Share

Retak Janji Pernikahan
Retak Janji Pernikahan
Penulis: Rina Novita

Bab 1. Reuni SMA

Penulis: Rina Novita
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-19 10:52:35

“Cepat sedikit! Dasar lelet!”

Bentakan Mas Bimo, suamiku, lagi-lagi menggelegar memenuhi rumah kecil kami. Padahal aku lamban karena baru saja selesai membantunya menyiapkan diri untuk acara reuni SMA-nya.

“Aku udah siap, Mas,” ucapku pelan setelah rapi, menarik napas panjang untuk menahan hati yang bergetar sejak tadi dihantam omelan bertubi-tubi.

Bimo menoleh tajam, matanya meneliti penampilanku dari atas ke bawah. Ia mendengus kasar. “Astaga, Vania! Kenapa pakai baju itu, sih? Orang-orang pasti ketawa lihat kamu kampungan kayak gitu! Bikin malu aja!”

Aku menatap diriku, lalu kembali menatapnya. “Ini bajuku yang paling bagus, Mas. Aku ‘kan nggak pernah beli baju baru ….”

Sekejap wajah Mas Bimo memerah. “Mulai lagi kamu nyindir-nyindir! Udah tahu aku lagi banyak masalah, masih aja kamu minta macam-macam!” bentaknya lagi.

Sindiran? Minta macam-macam? Aku hanya menyatakan apa yang terjadi.

Akan tetapi, takut pertengkaran ini melebar, aku pun buru-buru diam, lalu mengikuti Bimo keluar. Motor bututnya sudah menunggu di halaman.

“Cepat naik! Jangan bikin kita telat. Kalau telat gara-gara kamu, aku yang malu!”

Aku menurut. Duduk di jok belakang, memegang ujung jaketnya erat.

Sepanjang jalan menuju rumah temannya, aku hanya bisa menunduk. Rasa minder makin menggerogoti saat mobil-mobil mewah melintas menuju lokasi reuni.

Rumah besar itu akhirnya terlihat. Lampu-lampu terang membuat bangunannya tampak seperti istana. Musik riang terdengar sampai keluar pagar. Mobil-mobil mengilap berderet rapi, kontras dengan motor reyot kami yang berisik.

Hatiku ciut. Ingin rasanya kabur pulang, tapi tentu saja mustahil.

“Turun!” perintah Bimo dingin.

Aku ikut langkahnya masuk ke dalam.

Di dalam, suasana ramai. Orang-orang bersalaman, tertawa, berpelukan melepas rindu.

“Selamat datang.”

Suara bariton itu terdengar jelas di antara riuh obrolan. Seorang pria melangkah maju dengan tenang, posturnya tegap dalam balutan jas abu-abu yang sederhana tapi berkelas. Cara berdirinya saja sudah cukup untuk menarik perhatian, mantap, percaya diri, namun tidak berlebihan.

Dia adalah Galang Pramono. Tuan rumah malam ini, sekaligus kenalan lama yang sering diceritakan Mas Bimo dengan nada iri. Entah dari latar belakangnya yang luar biasa, bisnisnya yang merajalela, juga kemampuan finansialnya yang seakan tiada tara.

Di sampingnya berdiri seorang wanita bergaun merah menyala, Ratna Ayusari, istrinya yang cantik dan sama rupawannya. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, semua yang wanita itu kenakan tampak mahal.

“Bimo! Lama nggak ketemu!” Galang menyambut dengan ramah, menjabat tangan Bimo

Bimo ikut tertawa. “Iya, aku sibuk banget belakangan ini, Lang. Baru sempat datang sekarang.”

Kemudian, Galang beralih padaku, matanya menatapku dalam sebelum tersenyum sopan.

“Vania,” panggilnya, menganggukkan kepala sebagai sapaan.

Aku yang berdiri di samping membalas anggukan itu pelan, berusaha tersenyum.

Di saat itu, Ratna mendekat, senyum sinis mengembang di bibirnya. Ia mencondongkan badan, berbisik cukup keras hingga terdengar orang lain.

“Kamu nggak salah kostum kan, Vania? Ini acara reuni, loh. Bukan mau ke warung.”

Aku kaget, lalu cepat-cepat menunduk, menahan rasa malu yang menohok.

Bimo, alih-alih membelaku, justru terkekeh. “Hahaha, iya, Rat. Istriku ini emang nggak ngerti cara dandan. Sekali-kali kamu ajarin dong, biar bisa cantik dan modis juga kayak kamu!”

Mendengar suamiku sendiri menghinaku selagi memuji wanita lain, tawa beberapa orang di sekitar meledak. Mereka menatapku seolah sedang melihat sesuatu yang aneh. Aku pun menggigit bibir, berusaha menahan agar air mata tidak jatuh.

Sepanjang acara, Bimo tenggelam dalam euforia bersama teman-temannya. Ia terlihat bangga sekali bisa berada di tengah-tengah orang sukses, seolah-olah dia juga sudah sukses, meski aku tahu kenyataannya tidak seperti itu.

Sedangkan aku? Aku duduk di pojok sendirian, memegang gelas jus yang isinya bahkan tidak kusentuh. Aku hanya ingin cepat-cepat pulang.

“Eh, Van! Daripada duduk bengong sendirian di situ, mending kamu bantu-bantu sana di dapur,” suara Ratna tiba-tiba terdengar lagi. Kali ini lebih keras, membuat beberapa tamu menoleh.

Aku tersentak, tapi buru-buru mengangguk.

“Iya, Mbak.”

Aku melangkah ke dapur, mencoba menutupi rasa maluku. Lebih baik aku menghilang dari keramaian. Lagi pula aku tidak bisa membantah Ratna. Dia dan suaminya berkali-kali menolong ekonomi keluarga kami.

Di dapur, bersama dua orang pelayan, aku membantu menata piring, mengisi gelas, dan merapikan meja. Setidaknya di sini aku bisa sedikit bernapas lega. Namun, saat sibuk menuang minuman ke beberapa gelas, aku merasa ada seseorang memperhatikan. Ketika menoleh, kulihat Galang berdiri di ambang pintu.

“Kenapa kamu di sini?” tanya pria itu dengan alis tertaut. “Kamu tamu, kenapa malah ikut bantu-bantu?”

“Ah … itu … saya… hanya terbiasa beres-beres, Mas. Bosan juga nggak ada teman ngobrol, jadi lebih baik bantu-bantu ….”

Galang berjalan mendekat. “Jangan bohong. Ratna yang suruh kamu, ‘kan?” tembaknya, membuatku tersentak dan langsung menunduk. Sangat tidak enak ketahuan berbohong.

Melihatku terdiam, Galang menghela napas, lalu meraih jar berisi jus yang ada di tanganku. Setelah itu, dia menatapku dalam.

“Kamu tamu, jangan kerjain kerjaan ini,” ucapnya.

Namun, aku tersenyum tipis dan meraih jar itu kembali. “Saya sudah biasa, Mas ….”

Pancaran matanya sedikit menggelap, sekilas, sebelum dia lanjut berkata, “Aku lihat Ratna dan teman-teman yang lain tadi agak keterlaluan ke kamu. Aku wakilin istriku minta maaf, kuharap kamu nggak ambil ucapannya ke hati.”

Aku memaksakan senyum dan langsung menggeleng cepat. “Nggak apa-apa, Mas. Saya sudah kebal.”

Dia menatapku lama, dalam, seolah ingin menyingkap isi hatiku. Sedikit canggung, aku jadi agak salah tingkah dan ingin buru-buru pergi.

“Saya … lanjut kerja dulu, Mas,” ucapku buru-buru.

Galang hanya mengangguk samar, lalu berbalik pergi.

Tak lama, Ratna masuk dengan suara tajam. “Van, minuman sudah siap? Jangan bikin tamu nunggu!”

Aku cepat membalas, “Iya, Mbak.”

Kuletakkan beberapa gelas di atas nampan, lalu mengangkatnya hati-hati. Berat, tapi kupaksakan.

Aku keluar dapur, menyusuri lorong. Musik masih berdentum, tawa bersahutan. Aku fokus menjaga nampan agar tak goyah.

Tapi tiba-tiba—

“Eh!” Aku terkejut saat tanpa sengaja menabrak seseorang. Nampan hampir terlepas, tapi sebuah tangan kokoh segera meraih pergelangan tanganku, menahan tubuhku agar tidak jatuh.

“Kamu nggak apa-apa?” suaranya rendah, selagi tangannya menggenggamku hangat.

Terkejut, aku menoleh cepat, dan mataku bertemu dengan sorot mata tegas itu, begitu dekat.

Galang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Retak Janji Pernikahan   Bab 6. Ibu

    Aku berlari di belakang para tetangga yang membantu menggotong ibu ke dalam mobil. Kantong obat yang tadi kupeluk erat masih kugenggam, tapi rasanya tak berguna lagi. Dadaku sesak, mataku panas.“Ibu … bertahan, Bu. Tolong bertahan,” bisikku panik, sambil menggenggam tangan beliau yang terkulai lemah.Aku menoleh ke arah Bude Narti yang ikut terburu-buru masuk ke mobil. “Bude … sebenernya tadi ada apa? Kenapa Ibu bisa pingsan?” tanyaku dengan suara bergetar.Bude Narti menghela napas panjang, wajahnya penuh kekhawatiran. “Siang tadi Bimo sempat pulang, Nak. Kami dengar dia marah-marah di dalam rumah. Suaranya keras sekali, kayak lagi ribut besar. Nggak lama kemudian, dia keluar lagi sambil banting pintu.”Aku tercekat, dadaku makin sesak. “Terus … Ibu?”“Tak lama setelah Bimo pergi, kami dengar suara gedebuk keras dari dalam rumah. Kami kira sesuatu jatuh, jadi beberapa tetangga langsung masuk. Pas kami lihat, ternyata ibumu sudah terkapar di lantai, nggak sadarkan diri.” Suara Bude b

  • Retak Janji Pernikahan   Bab 5. Kesepakatan

    Seketika jantungku berdegup begitu kencang, hingga membuat dada ini sesak. Tanganku yang masih memegang sendok gemetar, hampir saja jatuh ke meja.“A-apa maksud Mas dengan kata menemani?” tanyaku dengan suara yang nyaris tak terdengar.Galang menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatapku dengan mata tajam yang seakan sedang menelanjangiku habis-habisan. Ia mengangkat alis, lalu bicara pelan, namun tegas.“Kita sudah sama-sama dewasa, Vania. Saya rasa kamu paham maksud saya.”Aku sontak terdiam, menelan ludah. Rasa panas merambat ke wajahku, bercampur malu, marah, dan ketakutan. Tidak pernah terlintas sebelumnya kalau pria sewibawa dan seberkelas Galang akan mengucapkan kalimat serendah itu padaku.“Ma—Mas … jangan bercanda soal beginian …,” suaraku bergetar.Ekspresi Galang datar, tatapannya dingin. “Saya tidak sedang bercanda. Kamu perlu uang demi ibumu, jadi … saya memberikan penawaran."Aku tersentak, lalu menundukkan kepala. Suaraku terdengar berbisik, “Tapi … bagaimana dengan Mas Bim

  • Retak Janji Pernikahan   Bab 4. Tawaran Gila

    Aku berjalan pelan di samping Galang, memeluk kantong obat di dadaku seolah itu harta paling berharga. Sebenarnya aku ingin buru-buru pulang, takut kalau ibu terbangun sendirian. Tapi langkahku terus mengikuti Galang, entah kenapa.“Mas …” aku memberanikan diri memanggil, suaraku lirih. “Sebenarnya nggak usah repot-repot, Mas. Udah banyak bantuan Mas buat keluarga saya. Saya malu …”Galang melirikku sekilas, lalu kembali menatap lurus ke depan. “Udah, nggak usah mikirin itu. Kamu terlalu banyak mikir. Kalau saya bisa bantu, ya saya bantu. Simple aja."Aku terdiam. Entah kenapa kata-katanya selalu terdengar gampang, padahal untukku semua terasa rumit.Kami melewati sebuah restoran kecil. Aroma kuah gurih langsung menyeruak. Aku sempat menoleh, lalu buru-buru memalingkan wajah. Tapi Galang malah berhenti.“Kamu belum makan siang, kan?” tanyanya datar.Aku tergagap. “Maaf, Mas … saya harus pulang. Ibu—”“Kamu makan dulu. Kalau kamu jatuh sakit, siapa yang urus ibumu?” Suaranya tetap data

  • Retak Janji Pernikahan   Bab 3. Pria Penolong

    “Tu—tujuh puluh lima juta?” suaraku tercekat, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Dadaku berdegup kencang, lututku mendadak lemas. Seakan dunia runtuh menimpa kepalaku.“Itu … banyak banget, Bang. Mas Bimo … beneran punya hutang segitu?”Aku memang tahu Bimo sering main judol, bahkan tak jarang pulang dalam keadaan mabuk berat. Aku juga tahu dia kerap pinjam sana-sini untuk menutupi kebiasaan gilanya itu. Tapi … tujuh puluh lima juta? Angka itu bagiku seperti langit yang tak terjangkau. Selama ini aku masih bisa meyakinkan diriku kalau hutang-hutangnya tidak sampai segila itu. Nyatanya, aku salah besar.“Eh, lu pikir kita bohong?” salah satu penagih mendengus kasar. “Ini udah kelakuan suami lu dari dulu, kan? Main hutang, kabur, bikin ribet orang.”“Aku … aku nggak tahu, Bang. Mas Bimo dari semalam nggak pulang,” ucapku gemetar. Suaraku serak, hampir hilang.“Halah, Alasan! Jangan bohong lu!” salah satu dari mereka menendang pot bunga kecil di teras, membuatku te

  • Retak Janji Pernikahan   Bab 2. Keributan

    “Eh!"Aku buru-buru menarik tanganku dari genggaman itu. Tapi justru semakin gugup karena tangan kokoh itu masih saja menahan pergelangan tangan ini. Jantungku berdetak tak karuan. Rasanya wajahku panas sekali. Aku menunduk, berharap tidak ada seorang pun yang melihat kami.“Mas …,” suaraku tercekat, lirih, hampir tak terdengar. Aku melirik cepat ke arah tanganku yang masih dalam genggamannya, lalu menatap wajahnya sekilas. “Tolong … dilepas.”Galang tersentak, seolah baru sadar dengan apa yang barusan dilakukannya. Ia cepat-cepat melepas genggaman itu. “Oh, maaf. Aku nggak sengaja,” ucapnya cepat, suaranya agak serak.Aku buru-buru mengangguk, meski gemetar. “I-iya, nggak apa-apa, Mas.” Dengan canggung, aku merapatkan nampan yang hampir terlepas dari genggamanku tadi. Tanpa berani menatapnya lagi, aku langsung mempercepat langkah menuju ruang tamu.Namun langkah gugupku justru membawaku pada masalah berikutnya.BRUK!Nampan di tanganku berguncang keras saat tubuhku bertabrakan dengan

  • Retak Janji Pernikahan   Bab 1. Reuni SMA

    “Cepat sedikit! Dasar lelet!” Bentakan Mas Bimo, suamiku, lagi-lagi menggelegar memenuhi rumah kecil kami. Padahal aku lamban karena baru saja selesai membantunya menyiapkan diri untuk acara reuni SMA-nya. “Aku udah siap, Mas,” ucapku pelan setelah rapi, menarik napas panjang untuk menahan hati yang bergetar sejak tadi dihantam omelan bertubi-tubi. Bimo menoleh tajam, matanya meneliti penampilanku dari atas ke bawah. Ia mendengus kasar. “Astaga, Vania! Kenapa pakai baju itu, sih? Orang-orang pasti ketawa lihat kamu kampungan kayak gitu! Bikin malu aja!” Aku menatap diriku, lalu kembali menatapnya. “Ini bajuku yang paling bagus, Mas. Aku ‘kan nggak pernah beli baju baru ….” Sekejap wajah Mas Bimo memerah. “Mulai lagi kamu nyindir-nyindir! Udah tahu aku lagi banyak masalah, masih aja kamu minta macam-macam!” bentaknya lagi. Sindiran? Minta macam-macam? Aku hanya menyatakan apa yang terjadi. Akan tetapi, takut pertengkaran ini melebar, aku pun buru-buru diam, lalu mengikuti Bimo

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status