LOGINAku menatap jam di dinding kamar hotel yang berdetak pelan. Jarumnya sudah melewati angka sembilan. Udara Lembang malam ini begitu dingin, tapi telapak tanganku justru hangat karena terus menggenggam ponsel.Belum ada kabar.Belum satu pun pesan masuk dari Galang sejak ia pergi tadi sore.Aku duduk di tepi sofa, menatap meja di depanku. Di sana, nampan berisi makan malam yang dikirim pihak hotel masih utuh.Kutarik napas panjang.“Mungkin dia masih di rumah ibunya,” gumamku pelan, mencoba meyakinkan diri sendiri.Aku menatap layar ponsel. Nama Mas Galang masih terpampang di daftar percakapan terakhir. Rasanya ingin sekali menekan tombol panggil, sekadar mendengar suaranya, memastikan bahwa dia baik-baik saja.Tapi aku takut.Takut jika panggilanku malah akan membuat masalah nantinya. Bagaimana kalau ibunya sampai tau?Kuletakkan ponsel di dada dan menatap langit-langit.Aku memejamkan mata, berusaha tidur, tapi bayangan wajah Galang terus muncul.Aku menelungkup, menekan wajah ke ban
“Ratna? Kamu di sini?”suaraku nyaris tercekat karena terkejut.Ratna menoleh cepat, senyum lebarnya langsung mengembang. “Surprise!” katanya sambil tertawa pelan. Suara tawanya terdengar lepas, seolah tidak ada yang ia sembunyikan.Aku menatapnya beberapa detik tanpa bicara. Rasanya aneh, karena aku tahu betul, Ratna bukan tipe yang suka membuat kejutan semacam ini. Biasanya, dia akan mengeluh bila harus ke Bandung, apalagi ke rumah Ibu yang sederhana dan jauh dari segala kenyamanan kota.“Iya, Lang,” sahut Ibu dari arah dapur sambil membawa gelas berisi teh. “Tadi Ibu yang telepon Ratna. Eh, nggak tahunya malah dia yang bilang mau nyusul kamu ke sini. Ibu jadi senang, sudah lama kita nggak kumpul begini.” Wajah Ibu tampak bahagia, matanya berbinar.Aku memandang ke arah Ratna lagi.“Jadi Ibu yang minta kamu datang?” tanyaku pada Ratna, memastikan.Ibu menggeleng cepat. “Nggak, Ibu cuma cerita kalau kamu lagi di Bandung. Terus Ratna langsung bilang mau nyusul. Katanya kangen sama ib
"Vania!”Aku bertetiak di antara hamparan kebun teh. Nafasku tersengal, keringat dingin menetes di pelipis meski udara Lembang cukup dingin meski di siang hari. Aku menoleh ke kiri dan kanan, mataku liar mencari sosok wanita itu.Setiap bayangan di antara daun teh membuat jantungku berdetak lebih cepat.Aku melangkah menuruni jalan setapak yang becek oleh sisa hujan.“Vania! Tolong jawab!” panggilku lagi.Tak ada suara selain desir angin dan gemerisik dedaunan. Dada ini makin sesak. Berbagai pikiran buruk muncul begitu saja.Aku hanya pergi sebentar, dan dia menghilang begitu saja.Langkahku makin cepat, berusaha bertanya pada setiap orang yang aku temui.Hingga akhirnya, dari kejauhan, aku melihat atap seng berwarna biru muda di pinggir jalan kecil. Sebuah warung sederhana di bawah pohon besar, dengan dua orang wanita yang duduk di bangku panjang di depannya.Aku memicingkan mata.Sosok yang duduk di sebelah kiri itu ... Vania.Aku mengenalinya dari cara dia merapikan rambut yang t
POV GALANG Aku melangkah menjauh dari kamar ketika melihat nama ibu di layar ponsel. Suara lembut ibu dari seberang terdengar tenang. “Kamu ada di Bandung, Lang? Sama Ratna, kan?” Suara Ibu terdengar ceria. “Ajak dia ke rumah, ya. Ibu janji nggak akan nanyain soal cucu lagi. Nanti Ibu suruh Mbok Karsih masak makanan kesukaan Ratna.” Aku tercekat. Pandanganku menatap hamparan kabut di kejauhan, mencari cara untuk menjawab tanpa menambah curiga. “Ratna nggak ikut, Bu. Aku sendirian ke sini. Kalau sempat nanti aku mampir,” jawabku pelan, berusaha terdengar wajar. “Oh …” suara Ibu terdengar menurun. “Ya sudah. Ibu tunggu, ya. Tapi kamu sama Ratna baik-baik aja kan, Lang?” Aku menarik napas panjang, menatap jauh ke arah puncak gunung yang diselimuti awan. “Ibu tenang saja. Kami baik-baik aja. Ibu tau dari mana aku ke Bandung?" "Dari karyawanmu yang ngekos di gang sebelah. Tadi pagi ketemu ibu, dia bilang kamu mau datang cek laporan bulanan." Hening beberapa detik sebelum Ibu
“Ngapain lihat-lihat?”Tatapan Bimo tajam ke arahku. Asap rokok masih mengepul di depannya. “Mending ambilin aku sarapan sana. Bentar lagi aku mau jalan,” katanya ketus dan jelas ini adalah perintah yang tidak boleh aku bantah.Aku menelan ludah, menunduk pelan. “Iya, Mas,” jawabku cepat, lalu bergegas menuju dapur.Aku mengambil piring dan bergegas ke warung. Rini yang sedang menata lauk di etalase, langsung menoleh saat melihatku datang.“Mbak Van, nggak jadi pergi?” bisiknya pelan.Aku buru-buru meletakkan telunjuk di bibir. “Ssst …” aku memberi isyarat agar Rini bicara lebih pelan. Lalu kuarahkan pandanganku ke arah rumah. “Mas Bimo lagi di ruang tamu,” ujarku setengah berbisik.Rini menutup mulutnya spontan, matanya membulat. “Maaf, Mbak … aku kira Mas Bimo nggak pulang. Mas Bimo nggak tahu kalau Mbak mau pergi nginap ke rumah teman?”Aku cepat-cepat menggeleng. “Jangan sampai tahu. Dia sebentar lagi juga pergi, kok,” kataku pelan.Rini mengangguk paham. Ia mengambilkan lauk yan
"Vania kamu ... apa-apaan sih pakai baju kayak gini?”Nada suara Bimo terdengar meninggi. Wajahnya memerah, matanya menatapku tajam dari ujung kepala sampai kaki. Aku berdiri mematung di hadapannya dengan jantung berdebar. Jangan sampai ada keributan lagi malam ini.“Apa kamu mau coba goda aku, hah?” lanjutnya dengan nada menyeringai, seakan-akan aku adalah wanita yang sama sekali tidak layak untuknya.Aku menunduk, menahan napas agar tidak terpengaruh oleh sikapnya. “Aku … mau tidur, Mas. Nggak kemana-mana. Nggak ada yang lihat juga,” jawabku pelan. Suaraku bergetar, tapi kutahan agar tidak terdengar seperti orang ketakutan.Bimo mendengus keras lalu melepaskan genggamannya di pergelangan tanganku dengan hentakan kasar. Aku mundur selangkah, lalu buru-buru berjalan ke dapur. Kuberanikan diri mengambil air panas dan menuangkannya ke gelas. Tanganku gemetar, tapi aku berusaha menenangkan diri.“Kayak perempuan murahan aja,” gumam Bimo, cukup keras hingga jelas terdengar di telingaku.A







