Share

Part 5

Pria itu berjalan di lorong hendak ke ruangannya. Dengan jas hitam yang pas melekat di tubuhnya. Pria kelahiran Carson City, Michigan, Amerika Serikat berusia 39 tahun. Tinggi 188 cm dan berat badan 81 kg. Ibunya menikah dengan pria berkebangsaan Amerika Serikat. Ia adalah seorang pengusaha di bidang ritel, media dan properti.

 

Perjuangannya untuk sampai sukses seperti saat ini bukan secara instan. Butuh perjuangan dan pengorbanan terutama waktu dan juga menyampingkan urusan pribadi yaitu menikah. Di Amerika saat masih muda. Ia membiayai kuliahnya sendiri dari bekerja di sebuah restoran dan mengantarkan koran. Pekerjaan apapun ia lakukan. Daniel sangat ingin mandiri. Padahal orang tuanya sangat mampu membiayainya.

 

Kini orang tuanya menetap di Amerika. Sedangkan dirinya di Indonesia. Daniel membuka perusahaan di Indonesia karena peluang untuk berbisnis lebih besar. Waktu kuliah dulu ia mempunyai teman orang Indonesia. Sehingga memudahkannya untuk masuk ke pasar Indonesia.

 

"Pagi Siska," sapanya saat berdiri di depan meja sekretarisnya. "Apa anak itu sudah bertemu dengan orang tuanya?"

 

"Pagi, Pak Daniel. Sesuai perintah bapak, saya menunggu dari kejauhan. Setelah mereka selesai bicara baru saya mengantarkan putri mereka." Siska memberitahunya.

 

Daniel mengangguk samar. "Baik lah, apa hari ini ada rapat?"

 

"Ada, Pak. Saya sudah menjadwalkannya jam satu. Setelah makan siang."

 

"Terima kasih," Daniel masuk ke ruangannya. Di dalam pria itu duduk di kursi kebanggaannya termangu. Entah, mengapa wajah gadis kecil itu terpantri dibenaknya. Rasa kasihan menyelimutinya. Seharusnya  gadis sekecil itu tidak boleh tahu apa yang terjadi pada orang tuanya. Ia merasa bersalah. Andai saja, mereka tidak mendekat. Mungkin gadis mungil itu tidak mendengar perkataan ayahnya yang menyakitkan.

 

Meski pun Daniel Cambridge sudah berusia sangat matang. Ia belum juga menikah. Bukannya tidak ingin tapi belum bertemu yang pas dihatinya. Pria itu pernah bertunangan dengan wanita Kanada. Namun berakhir kandas.  Orang tuanya tidak mempermasalahkan ia belum juga menikah. Daniel, 2 bersaudara. Adik perempuannya sudah menikah dan memiliki 2 orang anak. Setidaknya orang tuanya sudah mempunyai cucu dari adiknya.

 

"Selamat pagi, Om. Have a nice day.."

 

Daniel tersenyum kecil saat membaca chat dari seseorang.

 

***

 

Semalam Daninda tidur di kamar Fahrania. Ia sangat membenci sikap Damar yang kini semakin terang-terangan tidak menyukai putrinya. Apa salahnya dengan anak perempuan? Ayah macam apa itu. Yang membeda-bedakan. Bagaimanapun Fahrania adalah darah dagingnya. Daninda rasanya sudah lelah. Tidak sanggup lagi, lebih baik Damar membenci dirinya jangan Fahrania.

 

Pukul 10.00 WIB pagi Daninda baru keluar dari kamar Fahrania. Rumah sepi, ternyata Damar sudah pergi. Entah kemana, ia tidak tahu. Daninda menggelung rambutnya untuk memulai aktivitas sebagai ibu rumah tangga.  

Setelah pertengkaran itu Damar benar-benar tidak pulang ke rumah. Sudah hampir seminggu. Daninda menjadi semakin gelisah. Ia menghubungi ponselnya tidak aktif. Wanita itu segera menghubungi Kusuma. Suami sahabatnya itu tidak tahu.

 

"Telepon  dari  siapa?" tanya Deira melihat suaminya yang tertegun setelah menutup sambungan telepon. Ia naik ke atas ranjang. "Mas," panggilnya gemas. 

 

"Dari Ninda," ucapnya singkat. "Deira,"

  

"Ninda kok telepon kamu bukan aku sih?" tanya Deira sambil menyibak selimut.  

 

"Dia  nanyain  Damar," terangnya.

 

"Damar nggak pulang-pulang."  

 

"Kenapa? Kok Ninda nggak cerita sama aku ya," pikir Deira. Ia duduk di sebelah Kusuma seraya menyenderkan punggungnya di kepala ranjang. 

 

"De, aku pengen bicara masalah Damar. Tapi aku juga belum tau pasti. Apa dia benar-benar selingkuh atau nggak?" ucap Kusuma. Mata  Deira melebar  mendengar  kata 'Selingkuh'.  

 

"Selingkuh? Mas Damar?" ucapnya terkejut.  

 

"Kemarin aku juga ngerasa ada yang aneh sama Damar. Dia bilang ada janji. Nah, aku curiga jadi ngikutin dia. Dan ternyata dia pergi ke kampus. Di sana aku juga kaget ada cewek yang nyamperin dia. Damar menggandeng tangan itu cewek masuk ke mobil." Akhirnya kusuma menceritakannya juga. Sebuah rahasia yang tidak bisa ia simpan. Ia sadar diri, akan banyak hati yang terluka.

 

"Mas Damar selingkuh?" Deira tidak percaya. "Ya ampun, kasian banget Ninda. Dasar Damar nggak tahu diri! Otaknya di taruh dimana! Dia udah punya istri sama anak juga!" ucap Deira marah. "Aku kasih tau Ninda," ia mencari-cari ponselnya.

 

Kusuma menahan tangannya. "Jangan dulu, De. Lebih baik kita cari tau tentang cewek itu. Apa benar mereka selingkuh," 

 

"Kalau mereka gandengan begitu. Ya pasti Damar selingkuh, Mas!" ucap Deira berang. 

 

"Besok kita cari tau ke kampusnya. Kita tanya-tanya dulu. Aku nggak mau kita berburuk sangka dulu sebelum ada buktinya. Baru kita kasih tau Ninda." Kusuma mencoba menenangkan dengan solusinya. 

 

"Gimana kalau itu benar? Gimana Ninda sama Rania, mas?" ucap Deira sedih. "Hati Ninda pasti hancur," matanya mulai berkaca-kaca. "Yang paling menyakitkan dalam hubungan adalah pengkhianatan." Kusuma ikut merasa sedih. Ia memeluk istrinya.  

 

"Semoga itu nggak benar, De. Aku pun sangat menyayangkan dengan tingkah Damar. Kita berdoa aja itu semua bohong." Deira menangis. Bila hati sahabatnya hancur. Ia pun akan hancur. Deira bisa merasakan apa yang Daninda rasakan. "Besok kita ke kampusnya cewek itu nyari tau. Apa hubungan di antara mereka." 

 

***

 

Keesokan harinya, Kusuma dan Deira menyamar sebagai mahasiswa di kampus itu. Mereka mencari tahu siapa gadis yang di gandeng mesra oleh Damar.  Kusuma mengenakan t-shirt dan juga sweater tidak lupa dengan tas Gandong khas mahasiswa. Begitu pun dengan Deira. T-shirt putih dan celana jeans. Mereka berpakaian seperti itu agar tidak di curigai. 

 

"Mas, disini kan banyak mahasiswinya. Gimana kita nyarinya?" Deira melihat sekeliling kampus yang luas dan banyak mahasiswanya. 

 

"Tenang, aku udah foto itu cewek. Pasti mereka bakal kenal kan," 

 

"Duh, pinternya suamiku ini," Deira mencubit pipi Kusuma, gemas. "Yuk, kita cari ke sana."  

 

Kusuma menanyakan satu persatu pada mahasiswa yang melewatinya. Deira juga sama. Namun belum ada yang mengenalnya. Dan datanglah segerombolan gadis-gadis yang SKSD pada Kusuma. Siapa yang tidak tertarik dengan pria itu. Kusuma sangat tampan. 

 

Asap sudah keluar dari ubun-ubun Deira melihat suaminya. Ia sangat cemburu. Gadis-gadis itu menggoda suaminya. Dengan langkah cepat dan emosi. Ia menghampiri Kusuma lalu menerobos gadis-gadis itu.  

 

"Yakh!  Kalian  kenapa  dekat-dekat suamiku!" teriak Deira. Semua orang melongo.

 

"Suami?" tanya salah satu gadis itu.

  

"Iya, dia suami saya." Tunjuk Deira. "Dan ini cincin kawin kami!" tambahnya sembari mengangkat tangannya dan menarik juga tangan Kusuma.

"Kelihatan kan?"  

 

"Aku kira, Kakak itu mahasiswa baru," ucap yang lain, kecewa. Kening Deira mengerut lalu menatap tajam pada gadis yang bicara itu.

 

"Enak aja!" balas Deira sewot. Berani-beraninya mereka membangunkan singa betina yang sedang tidur.  

 

"Ya  udahlah, kita pergi aja yuk." Segerombolan gadis itu hendak pergi. Namun Deira menarik tangan gadis berpakaian warna merah. "Tunggu, kamu tau siapa dia?" Deira merebut ponsel dari tangan kusuma.  

 

"Dia kan Bella Pricilla, anak Ekonomi." 

 

"Kamu kenal?"  

 

"Kenal, tapi nggak deket juga. Dia cukup terkenal juga karena anak orang kaya." 

 

"Anak orang kaya ternyata," seru batin Deira.

 

"Apa dia punya pacar?" mulai penyelidikannya.  

 

"Nggak tau juga, tapi aku pernah liat dia di jemput sama cowok pake mobil."  

 

"Gimana ciri-ciri cowok itu?" Ia ingin tahu apa itu Damar atau bukan. 

 

"Aku nggak tau, cuma ngeliat sekilas aja. Pokoknya lumayan ganteng juga. 

 

"Oh, begitu ya?" Deira menoleh pada Kusuma. "Makasih ya."  

 

"Iya, sama-sama." Mahasiswi itu pergi mengejar temannya.  

 

"Mas, kita udah tau namanya. Tapi ini juga belum pasti. Besok kita ikutin Damar yuk."  

 

"Biar aku aja, kamu di rumah urus anak-anak. Lagian kamu kan lagi hamil. Aku takut kamu kecapean. Yang penting kamu jangan ember dulu sama Ninda. Ini kan belum jelas." 

 

Deira menghela napas, "Mas tolong bantu Ninda ya. Aku nggak mau kalau ada yang nyakitin sahabat aku. Dan lagi jangan ganjen!!"  

 

"Aku nggak ganjen, sayang. Mereka aja yang deketin aku." Kusuma membela diri. "Kita pulang aja yuk," ia merangkul bahu Deira menuju mobil. 

 

 

 

Sorry typo & absurd 

 

Thankyuuu^^ 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status