Seminggu sudah tidak ada kabar dari Betara. Membuat Zalila merasa keheranan, hingga akhirnya Ia mencoba untuk mencari tahu. Karena Ia takut, jika tiba-tiba Betara dan anak buahnya akan menyerangnya lagi.
Dari kejauhan Zalila mengintai rumah Betara. Memanjangkan pandangannya, Zalila mendapati rumah itu begitu sepi. Pagar rumah yang tinggi terlihat terbuka.
Pukk...
Seorang Ibu menepuk pundak Zalila, membuatnya terkejut.
"Sedang apa, mengintai seperti itu?" tanya.
"Tidak apa-apa, Bu. Saya hanya--," sahut Zalila gugup.
"Hati-hati kalau sampai Tuan Betara tahu," katanya lagi memperingati.
"Sebenarnya saya sedang ada urusan dengan Tuan Betara, tetapi sudah seminggu ini Tuan Betara tidak menemui saya," ungkap Zalila.
Ibu itu menganggukkan kepalanya, seperti mengerti maksud Zalila.
"Maksud mu, tidak meneror, bukan?"
"Tuan Betara itu sedang tertimpa musibah,"
"Ya, semoga saja selamanya. Biar tahu rasanya sulit orang yang sedang kena musibah,"
Ibu itu terus mengumpat menyumpahi Betara, mungkin Ia juga korban Betara.
"Memangnya, musibah apa?" tanya Zalila.
"Anak satu-satunya itu kini sudah gila, dia selalu ngamuk dan berteriak," jelas Ibu itu.
"Jika memang kau sedang ada urusan dengannya, ini kesempatan untuk mu kabur darinya,"
Usai berucap seperti itu, Ibu tersebut pergi dan terus melangkah sambil tertawa.
'Anaknya gila?' gumam Zalila heran.
Jika di luar ada Zalila yang sedang bingung dengan Betara yang tiba-tiba tidak ada kabar, maka di dalamnya tentu ada keluarga Betara yang ada kabar.
"Miii...!"
"Mamiiii...!"
Gala terus berteriak jika belum disahuti atau yang dipanggil belum datang. Kadang Ia berteriak berkali-kali memanggil asisten rumah tangga yang tak langsung menyahut karena sibuk dengan pekerjaan hariannya. Kadang lagi memanggil Indrita, maminya. Membuat semuanya kewalahan, keberisikan dan kesal.
"Papi, lihat anak mu. Mami sudah tidak kuat lagi!" rengek Indrita pada Betara
"Semuanya jadi kacau, lihat kuku-kuku mami jadi patah," Indrita semakin merengek seperti anak kecil.
Seminggu ini, Indrita yang merawat Gala. Ia yang selalu menuruti apa yang di perintahkan Gala padanya.
"Mamiiii!" teriakkan Gala terdengar semakin kencang.
"I-iya, Gala!" sahut Indrita dari ruang tamu, masih belum menghampiri Gala.
"Pi...," baru saja Indrita ingin mengucapkan sesuatu, dering ponselnya terdengar.
"Iya, jeng. Aku segera kesana," sahutnya akhirnya setelah dering ponsel itupun berkali-kali.
"Pi, pokoknya aku minta kau cari suster lagi untuk Gala," Indrita melanjutkan rengekannya.
"Iya, tapi mami tahu sendiri kan, Gala tidak mau ada suster." Betara pun kebingungan dengan situasi ini.
Prankkk...
Terdengar suara pecahan dari kamar Gala yang memang tidak jauh dari ruang tamu dan dapur. Sebenarnya kamar Gala di lantai atas, hanya saja kondisinya saat ini tidak memungkinkan untuknya menempati kamarnya. Jadilah Ia menempati kamar tamu yang tentunya tidak ada tamu yang ingin menginap.
"Tuh kan, Pi!" rengek nya lagi sambil menggoyangkan bahu Betara.
"Iya...iya, nanti papi cari yang cantik," sahutnya tanpa jeda.
"Apa? yang cantik? Kau selalu mencari wanita cantik," marahnya Indrita.
"Maksud papi yang bagus," ralat nya sambil terkekeh.
"Mamiii...!" lagi-lagi Gala berteriak.
"Iya sayang, mami datang." tanpa menunda lagi, kali ini Indrita benar-benar menghampiri Gala.
Masuk ke kamar Gala, Indrita sudah tidak asing lagi dengan pecahan gelas dan semua menjadi berantakan.
"Ada apa, Gala anak mami?" katanya begitu selesai melewati pecahan gelas dengan hati-hati.
"Kenapa mami tidak langsung menyahut?"
"Mami tidak mau merawat aku lagi, iya?"
"Mami capek, bukan?"
"Mami bosan, bukan?"
Gala semakin marah-marah karena menurutnya maminya itu begitu lama menyahutinya dan mendatanginya.
"Tidak begitu, Gala sayang. Mami sedang ada telpon tadi," kilah Indrita.
"Bohong!" teriak Gala.
"Kalau mami capek, mami tidak mau lagi merawat aku, katakan saja," bentak Gala semakin menjadi membuat Indrita kesal.
"Iya!"
"Iya, mami capek sama kamu yang terus-menerus marah-marah, teriak-teriak," omel Indrita pecah akhirnya.
Betara yang mendengar Omelan Indrita itu segera mendatangi menyusul ke kamar Gala. Begitupun sang asisten rumah tangga yang juga ingin mengetahui mengapa sang nyonya kali ini sampai mengomel seperti itu setelah biasanya selalu bersabar menghadapi tingkah Gala ini.
"Mami!"
"Mami, apa-apaan berkata seperti itu pada Gala," ucap Betara begitu sampai pada Gala dan Indrita yang saling bertatapan tajam.
"Aku capek, pi! aku mau pergi dulu," tandas Indrita kemudian pergi dengan langkah di hentakkan.
"Mi--!"
"Mami...!"
Teriakkan Betara tak lagi dihiraukan Indrita.
Betara mendekati Gala yang terdiam usai pertengkaran dengan maminya.
"Gala!"
"Papi terpaksa harus mencarikan mu suster lagi. Papi harap kamu mau menerima," ucap Betara.
Gala tak menyahut, Ia diam terpaku entah apa yang di tatapnya di depan sana.
"Tidak perlu, Pi. Biar aku berusaha sendiri menjalani semu keperluan ku," sahut Gala akhirnya tanpa melihat pada Betara.
"Kau yakin, bisa sendiri?" tanya Betara tak yakin.
"Ya!" jawab Gala tegas.
Dari ruang dapur sang asisten rumah tangga datang ikut menimbrung.
"Tuan, biar saya bantu tuan muda nanti," katanya.
"Tidak perlu!" sambung Gala.
"Ya sudah, kalau ada apa-apa kau panggil saja, si Bibik," timpal Betara.
"Papi mau pergi dulu, ada urusan," lanjut Betara.
Betara pun pergi meninggalkan Gala, masih ada asisten rumah tangga di depan pintu.
Sang asisten rumah tangga itu kemudian membersihkan pecahan gelas, entah gelas yang ke berapa kali ini.
"Tuan muda, saya permisi. Kalau ada perlu apa-apa, Tuan muda panggil saja," pamit sang asisten rumah tangga yang juga meninggalkan Gala, usai semuanya telah beres.
'Kalian lihat saja, aku akan melangkah di depan kalian nanti,' gumam Gala.
Zalila telah kembali ke rumahnya, informasi yang tadi di dapatnya tak membuatnya menjadi lega, karena Ia yakin Tuan Rentenir itu tidak akan melepaskannya begitu saja.
'Anak tuan Betara, gila' gumam Zalila mengingat ucapan ibu tadi.
'Apa Tuan Betara sedang menjalani karmanya? tetapi kenapa harus anaknya yang menanggungnya? kasian' Zalila terus bergumam sendiri.
Hari ini, Zalila sedang jadwal free. Kesempatan untuk menemani dan merawat ibunya lebih banyak.
"Bu, obatnya sudah habis, kah?" tanya Zalila baru saja akan menyiapkan obat untuk Ibunya.
"Sudah dari kemarin habis, Nak," sahut Radiah.
"Kenapa, Ibu tidak bilang?" kesal Zalila.
"Ibu sudah sehat, Lila," elak Radiah
"Tidak, Bu. Ibu masih harus minum obat,"
"Aku akan membelikannya di apotik,"
"Tidak usah, Lila. Ibu sudah baik-baik saja,"
Zalila tak mendengarkan ucapan ibunya itu, Ia tetap akan ke apotik lagi untuk membelinya.
'Dasar anak itu, begitu peduli dengan ibunya ini' gumam Radiah usai kepergian Zalila.
Sementara di dalam sebuah mobil, ada Indrita sedang memperhatikan sebuah apotik.
'Mereka menyarankan untuk mqemberikan obat penenang. Ya, sebaiknya aku memberikan Gala obat penenang' batinnya.
Indrita turun dari mobilnya yang di supiri oleh sopir pribadi. Kemudian Ia semakin melangkah masuk kedalam apotik.
Dengan mendorong kursi rodanya sendiri, Gala lebih mendekat pada Zalila, Denis dan si bibi yang tengah membicarakannya."Nah, tu dia. Si tuan muda!" Pekik Denis.Zalila menatap nanar pada Gala, entah rasa apa yang dirasakannya. Ia pun tidak mengerti."Zalila!" Panggil Gala."Hey, tuan muda. Berdirilah, tunjukkan pada Zalila kalau kau sudah bisa berjalan," ucap Denis tajam.Gala tidak menyahut, Ia tetap duduk tenang pada kursi rodanya."Apa aku harus memaksamu?" Denis semakin mendekati Gala kemudian Ia memegang kerah baju Gala dengan kasar."Mas Denis!" Teriak Zalila terkejut.Si Bibi pun terkejut dengan apa yang dilakukan
"Baiklah, aku akan datang," ucap Zalila menutup perbincangannya melalui telepon.Di Lain tempat, Indrita turun dari lantai atas rumahnya tepatnya keluar dari kamarnya. Berniat untuk mengambil makanan di lemari es untuk menemaninya membaca novel, karena merasa belum mengantuk. Bak nyonya besar piyama yang ia kenakan pun terlihat mewah.Belum sampai pada lemari es langkahnya terhenti, Ia terkejut melihat Gala. Kemudian Ia segera sembunyi di balik tembok.'Gala!' gumamnya dengan wajah dan mata yang begitu terkejut. Dari balik tembok ia terus memperhatikan Gala sampai putranya itu masuk ke dalam kamarnya.Begitu Gala menutup pintu kamarnya, Indrita segera berlari menaiki tangga dengan tergesa-gesa.Terengah-engah masuk ke kamarnya, melihat pada Betara yang sudah terti
"Pulang denganku, kau mau kan, Zalila?" Tanya Arkan yang sebenarnya hanya untuk memancing kecemburuan Lucy."Oh, tentu aku mau. Kau tidak membawaku di depan, bukan? Lalu Lucy dibelakang," bercandanya Zalila.Arkan pernah meledek Zalila dengan tubuhnya yang imut, Arkan berkata akan membonceng Zalila tetapi posisinya Zalila di depan kemudi layaknya membawa anak kecil.Arkan dan Zalila tertawa bersamaan membuat Lucy semakin cemberut."Sudahlah, Arkan. Kau jangan membuat Lucy marah," ucap Zalila usai tawanya terhenti."Aku duluan, ya!" Pamit Zalila akhirnya."Hati-hati di jalan, okey!" Teriak Arkan."Oke, akur-akur lah kalian berdua," balas Zalila kemudian berlalu.****Zalila kembali menemui Gala yang tengah bersama kedua orang tuanya.Tak berkata-kata, Indrita dan Betara meninggalkan Gala bersamaan mendekatnya Zalila.Zalila tak mengerti dan tak mengetahui apa yang dibahas keluarga kecil itu, yang pasti tak a
"Bisakah kau pulangkan Zalila? ibunya sakit," ucap Denis menjawab pertanyaan Gala."Apa? Ibu sakit?" sosor Zalila mengambil handphone Gala dari tangan Gala.Gala yang sempat terkejut dengan aksi Zalila kini melihat Zalila sambil mengerutkan keningnya."Mas Denis! mas Denis! bagaimana keadaan ibu sekarang?" cecar Zalila panik."Ya, kau pulang dulu saja," sahut Denis."Iya, iya, Mas Denis. Aku pulang," sahut balas Zalila.Percakapan dalam sambungan telepon pun berakhir. Zalila baru tersadar jika kini Ia telah memegang handphone Gala."Maaf, tuan muda. Ini...handphonenya," perlahan dan malu-malu Zalila mengembalikan ponsel Gala."Tadinya kau bilang aku saja yang terima, akhirnya kau rebut juga handphoneku," ledek Gala."Maaf, tuan muda," wajah Zalila memerah."Tuan muda, saya harus segera pulang. Ibu saya, ibu saya," panik Zalila seketika teringat ibunya."Ya, pulang lah!" sahut Gala."Terimakasih, tuan
"Mas Denis memang atasan saya, tapi kami sudah pernah bertemu sebelumnya. Jadi sedikit akrab," jelas Zalila sambil menatap Gala."Oh!" timpal Gala pendek.Pagi harinya, Zalila memang tak pulang lagi semalam."Terimakasih, Mas Denis!" ucap Zalila mengakhiri dari menelpon Denis, untuk meminta lagi pertolongannya memberi kabar kepada Ibunya."Ini tuan muda, handphonenya." Zalila mengembalikan ponsel milik Gala yang Ia pinjam untuk menelpon Denis."Kau boleh pulang, Zalila! lupakan kesempatanmu dengan Mami," ucap Gala setelah menerima handphonenya."Maafkan aku!"Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku pikir, kau adalah seorang suster yang bekerja untuk merawat ku, ternyata ini adalah tuntutan dari keluarga ku." Gala membelakangi Zalila, merasa tak enak dengan Zalila."Jadi, selama ini tuan muda tidak tahu siapa saya?" Zalila terhenyak. Dia mengira Gala telah tahu tentangnya dan perjanjiannya."Jadi...!" henyak Zalil
'Cepat datang kesini sekarang juga!' ucap Indrita dalam sambungan telepon.'Tapi, Nyonya, ini sudah malam sekali' sahut Zalila.'Saya tidak peduli' tandas Indrita.Tut...Sambungan telpon pun terputus.Zalila kebingungan dengan apa ia akan kesana, kendaraan umum tidak mungkin ada jam segini. Namun ada hal lain yang membuatnya lebih bertanya-tanya lagi, apa yang membuat Nyonya besar itu menyuruhnya datang semalam ini.'Apa ada hubungannya dengan tuan Gala? tapi apa yang terjadi dengan tuan Gala?' gumam Zalila.'Oh, Tuhan. aku sangat mengkhawatirkannya' gumamnya semakin khawatir.Tiba-tiba, Zalila teringat satu nama.'Mas Denis!'Zalila teringat akan ucapan Denis.'Kalau ada apa-apa, kau boleh meminta bantuan ku''Tapi, apa aku tidak mengganggunya malam-malam begini meminta bantuannya?' pikir Zalila.Zalila mondar-mandir kebingungan. Apakah Ia akan meminta bantuan Denis yang adalah bosnya.
Gala menatap Zalila tajam, membuat Zalila mundur beberapa langkah."Kenapa tidak kau lakukan saja apa yang ingin lakukan tadi, sekarang?" ucap Gala."Meskipun aku tidak dalam keadaan tidur pun, aku tidak bisa melawan, bukan?" Gala melemahkan ucapannya merasa dirinya lemah."Ti-tidak, tuan muda. Tuan muda, hebat kok," timpal Zalila tergagap."Bilang saja aku ini laki-laki lumpuh tidak berguna." Gala memalingkan wajahnya menyembunyikan sendunya."Tuan Gala, diluar sana pasti sudah menunggu orang-orang yang dulu mengenal tuan yang gagah. Aku yakin mereka merasa kehilangan tuan Gala saat ini," hibur Zalila."Karena itu demi orang-orang yang mencintai tuan. Anda harus bisa bangkit lagi, tuan harus bisa berjalan lagi kemudian hadir di hadapan mereka." Zalila terus memberi semangat kepada Gala.Ujaran semangat Zalila ternyata mengena di hati Gala."Kau yakin seperti itu?" tanya Gala."Yakin Tuan! Ayo, kita belajar berjalan lagi
"Kau bilang tidak akan melanjutkan perjanjian dengan gadis itu. Tapi kau biarkan dia bersama Gala," Ucap Betara seraya menuruni anak tangga."Ya biarkanlah, Pi. Lagi pula aku sudah mengancam dia agar tidak main-main," jawab Indrita sambil melangkah menuju sofa, kemudian Ia duduk di sana."Aku tidak yakin si Bibik bisa menjalani dua pekerjaan sekaligus, bisa tidak masak dia," lanjutnya."Dia itu lamban sekali dalam bekerja," katanya lagi."Ya sudah, jika begitu maunya mami," balas Betara."Oh ya, Pi. Jam sembilan nanti jadikan, kita survei lokasi lagi," tanya Indrita."Ya, dari semalam aku menghubungi si Jhon. Tapi tidak diangkat juga, dia juga belum telpon balik." Betara kebingungan tentang orang yang pernah mengadakan kerjasama dengannya, bahkan Ia yang telah menginvestasikan lebih banyak."Masih sibuk mungkin, si Johan," tebak Indrita.Matahari semakin bersinar seiring berjalannya waktu. Zalila mengajak Gala menghirup udara d
"Dasar wanita, kalian semua sama saja. Murahan," marah Gala sendirian, menggebrak kursi rodanya.Ya, Gala lah yang tadi melihat Zalila yang seperti memeluk Denis disaat hampir terjatuhnya tadi. Ia bersama Betara mengikuti Zalila sampai Rumahnya. Tentu itu atas kemauan Gala yang sebenarnya berniat ingin lebih jauh mengenal Zalila.Gala begitu marah melihat kejadian tadi. Ia mengira Zalila benar-benar memeluk Denis. Entah Ia cemburu atau tidak suka dengan wanita yang menurutnya begitu mudah jatuh ke pelukan seorang pria.Dada Gala begitu terbakar rasa marah kepada Zalila, Ia tadinya Ia berfikir jika Zalila berbeda dengan gadis atau wanita lain yang selama ini Ia temui. Namun akhirnya pandangan predikat wanita baik terhadap Zalila, kini terpatahkan dengan peristiwa tadi.Sementara Betara pun mengadukan apa yang dialaminya bersama Gala tadi kepada Indrita."Gala terlihat cemburu, saat gadis miskin itu bersama laki-laki lain?" ulang Indrita bertanya usa