“Kamu kenapa malah duduk di lantai kaya anak kecil, Arya? Saya membayar kamu bukan untuk berlaku kekanakan. Tapi untuk kerja!” sentak Pak Irsyad dengan tatapan tajam bak harimau lapar. Dasar bujang lapuk.“Ma—maaf, Pak. Saya tiba-tiba lemas. Belum sarapan!” Mencoba berdiri tegak mesti kaki terasa gemetar.Pak Isyad lalu segera mengayunkan kaki meninggal diriku sendiri di lobi.Ah, sial. Malu sekali aku. Sudah sok-sokan nunjukkin foto si Nirmala sama selingkuhannya malah nggak digubris. Memang kalau sudah cinta dan bucin, orang salah juga tetap terlihat benar. Batu kali saja terlihat seperti berlian di matanya. Namanya juga lagi tergila-gila. Tapi coba lihat saja nanti jika kedok Nirmala terbongkar. Pasti dia akan menyesal tidak mendengarkan aku.Masuk ke dalam ruangan, duduk di kursi singgasanaku lalu menyalakan laptop, mengerjakan tugas yang tiada pernah ada habisnya sambil sesekali berbalas pesan dengan sang bidadari hati.Jak
Dengan langkah ragu kuhampiri perempuan itu, ingin menyapanya juga mengajak pulang. Aku akan memaafkan segala kesalahannya karena sudah berkhianat, asalkan ia mau kembali hidup bersama lagi.“La!” Panggilku dengan suara bergetar.Dia menoleh. Senyum yang terkembang di bibir perlahan memudar melihatku sudah berada di hadapannya. Pun dengan pria muda yang sedang bersama dengannya.“Ayo, Vir. Kita pergi dari sini. Katanya kita mau beli tongkat!” Ia seolah mengabaikan diriku.“La, aku mau ngomong sama kamu. Tolong jangan pergi!” Berjongkok tepat di hadapannya, menggengam jemari lentik milik Nirmala, namun, pelan-pelan dia menarik tangannya dari genggamanku.“La, ayo kita pulang. Mas kangen sama kamu. Mas ingin bicara penting sama kamu, tapi hanya berdua saja!” ucapku seraya menatap wajahnya.Nirmala bergeming. Wajahnya ia palingkan menghindari tatapanku. Dan entahlah mengapa perlakuannya kepadaku membuat hati ini terparut
POV Nirmala. Meremas jemari, merasa kesal karena harus bertemu dengan Mas Arya. Padahal, aku sangat berharap tidak akan lagi dipertemukan dengan laki-laki pengkhianat seperti dia, karena jujur melihat wajahnya yang sok polos membuat yang ada di dalam dada terasa sakit. “Mbak Lala pasti lagi nglamunin suami Mbak ya?” ucap Virgo menyentakku dari lamunan. “Aku sebel saja karena harus ketemu sama dia, Vir. Bikin bad mood!” sungutku kesal. “Benci sama cinta itu beda tipis, Mbak.” “Memangnya kamu tau apa, Vir?” “Saya tau segalanya, Mbak!” Dia tertawa lepas, seakan tidak pernah ada masalah yang mendera hidupnya. “Udah, ah. Aku mau pulang. Beli tongkatnya besok aja!” “Siap!” Dia terus mendorong kursi rodaku menuju parkiran, mengunci rodanya setelah sampai lalu membantuku untuk berdiri dan masuk ke dalam mobil. Aku memejamkan mata menghidu aroma tubuh pria yang tengah memapahku. Merasakan kenyamanan yang tidak pernah aku rasa ketika bers
“Selamat pagi, La. Apa hari ini kamu ada jadwal terapi?” sapa Kak Irsyad saat aku baru saja keluar dari dalam kamar.Kapan dia datang? Lagian kok tumben. Pagi-pagi seperti ini dia sudah berada di rumahku.“Nggak ada, Kak. Aku terapi seminggu dua kali!” jawabku datar.“Kita jalan, yuk! Aku mau mengajak kamu main ke rumah Mama. Sudah lama aku tidak bertandang ke sana. Mama meminta aku datang, karena hari ini Mama ulang tahun.”Dahiku mengernyit mendengar ajakannya. Apa dia tidak malu mengajak perempuan cacat seperti aku ini? Apalagi pasti hari ini keluarga besar Kak Irsyad semuanya hadir.Enggak. Aku takut dipermalukan di sana. Sudah cukup luka yang dia torehkan dulu, dan aku tidak mau menggores kembali luka yang sudah mengering.“Kenapa malah bengong, La? Kamu mau ya?” Pria bertubuh jangkung itu berjongkok di depanku dan menggenggam jari-jemariku.“Maaf, Kak. Aku belum bisa bertemu dengan keluarga Kakak!” to
Aku terus memberontak mencoba melepaskan diri, akan tetapi pria misterius itu mengikat kuat tangan ini menggunakan tali dan menutup mulutku menggunakan saputangan. Dalam hati tidak henti-hentinya merapalkan doa, meminta kepada Tuhan supaya Kak Irsyad menyadari bahwa ada orang yang tengah menculikku dan segera mengejarSetelah menempuh perjalanan lebih dari setengah jam, mobil yang membawaku akhirnya berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua. Mereka lalu membawaku keluar, membopong tubuhku masuk ke dalam rumah tersebut tanpa melepas ikatan di tangan.Buk!Sebuah tendangan melayang di punggung salah satu orang yang membawaku. Virgo berdiri dengan tangan terkepal serta dada naik turun tidak beraturan, terus menghadiahi tinju kepada laki-laki bertopeng yang menculikku hingga mengerang kesakitan.“Lepaskan Lala, atau gue patahkan tangan dan kaki Lo!!” teriak sang pemilik sabuk hitam itu seraya menunjuk ke arah orang yang tengah m
Aku mendengus kesal mendengarnya. Sambil menahan emosi kukerjakan sendiri apa yang seharusnya menjadi tugas istri, menyiapkan sarapan sendiri sudah seperti seorang duda.Padahal, dulu ketika ada Nirmala aku tidak pernah mengerjakan satu pekerjaan pun, karena semuanya sudah dipegang oleh asisten rumah tangganya. Sepertinya aku harus lebih getol lagi merayu wanita itu supaya menerimaku kembali, apalagi sekarang dia sudah tinggal di Jakarta. Tidak masalah dia cacat, yang penting banyak uang dan bisa mencukupi semua kebutuhan, juga bisa melayani semua keinginanku.“Kamu nyetrika sendiri, Ar?” tanya Ibu saat melihat aku tengah mengenakan kemeja di kamar yang biasa dipakai untuk melicin pakaian.“Habis mau bagaimana lagi, Bu. Siska nggak mau nyetrikain baju aku. Dia masih ngantuk katanya!” sungutku kesal.“Istri kamu itu memang bener-bener, Ar. Maunya mainan hape terus. Nggak pernah mau bantuin Ibu
“Memangnya apa yang bisa buat gue iri sama lu? Nggak ada ‘kan?” “Gue punya dua istri dan lu jomlo!”“Lu punya dua istri juga hasil nipu orang, Ar. Lu diem-diem nikah sama Siska tanpa sepengetahuan istri tua lu, dan lu ngaku bujang sama si Siska. Ngaku orang kaya. Makanya sekarang lu pusing sendiri kan?Kalo boleh gue kasih saran, sebaiknya lu jujur sama Siska siapa diri lu sebenarnya. Gue kasian liat lu pontang-panting juga pusing mikirin utang, apalagi istri baru lu itu hobi banget foya-foya macam istri bos. Satu lagi, syarat laki-laki berpoligami itu harus mampu baik materi maupun waktu. Lu harus adil membagi waktu juga nafkah kepada kedua istri lu. Jangan malah ngarepin istri tua lu yang ngasih duit ke lu dan lu pake buat bahagiain istri muda. Itu namanya zalim.Barang siapa yang memiliki dua orang istri lalu dia lebih cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka dia akan datang pada hari kiamat kelak dengan sebe
“Siska ke mana, Bu?” tanyaku, menghampiri Ibu yang sedang menonton televisi di ruang tengah.“Mana Ibu tau. Dia pergi dari pagi dan belum pulang sampai sekarang!” jawab Ibu ketus. Tidak menoleh sama sekali ke arahku.“Harusnya Ibu tau dong. ‘Kan seharian Ibu ada di rumah. Masa menantunya sendiri pergi Ibu malah tidak tau!”“Kamu tau sendiri perlakuan Siska sama Ibu seperti apa? Mana berani Ibu nanya-nanya kalau dia mau pergi. Bisa ditelan hidup-hidup Ibu sama dia!”Aku mengusap wajah frustasi. Benar juga. Siska itu ‘kan tidak akur sama Ibu akhir-akhir ini. “Pasti dia pergi juga karena nggak betah diomelin Ibu terus. Lagian, Ibu itu kenapa sih? Kok sekarang jahat banget sama istri aku. Dulu aja Ibu muji-muji dan nyuruh aku buru-buru nikah sama Siska. Sekarang setelah kami berdua nikah, Ibu malah musuhin dia!” tuduhku sambil berlalu pergi meninggalkan perempuan yang sudah melahirkanku tiga puluh tahun yang lalu. Malas berdebat pa