapan Zalila, Ia tersenyum remeh dengan sebelah bibir terangkat.
"Sampai Kau mati cari uang, hutang mu tidak akan bisa kau bayar," sahut Betara.
"Sudahlah, serahkan saja tanah kebun di samping rumah ibumu itu, lalu saya akan membeli rumah mu juga. Enak, bukan? sudah hutang lunas dapat uang pula," lanjut Betara.
"Tidak akan, Tuan. Hanya rumah itu milik kami satu-satunya. Kami akan tinggal dimana jika rumah itu kami serahkan," lirih Zalila.
Zalila hanya seorang gadis lemah, saat ini Ia seperti sedang dikepung oleh pria yang jauh lebih besar darinya, sungguh tidak seimbang.
Pria-pria yang tidak punya perasaan dengan terus-menerus menekan Zalila, demi untuk mendapatkan harta yang tidak seberapa milik Zalila dan Ibunya.
Jika tidak karena terpaksa, Zalila pun tidak akan meminjam uang kepada Tuan Betara ini. Sayangnya, uang dengan jumlah besar hanya bisa Ia dapatkan dari Tuan rentenir ini. Dengan perjanjian pembayaran setiap bulannya dengan tambahan bunga tiap kali bayar.
Awalnya Zalila merasa Betara ini seperti pahlawan yang telah menolongnya dari kebingungannya bagaimana cara mendapatkan uang dengan cepat, agar Ia bisa segera mengobati penyakit ibunya ke rumah sakit.
Operasi ginjal yang harus segera dilaksanakan untuk Ibunya membutuhkan biaya yang besar.
Hingga bulan ketiga Zalila hanya baru satu kali membayar dengan seluruh gaji dari pekerjaannya sebagai pelayan di sebuah restoran, itupun belum berikut bunganya. Alhasil, hutang Zalila semakin bertambah dengan bunga yang terus mekar.
Pada dasarnya Betara ini memang mengincar rumah dan tanah yang ditanami sayur-mayur di samping rumah itu. Rumah yang ditempati Zalila dan Ibunya, adalah peninggalan dari Bapaknya. Letak yang strategis, membuat Betara merencanakan untuk membangun toko di tanah itu.
Sejak masih ada Bapaknya Zalila, Betara sudah berusaha untuk mendapatkannya. Namun selalu ditolak keras oleh Bapaknya. Betara harus mengalah mundur, karena Bapak Zalila adalah orang yang disegani di kampung itu. Selain suka menolong, Bapak Zalila pun suka memberi. Hal itulah yang membuatnya di segani.
"Bukankah tadi saya sudah katakan, Saya akan membayar rumah itu. Kau bisa menggunakannya untuk mencari tempat lain." Betara mulai membujuk.
"Tidak! Saya yakin Tuan akan membayar dengan seenak hati, Tuan," lantang Zalila.
Tepat sekali perkiraan Zalila, Betara memang seperti itu. Sudah banyak warga yang menjadi korbannya. Tak berbeda strategi yang lancarkan pada Zalila, hal yang sama pun terjadi pada warga lainnya. Mereka terpaksa memberikan tanah mereka sebagai bayarannya. Walaupun akan disesuaikan sebesar hutang, tetapi tetap saja Betara mengambil keuntungan lebih besar.
"Tidak, Zalila. Khusus untuk mu, Saya akan membayar sesuai yang kau mau," rayu Betara, mencolek dagu mungil Zalila.
Zalila mengelak, menghempas kasar wajahnya kesamping.
"Sudahlah, Kau sendirian di sini. Tak akan ada yang membelamu." Betara semakin mendekati Zalila. Kedua anak buahnya yang masih setia berdiri mengawal, saling melirik dan sedikit tertawa.
"Jika tidak kau berikan pun, rumah mu itu akan tetap ku rebut. Karena kau tak bisa membayar hutang mu," bisiknya ke telinga Zalila.
"Jadi, mau sekarang kau serahkan dengan tambahan uang atau ku ambil paksa sebagai bayaran hutangmu, Zalila?" tanyanya masih dengan berbisik.
Zalila panik dan ketakutan dengan bisikan lembut itu yang sebenarnya adalah ancaman.
Tak...Tak...Terdengar suara langkah kaki dengan sandal selop menginjak menuruni anak tangga satu per satu."Ada apa ini, Pi? pagi-pagi sudah ribut," tanya wanita yang terdengar langkahnya menuruni anak tangga tadi, setelah sampai pada suaminya itu. Dia adalah Indrita, istri Betara. Berusia empat puluh lima tahun, namun tetap terlihat cantik karena perawatan mahal wajahnya."Oh, gadis ini ada disini rupanya. Sudah bisa kau bayar hutang mu?" tanyanya begitu melihat Zalila.Zalila tak menyahut, Ia terdiam melirik pada Betara kemudian tertunduk."Bagaimana, Pi? apa dia sudah bayar?" tanyanya kemudian pada Betara."Kau pikir saja, dari mana gadis ini bisa bayar hutangnya?" sahut Betara."Kau benar juga, Pi! lalu bagaimana dengan tanah dan Rumahnya?" singgung Indrita.Ternyata sudah menjadi persekongkolan suami-istri ini, mengenai tanah dan rumah Zalila. Pantas saja, Ia juga ikut berperan merayu Zalila untuk menerima pinjaman uang da
"Keluar, Kamu!" teriak Indrita.Tergesa-gesa memasukan kembali kancing baju bagian atasnya, perawat itu keluar tanpa permisi. Namun tatapan tajam Indrita tak lepas dari perawat itu."Kurang ajar, suster itu." Indrita mengencangkan suaranya."Gala, kamu tidak apa-apa, Sayang?" tanya Indrita kemudian memeluk Gala, putranya.Gala terlihat begitu kacau, bajunya basah, Ia seperti syok. Indrita membuka ikatan yang mengikat tangan putranya itu.Gala terdiam, hanya sorot matanya saja yang begitu tajam dengan penuh kebencian.Melewati Betara yang ingin ke kamar Gala, karena mendengar teriakkan Istrinya. Suster itu, tertunduk sambil berjalan cepat. Betara melihatnya heran, namun tak bertanya. Ia membiarkan saja suster itu terus berjalan ke luar rumahnya."Ada apa, Mi?" tanya Betara heran."Kita harus laporkan suster itu, Pi," sahut Indrita yang tak menjawab pertanyaan Betara.Betara melihat pada Gala yang sudah dibaringkan Indrita di
Denis membawa Zalila ke sebuah butik, Ia telah meminta pelayan butik tersebut untuk memilihkan baju yang paling cantik untuk Zalila. Alhasil, gaun pilihan pelayan butik itu kini telah dikenakan Zalila atas permintaan Denis."Bagaimana, kau suka?" tanya Denis pada Zalila."Tapi, saya tidak pernah memakai gaun seperti ini," sahut Zalila sembari melebarkan gaun berwarna dusty, menyentuh lantai dengan pita melingkari pinggangnya dan membentuk simpul di sebelah kanan batas pinggang."Itulah alasannya mengapa aku membawa mu kesini. Aku ingin melihat mu memakai baju yang lain selain seragam resto," ungkap Denis.'Kau semakin manis, Lila!' batin Denis."Tapi, Mas Denis. Saya harus kembali ke Resto, saya harus kembali bekerja." Zalila beranjak berniat ingin segera mengganti gaun itu dengan seragam kerjanya kembali.Denis meraih tangan Zalila dengan cepat, mencegahnya agar tak terburu-buru mengganti baju. "Sudahlah, kalau pemilik restonya saja tak melarang
Sore pun tiba, Zalila bersiap akan pulang. Jam kerjanya telah selesai, bergantian dengan shif dua karyawan lain.Berbarengan dengan Lucy keluar dari Resto. Langkah Mereka terhenti, ketika ada seseorang memanggil Zalila."Lil!" panggil Denis, sambil berlari kecil untuk lebih mendekati Zalila."Iya, Pak!" sahut Zalila, sebelumnya melirik pada Lucy. Sahabatnya itu pun, membalas dengan melihatnya juga."Bagaimana? mau ku antar pulang?" tanya Denis yang telah sampai pada kedua karyawannya itu.Zalila dan Lucy kembali saling melirik, kemudian Lucy mencolek Zalila dengan sikutnya. Mengangkat kedua alis lengkungannya dan menggerakkan wajah cantiknya kearah Denis, Lucy memberi kode agar Zalila menerima tawaran Denis.Merasa di dukung, Denis tersenyum girang. Zalila sendiri mengikuti saran Lucy, karena Ia selalu percaya dengan sahabatnya itu.Zalila sampai di rumahnya dengan diantar Denis."Ini rumahmu, Lil?" tanya Denis melihat rumah Zalila dar
Ibu! ada apa?" tanya Zalila terbangun."Ini, Ibu tidak sengaja menendang tas kertas, kamu," sahut Radiah."Ternyata isinya baju bagus begini," lanjutnya."Oh, itu baju dari pak Denis," ungkap Zalila yang dilanjutkan dengan menguapnya."Dari pak Denis?" tanya heran ibu Zalila.'Ada ya, bos sebaik ini' batinnya."Lila, apa mungkin pak Denis, su--," ucapan Radiah terpotong melihat Zalila yang tertidur kembali.Keesokan harinya..."Duh, yang kemarin diantar pulang pak bos!" ledek Lucy, saat bersamaan sampai di restoran.Belum lah menimpali ledekan dari Lucy, muncul pula Denis dari belakang.Zalila kini sudah menginjak tiga tahun menjadi karyawan di restoran milik Denis. Di tahun ini, Denis baru mulai lebih mendekati Zalila, karena kesibukannya dengan beberapa Restorannya di beberapa tempat lainnya.Pertemuannya yang diawali sebuah peristiwa membuat hubungan mereka berlanjut menjadi hubungan antara karyawan dan bosnya. Nam
Zalila mengedarkan pandangannya kesemua arah, Ia melihat banyak orang-orang berpakaian bagus-bagus dan mewah. Terutama pada wanitanya, yang gaunnya menjuntai hingga lantai dan ada yang begitu seksi menampilkan bentuk lekuk tubuh idealnya.Sepasang pengantin yang berdiri di pelaminan, menyambut ceria orang-orang yang memberi selamat kepadanya. Semuanya telah jelas, jika Denis mengajak Zalila ke sebuah pesta pernikahan."Ayo, La!" ajak Denis lalu menggandeng bahu Zalila.Zalila menurut mengikuti langkah Denis, dan membiarkan tangan Denis merangkulnya walaupun Ia merasa tak nyaman."Hai, Denis!" sapa seorang wanita, Cantik sekali penampilannya."Hai!" balas Denis tanpa ekspresi."Ini pacar kamu?" tanya kemudian.Baru saja Zalila ingin menyanggah pertanyaan itu, Denis yang sudah keburu menjawab."Iya, pacarku," ucapnya."Oh, turun ya selera kamu," cibir wanita itu, usai menatap detail Zalila. Dalam pandangannya, Zalila memang t
Pertanyaan itu tak keburu terjawab, karena Mereka telah sampai rumah Zalila.Zalila membuka pintu mobil sebelah kiri untuk turun, sementara Denis tidak turun dari mobil."Tidak masuk dulu, Pak?" tanya Zalila sebelum menutup pintu mobil."Tidak, Lil. Sudah malam, sampaikan saja salam saya pada Ibu," jawab Denis."Oh, ya sudah, nanti saya sampaikan," balas Zalila.Zalila membuka pintu rumahnya yang tak terkunci, begitu masuk langsung terlihat ibunya yang tertidur duduk di bangku.'Ibu' gumamnya.Zalila mendekati Ibunya yang masih tetap tertidur, karena langkah Zalila sangat dipelankannya. Duduk di samping Ibunya, Zalila menatap wajah sang Ibu dengan sendu."Ibu! Ibu sehat terus ya, Bu. Jangan sakit lagi, aku tidak mau Ibu sakit lagi" ucapnya pelan.Menatap wajah Ibunya semakin dalam, Zalila jadi teringat saat keadaan Ibunya yang kritis ketika berada di rumah sakit."Ibu anda harus segera di operasi, ginjalnya harus di angkat
Seminggu sudah tidak ada kabar dari Betara. Membuat Zalila merasa keheranan, hingga akhirnya Ia mencoba untuk mencari tahu. Karena Ia takut, jika tiba-tiba Betara dan anak buahnya akan menyerangnya lagi.Dari kejauhan Zalila mengintai rumah Betara. Memanjangkan pandangannya, Zalila mendapati rumah itu begitu sepi. Pagar rumah yang tinggi terlihat terbuka.Pukk...Seorang Ibu menepuk pundak Zalila, membuatnya terkejut."Sedang apa, mengintai seperti itu?" tanya."Tidak apa-apa, Bu. Saya hanya--," sahut Zalila gugup."Hati-hati kalau sampai Tuan Betara tahu," katanya lagi memperingati."Sebenarnya saya sedang ada urusan dengan Tuan Betara, tetapi sudah seminggu ini Tuan Betara tidak menemui saya," ungkap Zalila.Ibu itu menganggukkan kepalanya, seperti mengerti maksud Zalila."Maksud mu, tidak meneror, bukan?""Tuan Betara itu sedang tertimpa musibah,""Ya, semoga saja selamanya. Biar tahu rasanya sulit orang yang