Share

RCDD | 8. Akad Nikah

Nyatanya, bukan hanya sesi ta’aruf lalu lamaran seperti yang sudah direncanakan. Tapi mereka dinikahkan hari itu juga atas kesepakatan kedua belah pihak keluarga dan masing-masing mempelai, atas usulan Lina tentu saja.

Kaira tidak begitu fokus sebenarnya, semua terkesan begitu mendadak dan cepat menurutnya.

Tiba-tiba dijodohkan

Tiba-tiba bertemu

Tiba-tiba dinikahkan

Semua juga terkesan buru-buru, hanya dalam kurun waktu setengah bulan semua sudah selesai hingga dalam tahap pernikahan. Apakah ini yang namanya keistimewaan jodoh dan kekuatan Tuhan? Semua seakan mudah terjadi jika Tuhan sudah berkehendak. 

Serba kilat ini membuat Kaira sulit untuk memahami segalanya. Yang pasti saat ini dia sudah sah saja menjadi istri dari seorang pria yang bahkan baru ia ketahui nama lengkapnya satu jam lalu. Pria yang menurut mata telanjang Kaira sulit untuk dilewatkan, meskipun pria itu memberi kesan kaku dan juga dingin sejak awal pertemuan. Yah, walaupun lumayan sih memang secara fisik.

“Untuk pendaftaran pernikahan secara negara itu biar menjadi urusan Mama dan Papa. Iya kan pa?” tanya Lina pada Bian. Senyum tak pernah luntur dari bibir tipisnya sejak pertama kali melihat Kaira dan akhirnya wanita tua itu jatuh cinta pada pandangan pertama.

Fariz diam, sedangkan Kaira hanya mengangguk canggung dengan senyum yang dipaksa. Tidak tahu harus menjawab apa.

“Jangan jauh-jauhan seperti itu dong, kalian kan sudah sah.” Tegur Lina pada Fariz dan Kira. Keduanya sekarang sudah duduk bersebelahan dengan jarak dua jengkal. Hanya dua jengkal tangan Fariz tapi Lina sudah heboh sendiri.

Silfi terkekeh kecil, mereka sedang duduk melingkar di ruang tamu milik keluarga Albi. Akad nikah baru selesai 20 menit yang lalu dengan Albi sendiri yang menikahkan putrinya, dan saksinya adalah kerabat dari kedua keluarga. Lalu setelah akad diikrarkan, Kaira dipersatukan dengan Fariz.

Selepas Kaira menjabat tangan Fariz dan mencium punggung tangan suaminya, Fariz melanjutkan sembari meletakkan tangan kanannya puncak kepala Kaira, ditutup dengan kecupan singkat di kening gadis itu.

“Ariz mohon izin untuk nanti langsung membawa Kaira ke apartemen jika diizinkan.” Ujar Fariz akhirnya angkat bicara.

Semua menoleh menatapnya terkejut. Tapi Fariz tak gentar, ia memindai satu persatu semua orang yang ada disana kurang lebih 15 orang kecuali Kaira istrinya.

“Wah sudah tidak sabar kamu Boy, pelan-pelan saja lah.” Seru paman Fariz berkomentar.

Tawapun pecah seketika. “Izin dulu dengan Ustadz Albi, jika ingin membawa putrinya Ariz.” Timpal Bian.

Fariz menatap Biar lalu setelahnya pada Albi. Ia sempat terkagum-kagum dengan pembawaan yang pria yang sekarang sudah menjadi ayah mertuanya itu miliki. Tenang, santai, tapi masih berwibawa dan juga terlihat tegas secara bersamaan.

Berbeda dengan dirinya yang ingin seperti itu tapi justru terkesan kaku dan angkuh. 

Albi menarik sudut bibirnya simpul, menatap Fariz dalam. “Abi sudah mempercayakan putri Abi seutuhnya padamu nak. Bawalah, tapi tolong jaga dan jangan sakiti dia. Ara terkadang akan terkesan kekanakan dan juga manja, tapi dia bukan anak yang keras kepala. Jika kamu memintanya melakukan sesuatu yang baik dan menjelaskan padanya secara perlahan Insya Allah putri Abi bisa menerimanya dengan baik.”

Fariz mengangguk berulang, kepalanya menunduk dalam mendengarkan.

“Kamu yakin Ariz mau memboyong mantu Mama langsung ke apartemenmu? Tidak mau kerumah dulu beberapa hari?” tanya Lina sedikit gelisah.

Bian merangkul pundak istrinya berniat menenangkan. Tidak lucu jika istrinya lepas kendali dan berujung adu mulut dengan Fariz di depan besannya yang belum genap satu jam itu.

“Ariz yakin Ma, lagian akan lebih leluasa kalau kita tinggal berdua di masa adaptasi ini.” jawab Fariz yakin membalas tatapan gelisah Lina dengan tatapan meyakinkan.

Bian mengusap lengan Lina berulang, memperingati Lina untuk tetap menahan emosinya.

Lina menghembuskan napas berat, sebenarnya ia tidak ikhlas. Meskipun putranya setuju dengan permintaan menikah mendadak ini, tapi dia hafal betul bagaimana Fariz. Lina hanya takut jika Fariz melakukan itu hanya demi lari dari tekanan darinya saja.

“Kaira sendiri bagaimana? Mau tidak jika tinggal dengan Mama Papa saja dulu?” tanya Lina pada Kaira sebagai harapan terakhirnya.

Kaira yang semula hanya mampu menundukkan kepalanya, kini mulai mengangkat kepalanya, menatap Lina takut-takut. Sebelum menjawab dia lebih dulu menatap Silfi, dan setelah Silfi mengangguk sekali barulah Kaira mulai menyampaikan pendapatnya.

“Ara ikut bagaimana Mas Ariz saja Ma.” Ujar Kaira singat padat dan jelas tapi juga mantap, meski suaranya terdengar pelan dan juga lembut.

Fariz membuang napas lega, sedangkan Lina sebaliknya, wanita tua itu menatap suaminya untuk meminta pertolongan. Tapi Bian justru menggeleng memperingati. Seketika kedua pundak Lina melorot, mau tidak mau dia harus mengalah.

“Ya sudah bagaimana kalian saja, tapi tolong jaga mantu Mama dengan baik ya!” titah Lina. Fariz hanya menjawab dengan anggukan sekali saja.

*****

Fariz tidak bercanda dengan ucapanya. Malam itu juga sebelum Adzan Isya berkumandang, ia benar-benar memboyong istrinya. Sepasang suami istri baru itu terpisah dengan rombongan Fariz karena Fariz menolak untuk diantar. Lina dan Bian yang berangkat tadi ikut mobil Fariz harus terpaksa pindah mobil paman Fariz.

“Habis ini saya ke kantor ya?” tanya Fariz angkat bicara.

Kaira yang masih menahan tangis karena perpisahan dengan kedua orang tuanya spontan menoleh. Mereka sedang dalam perjalanan menuju apartemen Fariz dengan pria itu sendiri yang mengemudi.

“Mas mau makan dulu? Ara belum bisa masak sih tapi kalau cuma sekedar goreng telur atau masak sup sederhana Ara bisa. Mas tadi cuma makan sedikit kan di rumah Abi?”

Fariz menoleh sekilas, cukup terkejut. Tidak menyangka jika gadis yang baru saja ia nikahi ini ternyata diam-diam memperhatikan.

“Langsung saja, nanti saya bisa meminta satpam untuk carikan makan jika lapar,” tolak Fariz.

Kaira menggigit bibir bawahnya pelan. Tidak tahu harus menjawab apa.

“Em, Mas. Apa Ara tetap boleh bekerja?” Tiba-tiba saja Kaira teringat dengan pekerjaannya. Ia tadi lupa bertanya ketika mereka diminta saling bertukar pertanyaan. Mau bagaimanapun sekarang dia sudah menikah, Kaira membutuhkan izin Fariz apapun keputusan yang mau dia ambil.

Fariz tak langsung menjawab, ia lebih dulu menjalankan mobilnya yang harus berhenti karena lampu merah.

“Lakukan sesukamu.” Jawab Fariz singkat padat dan jelas.

Selepas itu tidak ada lagi perbincangan antar keduanya. Fariz yang terlalu kaku dan cuek, dengan Kaira terlalu canggung dan belum terbiasa, ditambah Kaira tidak terbiasa juga hanya berdua di ruang sempit dengan lawan jenis seperti ini. 

Didikan Albi dan Silfi yang didasari dengan ilmu agama yang kental membuatnya tidak terlalu mengenal lawan jenis. Kaira juga tidak pernah pacaran dan sejenisnya. 

Lengkap sudah alasan kecanggungan keduanya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status