Share

Bab 3

Penulis: Adinda Permata
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-18 07:49:21

Radit tersentak, punggungnya menghantam tanah berdebu di belakang warung dengan bunyi gedebuk. Napasnya tersengal, dadanya naik turun tak beraturan, seolah ia baru saja berlari maraton sejuta kilometer. 

Matanya terpejam rapat, mencoba mengusir sisa-sisa ledakan sensorik itu. Ia merasakan denyutan di setiap saraf, bukan sakit, melainkan sebuah kejutan dahsyat yang melampaui rasa nyeri. 

Radit membuka kelopak matanya. Dunia di sekelilingnya tampak berbeda. Bukan secara fisik, namun dalam sebuah dimensi yang lebih subtil.

Udara malam yang dingin kini terasa membawa partikel-partikel aroma tersembunyi. Debu di tanah tak lagi hanya debu, melainkan campuran partikel mineral dengan jejak aroma tanah basah dan sisa pembakaran kayu. Bahkan embusan angin yang menerpa kulitnya terasa seperti sentuhan yang bisa ia ‘rasakan’ komposisinya.

Radit berdiri dengan gontai, kepalanya masih berdenyut seperti ditabuh gong. Namun ada sensasi kejelasan yang aneh. Seolah, di tengah kekacauan itu, sebuah perpustakaan raksasa baru saja tertanam sempurna di benaknya. 

Radit melirik kompornya yang mati, wajannya yang teronggok dingin. Sesuatu yang ganjil. Ia tahu persis.

“Bawang itu… harusnya dipotong lebih tipis lagi,” gumamnya dengan suara serak. Ia menatap tumpukan bawang merah yang sudah ia iris tadi siang, yang kini mengering di talenan. 

“Dan minyaknya… suhu idealnya 180 derajat Celsius, bukan lebih atau kurang. Itu baru akan mengeluarkan esensi manisnya, tanpa jejak pahit,” tamahnya. 

Radit mengernyit. Dari mana ia tahu itu? Ia tidak pernah memedulikan detail seperti itu sebelumnya. Resep kakeknya adalah panduan, bukan rumus kimia. Tapi sekarang, rumus itu terasa terukir di setiap sel otaknya.

[Pengetahuan: Bumbu Dasar Level 1 telah terintegrasi sepenuhnya. Pengguna sekarang memiliki pemahaman fundamental tentang proporsi dan interaksi bumbu utama.]

Suara Sistem itu kembali, dingin dan tanpa emosi, namun kini terasa bukan lagi sebagai gangguan, melainkan konfirmasi. 

Radit menatap layar holografik yang masih melayang di depannya. Tulisan 'Pecundang Kuliner' masih terpampang, namun di bawahnya, sebuah barisan baru telah muncul:

[SKILL: Bumbu Dasar Level 1 (Tingkat Penguasaan: 100%)]

“Ini… ini serius?” bisiknya, matanya membelalak. Tangannya gemetar, bukan karena takut lagi, melainkan karena getaran aneh yang menyerupai gairah yang lama hilang. “Aku… aku beneran tahu?”

Radit berjalan sempoyongan ke arah wajan. Mengangkatnya, merasakan bobot besi tuanya yang familiar. Namun, kini terasa berbeda. Bukan beban, melainkan potensi. Ia teringat Quest pertama:

[QUEST PERTAMA: Nasi Goreng Kebangkitan]

[DESKRIPSI: Buktikan bahwa kau layak menjadi wadah Sistem. Masaklah satu piring Nasi Goreng Level 1 yang melampaui standar kehambaranmu saat ini.]

[HADIAH: 10 Poin Pengalaman, Buka Skill 'Bumbu Dasar Level 1']

[HUKUMAN JIKA GAGAL: Penghapusan eksistensi kuliner (rasa masakanmu akan menjadi lebih buruk dari air tawar).]

Ancaman itu masih terasa menggigit, namun kali ini, di tengah kepalanya yang dipenuhi pengetahuan baru. Ia merasakan secercah harapan yang menakutkan. Ia menatap nasi sisa yang masih ada di dalam panci. Dingin. Hambar. Persis seperti hidupnya.

“Baiklah,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Sistem. “Ini gila. Aku tahu ini gila. Tapi… kalau aku beneran bisa….”

Radit menyalakan kompor. Api biru menjilat-jilat, namun kali ini, Radit tidak merasa putus asa. Ia merasakan api itu, bukan hanya panasnya, melainkan energinya. Seolah api itu adalah perpanjangan dari kehendaknya.

Radit mulai mengambil bahan-bahan. Bawang merah, bawang putih, cabai, telur. Gerakannya, yang tadinya lunglai dan mekanis, kini memiliki presisi aneh. Jemarinya yang kapalan memotong bawang merah, setiap irisan jatuh dengan ketebalan yang sama persis, seolah diukur dengan mikrometer. Ia bahkan bisa ‘merasakan’ serat-serat bawang itu terputus di bawah pisaunya.

“Ini aneh banget,” ia bergumam, senyum tipis terukir di bibirnya, bercampur antara ngeri dan takjub. “Kayak aku udah pernah ngelakuin ini ribuan kali.”

Minyak jelantah yang tadi ia anggap hitam dan kotor, kini ia ganti dengan minyak kelapa murni yang tersisa sedikit. Ia tuang ke wajan. Sistem di dalam kepalanya berdetak.

[Suhu minyak ideal tercapai. Masukkan bumbu.]

Radit tidak perlu berpikir. Tangannya bergerak sendiri. Bawang merah, bawang putih, cabai yang sudah ia potong sempurna, meluncur ke wajan panas. Desisan yang dihasilkan berbeda. Bukan desis lelah dari hari-hari sebelumnya, melainkan sebuah melodi garing, tajam, dan penuh janji. Aroma yang naik ke udara pun berbeda. Bukan bau sangit, melainkan wangi harum yang kaya, langsung menyerbu indra penciumannya dengan kelembutan, namun intensitas yang belum pernah ia rasakan dari warungnya.

“Wanginya…” Radit terdia. Matanya terpejam sejenak. Ia menghirup dalam-dalam. Itu bukan sekadar aroma tumisan biasa. Itu adalah aroma yang menguar, menyelimuti seluruh warungnya. Bahkan merayap keluar ke jalanan yang sepi. Aroma yang memanggil, menjanjikan sesuatu yang luar biasa.

Radit memasukkan nasi. Butiran-butiran nasi dingin itu kini bertemu dengan bumbu yang sempurna. Ia mengaduknya. Gerakan spatula baja di wajan kini terasa seperti tarian. Cepat, efisien, namun penuh keanggunan. Setiap butir nasi terpisah, tidak lengket, tidak hancur. Mereka melompat-lompat di atas wajan, berbalut bumbu keemasan yang sempurna.

[Penguasaan Wok Hei Level 1 terdeteksi. Peningkatan efisiensi memasak: 200%.]

Sebuah notifikasi lain muncul. Radit bahkan tidak menyadari bahwa ia baru saja menciptakan wok hei yang legendaris, sebuah teknik yang membutuhkan bertahun-tahun latihan. Ia hanya merasakan panas wajan, merasakan nasi itu sendiri, dan membiarkan tangannya bergerak. Seolah ada kekuatan tak kasat mata yang membimbing setiap gerakan, setiap ayunan.

“Ini bukan aku,” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar di tengah desisan wajan yang merdu. “Ini pasti… Sistem itu.”

Keraguan dan ketakutan kembali merayap, namun kini mereka berjuang melawan sensasi gairah yang membakar. Jika ini bukan dirinya, lalu siapa? Dan mengapa ia bisa merasakan setiap detailnya? 

Setiap butir garam yang ia taburkan, setiap tetes kecap yang ia tambahkan, semua terasa sempurna. Tidak ada yang berlebihan, tidak ada yang kurang. Sebuah keseimbangan yang mutlak.

Radit memecahkan sebutir telur, menjatuhkannya ke samping nasi goreng, dan menggorengnya sempurna. Kuning telur yang masih sedikit lumer, pinggirannya renyah dan berwarna kecokelatan. Ia menata hidangan itu di piring kaleng, yang kini terasa terlalu biasa untuk menampung mahakarya ini.

Nasi Goreng Kebangkitan. Nama itu terngiang di benaknya, bukan dari Sistem, melainkan dari dirinya sendiri.

Radit mengambil sendok, jemarinya masih bergetar. Satu suapan. Ia memasukkan sendok itu ke mulutnya.

Ledakan rasa.

Bukan sekadar enak. Ini adalah sebuah simfoni. Rasa gurih dari nasi, manis dari kecap, pedas dari cabai, umami dari bumbu… semuanya menari di lidahnya dalam harmoni yang sempurna. 

Setiap butir nasi terasa seperti ledakan kecil, setiap komponen bumbu terasa hidup, saling melengkapi, saling memperkuat. Ada kehangatan yang menjalar dari lidahnya, menuruni tenggorokannya, hingga ke dadanya. 

Bukan hanya kehangatan fisik, tapi kehangatan emosional. Sebuah rasa yang familiar, namun juga asing. Rasa yang hilang. Rasa yang telah kembali.

“Ini… ini resep Kakek,” bisiknya, air mata menggenang di pelupuk matanya. “Ini… lebih dari itu.”

Ini adalah resep Kakek Jaya, namun dengan sentuhan kesempurnaan yang melampaui ingatannya. Ini adalah warisan yang hidup, yang bernapas, yang berteriak di setiap gigitan. Ketakutannya, keraguannya, semua mencair dalam lautan rasa yang luar biasa ini. Ini nyata. Ini benar-benar nyata.

Radit menatap warungnya yang kumuh. Tiga meja reyot, kursi-kursi plastik yang warnanya pudar. Tapi sekarang, warung itu terasa dipenuhi oleh aura yang berbeda. Aura yang hangat, yang mengundang.

Radit melirik ke sudut warung, tempat lalat-lalat biasa berdengung malas, mengejek kesunyian. Namun, kini tidak ada suara. Lalat-lalat itu… mereka semua tampak membeku di udara, seolah terpaku oleh aroma yang menguar dari piring Nasi Goreng Kebangkitan itu. 

Mereka tidak terbang. Mereka hanya… mengambang, tertarik oleh kekuatan aroma yang tak tertahankan, oleh esensi rasa yang baru saja terlahir kembali di dalam wajan Radit, sebuah kebangkitan yang mengubah segalanya. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 7

    Sesuatu yang mengintai, menunggu dalam bayang-bayang, tertarik pada kekuatan rasa yang baru saja ia bangkitkan.Pikiran rasional Radit berusaha memberontak, mencari-cari penjelasan logis di tengah lautan teror yang mulai menenggelamkannya. Trik mata. Kelelahan ekstrem. Pantulan cahaya lampu jalan yang aneh dari kaleng kerupuk yang penyok. Ya, pasti itu. Bayangan itu hanyalah produk dari otaknya yang sudah terlalu lelah, sama seperti suara di kepalanya yang mengaku sebagai Sistem Citarasa Ilahi.Ia mencoba mengalihkan pandangannya, memaksa dirinya untuk melanjutkan pekerjaan. Ia meraih kain pel, mencelupkannya ke dalam ember, dan mulai menggosok lantai dengan gerakan kaku. Namun, matanya seperti ditarik oleh magnet tak kasat mata, terus-menerus melirik ke sudut gelap itu. Bayangan itu masih di sana. Tidak bergerak, tetapi kehadirannya terasa begitu padat, begitu nyata, seolah memiliki gravitasi sendiri yang membengkokkan ruang dan waktu di sekelilingnya.Aroma dupa itu kembali mengua

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 6

    Suara isapan itu berhenti, menyisakan keheningan yang seribu kali lebih menakutkan. Kehampaan suara itu terasa seperti sebuah pernyataan—hidangan telah habis, transaksi telah selesai. Radit, yang masih berjongkok dengan lutut gemetar, merasakan gelombang dingin merayap di punggungnya, sebuah insting purba yang memerintahkannya untuk lari.Tanpa berpikir, ia bangkit dan berbalik. Ia tidak berlari, karena kakinya terasa seperti jeli, melainkan berjalan sempoyongan dengan kecepatan yang dipaksakan. Ia mematuhi perintah Sistem: jangan menoleh. Setiap langkah menjauh dari persimpangan itu terasa seperti menarik kakinya dari lumpur hisap yang tak terlihat. Ia bisa merasakan sesuatu di belakangnya, bukan kehadiran fisik, melainkan sebuah kekosongan yang mengawasinya, sebuah tatapan dari entitas yang baru saja ia beri makan.Begitu pintu warungnya yang reyot tertutup di belakangnya, kakinya lemas. Ia bersandar di pintu, dadanya kembang kempis, keringat dingin membasahi pelipisnya.“Gila… g

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 5

    “Kau… bukan sekadar juru masak,” bisiknya, kata-kata itu keluar seperti hembusan napas yang rapuh, sarat dengan kekaguman yang nyaris menyakitkan. “Kau adalah seorang pencerita. Dan ini…,” si wanita menunjuk piring kaleng itu dengan dagunya, matanya masih terpaku pada Radit, “...ini adalah kebenaran yang bisa dirasakan.”Radit hanya bisa menatap wanita itu. Mulutnya terbuka tanpa suara. Otaknya gagal total memproses pujian yang begitu puitis dan dahsyat. Selama ini, pujian tertinggi yang pernah ia terima adalah, “Lumayan, Dit, nggak terlalu gosong.”Wanita itu perlahan berdiri, gerakannya kembali anggun dan terkendali, seolah momen keterkejutan tadi hanyalah riak sesaat di permukaan danau yang dalam. Ia merapikan blazernya, tatapannya yang tajam kini melunak, digantikan oleh sesuatu yang lebih kompleks. Rasa hormat, keingintahuan, dan mungkin sedikit kebingungan.“Aku Luna,” katanya, memperkenalkan diri seolah itu adalah hal paling wajar di dunia, di tengah warung yang lebih mirip lo

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 4

    Lalat-lalat itu, yang tadinya menjadi simbol pembusukan dan kegagalan, kini melayang beku di udara, sayap-sayap mungil mereka berhenti bergetar. Mereka bukan lagi serangga, melainkan para pemuja bisu yang terpaku di hadapan sebuah altar rasa, terhipnotis oleh kemenyan ilahi yang menguar dari sepiring nasi goreng di atas meja.Radit sendiri berdiri sama kakunya. Ia menatap piring di hadapannya, bukan dengan rasa bangga, melainkan dengan ketakutan. Nasi goreng itu memancarkan aura hangat, butiran-butiran nasinya yang keemasan tampak berkilau lembut di bawah cahaya remang warungnya. Ini bukan lagi makanan. Ini adalah sebuah artefak, sebuah keajaiban yang lahir dari wajan tuanya, dan ia tidak berani menyentuhnya, takut keajaiban itu akan sirna jika disentuh oleh tangan seorang pecundang sepertinya.Keheningan yang sakral itu tiba-tiba pecah.Bukan oleh dengung lalat yang kembali sadar, melainkan oleh suara asing yang datang dari jalanan. Sebuah deru mesin yang halus, dalam, dan bertenaga

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 3

    Radit tersentak, punggungnya menghantam tanah berdebu di belakang warung dengan bunyi gedebuk. Napasnya tersengal, dadanya naik turun tak beraturan, seolah ia baru saja berlari maraton sejuta kilometer. Matanya terpejam rapat, mencoba mengusir sisa-sisa ledakan sensorik itu. Ia merasakan denyutan di setiap saraf, bukan sakit, melainkan sebuah kejutan dahsyat yang melampaui rasa nyeri. Radit membuka kelopak matanya. Dunia di sekelilingnya tampak berbeda. Bukan secara fisik, namun dalam sebuah dimensi yang lebih subtil.Udara malam yang dingin kini terasa membawa partikel-partikel aroma tersembunyi. Debu di tanah tak lagi hanya debu, melainkan campuran partikel mineral dengan jejak aroma tanah basah dan sisa pembakaran kayu. Bahkan embusan angin yang menerpa kulitnya terasa seperti sentuhan yang bisa ia ‘rasakan’ komposisinya.Radit berdiri dengan gontai, kepalanya masih berdenyut seperti ditabuh gong. Namun ada sensasi kejelasan yang aneh. Seolah, di tengah kekacauan itu, sebuah perp

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 2

    Beberapa saat Radit mematung. Ia sama sekali tidak bisa tidur. Suara yang muncul di kepalanya membuatnya bertanya-tanya. Apa ia sungguh kehilangan kewarasannya sekarang? Sistem Citarasa Ilahi. Sesuatu yang tidak disangka oleh Radit. Apa yang sebenarnya terjadi padanya?Arang hitam itu terlepas dari genggamannya yang gemetar, jatuh ke tanah dengan bunyi gedebuk yang nyaris tak terdengar. Radit berdiri kaku, matanya yang membelalak liar menatap spanduk lusuh di hadapannya, tetapi yang ia lihat bukanlah kain pudar itu. Ia melihat kehampaan.“Gila…,” desisnya, napasnya keluar dalam embusan gemetar yang membentuk kabut tipis di udara malam yang dingin. “Aku sudah gila. Stres. Kurang tidur. Kelaparan. Lengkap sudah penderitaanku,” ocehanya pada diri sendiri. Radit mencoba merangkai serpihan rasionalitas yang tersisa di benaknya yang kacau. Tentu saja itu jawabannya. Tubuhnya telah mencapai batas, dan otaknya mulai memproduksi ilusi untuk melarikan diri dari kenyataan pahit. Suara di dala

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status