MasukGALANG"Sela, apa Bimo sudah datang?"Pertanyaan itu meluncur begitu saja begitu kakiku memasuki lobi kantor. Suara denting lift, telepon, dan langkah para pegawai tidak mampu meredam kegelisahan yang sejak pagi menusuk kepalaku. Fokusku hanya satu: Bimo.Sela, yang duduk dengan rapi di balik meja resepsionis, langsung menoleh cepat."Belum, Pak. Biasanya agak siang, Pak.""Kalau dia datang, suruh menghadap saya ke ruangan.""Baik, Pak."Aku tidak menambahkan apa-apa. Tidak ada gunanya. Tubuhku melangkah cepat menuju lift, dan begitu pintu menutup, aku mengembuskan napas kasar. Semalaman kepalaku dipenuhi kekesalan yang sama, Bimo, Vania, dan perubahan sikap Bimo yang tiba-tiba itu.Aku masih bisa mengingat jelas bagaimana tangan Bimo menggandeng Vania sore kemarin. Masih bisa mendengar dengan jelas bagaimana dia memanggil Vania dengan kata “sayang,” seolah-olah selama ini dia bukan suami yang paling lalai di atas bumi.Aneh. Tidak masuk akal. Dan sangat memuakkan.Saat aku sampai di
POV GALANG"Bimo! Sepertinya kamu mau coba-coba ingkar janji rupanya!" Galang memukul stir mobil saat menuju pulang ke rumahnya malam itu. Mobilnya melaju menembus malam di antara jalanan yang masih sedikit macet. Dia masih ingat sikap Bimo yang berbeda pada Vania tadi. Bimo memanggil Vania dengan kta 'sayang, Bimo menggandeng Vania berjalan menuju motornya. "Brengsek!" Galang kembali mencengkram setir mobil dengan wajah menggelap. Cengkramannya begitu kuat, hingga buku-buku jarinya memutih.Sisi lain dari dirinya menyadari bahwa Bimo memang masih berhak atas Vania. Sampai hari ini Bimo adalah suami sah Vania. Tetapi, kenapa baru sekarang ia berubah, di saat Vania hendak melahirkan? Disaat aku telah memintanya menceraikan Vania setelah Vania melahirkan nanti? Aku meremas wajahku kasar dengan satu tangan. Napasku tak beraturan. Bukan hanya marah yang kurasakan saat ini. Tetapi, ada kegelisahan, ada kepanikan yang berusaha kutekan dalam-dalam.“Tidak! Vania harus jadi milikku.”Suara
“Terima kasih kamu mau antar Vania. Tapi aku datang untuk jemput istriku, Lang.”Suara Bimo terdengar tegas, dan penuh penekanan pada kata istriku. Dia berdiri tepat di depan Galang, tubuhnya sedikit condong ke depan seolah ingin menunjukkan siapa yang berkuasa.Galang tidak mundur setapak pun. Mereka berdiri begitu dekat, hanya terpisah beberapa centimeter. Dua pria dengan dua sikap yang benar-benar berbeda, keduanya saling memandang tajam tanpa berkata apa-apa.Beberapa detik tak ada yang bicara di antara kami, hanya terdengar obrolan pelan pelanggan. Lalu Galang memecah keheningan.Dengan senyum yang sulit kuterjemahkan, antara mengejek atau sekadar terlihat tenang, dia berkata,“Kamu jemput Vania, Bim?”Suaranya terdengar seperti tidak percaya.Bimo mengangguk sekali, pendek.“Ya. Kasihan istriku kerja dari pagi.”Dia menatapku sambil tersenyum … tapi senyumnya berbeda. Aku tahu itu senyum palsu. Senyum yang hanya muncul kalau dia sedang ingin menunjukkan sesuatu ke orang lain.Ak
“Nia …. Apa kabar?”Suaranya lembut. Hangat. Jantungku berdetak cepat. Aku menelan ludah, mencoba tetap tersenyum.“Mas Galang ….”Galang makin mendekat. Tatapannya tidak berpaling sedikit pun dari mataku. Ada sesuatu dalam sorot “Hei,” katanya dengan suara lebih pelan, “kamu baik-baik aja?”Aku mengangguk, meski jelas sekali aku tidak baik-baik saja.Galang menunduk sedikit, mendekatkan wajahnya. “Nia, bisa keluar sebentar? Nanti aku antar pulang.”Aku menelan ludah, melirik sekeliling. Beberapa karyawan jelas mengenali Galang. Dia suami Ratna. Mereka pasti bertanya-tanya jika aku keluar bersama Galang. “Mas … maaf.” Suaraku liriih.Galang mengangguk, wajahnya tenang.Seolah ia sudah menduga aku akan menolak. Tapi tatapannya f… tetap tidak berubah. Hangat. Lembut.“Nggak apa,” katanya. “Aku ngerti.”Untuk menutupi kegugupan yang langsung memanas di wajahku, aku cepat-cepat bertanya, “Mas mau makan apa?”Galang tersenyum. Senyum itu ... kenapa membuat dadaku makin berdebar? Tidak!
Bimo langsung berdiri. Kursi bergeser keras hingga membuatku refleks menatapnya. Wajahnya memerah, napasnya memburu.“Sampai kapan pun aku nggak akan pernah menceraikan kamu!”Suaranya memenuhi ruangan itu. Aku diam beberapa detik. Aku sudah menduga dia akan berkata begitu, tetapi mendengarnya secara langsung tetap membuat dadaku sesak.“Mas … jangan mulai lagi,” ucapku pelan, mencoba tetap tenang.“Mulai gimana? Kamu yang tiba-tiba bilang mau cerai!” Bimo menunjuk dada sendiri. “Aku suami kamu, Nia! Kamu pikir keputusan sepenting itu bisa kamu ambil sendirian?”Aku mengerjap perlahan.“Justru karena aku sudah terlalu lama nggak punya suara, Mas. Bertahun-tahun aku diam, sekarang aku harus bersuara demi diriku sendiri.”Bu Marni hanya menunduk. Dia seperti tersengat antara kaget dan tidak tahu harus berkata apa. Tangannya meremas ujung jilbabnya, tapi dia tidak menyela. Mungkin dia benar-benar tidak punya argumen untuk membelaku, atau membela anaknya.Bimo melangkah mendekat. “Kamu m
Pintu kamar terbuka. Aku masih memegangi gagangnya ketika mataku membesar tak percaya. Ruangan itu terang, bersih, dan begitu rapi Perlahan aku melangkah masuk. Lantai kayu berwarna terang terasa halus di bawah alas kaki. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dan jantungku berdetak cepat.Ada sebuah ranjang besar di tengah ruangan, sprei warna pastel lembut, itu warna kesukaanku. Seprei itu membungkusnya rapi seperti baru saja diganti. Di sisi kiri, sofa panjang dengan meja sudut kecil yang tampak nyaman untuk duduk berjam-jam. Sisi kanan ruangan terdapat meja rias minimalis dengan cermin besar, sementara lemari pakaian tinggi berdiri tegak, pintunya sedikit terbuka. Isinya kosong, seakan-akan memang disiapkan untuk seseorang untuk menaruh barang.Tapi bukan itu yang membuatku benar-benar terpaku.Ada rak susun kecil di dekat dinding. Dan di sana … mataku membulat sempurna.Ada camilan sehat, vitamin ibu hamil, susu khusus kehamilan. Semua tersusun rapi, lengkap, dan masih ter







