Share

Persekongkolan suami-istri

Tak...

Tak...

Terdengar suara langkah kaki dengan sandal selop menginjak menuruni anak tangga satu per satu.

"Ada apa ini, Pi? pagi-pagi sudah ribut," tanya wanita yang terdengar langkahnya menuruni anak tangga tadi, setelah sampai pada suaminya itu. Dia adalah Indrita, istri Betara. Berusia empat puluh lima tahun, namun tetap terlihat cantik karena perawatan mahal wajahnya.

"Oh, gadis ini ada disini rupanya. Sudah bisa kau bayar hutang mu?" tanyanya begitu melihat Zalila.

Zalila tak menyahut, Ia terdiam melirik pada Betara kemudian tertunduk.

"Bagaimana, Pi? apa dia sudah bayar?" tanyanya kemudian pada Betara.

"Kau pikir saja, dari mana gadis ini bisa bayar hutangnya?" sahut Betara.

"Kau benar juga, Pi! lalu bagaimana dengan tanah dan Rumahnya?" singgung Indrita.

Ternyata sudah menjadi persekongkolan suami-istri ini, mengenai tanah dan rumah Zalila. Pantas saja, Ia juga ikut berperan merayu Zalila untuk menerima pinjaman uang dari Betara. Dengan perkataan yang manis dan lemah lembut, Ia telah meyakinkan Zalila.

Tap...

Tap...

Seorang asisten rumah tangga menghampiri Mereka.

"Tuan! Nyonya! Suster yang merawat tuan muda tidak ada di kamarnya," lapor sang asisten rumah tangga, dengan gugup.

Laporan asisten rumah tangga itu membuat Betara dan Indrita kaget, kedua pria anak buahnya pun saling bertatapan.

"Kau yakin? apa sudah mencarinya kesemua tempat?" tanya Indrita.

"Sudah nyonya, hanya di kamar mandi tuan muda yang belum," sahut sang asisten rumah tangga.

"Kenapa, tidak kau periksa sekalian?" omel Indrita, sambil melangkah menuju kamar yang di panggil tuan muda itu.

Seperginya Indrita, suasana menjadi hening juga karena permasalahan barusan tentang menghilangkannya suster yang merawat tuan muda di rumah itu.

"Sudah, kalian boleh pergi!" titah Betara.

Semua menuruti perintah itu. Dua pria pesuruhnya, asisten rumah tangganya dan Zalila juga ikut beranjak.

"Untuk kau, Zalila!" panggilnya menghentikan langkah Zalila.

"Urusan ini tentu belum selesai, saya akan meminta keputusan mu sore nanti," cetusnya.

Kembali terdiam tak menyahuti, Zalila melanjutkan langkahnya untuk segera meninggalkan rumah mewah namun seram ini. Seram karena penghuninya yang tak berperikemanusiaan, dan gila akan menumpuk harta. Harta yang di dapati tidak dengan cara yang halal. Namun apalah Mereka, sepertinya tidak peduli dengan halal atau haram.

Menaiki angkutan umum, Zalila sampai di rumahnya. Ia langsung memburu Ibunya, melihat keadaannya setelah ada sekitar dua jam Ia tinggalkan. Dari hanya sekedar membeli sarapan, hingga matahari mulai terik Ia baru kembali. Tentunya karena peristiwa tadi.

"Bu!" panggil Zalila kencang.

Zalila melihat Ibunya masih terbaring di atas tempat tidurnya yang kasurnya sudah mulai mengeras.

"Bu, Ibu masih tertidur?" tanyanya tak mengetahui jelas Ibunya masih tidur atau sudah bangun, karena Ibunya dalam posisi tidur menyamping membelakanginya.

Ibu Zalila berbalik badan untuk melihat Zalila.

"Lila! kau tidak apa-apa, Nak?" tanyanya dengan suara lemahnya.

"Tidak apa-apa, Bu! kenapa Ibu bertanya seperti itu?" Zalila balik bertanya merasa heran, apa mungkin Ibunya tahu apa yang terjadi padanya tadi.

Radiah, Ibu Zalila. Kemudian bangun dan duduk menghadap Zalila dengan kaki menyentuh lantai.

"Betara pasti mengganggu mu lagi, sepanjang kau belum pulang, Ibu berdoa untukmu, agar kau selalu terlindungi," ucapnya.

"Kalau begitu, doa Ibu terkabul. Buktinya sekarang aku sudah dihadapan Ibu," sahut Zalila.

"Ya sudah, Bu. Aku siapkan makan untuk ibu, ya. Ibu harus minum obat setelahnya." Zalila membeli lagi makanan untuknya dan Ibunya, setelah yang Ia beli tadi terjatuh dan entah apa jadinya sekarang. Mungkin sudah rusak karena terinjak-injak orang lewat atau ada yang menyingkirkannya ke tepi jalan.

Nasi bungkus dan lauknya telah disiapkan satu piring untuk ibunya. Zalila menuntun ibunya untuk ke meja makan yang terbuat dari kayu, rakitan Bapak dahulu.

Radiah, Ibu Zalila masih sangat lemah pasca operasi ginjalnya. Belum lah terlalu tua usianya namun karena kurus dan sakitnya membuatnya terlihat lebih tua dari usianya yakni empat puluh tahun.

Zalila mulai memberi satu suapan untuk Ibunya.

"Kau makan lah, Lila. Biar Ibu menyuap sendiri," ucap Radiah, mengambil makanannya untuk lebih dekat padanya. Jika tidak karena meminum obat yang mengharuskannya makan terlebih dahulu, Radiah adalah orang yang sulit untuk makan. Ia akan lebih dulu membiarkan Zalila makan, lalu baru dirinya kemudian.

"Iya, Bu!" sahut Zalila.

Zalila kemudian menyuap makannya, sambil mengunyah, Ia tanpa sadar memain-mainkan makannya dengan sendok yang di putar-putarnya di atas nasinya.

"Lila, maafkan Ibu. Ibu sudah membuat mu terlibat dengan rentenir itu," ucap Ibu Zalila melihat putrinya seperti tak nafsu makan, memikirkan sesuatu.

"Ibu, Ibu tidak usah minta maaf seperti itu. Melihat Ibu sudah sehat lagi seperti ini, itu sudah cukup membuat aku bahagia," timpal Zalila tak ingin Ibunya merasa bersalah.

"Ya sudah, ini obatnya ya, Bu, jangan lupa di minum. Aku mau siap-siap berangkat kerja," ucap Zalila mengalihkan pembicaraan.

"Iya, Nak. Pasti Ibu akan meminumnya, Ibu ingin sembuh agar Ibu bisa melihat mu menikah," balas Ibunya, sedikit meledek Zalila karena belum juga menikah.

"Ibu, bisa saja. Nanti juga, kalau sudah bertemu jodoh, aku pun tak bisa menolak," sahut Zalila, kemudian melangkah menuju kamarnya.

Radiah memperhatikan putri semata wayangnya itu, hingga menghilang masuk ke dalam kamarnya.

'Kau benar, Nak. Semoga laki-laki baik yang akan mendampingi mu' gumamnya.

Keluar dari kamarnya, Zalila telah siap dengan seragam restoran tempatnya bekerja dilapisi sweater warna netral dengan tas selempang kecilnya.

"Bu, aku berangkat dulu. Ibu jangan lupa minum obatnya, ya!" Zalila mencium punggung tangan Ibunya, tak ketinggalan pesannya agar ibunya tak lupa dengan beberapa macam obatnya.

"Iya, Nak! hati-hati, ya!" pesan sang ibu yang juga tak luput ketika Zalila berpamitan.

Kembali menaiki angkutan umum, Zalila sampai di restoran tempatnya bekerja.

Begitu sampai, Ia langsung menuju ruang ganti karyawan. Melepas sweater nya, memasukkannya ke dalam lokernya.

Kini Zalila sudah berganti penampilan, seragam restoran berwarna hitam dengan list kuning di pinggir lengannya membuat Zalila semakin terlihat manis. Hingga, pemilik restoran ini menaruh hati padanya walaupun belum terungkapkan.

"Lil, kau baru sampai?" tanya Denis

Denis. Inilah pemilik restoran itu, wajahnya standar saja. Ia memiliki sifat baik dan lembut, namun Ia berambisi jika sudah menginginkan sesuatu. Pria ini berusia dua tahun diatas Zalila, sungguh pria muda berbakat yang sukses.

"Iya, Pak Denis," sahut Zalila.

"Maaf terlambat, Pak," lanjut Zalila

Bukannya marah, Denis malah tersenyum."Tak apa, Lila."

"Kalau begitu, saya mau langsung ke depan, Pak," ijin Zalila.

"Lila!" panggilnya menghentikan langkah Zalila.

"Ada apa, Pak?"

"Kau ini, sudah saya bilang jangan panggil pak, saya masih muda loh," protes Denis.

"Oh iya, Mas Denis, lupa! Cuma itu saja, Mas? Saya ingin langsung ambil alih pekerjaan," Zalila memang sangat cekatan dalam bekerja, Ia tidak pernah menunda-nunda lagi apapun pekerjaan itu.

"Tidak, Zalila. Saya ingin mengajak mu ke suatu tempat," sahut Denis.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status