Share

Part 2

"Eum.. Namanya bagus. Sekeren orangnya menurutku." Deira mengedipkan matanya pada Daninda.

 

"Walau pun nama dan orangnya ketjeh belum tentu sifatnya juga baguskan," timpal Daninda mengingat bagaimana cara pria itu melihatnya, sinis.

 

"Yee, kamu kan belum kenal dia. Jangan menilai orang lain sebelum kamu mengenalinya lebih jauh. Kadang yang kita anggap baik aja ternyata jahat."

 

"Udah ah, ngapain kita ngomongin dia sih. Kenal juga nggak. Aku kan ke sini mau curhat sama kamu!" Daninda mendesah lalu menyenderkan punggungnya ke sofa dan menegakkan kepalanya ke atas menatap langit-langit ruang TV. "Aku lelah, De. Kalau kayak gini terus. Apa Damar nggak peka ya? Apa dia nggak tau apa yang aku rasain sekarang?" keluhnya.

 

Deira melihat sahabatnya yang sedang galau. Ini bukanlah sifat Daninda. Biasanya wanita itu ceria dan juga gila sepertinya. Itulah yang membuat persahabatan mereka langgeng sampai saat ini. "Lebih baik kamu tegur Damar. Kenapa dia begitu,"

 

Daninda menarik napas panjang. "Damar selalu menyimpan masalahnya sendiri. Dia bukan tipe cowok yang ingin berbagi masalah. Selama aku pacaran dan menikah dengannya. Dia nggak pernah cerita kalau lagi punya masalah. Apalagi dipaksa, Damar pasti marah." Ia menceritakan seraya matanya memandangi langit rumah Deira.

 

"Kamu masih cinta Damar, kan?" tanya Deira. Bukannya menjawab, Daninda malah merubah posisi duduknya menjadi tegak. Ia mengambil cup kopi miliknya lalu di sesapnya. "Dan, kamu masih cinta, kan? ulangnya dengan pertanyaan yang sama.

 

"Masih." Daninda mengucapkannya singkat setelah menaruh cup kopinya di meja. Entah kenapa hati ragu akan kata yang keluar dari bibirnya itu.

 

"Syukurlah, berarti tinggal kamu pupuk lagi."

 

"Memangnya taneman," balas Daninda berdecak.

 

"Ninda, kamu jangan egois dalam mengambil keputusan. Berumah tangga itu komitmen seumur hidup apalagi kalau udah ada anak. Sebisa mungkin kamu harus mempertahankannya. Kecuali kalau memang kamu udah nggak kuat lagi dan kamu tau risikonya. Apalagi kalau dia ngekhianatin kamu, selingkuh gitu. Silahkan aja.."

 

"Memang menasihati orang lain itu mudah ya," sindir Daninda. "Tapi kamu akan berubah pemikiran setelah kamu yang terkena masalah itu, De." Suasana berubah serius. "Aku akan bertahan demi Rania."

 

"Tapi cobalah  bicara sama Damar. Jangan diam kayak gini seolah-olah nggak ada masalah. Kamu bisa ngebatin, Dan." Deira mencoba memberikan solusi.

 

"Gimana mau bicara dianya aja jarang pulang. Punya ponsel kayak di zaman purba nggak pernah dipake. Aku bingung sama orang kayak gitu kok betah ya. Aku aja nggak chat sehari sama kamu, uring-uringan."

 

Deira tertawa mendengarnya. "Sama aku juga. Kalau Kusuma malah rajin banget telepon. Tapi lebih banyak telepon sama si kembar sih, hampir tiap jam kalau lagi nggak tugas."

 

Daninda tersenyum. Dalam hatinya mengatakan jika Deira lebih beruntung mempunyai suami seperti Kusuma. Iri, tentu saja. Damar tidak seperti Kusuma. Damar menelepon Fahrania seingatnya saja. Putrinya kurang kasih sayang seorang ayah. Mereka mengobrol sampai lupa waktu. Dan Fahrania senang ada teman bermain dengan si kembar Bani dan Hana. Di rumah ia hanya seorang diri, kesepian.

 

***

 

Pukul 01.00 WIB Daninda merasakan ada yang memeluknya dari belakang. Menciumi telinganya dengan intens. Ia tahu jika itu adalah Damar. Pria itu membalikkan tubuhnya. Menatapnya berbeda terdapat nafsu dari pancarannya itu. Daninda membalasnya dengan tatapan kosong. Tanpa bicara Damar menyambar bibirnya dengan cepat. Dan mereka melakukan layaknya suami istri.

 

Daninda  menatap  kosong langit kamarnya. Disebelahnya Damar telah terlelap tapi dirinya masih terjaga. Ia menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya. Tidak ada gairah lagi dalam hubungan itu. Daninda tidak merasakannya yang ada hanya nafsu belaka. Ia memiringkan tubuhnya. Tangannya terulur membelai pipi Damar. Pria inilah yang dulu meyakinkan dirinya untuk menikah. Pria inilah yang membuatnya jatuh cinta. Tapi sekarang?

Hatinya bertanya-tanya, kenapa seperti ini?Apa benar cinta itu telah hilang darinya?

Pertanyaan-pertanyaan itu melintas begitu saja di pikirannya. Sampai ia tidak bisa tidur hingga pagi.

 

Ketika Damar bangun. Daninda menutup matanya. Berpura-pura tidur. Keningnya di cium pria itu. Merasakan ranjangnya kosong. Wanita itu membuka matanya kembali. Hatinya mencelus. Pria itu tidak mengatakan apa-apa. Batinnya bergejolak. Ia tidak mau seperti ini. Harus bicara, mungkin inilah waktu yang tepat. Mendengar pintu kamar mandi terbuka. Daninda bangun. "Mas," panggilnya.

 

"Eoh, kamu sudah bangun?" Damar berdiri hanya mengenakan handuk di pinggul saja.

 

"Aku ingin bicara."

 

"Tentang apa?" Damar membuka lemari pakaian. 

 

"Tentang kita," jawab Daninda.

 

"Kenapa kita?" Damar malah berbalik tanya. Sembari memilih pakaian yang akan dikenakannya.

 

"Nggak," Daninda mengurungkan niatnya. Lidahnya terasa kelu untuk mengatakan semuanya. "Tolonglah, luangkan waktumu untuk Rania. Dia ingin jalan-jalan sama Papanya."

 

"Aku kan kerja, Ninda. Aku lakuin ini juga buat keluarga kita. Buat kamu dan Rania," ucap Damar membela diri.

 

"Tapi apa nggak ada liburnya?" keluhnya. Damar mulai mengenakan kemejanya. "Dan sekarang kamu mau pergi lagi?"

 

"Aku pergi untuk kerja." Damar mulai sedikit emosi. Daninda masih duduk di ranjang hanya berbalut selimut. Ia tidak bisa berkata-kata lagi. Perasaannya kecewa luar biasa. Yang ia perjuangkan adalah hak Fahrania. Putrinya membutuhkan figur seorang ayah.

 

"Dan sekarang kamu mau pergi kerja lagi?" sindir Daninda.

 

"Iya, aku harus menggantikan temanku."  Daninda tersenyum kecut. Demi teman ia rela mengorbankan waktunya bersama keluarga. Demi Fahrania, Damar tidak melakukan apa-apa.

 

"Aku  pergi  dulu,"  ucapnya selesai berpakaian. Ia menghampiri untuk mencium pipi Daninda. "Kamu istirahat aja. Aku sarapan diluar."

 

Selepas Damar pergi, ia menangis. Hatinya sakit sekali, sebagai seorang ibu dirinya tidak bisa berbuat apa-apa untuk putrinya. Tidak apa-apa jika Damar bersikap dingin padanya. Tapi jangan pada Fahrania. Air matanya semakin mengalir deras.

 

Flasback  

"Aku hamil," ucapnya senang. 

Damar  terkejut  mendengarnya. "Kamu beneran hamil??" Sang istri mengangguk pasti. "Argh!! Aku jadi Papa!!" teriaknya senang. Ia merengkuh Daninda dalam pelukannya.  

Hal yang tidak terduga. Mereka baru saja menikah 2 bulan dan sekarang Daninda hamil. Memang mereka tidak menunda untuk memiliki momongan. Tapi tidak percaya akan secepat ini. 

Bulan demi bulan Damar dan Daninda menanti kelahiran anak pertamanya. Mereka sengaja tidak melakukan USG. Ingin memberi kejutan. Tepat tanggal 10 Februari, putri pertama mereka lahir ke dunia. Fahrania Ayu Pradikta, nama untuk anak perempuan mereka.  

Dari sanalah sikap Damar berubah. Pria itu tidak begitu excited setelah anaknya lahir. Dan Daninda tahu jika suaminya menginginkan seorang putra bukan putri. Setelah tahu barang-barang yang dibeli Damar yang tersimpan rapi di gudang. Ia tidak tahu kapan Damar membelinya. Semuanya pernak-pernik untuk anak laki-laki.  

Pria itu mungkin kecewa. Anak yang ia idam-idam adalah anak laki-laki bukan anak perempuan. Daninda menutupi perasaannya. Kehadiran Fahrania semangat hidup baginya.  

Daninda lebih banyak mengurus Fahrania daripada Damar. Seharusnya mereka berdua. Suaminya lebih sering bekerja daripada diam di rumah. Kasih sayang pada Fahrania pun hanya sekedarnya menurut Daninda. Meskipun Damar tidak menunjukkannya. Tapi Daninda bisa merasakan ketulusan seseorang terutama ayah pada anaknya.  

Flasback Off  

 

Empat tahun ini Daninda bertahan demi Fahrania. Nyatanya Damar tidak merubah sikapnya pada Fahrania. Malah semakin menjadi. Pria itu hanya menyapa dan mencium sesekali. Dimana figur seorang ayahnya? Itulah yang menjadi pertanyaan Daninda. Padahal Fahrania adalah darah dagingnya sendiri. Ia merahasiakan ini dari siapa pun termasuk sahabatnya Deira. Daninda ingin sekali memberikan Damar anak laki-laki. Tapi sampai detik ini dirinya belum hamil juga. Mungkin Damar kecewa dengan dirinya.

 

***

 

Di tempat lain sepasang suami-istri sedang membuat sarapan bersama. Deira membuat roti isi dan Kusuma membuat susu untuk anak kembar mereka. Kehidupan rumah tangga Deira lebih beruntung daripada Daninda.

 

"Mas," agak ragu sebenarnya Deira menanyakan tentang Damar.

 

"Eum," Kusuma sedang mengaduk susu di gelas si kembar. Putra-putri mereka berusia 5 tahun. Hana Wijaya dan Bani Wijaya.

 

"Di kantor Mas Damar kayak gimana?" tanya Deira tidak berani melihat wajah Kusuma. Ia memfokuskan diri membuat roti isi. Wanita itu tahu jika Kusuma dan Damar adalah sahabat. Seperti dirinya dan Daninda.

 

"Kenapa memangnya?" Kusuma menaruh sendok di atas meja. "Apa Ninda dan Damar punya masalah?"

 

"Nggak sih, ya aku cuma nanya aja." Deira menjadi gugup.

 

"Jangan bohong sama aku, De. Aku udah tau kamu." Kusuma memicingkan matanya. Ia melihat istrinya mendesah. Deira memandangi rotinya yang sudah jadi.

 

"Ninda cerita sama aku kalau Mas Damar berubah."

 

"Dalam hal apa?"

 

"Sikapnya, dan juga jarang pulang."

 

Kusuma tertegun. "Kalau itu aku juga nggak tau." Deira bisa menangkap ada sesuatu yang disembunyikan dari raut wajah suaminya.

 

"Bener kamu nggak tau?" tanya Deira mendesaknya.

 

"Iya, aku bangunkan si kembar dulu ya," ucap Kusuma seraya mengalihkan pembicaraan dan meninggalkannya dapur. Pria itu menuju kamar anak-anak mereka.

 

"Eum, sepertinya memang ada yang nggak beres sama mereka berdua!" Tunjuk Deira ke arah punggung Kusuma. "Aku bakal cari tau sendiri kalau begitu! Demi Daninda!" tekadnya penuh semangat. Deira tidak mau ada yang menyakiti sahabatnya. Terlebih itu suaminya Daninda. Ia akan menjadi tameng paling depan untuk melindungi Daninda. Deira sangat sayang pada Daninda. Sejak sekolah dasar mereka selalu bersama.  

       

 

Sorry typo & absurd

 

Thankyuuu^^ 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status