“Eh!"
Aku buru-buru menarik tanganku dari genggaman itu. Tapi justru semakin gugup karena tangan kokoh itu masih saja menahan pergelangan tangan ini. Jantungku berdetak tak karuan. Rasanya wajahku panas sekali. Aku menunduk, berharap tidak ada seorang pun yang melihat kami. “Mas …,” suaraku tercekat, lirih, hampir tak terdengar. Aku melirik cepat ke arah tanganku yang masih dalam genggamannya, lalu menatap wajahnya sekilas. “Tolong … dilepas.” Galang tersentak, seolah baru sadar dengan apa yang barusan dilakukannya. Ia cepat-cepat melepas genggaman itu. “Oh, maaf. Aku nggak sengaja,” ucapnya cepat, suaranya agak serak. Aku buru-buru mengangguk, meski gemetar. “I-iya, nggak apa-apa, Mas.” Dengan canggung, aku merapatkan nampan yang hampir terlepas dari genggamanku tadi. Tanpa berani menatapnya lagi, aku langsung mempercepat langkah menuju ruang tamu. Namun langkah gugupku justru membawaku pada masalah berikutnya. BRUK! Nampan di tanganku berguncang keras saat tubuhku bertabrakan dengan seorang wanita bergaun putih elegan. Isinya tumpah, mengenai gaunnya yang mahal itu. Minuman berwarna merah langsung meninggalkan noda besar di bagian depan bajunya. “Astagaaa!” teriak wanita itu. Matanya langsung menatapku tajam. “Hei! Kamu ini gimana sih?! Jalan nggak pakai mata, ya?! Dasar nggak becus!” Aku kaget bukan main. Tangan dan kakiku gemetar hebat. “Ma—maaf, Mbak, saya nggak sengaja,” ucapku panik, buru-buru mencoba mengusap noda di bajunya. Wanita itu menepis kasar tanganku. “Jangan sentuh! Bajuku mahal, tahu! Dasar pembantu nggak ada etika! Ceroboh banget pula!” Aku tertegun. Pembantu? Karena keributan itu, semua mata tertuju pada kami. Dan tak lama, sebuah suara terdengar. “Eh, ada apa ini?” Aku menoleh, dan kulihat Ratna mendekat. “Mbak Rat—” Belum sempat aku melanjutkan kalimatku, ekspresi Ratna berubah begitu melihat noda besar di gaun putih tamunya. “Ya ampun, Say! Kok bisa sampai kayak gini?!” “Ini!” Wanita itu menunjuk ke arahku dengan penuh amarah. “Pembantu kamu ceroboh banget! Aku jadi malu di depan orang banyak!” Ratna menoleh ke arahku. Tatapannya tajam, ada amarah di sana, membuatku makin ciut. Tapi kemudian dia berusaha tersenyum pada tamunya. “Aduh, maaf ya, Say. Emang Vania orangnya begini. Udah, kamu ganti baju dulu di kamar tamu. Aku pinjamin bajuku aja. Kamu nggak usah khawatir.” Wanita itu mendengus, tapi akhirnya menurut saat Ratna hendak menuntunnya pergi. Aku berdiri kaku di tempat. Ratna tidak mengoreksi kesalahpahaman temannya itu, tapi … seakan mengiyakan bahwa aku pembantunya. Tanganku menggenggam erat nampan. Apa dia sungguh menganggapku pembantu? Tiba-tiba di saat bersamaan, suara lain terdengar membentak, “Vania!” Aku mengalihkan pandangan. Ternyata, itu Mas Bimo. “Ada apa ini?” Sebelum aku sempat bicara, Ratna mendahului dengan nada ramah, pura-pura ramah tepatnya. “Oh, nggak apa-apa kok, Bim. Tadi Vania nggak sengaja jatuhin minuman sampai menodai baju tamuku ini.” Bimo langsung melotot. “HAH?!” Dia melihat noda besar di baju sang tamu, dan tahu baju itu sangat mahal. Alhasil, dia langsung mendelik ke arahku. “Dasar nggak becus kamu Vania! Kalau kerja, otak juga dipakai dong! Nggak di rumah nggak di sini, bisanya cuman ngerecok aja” bentaknya, membuat semua kepala menoleh. Dia lalu mencengkeram tanganku. “Udah, ayo ikut aku pulang! Malu banget aku punya istri kayak kamu!” imbuhnya lagi seraya terus menarikku keluar rumah, tak peduli bagaimana orang-orang menatap. Aku menunduk dalam, menahan air mata yang hampir jatuh. Tapi, sebelum bulir bening ini benar-benar keluar, dari kejauhan aku melihat seseorang. Galang berdiri di ambang pintu, menatap ke arahku dan Bimo dengan sorot mata tajam, wajahnya merah seperti menahan emosi. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Aku tertegun. Kenapa … dia menatapku seperti itu? Di saat itu, rasa malu dan sedih langsung menjalar di seluruh tubuhku. Galang pasti marah karena aku sudah membuat kekacauan di pestanya, bahkan membuat sahabat istrinya malu seperti itu. Kalau pergi saja seperti ini, bagaimana aku bisa menghadapinya kali berikutnya kami bertemu? Haruskah aku berusaha menjelaskan dulu? Tidak … apa yang harus dijelaskan? Aku memang salah, sudah membuat onar dan mengacaukan pesta. Jadi, langsung pulang begini lebih baik. Kalau bisa, berikut-berikutnya jangan lagi kami bertemu. Sesampainya di rumah, Bimo langsung membanting pintu. Suaranya sangat keras, membuat jantungku serasa copot. “Dasar tolol! Malam ini aku udah senang ketemu temen-temen lamaku, eh malah rusak gara-gara ulahmu yang konyol!” “Mas, tolong kecilkan suaramu. Ada Ibu,” pintaku pelan. Di rumah, aku dan Mas Bimo tinggal bersama ibuku. Ayah sudah tiada, dan aku tidak memiliki sanak saudara lain. Hanya tersisa Ibu yang sakit. Jadi, agar mudah merawatnya, aku membawanya tinggal bersamaku. Sudah lama Ibu melihat bagaimana Mas Bimo selalu kasar padaku, dan dia selalu berusaha menengahi. Akan tetapi, dengan kondisi jantungnya yang semakin hari semakin lemah, aku khawatir terlalu emosi dan sakit hati melihat aku—putrinya—diperlakukan seperti ini, malah akan penyakitnya semakin parah. Bimo mendengus kasar. “Halah, ibumu itu cuma nyusahin aja! Kita ini udah hidup susah, malah nambah beban dengan ngerawat dia di rumah sempit kayak gini!” Darahku serasa mendidih. “Cukup, Mas! Teganya kamu bicara begitu soal Ibu!” “Ya emang bener ‘kan dia beban? Sama aja kayak kamu yang cuma tahunya bikin malu!” maki Mas Bimo. “Mas!” “Halah! Udahlah, nggak usah banyak bacot kamu! Muak aku dengernya!” balas Mas Bimo seraya berbalik untuk meraih jaket dan pergi begitu saja, membanting pintu sekali lagi dan meninggalkanku yang hanya bisa terdiam. Seperti biasa, kalau sedang marah, dia lebih memilih kabur entah ke mana. Menahan rasa sakit, aku menoleh sekilas ke arah kamar ibu yang pintunya tertutup rapat. Ibu sedang sakit jantung. Aku tidak sanggup membayangkan bagaimana perasaannya jika mendengar menantunya bicara seperti itu. Aku menghela napas panjang, lalu masuk ke kamar ibu. Beliau masih tertidur, wajahnya pucat. Aku duduk di sisi ranjang, menatapnya dengan hati pilu. Kenapa … rasanya nasibku begitu pahit di dunia ini? ** Pagi harinya, aku baru saja menyuapi ibu sarapan bubur, aku terkejut saat mendengar s uara pintu digedor cukup keras. "Bimo! Keluar lu! Jangan sembunyi, Pengecut!" Aku nyaris terlonjak. Buru-buru menaruh mangkok bubur di meja kecil lalu menuju pintu. Siapa yang datang pagi-pagi begini? Dengan gemetar, aku membuka pintu pelan. Tiga pria berwajah sangar berdiri di luar. Tubuh mereka besar-besar, tatapan tajam, aku langsung ciut. "Eh, lu istrinya Bimo, kan?" Salah satu dari mereka bertanya dengan nada mengancam. Aku menelan ludah. “Iya … ada apa ya, Bang?” “Mana tuh suami lu?! Suruh keluar! Dia udah terus ngumpet dari kemarin!” Suara pria lain membentak, membuatku makin gemetar. Aku panik. Semalaman Bimo memang tidak pulang. Kini aku benar-benar tak tahu harus menjawab apa. Sementara, aku juga khawatir jika ibu sampai mendengar keributan ini. Jangan sampai ibu mengalami serangan jantung lagi. “Mas … Mas Bimo lagi nggak ada,” jawabku terbata. “Alasan!” teriak mereka. “Udah biasa dia kabur kalau ditagih! Kali ini gue nggak peduli, lu yang tanggung jawab!” Aku meremas dressku. Memang benar, ini bukan pertama kalinya. Aku sudah terbiasa didatangi orang macam ini. Bimo selalu pinjam uang, selalu janji manis, lalu kabur. Dengan suara bergetar, aku memberanikan diri bertanya, “Memangnya … kali ini Mas Bimo hutang berapa, Bang?” Salah satu dari mereka menyeringai sinis. “Tujuh puluh lima juta. Besok kalau nggak dibayar, siap-siap aja rumah ini kita obrak-abrik!” Deg. Kepalaku langsung pusing, tubuhku limbung. Tujuh puluh lima juta? Aku nyaris terjatuh di depan mereka. Napasku tercekat. Rasanya seperti ada batu besar menimpa dadaku. Utang Mas Bimo ... tujuh puluh lima juta?Aku berlari di belakang para tetangga yang membantu menggotong ibu ke dalam mobil. Kantong obat yang tadi kupeluk erat masih kugenggam, tapi rasanya tak berguna lagi. Dadaku sesak, mataku panas.“Ibu … bertahan, Bu. Tolong bertahan,” bisikku panik, sambil menggenggam tangan beliau yang terkulai lemah.Aku menoleh ke arah Bude Narti yang ikut terburu-buru masuk ke mobil. “Bude … sebenernya tadi ada apa? Kenapa Ibu bisa pingsan?” tanyaku dengan suara bergetar.Bude Narti menghela napas panjang, wajahnya penuh kekhawatiran. “Siang tadi Bimo sempat pulang, Nak. Kami dengar dia marah-marah di dalam rumah. Suaranya keras sekali, kayak lagi ribut besar. Nggak lama kemudian, dia keluar lagi sambil banting pintu.”Aku tercekat, dadaku makin sesak. “Terus … Ibu?”“Tak lama setelah Bimo pergi, kami dengar suara gedebuk keras dari dalam rumah. Kami kira sesuatu jatuh, jadi beberapa tetangga langsung masuk. Pas kami lihat, ternyata ibumu sudah terkapar di lantai, nggak sadarkan diri.” Suara Bude b
Seketika jantungku berdegup begitu kencang, hingga membuat dada ini sesak. Tanganku yang masih memegang sendok gemetar, hampir saja jatuh ke meja.“A-apa maksud Mas dengan kata menemani?” tanyaku dengan suara yang nyaris tak terdengar.Galang menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatapku dengan mata tajam yang seakan sedang menelanjangiku habis-habisan. Ia mengangkat alis, lalu bicara pelan, namun tegas.“Kita sudah sama-sama dewasa, Vania. Saya rasa kamu paham maksud saya.”Aku sontak terdiam, menelan ludah. Rasa panas merambat ke wajahku, bercampur malu, marah, dan ketakutan. Tidak pernah terlintas sebelumnya kalau pria sewibawa dan seberkelas Galang akan mengucapkan kalimat serendah itu padaku.“Ma—Mas … jangan bercanda soal beginian …,” suaraku bergetar.Ekspresi Galang datar, tatapannya dingin. “Saya tidak sedang bercanda. Kamu perlu uang demi ibumu, jadi … saya memberikan penawaran."Aku tersentak, lalu menundukkan kepala. Suaraku terdengar berbisik, “Tapi … bagaimana dengan Mas Bim
Aku berjalan pelan di samping Galang, memeluk kantong obat di dadaku seolah itu harta paling berharga. Sebenarnya aku ingin buru-buru pulang, takut kalau ibu terbangun sendirian. Tapi langkahku terus mengikuti Galang, entah kenapa.“Mas …” aku memberanikan diri memanggil, suaraku lirih. “Sebenarnya nggak usah repot-repot, Mas. Udah banyak bantuan Mas buat keluarga saya. Saya malu …”Galang melirikku sekilas, lalu kembali menatap lurus ke depan. “Udah, nggak usah mikirin itu. Kamu terlalu banyak mikir. Kalau saya bisa bantu, ya saya bantu. Simple aja."Aku terdiam. Entah kenapa kata-katanya selalu terdengar gampang, padahal untukku semua terasa rumit.Kami melewati sebuah restoran kecil. Aroma kuah gurih langsung menyeruak. Aku sempat menoleh, lalu buru-buru memalingkan wajah. Tapi Galang malah berhenti.“Kamu belum makan siang, kan?” tanyanya datar.Aku tergagap. “Maaf, Mas … saya harus pulang. Ibu—”“Kamu makan dulu. Kalau kamu jatuh sakit, siapa yang urus ibumu?” Suaranya tetap data
“Tu—tujuh puluh lima juta?” suaraku tercekat, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Dadaku berdegup kencang, lututku mendadak lemas. Seakan dunia runtuh menimpa kepalaku.“Itu … banyak banget, Bang. Mas Bimo … beneran punya hutang segitu?”Aku memang tahu Bimo sering main judol, bahkan tak jarang pulang dalam keadaan mabuk berat. Aku juga tahu dia kerap pinjam sana-sini untuk menutupi kebiasaan gilanya itu. Tapi … tujuh puluh lima juta? Angka itu bagiku seperti langit yang tak terjangkau. Selama ini aku masih bisa meyakinkan diriku kalau hutang-hutangnya tidak sampai segila itu. Nyatanya, aku salah besar.“Eh, lu pikir kita bohong?” salah satu penagih mendengus kasar. “Ini udah kelakuan suami lu dari dulu, kan? Main hutang, kabur, bikin ribet orang.”“Aku … aku nggak tahu, Bang. Mas Bimo dari semalam nggak pulang,” ucapku gemetar. Suaraku serak, hampir hilang.“Halah, Alasan! Jangan bohong lu!” salah satu dari mereka menendang pot bunga kecil di teras, membuatku te
“Eh!"Aku buru-buru menarik tanganku dari genggaman itu. Tapi justru semakin gugup karena tangan kokoh itu masih saja menahan pergelangan tangan ini. Jantungku berdetak tak karuan. Rasanya wajahku panas sekali. Aku menunduk, berharap tidak ada seorang pun yang melihat kami.“Mas …,” suaraku tercekat, lirih, hampir tak terdengar. Aku melirik cepat ke arah tanganku yang masih dalam genggamannya, lalu menatap wajahnya sekilas. “Tolong … dilepas.”Galang tersentak, seolah baru sadar dengan apa yang barusan dilakukannya. Ia cepat-cepat melepas genggaman itu. “Oh, maaf. Aku nggak sengaja,” ucapnya cepat, suaranya agak serak.Aku buru-buru mengangguk, meski gemetar. “I-iya, nggak apa-apa, Mas.” Dengan canggung, aku merapatkan nampan yang hampir terlepas dari genggamanku tadi. Tanpa berani menatapnya lagi, aku langsung mempercepat langkah menuju ruang tamu.Namun langkah gugupku justru membawaku pada masalah berikutnya.BRUK!Nampan di tanganku berguncang keras saat tubuhku bertabrakan dengan
“Cepat sedikit! Dasar lelet!” Bentakan Mas Bimo, suamiku, lagi-lagi menggelegar memenuhi rumah kecil kami. Padahal aku lamban karena baru saja selesai membantunya menyiapkan diri untuk acara reuni SMA-nya. “Aku udah siap, Mas,” ucapku pelan setelah rapi, menarik napas panjang untuk menahan hati yang bergetar sejak tadi dihantam omelan bertubi-tubi. Bimo menoleh tajam, matanya meneliti penampilanku dari atas ke bawah. Ia mendengus kasar. “Astaga, Vania! Kenapa pakai baju itu, sih? Orang-orang pasti ketawa lihat kamu kampungan kayak gitu! Bikin malu aja!” Aku menatap diriku, lalu kembali menatapnya. “Ini bajuku yang paling bagus, Mas. Aku ‘kan nggak pernah beli baju baru ….” Sekejap wajah Mas Bimo memerah. “Mulai lagi kamu nyindir-nyindir! Udah tahu aku lagi banyak masalah, masih aja kamu minta macam-macam!” bentaknya lagi. Sindiran? Minta macam-macam? Aku hanya menyatakan apa yang terjadi. Akan tetapi, takut pertengkaran ini melebar, aku pun buru-buru diam, lalu mengikuti Bimo