Home / Young Adult / Rest Area / 4. Kesinisan Hakiki

Share

4. Kesinisan Hakiki

Author: Desimala
last update Last Updated: 2021-04-11 21:07:36
Dikumpulkan di lapangan pada pukul delapan pagi untuk upacara itu adalah hal yang sangat menjengkelkan. Bagaimana tidak? Pukul delapan di musim kemarau itu matahari udah nggak merangkak naik, tapi udah lari buat sampai di atas. Gerah, Sist. Mana sekarang aku pakai jas jurusan yang tebelnya minta ditampol. Aku jadi berharap bisa berenang-renang manja di Danau Toba.

Hal yang membuatku tambah jengkel adalah aku baris pas banget di samping si Alan yang sok-sokan pakai masker. Aku jadi miris. Memang aku penyebar virus atau bagaimana sampai dia berdiri di dekatku saja harus pakai masker? Oh, atau jangan-jangan dia lagi yang punya virus ganas makanya malu terus pakai masker. 

"Ngapain lihatin aku kayak gitu?" Kesinisan hakiki memang sudah nemplok kuat di wajah Alan. Duh, sekarang aku benar-benar ingin buka sepatu pentopelku dan melemparnya tepat di muka pas-pasan si Alan.

"Wahai Tuan Alan, tampangmu memang sangat lemah lembut. Bentar deh, kurasa kacamata kamu itu kurang membantumu melihat, ya? Ya ampun. Kamu harus cek lagi, gih, ke optik terdekat."

"Nggak usah lebay pake Tuan-Tuan segala kalau niat menyindir. Ngomong aja langsung jangan pake bahasa alien kayak gitu."

"Duh, Tuan Alan, kamu itu memang dari planet mana? Aku tadi ngomong pakai bahasa Indonesia loh, dari planet bumi itu bahasanya."

"Bodo amat. Yang pasti kamu kelihatan bego kalau ngomong pakai bahasa itu."

Refleks aku lepas sepatu dan langsung melemparnya ke dada Alan. Ah, salah sasaran. Tadi aku niatnya lempar ke muka dia. Salahkan ukuran tubuh Alan yang jangkung. Jadi, lemparanku kurang tinggi. 

"Cuma orang gila yang buang sampah ke badan orang lain. Nggak punya sopan santun."

F*ck!

Aku hendak memukul Alan, tapi cowok itu gesit menghindar. Dia langsung pindah barisan, bertukar posisi dengan Agung yang memiliki postur tubuh raksasa. Sialnya sepatuku dibawa. Si Alan kampret emang harus aku tenggelamkan di Laut Merah. 

"Woy, Alan! Balikin sepatuku."

Alan noleh ke arahku. Wajah sinisnya yang hakiki bertambah beberapa derajat. "Bukannya udah kamu buang tadi?"

"Balikin nggak?!"

Alan melempar sepatuku ke belakang sampai mendarat di koridor perpustakaan. Wadaw, jauh banget. Dia punya tenaga super kayaknya. Barisan belakang menyadari ada suara benda jatuh. Namun, Pak Hendi yang lagi bicara di depan nggak menyadari itu. Syukurlah, setidaknya aku aman. Perlahan aku jalan ke belakang untuk mengambil sepatu. 

Sialan kampret! Aku kutuk kau jadi batu terus hanyut di sungai kena kotoran kuda nil!

***

Ngabisin waktu ala aku dan kedua sahabatku itu bukan hangout di kafe atau pergi ke mall ngabisin duit orang tua. Namun, ngabisin waktu versi kita yaitu ngobrol di dalam kelas sambil makan camilan kuaci yang kadang bikin batuk-batuk kalau kulitnya nggak sengaja tertelan.

"Nanti bikin jadwal main deh, biar bisa ketemu. Hari minggu aja, soalnya hari sabtu aku masuk kerja, eeeeaaaaaa .... "

"Tiap minggu?" tanya Disa.

"Jangan tiap minggu. Emangnya aku ini bandar duit?" 

"Emang ngabisin duit berapa sih, buat main?" Niara ikut nimbrung.

"Kalau mainnya ke Maja paling tiga puluh ribu. Kalau ke Majalengka bisa nyampe lima puluh ribu," jawabku.

"Kenapa jadi mahalan ke Majalengka? Maja sama Majalengka jauh Maja, Pril." Niara menautkan alisnya. 

"Yaiyalah mahal ke Majalengka. Kan kalau di Maja kita irit makan karena disuguhin sama Mimi. Kalau ke Majalengka, makan ayam geprek kita bayar sendiri." Aku nyengir sambil mengangkat tangan menunjukkan jari tengah dan telunjuk.

Mimi itu ibunya Niara. Aku dan Disa sudah beberapa kali ketemu beliau. Aku sendiri sudah menganggapnya Ibu keduaku. Abis pas aku nginep di Maja dia baik banget.

"Sebulan dua kali, deh. Minggu kedua sama minggu keempat," usul Disa.

"Setuju." Aku dan Niara berseru kompak. 

Bunyi ponsel dalam saku bajuku membuat obrolan kami terhenti. Aku melihat layar ponsel yang menampilkan notifikasi pesan masuk. Seketika alisku terangkat. 

"Siapa?" tanya Niara. Agaknya dia kepo pada si pengirim pesan. Atau aneh dengan ekspresiku yang berbeda dari biasanya. Yang pasti dia itu memang peka banget. Jadi, kalau ada yang berbeda denganku, dia bakal langsung tanya.

"Alfa," jawabku singkat. Sedangkan tanganku lihai menari di layar ponsel.

Manusia Alfabet. Nama panggilannya Alfa. Begitu aku menamai orang yang kemarin ngasih umpan huruf P di Whatsapp itu. Siapa suruh dia nggak mau ngakuin nama sendiri? Terus dia memberikan hak penuh padaku untuk memanggilnya dengan sebutan apapun. Masih untung nggak kupanggil nama binatang. Setidaknya aku masih berperikemanusiaan karena memberinya nama yang bagus. 

"Alfa siapa?" tanya Niara lagi. 

"Secret admirer aku, Ra." Aku terkekeh menyebutnya. Lima puluh persen aku yakin kalau Alfa memang pengagum rahasiaku. Abis dia tahu kalau aku suka menulis puisi. Aku yakin dia juga tahu namaku. Namun, nggak mau ngaku, maunya sok-sokan jadi orang asing yang baru kenalan. Jadi, dia menamaiku Beta. Karena katanya aku juga udah gila pas meladeninya menyebutkan seluruh alfabet. Jadilah kita kayak pasangan romantis yang berbagi nama. Bilang aja dia mau modusin cewek jomblo kayak aku. Eh, tapi aku belum tahu gender Alfa sebenarnya. Namun, kemarin dia bilang dia itu laki-laki. Sebelum aku mendengar suaranya, aku masih meragukan itu semua. 

"Sejak kapan seorang April punya pengagum rahasia?"

"Sejak saat ini. Aku kan cewek cantik, wajar dong kalau punya pengagum rahasia."

Niara dan Disa refleks menampilkan ekspresi mau muntah. Huh, punya temen gini amat. Mereka langsung melanjutkan makan kuaci dan melupakan aku yang masih sibuk membalas pesan Alfa.

Me: Jadi? Dapet dari mana nomorku?

Alfa: Dapet pas gosok ale-ale

Me: Ale-ale cuma menampilkan
kalimat coba lagi

Alfa: Anda belum beruntung

Me: Selamat Anda mendapat 1000 rupiah

Alfa: Beli lagi ale-ale ah

Me: Biar menang lagi ye? 
Kembung-kembung dah tuh perut

Alfa: Biar dapet nomor Michelle Ziudith

Me: Ngimpi siang bolong

Alfa: Kalau bolong harus ditambal

Stres memang Alfa ini. Aku tak lagi meladeni pesannya karena kalau chat-an sama Alfa ngaconya nggak bakal berhenti. 

Setelah kuaci satu bungkus ukuran jumbo raib, Niara minta diantar ke online shop yang ada di Pagandon, Kadipaten. Katanya dia mau beli botol minum yang sama kayak punyaku. 

Kami naik mobil angkot 1A. Abis itu jalan kaki ke TKP. Di sana kita pilih-pilih baju segala rupa. Padahal kita nggak niat beli. Namun, lumayanlah buat ngabisin waktu bareng sebelum senin nanti berkutat dengan setumpuk kerjaan.

Usai puas melihat-lihat baju, kita balik lagi ke Pasar Kadipaten buat beli kerudung yang nggak ada di olshoop. Jalan kaki lagi sambil ketawa-ketiwi. 

"Nanti kalau kangen kita vc," kata Niara. Kedua tangannya menggenggam tanganku dan Disa. "Jangan sok sibuk, ya. Pokonya kita harus punya waktu buat ngobrol."

"Siap."

Aku nggak ikhlas kalau harus jauh sama mereka. Namun, mau bagaimana lagi? 

Tiga bulan. Aku harus sabar nahan rindu.

***
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rest Area   41. Ada Yang Berubah

    Bisa dibilang hari ini aku sedikit beruntung, karena selain dipertemukan dengan orang ganteng aku juga diberi kesempatan untuk mengetahui namanya. Kabar baik lainnya adalah ternyata Oppa Korea yang tadi papasan sama aku di parkiran itu adalah karyawan baru yang dikirim dari kantor pusat untuk menggantikan Bu Jihan. Di sisa-sisa masa PKL ini, akhirnya aku bisa cuci mata, nggak melulu melihat wajah Pak Arip yang kerutan. Hehe.“Mit, namanya Zikri,” bisikku pada Mita yang baru saja datang. Cewek itu rupanya kesiangan karena semalam Ozan mengajaknya jalan-jalan. Pantas saja nomor WA-nya nggak aktif semalaman rupanya teman PKL-ku ini sedang berbucin ria dengan doinya.“Manggil orang yang lebih tua itu mesti pakai sapaan di depannya, Pak atau Aa, kek.”“Dia nggak pantes disebut Pak, wajahnya masih muda. Aa juga nggak pantes, karena mukanya nggak Sunda banget, mestinya dipanggil Sayang.”Aku cengar-cengir, sedangkan Mita malah

  • Rest Area   40. Oppa Korea

    Zia mengajakku ke suatu tempat sore ini, tapi aku lagi mager banget. Kerjaan di kantor pos lumayan banyak hari ini karena Bu Jihan sudah fix resign. Aku dan Mita sampai tepar karena mengkilokan barang yang akan dikirim. Barangnya berat-berat lagi, aku yakin nanti malam punggungku pasti minta diurut.Zia: Anter, dong.Lagi-lagi Zia mengirimiku pesan. Sembari menunggu angkot lewat, aku duduk di depan warung tukang es kelapa dan menelepon Zia.“Emang mau ke mana, sih?” tanyaku saat panggilan telepon terhubung.“Mau beli kado.”“Aku heran, deh, kenapa hari ini banyak banget yang minta aku buat nganter beli kado.”“Emang siapa yang udah minta kamu anter beli kado?”“Januari.”“Buat siapa?”“Buat sang mantan,” jawabku ketus.“Wow, ada yang cemburu rupanya,” goda Zia.“Aku kesel pokoknya. Kamu beli kado buat si An

  • Rest Area   39. Kebingungan

    Kemarin, Januari langsung mengantarku pulang karena aku bilang merasa lelah. Tadinya dia masih ingin mengajakku jalan-jalan. Cowok itu merasa bersalah karena pagi harinya membatalkan janji untuk mengantarku. Aku, sih, nggak marah. Cuma ... ya, kesel aja. Lain kali aku nggak mau kalau dianter ke mana-mana lagi, kecuali saat mendadak mau pergi dan kebetulan dia lagi senggang baru aku terima tawarannya.Hari ini pun dia menawarkan untuk mengantarku ke tempat PKL. Karena aku bangun kesiangan, akhirnya aku terima tawarannya. Begitu mengirim pesan dan kubalas, motor dia sudah tiba di depan rumah. Aku yang masih sarapan sontak tersedak. Aku belum dandan, Genks, rambutku pun masih basah dan acak-acakan karena baru mandi. Kasihan Januari harus melihat penampakan jelekku."Buruan makannya, itu temen kamu udah jemput," kata Ibu sembari meletakkan

  • Rest Area   38. Gibah

    Bunyi perutku yang minta diisi membuat Disa kehilangan fokus saat mengetik. Dia menatapku, lalu menaruh laptop di meja. Niara pun berhenti membaca kata pengantar yang telah dicetaknya. Ia merapikan berkas yang berceceran di lantai. Kedua temanku ini sudah hapal kebiasaanku. Kalau sudah keroncongan otakku nggak bisa diajak berpikir. Mereka mulai merapikan dandanan dan bersiap pergi. Saatnya berburu makanan.“Kita mau ke mana?” tanya Disa usai memaki helm.“Alun?”“Alun Majalengka kejauhan,” protesku.“Alun Maja, April!” Kedua manusia ini bicara barengan. Ah, kalau sudah bersama mereka ketololanku emang suka muncul tiba-tiba.“Mau makan apa emang?” tanya Niara.“Seblak?” Disa bukan memberi jawaban, tapi dia merekomendasikan.“Bosen,” jawabku.“Baso aci aja, yuk. Ada kedai yang baru buka di sekitar terminal, menurut saudaraku, sih, enak

  • Rest Area   37. Diskusi

    “Hallo, Dis?” Aku mendekatkan ponsel ke kuping kanan, sambil terus melangkah menuju Pajagan. Tadinya aku hendak meminta kakak iparku untuk mengantarkan, biar cepet gitu naik motor. Namun, kata Kak Okta, suaminya lagi pergi mancing sama Pak Gus, tetangganya. Alhasil sekarang aku ngos-ngosan karena berjalan, udah gitu matahari mulai merangkak naik, bikin keringat mengucur di balik baju.“Kenapa, Pril?” sahut Disa.“Kamu belom berangkat?”“Belom, aku masih di pasar. Bentar lagi pulang. Nanti aku langsung OTW.”“Aku nggak jadi diantar Januari, kita bareng, ya. Aku tunggu di pasar Kadipaten kayak biasa.”“Kenapa nggak jadi dianterin?”“Ada urusan mendadak dia.”“Oh, oke. Kabarin aja kalau udah sampe. Kamu bawa helm, ‘kan?”“Iya, bawa.”“Ya udah, aku kabarin nanti

  • Rest Area   36. Emosi

    Aku baru saja berniat untuk tidur selepas memikirkan hal-hal nggak guna. Namun, bunyi ponsel yang meraung-raung membuat mataku terbuka lagi. Ck, sial. Tahukah dia bahwa pukul dua dini hari bukanlah waktu yang tepat untuk mengobrol? Di waktu seperti ini mendingan curhat sama Allah melalui sholat tahajud, bukannya mengganggu tidur Princess.Kuraih ponsel di atas kepala, lalu melihat layarnya yang menampilkan nama Januari. Buset, rupanya si biang kerok ini yang minta dihajar. Dia nggak kasihan apa sama aku? Gara-gara kunjungan mendadak yang membawa serta mantannya itu, aku jadi nggak bisa tidur. Sekarang saat mataku lelah, dia muncul membuat jantungku dugeman."April?" suaranya menyapa gendang telingaku begitu tombol hijau di layar ponsel kugeser."Hm ...." Aku menanggapinya dengan deheman, pura-pura baru bangun tidur biar dia merasa bersalah."Jangan pura-pura tidur, aku tahu kamu belum tidur. WA kamu aja baru dilihat beberapa menit lalu," sindir Januari.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status