Share

Part 3

Daninda membuka pintu kamar putrinya. Melihat Fahrania masih terlelap di atas ranjang. Hatinya terluka, Fahrania masih kecil untuk menerima semua ini. Sebagai seorang ibu, Daninda berusaha agar putrinya tidak kekurangan kasih sayang. Namun nyatanya, ia tidak bisa menggantikan figur seorang ayah. Ia berjalan lalu duduk di pinggir ranjang. Mengusap punggung Fahrania. Putrinya menggeliat.

 

"Maafin Mama ya, sayang." Suaranya bergetar menahan tangis. "Maafin Mama.." Tanpa di duga Fahrania berbalik dan menatap sang ibu. Nyawanya belum terkumpul sepenuhnya. Daninda mencoba tersenyum meskipun hatinya menangis. 

"Anak Mama udah bangun ya?" Daninda menciumi wajah Fahrania sampai kegelian. Putrinya tertawa. Air mata Daninda menetes di sela tawanya. Setidaknya ada malaikat kecil yang menemani hidupnya. "Kita mandi dulu yuk. Kamu bau ih,"

 

"Mama juga bau," balas Fahrania.

 

"Mama udah mandi, Nia." Daninda mengangkat Fahrania lalu menggendongnya. "Nanti kita buat susu kesukaanmu." Ia mengisi air bath up dan juga sabun ke dalamnya. Ia memandikan Fahrania sembari bernyanyi. "Nah, udah selesai." Fahrania mengenakan bathrobe. "Anak Mama cantik amat sih. Anak siapa?"

 

"Anak Mama," jawabnya polos. Daninda gemas di ciumnya kembali pipi Fahrania.  

 

***

 

Daninda menitipkan Fahrania di rumah orang tuanya. Ia ada janji dengan Deira di sebuah Cafe. Di sana sahabatnya sudah menunggu. Si kembar sedang sekolah sehingga Deira leluasa pergi. "Maaf menunggu lama," ucap Daninda baru datang.  

 

"Nggak apa-apa kok. Aku nggak bisa lama ya. Soalnya harus menjemput si kembar di TK."  

 

"Iyo, tenang aja. Aku nggak akan nyulik kamu kok. Oia, gimana apa kata si Sumsum?" todong Daninda.  

 

"Eum, pesan minum dulu gih sana."

 

"Iya," Daninda memanggil pelayan untuk memesan minuman. "Cappucino aja ya, Mbak." Deira menggelengkan kepalanya. Kopi lagi dan kopi lagi. "Nah, sekarang cerita deh." Daninda siap mendengarkan. 

 

"Aku rasa memang ada sesuatu deh, Dan."  

 

"Maksudnya?"  

 

"Tadi pagi aku nanya ke Kusuma. Masa dia malah ngalihin omonganku. Kayak ada yang di sembunyiin gitu. Feeling aku, ada sesuatu sama Damar tapi Kusuma nggak mau cerita. Aku juga nggak tau apa itu."

 

Hati Daninda mencelus, "apa Damar 

selingkuh?"  

 

Deira terdiam sekaligus kaget. "Jangan menyimpuli kayak gitu dulu, Dan. Kita kan belum tau pasti. Lebih baik kita cari tahu sendiri aja. Percuma nanya ke Kusuma. Mereka kan sahabatan. Pasti saling ngelindungin gitu kayak aku sama kamu."  

 

"Aku takut nerima kenyataan kalau memang itu bener, De," ucapnya sedih.

 

"Hush! Ini belum pasti. Mendingan kamu cari dia di kantornya aja." Deira menyemangati sahabatnya. Pesanan Daninda datang. "Siang ini kamu ke kantor Damar. Kamu tanya sama teman kerjanya apa jadwal Damar sibuk banget?"

 

"Iya,  nanti siang aku ke sana."

 

Tangannya memainkan bibir cangkir Cappucino miliknya. Perasaan Daninda tiba-tiba menjadi resah dan gelisah. 

"Aku pasti bantu kamu tenang aja, apapun itu. Nanti aku mau nanya-nanya sama Kusuma lagi. Awas aja kalau dia nggak ngasih tau. Aku nggak bakal ngasih jatah sama dia!" Deira mengancam. Mau tidak mau Daninda menjadi tertawa.

 

"Kalian ini pasangan mesum amat yak?"    

"Eum, nggak gitu juga sih." Wajahnya memerah, malu. "Jangan ngomong gitu di sini. Banyak orang tau, malu!!"  bisiknya. 

 

"Emangnya kamu masih punya rasa malu?" ledek Daninda. Deira merengut. 

Setelah dari Cafe, Daninda ke kantor Damar. Dan ia menanyakan jadwal penerbangan Damar. Memang benar semalam ia menggantikan temannya untuk menjadi pilot ke Singapura. Tapi minggu lalu Damar tidak melakukan penerbangan. Daninda bertanya-tanya dalam hati.

 

Tidak ada perusahaan yang boleh menugaskan seseorang untuk bertindak sebagai awak pesawat dan penerbang juga tidak boleh menerima tugas-tugas tersebut jika total waktu penerbangan atau jam terbang awak tersebut melebihi 100 jam dalam 30 hari berturut-turut. Ke mana perginya Damar? Dalam waktu lama itu? Daninda mulai curiga memang ada yang tidak beres pada suaminya. Pulang dari kantor. Ia segera menghubungi Damar tapi tidak aktif. Wanita itu menjadi kesal.

 

"Apa kamu ngelakuin sesuatu di luar sana, Damar?!" Giginya bergemeletuk. Tangannya mengepal, marah. Ia masih duduk dimobilnya. Belum masuk ke rumah orang tuanya. Setelah cukup menenangkan diri. Daninda baru masuk ke rumah orang tuanya. Teriakkan Fahrania membuatnya senang. Ia merentangkan tangannya. Fahrania berlari memeluknya. "Kamu nggak nakal kan? Buat pinggang Nenek sakit?" tanyanya.

 

"Nggak kok, iya kan, Nek?" Fahrania bertanya pada ibu Daninda, Kamila. 

 

"Cucu Nenek nggak nakal kok," jawabnya. "Kamu dari mana, Ninda? 

"Abis ketemuan sama Deira, Ma."

 

Daninda menggendong Fahrania. "Papa ke mana?" tanyanya sembari melihat sekeliling rumah tidak ada.

 

"Papa lagi mancing, tadi di samper temannya," jawab Kamila. Daninda mengangguk samar. Orang tuanya adalah seorang PNS. Kini sudah pensiun.

 

"Hendra suka ke sini, Ma?" Daninda mengambil gelas di meja yang di tuangkan air oleh Kamila.  

 

"Adikmu itu pulang kalau inget aja. Jarang ke sini, telepon aja nggak." Wajah Kamila terlihat tidak senang.  

 

"Nanti aku tegur dia. Masa iya, jengukin orang tua nggak bisa. Kerja apa sih sampai nggak inget orang tuanya!" ucap Daninda sebal pada adiknya.  

 

"Biarin ajalah, kalau dia susah nanti baru inget orang tuanya. Gimana kabar Damar?"

 

"Baik, Ma." Daninda masih menutupi kegalauan hatinya. 

 

"Ma, tulunin aku mau lihat Momo," ucap Fahrania. Momo, kucing milik Neneknya.  

 

"Jangan di galakkin ya nanti nyakar," nasehatnya. 

 

"Iya, Mama." Fahrania berlari ke belakang rumah. Daninda duduk di meja makan. Pikirannya sedang kacau saat ini.  

 

"Nggak ada masalahkan?" tanya Kamila seraya melihatnya.  

 

"Eum, nggak kok, Ma."  

 

"Ninda, bilang sama Damar jangan kerja terus. Mama kasihan sama Rania. Dia cerita kalau pengen jalan-jalan sama Papa nya."  

 

"Iya, Ma.." balasnya sembari tersenyum tipis. Tapi hatinya menangis. 

 

***

 

Damar sedang duduk di sofa sambil fokus pada ponselnya. Kusuma duduk di sampingnya. Ia memperhatikan Damar. "Seru banget lagi chat sama Ninda ya?" tanya Kusuma.  

 

"Eoh," ucap Damar gugup. "Iya nih," 

Kusuma melirik ponselnya. Yang Damar gunakan bukan ponsel yang biasa ia lihat. Kali ini ponsel baru. Damar mempunyai 2 ponsel? Ingin sekali ia menanyakannya namun tidak jadi. Curiga pasti ada tapi Kusuma mencoba percaya.  

 

Damar mengantongi ponselnya di saku. "Oia, gimana Bani?"  

 

"Bani?" 

 

"Iya anak kamu yang cowok?" 

 

"Oh, dia baik-baik aja."

 

"Seru ya, punya anak cowok," imbuhnya dengan wajah yang sulit diartikan seperti murung.

 

"Ya gitu deh. Kamu juga kan punya Rania," ucap Kusuma. Damar diam saja. "Kamu harusnya ajak anak kamu jalan-jalan, Mar. Kasian Rania, pasti dia kangen sama Papanya. Ini kamu malah sibuk kerja dan jarang pulang." 

 

"Punya anak cowok seru kali ya," ucap Damar tanpa sadar. Ia malah tidak mendengarkan Kusuma bicara. Pria disebelahnya mengerutkan kening. Apa maksud dari kata-kata Damar?

 

"Kamu mau punya anak cowok?" tanya Kusuma.  

 

"Iya, tapi aku malah punya anak cewek," jawabnya datar. 

 

"Ya bikin lagilah. Lagian Rania juga kan darah daging kamu. Nggak boleh begitu."  

 

"Udah ah, aku mau jalan dulu." Damar bangkit dari sofa. 

 

"Ke mana?"  

 

"Ada janji," jawabnya sambil berlalu.  

Dengan buru-buru Kusuma mengambil kunci mobil dan mengikuti mobil Damar. Ia penasaran sangat ingin tahu ke mana Damar pergi dan ada janji dengan siapa? 

 

Mobil Damar berhenti di sebuah universitas. Tidak lama pria itu keluar ketika ada seorang gadis yang melambaikan tangannya ke arah mobil Damar. Mata Kusuma terbelalak tidak percaya. Saat Damar menggandeng tangan gadis muda itu dan mereka naik ke mobil. Terlihat mesra. Mulutnya terbuka lebar.

 

Damar berselingkuh?  

 

Kusuma berpikir. "Pantas Ninda merasa ada yang aneh sama Damar. Aku juga ngerasa ada yang dia sembunyiin. Apa aku harus bilang sama Deira ya. Tapi kalau aku cerita pasti dia bakal cerita juga sama Ninda. Aku jadi bingung!" Ia mengacak-ngacak rambutnya frustrasi. Di satu sisi ia tidak mau sahabatnya itu menyakiti Daninda. Di satu sisi lagi dirinya tidak bisa mengkhianati Damar. Kusuma menjadi serba salah.  Dalam lubuk hatinya yang terdalam ia sangat kasihan pada Fahrania, putri sahabatnya itu. Ia akan menjadi korban keegoisan orang tuanya nanti. "Damar!! Kamu udah gila! Berani-beraninya dia main api!" umpat Kusuma. Ia kembali mengikuti mobil Damar ke sebuah Cafe. Melihat tingkah sahabatnya membuat Kusuma muak. Bisa-bisanya Damar mengkhianati Daninda.

 

Apa yang kurang dari istrinya? 

 

 

 

Sorry typo & absurd

 

Thankyuuu^^ 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status