Share

Bab 2. Keributan

Penulis: Rina Novita
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-19 10:52:56

“Eh!"

Aku buru-buru menarik tanganku dari genggaman itu. Tapi justru semakin gugup karena tangan kokoh itu masih saja menahan pergelangan tangan ini. Jantungku berdetak tak karuan. Rasanya wajahku panas sekali. Aku menunduk, berharap tidak ada seorang pun yang melihat kami.

“Mas …,” suaraku tercekat, lirih, hampir tak terdengar. Aku melirik cepat ke arah tanganku yang masih dalam genggamannya, lalu menatap wajahnya sekilas. “Tolong … dilepas.”

Galang tersentak, seolah baru sadar dengan apa yang barusan dilakukannya. Ia cepat-cepat melepas genggaman itu. “Oh, maaf. Aku nggak sengaja,” ucapnya cepat, suaranya agak serak.

Aku buru-buru mengangguk, meski gemetar. “I-iya, nggak apa-apa, Mas.” Dengan canggung, aku merapatkan nampan yang hampir terlepas dari genggamanku tadi. Tanpa berani menatapnya lagi, aku langsung mempercepat langkah menuju ruang tamu.

Namun langkah gugupku justru membawaku pada masalah berikutnya.

BRUK!

Nampan di tanganku berguncang keras saat tubuhku bertabrakan dengan seorang wanita bergaun putih elegan. Isinya tumpah, mengenai gaunnya yang mahal itu. Minuman berwarna merah langsung meninggalkan noda besar di bagian depan bajunya.

“Astagaaa!” teriak wanita itu. Matanya langsung menatapku tajam. “Hei! Kamu ini gimana sih?! Jalan nggak pakai mata, ya?! Dasar nggak becus!”

Aku kaget bukan main. Tangan dan kakiku gemetar hebat. “Ma—maaf, Mbak, saya nggak sengaja,” ucapku panik, buru-buru mencoba mengusap noda di bajunya.

Wanita itu menepis kasar tanganku. “Jangan sentuh! Bajuku mahal, tahu! Dasar pembantu nggak ada etika! Ceroboh banget pula!”

Aku tertegun. Pembantu?

Karena keributan itu, semua mata tertuju pada kami. Dan tak lama, sebuah suara terdengar.

“Eh, ada apa ini?” 

Aku menoleh, dan kulihat Ratna mendekat.

“Mbak Rat—”

Belum sempat aku melanjutkan kalimatku, ekspresi Ratna berubah begitu melihat noda besar di gaun putih tamunya. “Ya ampun, Say! Kok bisa sampai kayak gini?!”

“Ini!” Wanita itu menunjuk ke arahku dengan penuh amarah. “Pembantu kamu ceroboh banget! Aku jadi malu di depan orang banyak!”

Ratna menoleh ke arahku. Tatapannya tajam, ada amarah di sana, membuatku makin ciut. Tapi kemudian dia berusaha tersenyum pada tamunya. “Aduh, maaf ya, Say. Emang Vania orangnya begini. Udah, kamu ganti baju dulu di kamar tamu. Aku pinjamin bajuku aja. Kamu nggak usah khawatir.”

Wanita itu mendengus, tapi akhirnya menurut saat Ratna hendak menuntunnya pergi.

Aku berdiri kaku di tempat. Ratna tidak mengoreksi kesalahpahaman temannya itu, tapi … seakan mengiyakan bahwa aku pembantunya. 

Tanganku menggenggam erat nampan. Apa dia sungguh menganggapku pembantu?

Tiba-tiba di saat bersamaan, suara lain terdengar membentak, “Vania!” 

Aku mengalihkan pandangan. Ternyata, itu Mas Bimo.

“Ada apa ini?”

Sebelum aku sempat bicara, Ratna mendahului dengan nada ramah, pura-pura ramah tepatnya. “Oh, nggak apa-apa kok, Bim. Tadi Vania nggak sengaja jatuhin minuman sampai menodai baju tamuku ini.”

Bimo langsung melotot. “HAH?!” 

Dia melihat noda besar di baju sang tamu, dan tahu baju itu sangat mahal. Alhasil, dia langsung mendelik ke arahku.

“Dasar nggak becus kamu Vania! Kalau kerja, otak juga dipakai dong! Nggak di rumah nggak di sini, bisanya cuman ngerecok aja” bentaknya, membuat semua kepala menoleh. Dia lalu mencengkeram tanganku.

“Udah, ayo ikut aku pulang! Malu banget aku punya istri kayak kamu!” imbuhnya lagi seraya terus menarikku keluar rumah, tak peduli bagaimana orang-orang menatap.

Aku menunduk dalam, menahan air mata yang hampir jatuh. Tapi, sebelum bulir bening ini benar-benar keluar, dari kejauhan aku melihat seseorang.

Galang berdiri di ambang pintu, menatap ke arahku dan Bimo dengan sorot mata tajam, wajahnya merah seperti menahan emosi. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya.

Aku tertegun. Kenapa … dia menatapku seperti itu?

Di saat itu, rasa malu dan sedih langsung menjalar di seluruh tubuhku. 

Galang pasti marah karena aku sudah membuat kekacauan di pestanya, bahkan membuat sahabat istrinya malu seperti itu.

Kalau pergi saja seperti ini, bagaimana aku bisa menghadapinya kali berikutnya kami bertemu? Haruskah aku berusaha menjelaskan dulu? 

Tidak … apa yang harus dijelaskan? Aku memang salah, sudah membuat onar dan mengacaukan pesta. Jadi, langsung pulang begini lebih baik. Kalau bisa, berikut-berikutnya jangan lagi kami bertemu.

Sesampainya di rumah, Bimo langsung membanting pintu. Suaranya sangat keras, membuat jantungku serasa copot.

“Dasar tolol! Malam ini aku udah senang ketemu temen-temen lamaku, eh malah rusak gara-gara ulahmu yang konyol!”

“Mas, tolong kecilkan suaramu. Ada Ibu,” pintaku pelan.

Di rumah, aku dan Mas Bimo tinggal bersama ibuku. Ayah sudah tiada, dan aku tidak memiliki sanak saudara lain. Hanya tersisa Ibu yang sakit. Jadi, agar mudah merawatnya, aku membawanya tinggal bersamaku.

Sudah lama Ibu melihat bagaimana Mas Bimo selalu kasar padaku, dan dia selalu berusaha menengahi. Akan tetapi, dengan kondisi jantungnya yang semakin hari semakin lemah, aku khawatir terlalu emosi dan sakit hati melihat aku—putrinya—diperlakukan seperti ini, malah akan penyakitnya semakin parah.

Bimo mendengus kasar. “Halah, ibumu itu cuma nyusahin aja! Kita ini udah hidup susah, malah nambah beban dengan ngerawat dia di rumah sempit kayak gini!”

Darahku serasa mendidih. “Cukup, Mas! Teganya kamu bicara begitu soal Ibu!”

“Ya emang bener ‘kan dia beban? Sama aja kayak kamu yang cuma tahunya bikin malu!” maki Mas Bimo. 

“Mas!”

“Halah! Udahlah, nggak usah banyak bacot kamu! Muak aku dengernya!” balas Mas Bimo seraya berbalik untuk meraih jaket dan pergi begitu saja, membanting pintu sekali lagi dan meninggalkanku yang hanya bisa terdiam. Seperti biasa, kalau sedang marah, dia lebih memilih kabur entah ke mana.

Menahan rasa sakit, aku menoleh sekilas ke arah kamar ibu yang pintunya tertutup rapat. Ibu sedang sakit jantung. Aku tidak sanggup membayangkan bagaimana perasaannya jika mendengar menantunya bicara seperti itu.

Aku menghela napas panjang, lalu masuk ke kamar ibu. Beliau masih tertidur, wajahnya pucat. Aku duduk di sisi ranjang, menatapnya dengan hati pilu.

Kenapa … rasanya nasibku begitu pahit di dunia ini?

**

Pagi harinya, aku baru saja menyuapi ibu sarapan bubur, aku terkejut saat mendengar s

uara pintu digedor cukup keras.

"Bimo! Keluar lu! Jangan sembunyi, Pengecut!"

Aku nyaris terlonjak. Buru-buru menaruh mangkok bubur di meja kecil lalu menuju pintu. Siapa yang datang pagi-pagi begini?

Dengan gemetar, aku membuka pintu pelan.

Tiga pria berwajah sangar berdiri di luar. Tubuh mereka besar-besar, tatapan tajam, aku langsung ciut.

"Eh, lu istrinya Bimo, kan?" Salah satu dari mereka bertanya dengan nada mengancam.

Aku menelan ludah. “Iya … ada apa ya, Bang?”

“Mana tuh suami lu?! Suruh keluar! Dia udah terus ngumpet dari kemarin!” Suara pria lain membentak, membuatku makin gemetar.

Aku panik. Semalaman Bimo memang tidak pulang. Kini aku benar-benar tak tahu harus menjawab apa. Sementara, aku juga khawatir jika ibu sampai mendengar keributan ini. Jangan sampai ibu mengalami serangan jantung lagi.

“Mas … Mas Bimo lagi nggak ada,” jawabku terbata.

“Alasan!” teriak mereka. “Udah biasa dia kabur kalau ditagih! Kali ini gue nggak peduli, lu yang tanggung jawab!”

Aku meremas dressku. Memang benar, ini bukan pertama kalinya. Aku sudah terbiasa didatangi orang macam ini. Bimo selalu pinjam uang, selalu janji manis, lalu kabur.

Dengan suara bergetar, aku memberanikan diri bertanya, “Memangnya … kali ini Mas Bimo hutang berapa, Bang?”

Salah satu dari mereka menyeringai sinis. “Tujuh puluh lima juta. Besok kalau nggak dibayar, siap-siap aja rumah ini kita obrak-abrik!”

Deg.

Kepalaku langsung pusing, tubuhku limbung. Tujuh puluh lima juta?

Aku nyaris terjatuh di depan mereka. Napasku tercekat. Rasanya seperti ada batu besar menimpa dadaku.

Utang Mas Bimo ... tujuh puluh lima juta?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 156. Gugatan

    POV BIMOAku mondar-mandir di ruang tamu rumah, kepalaku penuh. Mama duduk di sofa dengan wajah tegang, jemarinya sibuk memutar-mutar tasbih kecil yang sejak tadi tak lepas dari tangannya. Sejak kejadian di restoran itu, suasana rumah terasa tegang. Aku seperti sedang menunggu bom waktu yang siap meledak kapan saja.“Ini nggak bisa dibiarin, Bim.” Suara Mama akhirnya memecah hening. “Perempuan itu makin berani. Masa mau gugat cerai segala?”Aku menghela napas kasar. “Aku juga lagi mikir, Ma.”Kita sama-sama tahu, ancaman paling ampuh sekarang ini adalah bayi itu. Fajar. Tapi pasti sulit. Bayi itu masih butuh ASI. Tidak mungkin kita menariknya paksa tanpa risiko besar. Dan yang lebih menyebalkan, Vania terlihat jauh lebih siap daripada yang kukira.“Kalau pakai cara biasa, susah,” lanjut Mama, suaranya menajam. “Kamu juga jangan kelihatan lemah. Dia itu istrimu. Tanpa persetujuanmu, mana bisa cerai?”Aku mengangguk, meski di dalam dada ada kegelisahan yang sulit ditepis. Selama ini aku

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 155. Bukti Video

    POV VANIAAku tidak lagi peduli dengan apa yang terjadi antara Bimo dan ibunya di ruang private itu. Suara Bu Marni yang meninggi, atau wajah Bimo yang mungkin sedang pucat ketakutan, sama sekali tidak ingin kupikirkan lagi. Kepalaku terlalu lelah untuk menampung emosi mereka.Aku melangkah cepat menuju paviliun.Begitu pintu tertutup di belakangku, suasana langsung berubah sunyi. Ankala sedang terjaga di ranjang kecilnya, sementara suster Lani baru saja selesai membersihkan botol-botol susu Ankala.Aku mendekat, menggendong Ankala dengan hati-hati, lalu duduk di kursi sofa yang biasa aku gunakan untuk menyusui bayiku itu . Aku menyusui Ankala perlahan, sambil mengelus punggungnya.“Tenang ya, Nak,” bisikku lirih. “Mama nggak akan biarin siapa pun menyakitimu.” Aku menyusui Ankala sampai bayiku puas kekenyangan. Tak lama kemudian, Suster Lani masuk membawa perlengkapan mandi bayi. Ia memandikan Ankala dengan cekatan, penuh kehati-hatian. Setelah selesai, ia mengeringkan tubuh kecil i

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 154. Butuh Penjelasan

    POV VANIA“Mana Vania?!”Suara Ratna terdengar lantang dari pintu masuk restoran. Dari dalam ruang private yang sebagian dindingnya terbuat dari kaca, aku bisa melihat Ratna dengan jelas. Wajahnya tegang, matanya menyala penuh emosi. Untungnya, keluarga besar Bimo sedang fokus menikmati hidangan, tertawa kecil dan saling berbincang, sehingga mereka tidak mendengar suara Ratna. Hanya beberapa pelanggan yang duduk dekat pintu masuk yang sempat menoleh sekilas.Dadaku langsung berdegup kencang. Aku tidak bisa membiarkan Ratna membuat keributan di sini.Aku segera bangkit dari kursiku dan melangkah cepat keluar dari ruang private, menghampirinya sebelum suasana menjadi semakin buruk.“Mbak Ratna?” sapaku pelan. “Ada apa, Mbak?”Meski suaraku bergetar, aku berusaha terlihat setenang mungkin. Sebenarnya aku panik. Kedatangan Ratna yang tiba-tiba, dengan ekspresi seperti itu, jelas bukan pertanda baik.Ratna melotot tajam ke arahku. “Heh, Vania! Aku perlu bicara sama kamu. Empat mata.”Aku

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 153. Mati Kutu

    POV VANIA“Memangnya Bimo kenapa?”Pertanyaan itu meluncur dari salah satu tamu, seorang tante berusia lima puluhan yang sejak tadi duduk di ujung meja. Suaranya terdengar santai tapi tatapannya sangat penasaran.Aku menarik napas perlahan. Tanganku refleks mengelus punggung Ankala yang masih terlelap di gendonganku. Jantungku berdetak lebih kencang. Aku tahu, kalimatku barusan pasti akan membuat Bimo dan mamanya ketakutan.“VANIA!” Bu Marni memekik lantang. Matanya melotot, wajahnya merah padam. “Kamu jangan coba-coba jelek-jelekan suami kamu di depan orang-orang! Istri macam apa sih kamu ini!”Suaranya penuh amarah, tapi aku bisa menangkap sesuatu yang lain di sana, ketakutan. Bu Marni jelas panik. Dia tahu, kalau aku mulai bicara, semua cerita versinya tentang aku akan runtuh.Aku menatapnya datar. Dadaku memang panas, tapi anehnya kepalaku justru terasa jernih. Mungkin karena terlalu lama ditekan, akhirnya aku kebal.Belum sempat aku menjawab, pintu ruang private terbuka.“Sudah-

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 152. Kedatangan Keluarga Besar

    POV VANIA“Bu Vania?”Suster Lani kembali memanggilku. Aku tersadar dari lamunan. Sejak tadi aku memang hanya diam, menatap Ankala yang kembali terlelap di gendonganku. Kepalaku penuh memikirkan kenyataan yang satu per satu terbuka.“Iya, Mbak,” jawabku akhirnya, meski suaraku terdengar lebih pelan Lani tampak bingung. Tatapannya bergantian antara wajahku dan Ankala. Seperti ada banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan, tapi ia menahannya.“Mbak Lani,” aku menarik napas panjang, lalu menatapnya lurus, “karena Mbak sudah tahu sejak awal … saya akan jelaskan yang sebenarnya. Tapi tolong, simpan dulu rahasia ini rapat-rapat.”Wajah Lani langsung berubah serius. Ia mengangguk cepat. “Iya, Bu. Saya janji.”Aku menelan ludah. Sebenarnya aku ragu, tapi aku memaksakan diri untuk bicara.“Ankala memang anak Mas Galang,” ucapku akhirnya. Kalimat itu keluar lirih. “Dan … saya akan segera mengurus perceraian saya dengan Bimo.”Lani menghela napas lega. Bahkan terlihat seperti beban di dadanya i

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 151. Keributan

    POV VANIA“Astaga, Mas … bagaimana ini?” Suaraku gemetar begitu menutup panggilan dari Rini. Dadaku terasa sesak, telapak tanganku dingin, aku sangat mengkhawatirkan Ankala.Galang langsung menoleh, wajahnya berubah tegang. “Ada apa? Ankala baik-baik saja, kan?” Galang jugapanik, matanya menelusur wajahku seakan mencari jawaban sebelum aku sempat bicara.“Cepat, Mas. Cepat kita balik ke restoran,” kataku nyaris terisak. “Bimo dan ibunya berusaha mau ambil Ankala dari Suster Lani.”Wajah Galang seketika memerah. Rahangnya mengeras. “Bimo brengsek!” umpatnya pelan tapi penuh amarah.Tanpa menunggu lagi, Galang langsung menyalakan mesin mobil. Mobil melesat meninggalkan taman, kembali ke arah restoran. Aku menangis sepanjang jalan. Air mataku tidak bisa kutahan. Bayangan Ankala menangis, ketakutan, diperebutkan orang-orang yang tidak pernah benar-benar menjaganya, membuat dadaku terasa seperti diremas.“Tenang, Nia,” Suara Galang terdengar menenangkan meski jelas ia juga cemas. “Selama

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status