Nyatanya, bukan hanya sesi ta’aruf lalu lamaran seperti yang sudah direncanakan. Tapi mereka dinikahkan hari itu juga atas kesepakatan kedua belah pihak keluarga dan masing-masing mempelai, atas usulan Lina tentu saja.
Kaira tidak begitu fokus sebenarnya, semua terkesan begitu mendadak dan cepat menurutnya.Tiba-tiba dijodohkanTiba-tiba bertemuTiba-tiba dinikahkanSemua juga terkesan buru-buru, hanya dalam kurun waktu setengah bulan semua sudah selesai hingga dalam tahap pernikahan. Apakah ini yang namanya keistimewaan jodoh dan kekuatan Tuhan? Semua seakan mudah terjadi jika Tuhan sudah berkehendak. Serba kilat ini membuat Kaira sulit untuk memahami segalanya. Yang pasti saat ini dia sudah sah saja menjadi istri dari seorang pria yang bahkan baru ia ketahui nama lengkapnya satu jam lalu. Pria yang menurut mata telanjang Kaira sulit untuk dilewatkan, meskipun pria itu memberi kesan kaku dan juga dingin sejak awal pertemuan. Yah, walaupun lumayan sih memang secara fisik.“Untuk pendaftaran pernikahan secara negara itu biar menjadi urusan Mama dan Papa. Iya kan pa?” tanya Lina pada Bian. Senyum tak pernah luntur dari bibir tipisnya sejak pertama kali melihat Kaira dan akhirnya wanita tua itu jatuh cinta pada pandangan pertama.Fariz diam, sedangkan Kaira hanya mengangguk canggung dengan senyum yang dipaksa. Tidak tahu harus menjawab apa.“Jangan jauh-jauhan seperti itu dong, kalian kan sudah sah.” Tegur Lina pada Fariz dan Kira. Keduanya sekarang sudah duduk bersebelahan dengan jarak dua jengkal. Hanya dua jengkal tangan Fariz tapi Lina sudah heboh sendiri.Silfi terkekeh kecil, mereka sedang duduk melingkar di ruang tamu milik keluarga Albi. Akad nikah baru selesai 20 menit yang lalu dengan Albi sendiri yang menikahkan putrinya, dan saksinya adalah kerabat dari kedua keluarga. Lalu setelah akad diikrarkan, Kaira dipersatukan dengan Fariz.Selepas Kaira menjabat tangan Fariz dan mencium punggung tangan suaminya, Fariz melanjutkan sembari meletakkan tangan kanannya puncak kepala Kaira, ditutup dengan kecupan singkat di kening gadis itu.“Ariz mohon izin untuk nanti langsung membawa Kaira ke apartemen jika diizinkan.” Ujar Fariz akhirnya angkat bicara.Semua menoleh menatapnya terkejut. Tapi Fariz tak gentar, ia memindai satu persatu semua orang yang ada disana kurang lebih 15 orang kecuali Kaira istrinya.“Wah sudah tidak sabar kamu Boy, pelan-pelan saja lah.” Seru paman Fariz berkomentar.Tawapun pecah seketika. “Izin dulu dengan Ustadz Albi, jika ingin membawa putrinya Ariz.” Timpal Bian.Fariz menatap Biar lalu setelahnya pada Albi. Ia sempat terkagum-kagum dengan pembawaan yang pria yang sekarang sudah menjadi ayah mertuanya itu miliki. Tenang, santai, tapi masih berwibawa dan juga terlihat tegas secara bersamaan.Berbeda dengan dirinya yang ingin seperti itu tapi justru terkesan kaku dan angkuh. Albi menarik sudut bibirnya simpul, menatap Fariz dalam. “Abi sudah mempercayakan putri Abi seutuhnya padamu nak. Bawalah, tapi tolong jaga dan jangan sakiti dia. Ara terkadang akan terkesan kekanakan dan juga manja, tapi dia bukan anak yang keras kepala. Jika kamu memintanya melakukan sesuatu yang baik dan menjelaskan padanya secara perlahan Insya Allah putri Abi bisa menerimanya dengan baik.”Fariz mengangguk berulang, kepalanya menunduk dalam mendengarkan.“Kamu yakin Ariz mau memboyong mantu Mama langsung ke apartemenmu? Tidak mau kerumah dulu beberapa hari?” tanya Lina sedikit gelisah.Bian merangkul pundak istrinya berniat menenangkan. Tidak lucu jika istrinya lepas kendali dan berujung adu mulut dengan Fariz di depan besannya yang belum genap satu jam itu.“Ariz yakin Ma, lagian akan lebih leluasa kalau kita tinggal berdua di masa adaptasi ini.” jawab Fariz yakin membalas tatapan gelisah Lina dengan tatapan meyakinkan.Bian mengusap lengan Lina berulang, memperingati Lina untuk tetap menahan emosinya.Lina menghembuskan napas berat, sebenarnya ia tidak ikhlas. Meskipun putranya setuju dengan permintaan menikah mendadak ini, tapi dia hafal betul bagaimana Fariz. Lina hanya takut jika Fariz melakukan itu hanya demi lari dari tekanan darinya saja.“Kaira sendiri bagaimana? Mau tidak jika tinggal dengan Mama Papa saja dulu?” tanya Lina pada Kaira sebagai harapan terakhirnya.Kaira yang semula hanya mampu menundukkan kepalanya, kini mulai mengangkat kepalanya, menatap Lina takut-takut. Sebelum menjawab dia lebih dulu menatap Silfi, dan setelah Silfi mengangguk sekali barulah Kaira mulai menyampaikan pendapatnya.“Ara ikut bagaimana Mas Ariz saja Ma.” Ujar Kaira singat padat dan jelas tapi juga mantap, meski suaranya terdengar pelan dan juga lembut.Fariz membuang napas lega, sedangkan Lina sebaliknya, wanita tua itu menatap suaminya untuk meminta pertolongan. Tapi Bian justru menggeleng memperingati. Seketika kedua pundak Lina melorot, mau tidak mau dia harus mengalah.“Ya sudah bagaimana kalian saja, tapi tolong jaga mantu Mama dengan baik ya!” titah Lina. Fariz hanya menjawab dengan anggukan sekali saja.*****Fariz tidak bercanda dengan ucapanya. Malam itu juga sebelum Adzan Isya berkumandang, ia benar-benar memboyong istrinya. Sepasang suami istri baru itu terpisah dengan rombongan Fariz karena Fariz menolak untuk diantar. Lina dan Bian yang berangkat tadi ikut mobil Fariz harus terpaksa pindah mobil paman Fariz.“Habis ini saya ke kantor ya?” tanya Fariz angkat bicara.Kaira yang masih menahan tangis karena perpisahan dengan kedua orang tuanya spontan menoleh. Mereka sedang dalam perjalanan menuju apartemen Fariz dengan pria itu sendiri yang mengemudi.“Mas mau makan dulu? Ara belum bisa masak sih tapi kalau cuma sekedar goreng telur atau masak sup sederhana Ara bisa. Mas tadi cuma makan sedikit kan di rumah Abi?”Fariz menoleh sekilas, cukup terkejut. Tidak menyangka jika gadis yang baru saja ia nikahi ini ternyata diam-diam memperhatikan.“Langsung saja, nanti saya bisa meminta satpam untuk carikan makan jika lapar,” tolak Fariz.Kaira menggigit bibir bawahnya pelan. Tidak tahu harus menjawab apa.“Em, Mas. Apa Ara tetap boleh bekerja?” Tiba-tiba saja Kaira teringat dengan pekerjaannya. Ia tadi lupa bertanya ketika mereka diminta saling bertukar pertanyaan. Mau bagaimanapun sekarang dia sudah menikah, Kaira membutuhkan izin Fariz apapun keputusan yang mau dia ambil.Fariz tak langsung menjawab, ia lebih dulu menjalankan mobilnya yang harus berhenti karena lampu merah.“Lakukan sesukamu.” Jawab Fariz singkat padat dan jelas.Selepas itu tidak ada lagi perbincangan antar keduanya. Fariz yang terlalu kaku dan cuek, dengan Kaira terlalu canggung dan belum terbiasa, ditambah Kaira tidak terbiasa juga hanya berdua di ruang sempit dengan lawan jenis seperti ini. Didikan Albi dan Silfi yang didasari dengan ilmu agama yang kental membuatnya tidak terlalu mengenal lawan jenis. Kaira juga tidak pernah pacaran dan sejenisnya. Lengkap sudah alasan kecanggungan keduanya.Empat tahun kemudian. Hubungan Fariz dan Kaira semakin harmonis serta mencengkram. Mereka sudah pindah kerumah yang Fariz buat, kurang lebih lima bulan yang lalu sebelum kelahiran putra kedua mereka. Teren Qoir Kamran putra pertama mereka dan Bima Lim Kamran untuk putra kedua mereka. Jika mengira hubungan mereka semulus dan seindah yang dibayangkan jawabanya tidak. Huru dan hara masih tetap menerpa keluarga kecil mereka, tapi setelah kejadian beberapa tahun silam Fariz tak lagi meragukan istrinya dia juga jadi tenang menghadapi apapun masalah rumah tangga mereka. Apapun itu mereka selesaikan bersama dan mereka pecahkan dengan kepala dingin. "Sayang, dimana dasi Mas?" teriak Fariz kencang-kencang dari arah walk in closet. Kaira tengah memandikan Teren anak sulung mereka yang umurnya sudah tiga tahun. "Sayang Bima pup." Teriak Fariz lagi. Baru beberapa menit pria itu berteriak menanyakan dasi kini sudah berteriak lagi. "Mas gantikan dulu lah!" jawab Kaira mengeraskan suaranya tapi
"Mas seneng?" tanya Kaira sembari memandang selembar Fariz yang sedang mengamati selembar kertas dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Pria itu senang sekaligus terharu. Seluruh beban di pundaknya tiba-tiba terlepas. Mereka duduk bersila di atas ranjang saling berhadapan.Fariz mengangguk, tapi enggan membalas tatapan Kaira."Masih kepikiran takut Ara tinggalin?" tanya Kaira, Fariz menganggukkan kepalanya lagi. Betapa bahagianya dia hari ini."Mas...." peringat Kaira dengan suara sedikit meninggi. Spontan Fariz menoleh, menatap Kaira.Wajah Kaira yang garang sembari menatapnya nyalang membuat Fariz mengedip-kedipkan kedua matanya tanpa sadar."Sebegitu susah dipercayanya kah Ara di mata Mas?"Fariz menggeleng, Kaira melebarkan kedua matanya. "Terus kenapa susah betul buat percaya sama Ara, apa di mata Mas Ara sebejat itu?" tanya Kaira lagi. Fariz dengan cepat menggeleng keras. Bukan itu maksudnya. Dia hanya takut, itu saja."La terus? Kenapa Mas selalu berpikir jelek tentang Ara?""Mas
Demam Fariz berlanjut hingga lima hari lamanya, bahkan bisa dikatakan semakin memburuk hingga Kaira harus memasan infus mandiri kepada Fariz. Demam Tifoid Fariz kambuh karena terlalu stres dan kelelahan. Tapi pria itu menolak dirawat di rumah sakit dengan berbagai macam alasan, yang katanya kasurnya sempit lah, makananya tidak enak lah, cat ruangan nya bikin silau mata lah, dan masih banyak lagi. Mau tidak mau Kaira mengalah dan mengizinkan Fariz dirawat di rumah saja dengan wanita itu sendiri yang turun tangan merawat suaminya.“Sayang, Ara janji kan tidak akan tinggalin Mas?” tanya Fariz hari ini sudah entah yang keberapa kalinya. Sampai Kaira muak mendengarnya.Kaira berdecak nyaring, bangkit dari posisi duduknya, berdiri di sisi ranjang menghadap suaminya sambil berkacak pinggang. Sedangkan Fariz sedang bersandar di kepala ranjang, tangan kanan nya terpasang alat infus. “Ara cuma mau ke rumah sakit lihat hasilnya Mas. Memang mas lihat ara bawa koper?” tanya Kaira kesal.Fariz meng
“Mas minta maaf dulu sebelumnya...” kata Fariz membuka cerita.Dia menarik napas dalam lalu membuangnya asal. Setelahnya pria itu menceritakan segalanya, tentang apa yang terjadi kemarin di kantor, hari ini dan beberapa tahun silam tanpa terkecuali. Dan Kaira juga menyimak tanpa menyela. Tidak ada ekspresi apapun yang wanita itu tunjukkan.Hati Fariz gelisah bukan main, tapi bebannya sedikit terangkat meskipun rasa takut semakin mendominasi dirinya.“Sebenarnya Mas yakin anak itu bukan Anak Mas. Tapi Mas tahu Ara tidak akan percaya tanpa bukti, Mama juga sudah minta bukti kalau memang dia bukan anak biologis Mas. Walaupun waktu itu mas terpengaruh sama obat dan setengah mabuk juga. Tapi mas masih cukup sadar sayang, wine yang dicampur obat itu Mas minum cuma satu tegukan." Fariz menjeda ucapanya sejenak, pikiranya mulai menerawang akan kejadian kelam beberapa tahun silam."Mas sebenarnya tahu kelakuan bejat wanita itu dari awal karena kecerobohan dia. Waktu itu mas mikirnya ya itu nor
Hasil tes DNA baru akan keluar satu sampai dua minggu lagi. Dan tidak bisa di nego, padahal Fariz sudah meminta percepatan waktu berapapun biayanya dia tidak masalah. Tapi sayangnya maju pun hanya bisa satu minggu saja. Dan Fariz tidak punya pilihan lain selain sabar menanti. “Bos, kita ke kantor?” tanya pak Manut. Melirik kaca spion depan mobil, melihat Fariz yang duduk di bangku penumpang belakang sambil memijat keningnya berulang dan mata terpejam rapat. Mobil Alphard hitam itu baru saja melaju kurang lebih lima menit.Fariz tak langsung menjawab, kepalanya pusing, banyak sekali yang memenuhi pikirannya. Niatnya dia jika hasil tes bisa keluar hari ini dia bisa menjelaskan segalanya pada Kaira istrinya, tapi malah justru baru keluar satu minggu lagi.“Bos ada masalah? Maaf nih ya bos kalau terkesan lancang. Tapi sebaiknya bos pulang saja istirahat dan cerita dengan Bos Ara, biasanya separuh beban bisa terangkat kalau cerita sama istri mah.” Saran pak Manut.Dia tidak bodoh, pak Man
Selepas kejadian itu tak ada yang berubah dalam rumah tangga Fariz dan Kaira. Semua nampak normal, Kaira nya juga seperti biasa, hangat, dan selalu perhatian.Siang itu juga Fariz meminta Tian untuk mencari tahu tentang Sindi. Semua tentang latar hidup Sindi tanpa terkecuali, termasuk anak wanita itu yaitu Mila.Tidak butuh waktu lama, besoknya Tian menyodorkan satu map berisi semua informasi Sindi, dari soal Sinda yang ternyata menikah empat tahun lalu dengan pria yang berbeda dengan yang menjadi alasan wanita itu meninggalkanya. Suaminya yang dipenjara karena melakukan kekerasan pada putrinya, dan dia yang bercerai dengan suaminya satu bulan lalu. Semua Fariz dapatkan termasuk alamat tempat tinggal dan tempat wanita itu bekerja.Tanpa membuang-buang waktu. Pagi itu juga jam 09.00, Fariz mendatangi alamat restoran jepang, tempat dimana wanita itu bekerja sebagai pelayan.“Fariz...” Sapa wanita itu dengan wajah berbinar.Berjalan tergopoh-gopoh mendekati Fariz dan berdiri di hadapan p
Kabar itu sama sekali tidak mengganggu pikiran Fariz. Pria itu tetap fokus bekerja, siang juga makan ditemani Kaira yang datang. Mereka juga bercanda ria layaknya pasangan yang sedang dimabuk asmara. Setelah kesepakatan mereka berdua satu minggu silam, Kaira memang setiap siang datang untuk mengantar makan siang Fariz.Fariz memang tidak memikirkan dan tidak mempermasalahkannya tapi sayang, kabar kejadian jam 10 pagi tadi sampai sudah di telinga Lina, dan tanpa membuang waktu lagi wanita tua itu langsung datang ke kantor Fariz dengan kobaran amarah tepat ketika Kaira sedang berada di dalam toilet. Bahkan tanpa Bian yang menemani."Maksudmu wanita itu apa Fariz? kamu menghamili anak orang?" tanya Lina, baru saja masuk ruang kerja Fariz dan menutup pintu cukup keras.Fariz yang duduk di sofa sambil membereskan sisa makanan dengan istrinya menoleh pada Lina yang berdiri berkacak pinggang di depan pintu. Napas wanita tua itu tersenggal-senggal."Mama..." ujar Fariz tercicit.Lina mengatur
Tidak pakai menunggu besok. Malamnya Fariz sudah menyulap ruangan yang diperuntukkan sebagai gudang menjadi ruang olahraga. Pria itu seperti orang kesetanan membeli berbagai macam alat GYM, sampai ingin membuat Kaira mengamuk sejadi-jadinya. Untung saja pria itu sedang berduka jadi Kaira masih bisa menahan dan hanya menatap Fariz nyalang.Kaira pikir ketika Fariz izin membeli alat GYM ya hanya satu saja, treadmill misal. Tapi pria itu ternyata membeli beraneka ragam. Kaira sendiri tidak tahu apa namanya dan berapa jumlahnya sangking banyaknya yang dibeli."Awas ya Mas, kalau ini nanti tidak dipakai semua?" ancam Kaira, kedua matanya sudah menyala-nyala. Ancaman itu sudah Kaira lontarkam entah untuk yang keberapa kalinya. Fariz acuh tak acuh, pria itu justru mengamati satu persatu barang barunya, mengabaikan istrinya. Tak mau semakin emosi Kaira balik kanan dan pergi, lebih baik dimasak daripada semakin emosi.30 menit Kaira bergelut dengan alat masak dan Fariz dengan alat GYM barunya
“Mas merasa aneh tidak sih?” tanya Kaira tiba-tiba saja di sela makan mereka. Fariz yang sedang menikmati kentalnya kuah udon seketika mengangkat kepalanya menatap Kaira yang tengah memperhatikannya.“Aneh soal?” tanya Fariz.Kaira meletakkan sendok dan sumpitnya kedalam mangkuk yang isinya masih setengah lebih. Menatap suaminya intens. “Kita nikah sudah lama kan Mas? Kok Ara belum hamil juga ya Mas?”Fariz terpaku, sendok berisi kuah udon yang akan dimasukkan kedalam mulut tiba-tiba terhenti, mematung di udara.“Aneh kan Mas? Maksud Ara kita pasangan muda, terus juga sudah lama menikah seharusnya kan Ara sudah hamil sekarang. Kita juga tidak menunda kan?”Sebelum menjawab Fariz lebih dulu meletakkan sendok itu kedalam mangkuk, pandanganya fokus pada Kaira yang duduk di hadapanya. “Mungkin Allah memang belum mau kasih sayang,” jawabnya. Berusaha terlihat santai, dia malah belum pernah berpikir ke arah sana.“Mas mau tidak kalau Ara periksa, takutnya Ara ada masalah.”“Masalah maksudny