Home / Rumah Tangga / Resep Cinta Dalam Doa / RCDD | 7. Hari Lamaran

Share

RCDD | 7. Hari Lamaran

Author: EdpDian
last update Last Updated: 2024-02-17 12:10:52

Pukul dua siang, Fariz sudah berada di halaman rumah kedua orangtuanya atas permintaan Lina. Dengan wajah masam Fariz melangkahkan kakinya lebar-lebar masuk kedalam rumah sambil menjinjing tas kerjanya.

"Aduh anak tampan Mama akhirnya pulang juga. Gimana kerjanya, lancar? Pasti dong, anak Mama mah jangan diragukan lagi. Iya kan?" sambut Lina dengan senyum merekah. Lina sudah cantik dengan gamis merah muda dan kerudung yang menjuntai hingga batas perut.

Fariz menyipitkan kedua matanya, keningnya berkerut. "Mama mau kemana Ma?" tanya Fariz.

"Bukan Mama tapi kita." Jawab Lina mengoreksi.

"Kok kita? Ariz juga?"

Lina mengangguk antusias, wajahnya berseri. "Sana buruah siap-siap gih, jangan lama-lama ya!" ujar Lina sambil mendorong-dorong kecil tubuh Fariz.

Fariz semakin bingung, badannya terhuyung-huyung. "Sebentar-sebentar. Memang kita mau kemana Ma?"

Lina berdecak nyaring, kedua matanya melebar menatap Fariz penuh peringatan.

"Ya gimana Ariz mau nurut coba kalau Mama saja belum mau kasih tahu Ariz kita mau kemana."

"Mau ke tempat calon menantu, puas?"

"Calon menantu? Maksud Mama?"

Lina berdecak lagi. "Sudah to jangan banyak tanya kaya Dora. Buruan mandi terus ganti baju. Bajumu sudah Mama siapin di atas kasur," kata Lina sambil mendorong Fariz lagi.

Fariz tetap diam, ia menahan tubuhnya agar tak bergerak. "Ma-ma-ma. Sebentar dulu, maksud Mama menantu itu calon istri Ariz? Lah kan Mama tahu Ariz jomblo bangkotan kata Mama."

Lina memutar bola matanya malas. "Kamu lupa sama perjanjian kita?" tanya Lina.

Fariz lenggang sesaat, mencerna apa yang Lina ucapkan.

"Perjanjian? Perjanjian apa?" ujar Fariz dalam hati.

Sepersekian detik berlalu barulah Fariz teringat, mulutnya ternganga tanpa dikomando.

"Aaa... Mama sudah dapat calon buat Fariz, cepat banget. Mama bukan cari di biro jodoh abal-abal kan? Kalau iya Fariz nolak keras loh Ma," kata Fariz mengancam.

"Dikira Mama ini orang tua apaan, cari calon mantu kok abal-abal. Ya bukan lah, dijamin mempesona dan bisa dipastikan bibit, bebet dan bobotnya."

"Terus Mama ketemu dimana? Cantik tidak? Jangan-jangan pendek, jelek, dekil, bawel, manja. Kalau yang macam begitu Fariz ogah lah ma." Cecar Fariz.

"Kamu ini cerewet banget sih, tumben biasanya saja nolak kalau dimintai pendapat. Ini pasti akal-akalan kamu buat nolak kan?" tanya Lina, kedua matanya menyipit memandang Fariz curiga.

Fariz kelabakan, cepat-cepat ia membuang pandangannya asal. "Ya kan Ariz hanya memastikan Ma, cantik tidak, begitu."

"Kalau itu sih Mama juga tidak tahu, Mama juga belum pernah ketemu." Jawab Lina enteng. Berbeda dengan Fariz yang justru kaget.

"APA?" tanya Fariz sedikit meninggikan suaranya.

Lina menganggukan kepalanya ragu. "Ya sudah sih, lihat saja nanti. Kalau kamu oke, bisa lanjut lamaran. Kalau memang kamu kurang oke ya tergantung." Lina diam sesaat, Fariz menunggu harap-harap cemas. "Tergantung gimana dianya. Kalau No beneran Mama ikhlas kamu nolak, tapi kalau aslinya dia cantik dan good dari segala good ya Mama bakal paksa kamu biar mau," kata Lina.

Fariz membolakan kedua matanya, napasnya tercekat. "Itu mah namanya pemaksaan Ma," protes Fariz tak terima.

"Ya kalau nurutin kamu mah bisa saja cuma akal-akalan kamu buat nolak."

"Sudah lah sana siap-siap, Keburu telat kita nanti. janjinya itu selepas Ashar. Kita butuh waktu 30 menit buat sampai sana, jadi kamu jangan buang-buang waktu. Atau jangan-jangan kamu memang sengaja mau buat kita telat ya?" tanya Lina menyelidik.

Fariz mendengus masam, balik kanan ia meninggalkan Lina menuju kamarnya.

*****

Dikediaman Kaira.

Berbagai Macam hidangan sudah tersaji diatas meja makan. Hari ini Kaira mengambil libur kerja atas permintaan Silfi yang ingin Kaira menyiapkan dirinya dengan baik hari ini.

Dibalut gamis brokat elegan berwarna putih gading dan kerudung yang menjuntai panjang berwarna senada, Kaira meremas kedua tanganya yang saling terpaut dengan gencar. Peluh satu dua sudah mulai bermunculan padahal pendingin ruangan di dalam kamarnya berfungsi dengan baik.

Pikirannya dipenuhi dengan beraneka ragam hal-hal serta pertanyaan-pertanyaan negatif, seperti:

Bagaimana jika keputusan yang ia ambil ini adalah keputusan yang salah?

Bagaimana jika ternyata calon yang akan dijodohkan dengannya itu keberatan dengan rencana ini?

Bagaimana jika melihat dirinya pria itu justru tidak suka?

Bagaimana jika ia justru mengecewakan Ummi dan Abi?

Bagaimana jika sebenarnya dia ternyata belum siap menikah?

Dan bagaimana-bagaimana lainya yang pasti itu selalu kearah yang negatif.

"Sayang ada yang dipikirkan? Kok wajahnya kusut banget?" tanya Silfi yang kebetulan lewat depan kamar Kaira yang pintunya tak dikunci dan tak sengaja melihat Kaira yang duduk termenung di atas kasur dengan wajah pias.

Kaira terperanjat, kepalanya mendongak menatap Silfi. "Iya Ummi sedikit," jawab Kaira apa adanya.

Silfi melangkahkan kakinya masuk kedalam kamar Kaira. "Ummi permisi masuk ya?" ujarnya meminta izin ketika akan melewati pintu.

Kaira hanya membalas dengan anggukan.

"Ara mikirin apa? Soal nanti?" tanya Silfi, duduk di sisi kanan Kaira.

"Ara takut, khawatir, gugup, bingung dan masih banyak lagi Ummi," ujar Kaira, wajahnya sendu.

"Istighfar sayang, jangan sampai setan menguasai hati dan pikiran Ara. Namanya akan dikhitbah, sudah pasti akan seperti ini. Itu normal." Kata Silfi memberi kekuatan. Tangan kirinya sudah ia ulurkan untuk menggenggam kedua tangan Kaira yang mendingin.

"Ummi dulu juga begitu, malah lebih parah karena umur Ummi waktu itu masih 18 tahun. Walaupun belum dewasa tapi ketakutan itu lebih besar karena sebenarnya belum siap untuk menikah secara mental. Tapi... nenek bilang begini dulu sama Ummi. Hidup, mati, jodoh, rezeki itu sudah ada yang mengatur. Tinggal jalani, syukuri, berusaha dan berdoa. Selebihnya serahkan semua pada Allah."

Kaira menoleh, menatap Silfi dalam. "Ummi, jika nanti beliau menerima Ara sebagai pendamping hidupnya dan kita menikah, apa yang seharusnya Ara lakukan Ummi? Karena sebenarnya Ara sendiri belum yakin kalau Ara sudah siap menikah dan membina kehidupan dengan orang lain," tanya Kaira.

Alih-alih menjawab, silfi justru tersenyum simpul. Mengusap kepala Kaira dari balik kerudung dengan lembut dan penuh kasih sayang.

"Jadilah diri Ara sendiri, jadilah rumah ternyaman untuk siapapun yang akan menjadi suami Ara nanti. Rumah yang nyaman seperti yang Ara tinggali saat ini. Lalu, penuhi kebutuhan lahir dan batinnya." Jelas Silfi, nada suaranya lembut sekali.

"Tidak perlu menjadi sempurna sayang, jadilah apa adanya diri Ara. Ara ingat bukan jika jodoh itu saling melengkapi? Yang satu tangan kanan, yang satunya lagi tangan kiri. Yang terpenting komunikasi, bangun hubungan baik dengan dia, diskusikan apapun yang Ara rasakan, Ara mau, Ara suka dan tidak suka."

Kaira menghembuskan napasnya berat, pundaknya semakin melorot seperti ditimpa beban yang begitu berat.

"Ummi, bahkan Ara belum bisa masak. Urus pekerjaan rumah saja selama ini lebih banyak Ummi sama Mbak Num yang kerjain daripada Ara," keluh Kaira. Meskipun terlahir di desa tapi Kaira terlahir sebagai anak tunggal yang bisa dikatakan cukup berada membuat Kaira tidak terlalu terbiasa melakukan pekerjaan rumah. Selain itu jurusan pendidikan yang ia geluti cukup menguras lebih banyak waktunya.

"Kan bisa belajar pelan-pelan, belum terbiasa bukan berarti tidak akan bisa kan? Semua hanya butuh latihan dan terbiasa sayang," koreksi Silfi. Kaira hanya mampu menganggukkan kepalanya meskipun sebenarnya otaknya belum sepenuhnya bisa menerima itu dengan baik.

"Yasudah, Ummi mau siap-siap dulu didapur bantu Mbak Num." Ujar Silfi sambil bangkit berdiri.

"Mau Ara bantu tidak Ummi?" tawar Kaira.

Silfi menarik sudut bibirnya simpul lalu menggeleng. "Kali ini tidak usah sayang, bukan Ummi tidak mau dibantu, tapi mending Ara pakai buat dzikir biar tenang hati dan pikiran. Lagipula yang ditunggu mungkin sebentar lagi sampai. Ara sudah shalat Ashar kan?" tanya Silfi.

"Ara lagi ada tamu bulanan Ummi." Jawab Kaira, kemudian Silfi berlalu pergi meninggalkan Kaira yang kembali termenung. Meskipun memang hati dan pikiran jauh lebih tenang daripada sebelumnya berkat Silfi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Resep Cinta Dalam Doa   RCDD | 43. END

    Empat tahun kemudian. Hubungan Fariz dan Kaira semakin harmonis serta mencengkram. Mereka sudah pindah kerumah yang Fariz buat, kurang lebih lima bulan yang lalu sebelum kelahiran putra kedua mereka. Teren Qoir Kamran putra pertama mereka dan Bima Lim Kamran untuk putra kedua mereka. Jika mengira hubungan mereka semulus dan seindah yang dibayangkan jawabanya tidak. Huru dan hara masih tetap menerpa keluarga kecil mereka, tapi setelah kejadian beberapa tahun silam Fariz tak lagi meragukan istrinya dia juga jadi tenang menghadapi apapun masalah rumah tangga mereka. Apapun itu mereka selesaikan bersama dan mereka pecahkan dengan kepala dingin. "Sayang, dimana dasi Mas?" teriak Fariz kencang-kencang dari arah walk in closet. Kaira tengah memandikan Teren anak sulung mereka yang umurnya sudah tiga tahun. "Sayang Bima pup." Teriak Fariz lagi. Baru beberapa menit pria itu berteriak menanyakan dasi kini sudah berteriak lagi. "Mas gantikan dulu lah!" jawab Kaira mengeraskan suaranya tapi

  • Resep Cinta Dalam Doa   RCDD | 42. Kebahagiaan Tak Terkira

    "Mas seneng?" tanya Kaira sembari memandang selembar Fariz yang sedang mengamati selembar kertas dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Pria itu senang sekaligus terharu. Seluruh beban di pundaknya tiba-tiba terlepas. Mereka duduk bersila di atas ranjang saling berhadapan.Fariz mengangguk, tapi enggan membalas tatapan Kaira."Masih kepikiran takut Ara tinggalin?" tanya Kaira, Fariz menganggukkan kepalanya lagi. Betapa bahagianya dia hari ini."Mas...." peringat Kaira dengan suara sedikit meninggi. Spontan Fariz menoleh, menatap Kaira.Wajah Kaira yang garang sembari menatapnya nyalang membuat Fariz mengedip-kedipkan kedua matanya tanpa sadar."Sebegitu susah dipercayanya kah Ara di mata Mas?"Fariz menggeleng, Kaira melebarkan kedua matanya. "Terus kenapa susah betul buat percaya sama Ara, apa di mata Mas Ara sebejat itu?" tanya Kaira lagi. Fariz dengan cepat menggeleng keras. Bukan itu maksudnya. Dia hanya takut, itu saja."La terus? Kenapa Mas selalu berpikir jelek tentang Ara?""Mas

  • Resep Cinta Dalam Doa   RCDD | 41. Hasil Tes DNA

    Demam Fariz berlanjut hingga lima hari lamanya, bahkan bisa dikatakan semakin memburuk hingga Kaira harus memasan infus mandiri kepada Fariz. Demam Tifoid Fariz kambuh karena terlalu stres dan kelelahan. Tapi pria itu menolak dirawat di rumah sakit dengan berbagai macam alasan, yang katanya kasurnya sempit lah, makananya tidak enak lah, cat ruangan nya bikin silau mata lah, dan masih banyak lagi. Mau tidak mau Kaira mengalah dan mengizinkan Fariz dirawat di rumah saja dengan wanita itu sendiri yang turun tangan merawat suaminya.“Sayang, Ara janji kan tidak akan tinggalin Mas?” tanya Fariz hari ini sudah entah yang keberapa kalinya. Sampai Kaira muak mendengarnya.Kaira berdecak nyaring, bangkit dari posisi duduknya, berdiri di sisi ranjang menghadap suaminya sambil berkacak pinggang. Sedangkan Fariz sedang bersandar di kepala ranjang, tangan kanan nya terpasang alat infus. “Ara cuma mau ke rumah sakit lihat hasilnya Mas. Memang mas lihat ara bawa koper?” tanya Kaira kesal.Fariz meng

  • Resep Cinta Dalam Doa   RCDD | 40. Pak Manut Si Pakar Penasehat

    “Mas minta maaf dulu sebelumnya...” kata Fariz membuka cerita.Dia menarik napas dalam lalu membuangnya asal. Setelahnya pria itu menceritakan segalanya, tentang apa yang terjadi kemarin di kantor, hari ini dan beberapa tahun silam tanpa terkecuali. Dan Kaira juga menyimak tanpa menyela. Tidak ada ekspresi apapun yang wanita itu tunjukkan.Hati Fariz gelisah bukan main, tapi bebannya sedikit terangkat meskipun rasa takut semakin mendominasi dirinya.“Sebenarnya Mas yakin anak itu bukan Anak Mas. Tapi Mas tahu Ara tidak akan percaya tanpa bukti, Mama juga sudah minta bukti kalau memang dia bukan anak biologis Mas. Walaupun waktu itu mas terpengaruh sama obat dan setengah mabuk juga. Tapi mas masih cukup sadar sayang, wine yang dicampur obat itu Mas minum cuma satu tegukan." Fariz menjeda ucapanya sejenak, pikiranya mulai menerawang akan kejadian kelam beberapa tahun silam."Mas sebenarnya tahu kelakuan bejat wanita itu dari awal karena kecerobohan dia. Waktu itu mas mikirnya ya itu nor

  • Resep Cinta Dalam Doa   RCDD | 39. Kejujuran Fariz

    Hasil tes DNA baru akan keluar satu sampai dua minggu lagi. Dan tidak bisa di nego, padahal Fariz sudah meminta percepatan waktu berapapun biayanya dia tidak masalah. Tapi sayangnya maju pun hanya bisa satu minggu saja. Dan Fariz tidak punya pilihan lain selain sabar menanti. “Bos, kita ke kantor?” tanya pak Manut. Melirik kaca spion depan mobil, melihat Fariz yang duduk di bangku penumpang belakang sambil memijat keningnya berulang dan mata terpejam rapat. Mobil Alphard hitam itu baru saja melaju kurang lebih lima menit.Fariz tak langsung menjawab, kepalanya pusing, banyak sekali yang memenuhi pikirannya. Niatnya dia jika hasil tes bisa keluar hari ini dia bisa menjelaskan segalanya pada Kaira istrinya, tapi malah justru baru keluar satu minggu lagi.“Bos ada masalah? Maaf nih ya bos kalau terkesan lancang. Tapi sebaiknya bos pulang saja istirahat dan cerita dengan Bos Ara, biasanya separuh beban bisa terangkat kalau cerita sama istri mah.” Saran pak Manut.Dia tidak bodoh, pak Man

  • Resep Cinta Dalam Doa   RCDD | 38. Kemarahan Fariz

    Selepas kejadian itu tak ada yang berubah dalam rumah tangga Fariz dan Kaira. Semua nampak normal, Kaira nya juga seperti biasa, hangat, dan selalu perhatian.Siang itu juga Fariz meminta Tian untuk mencari tahu tentang Sindi. Semua tentang latar hidup Sindi tanpa terkecuali, termasuk anak wanita itu yaitu Mila.Tidak butuh waktu lama, besoknya Tian menyodorkan satu map berisi semua informasi Sindi, dari soal Sinda yang ternyata menikah empat tahun lalu dengan pria yang berbeda dengan yang menjadi alasan wanita itu meninggalkanya. Suaminya yang dipenjara karena melakukan kekerasan pada putrinya, dan dia yang bercerai dengan suaminya satu bulan lalu. Semua Fariz dapatkan termasuk alamat tempat tinggal dan tempat wanita itu bekerja.Tanpa membuang-buang waktu. Pagi itu juga jam 09.00, Fariz mendatangi alamat restoran jepang, tempat dimana wanita itu bekerja sebagai pelayan.“Fariz...” Sapa wanita itu dengan wajah berbinar.Berjalan tergopoh-gopoh mendekati Fariz dan berdiri di hadapan p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status