“Mbak Niken, kita ketemu lagi,” sapa Aisya ramah. Dalam hati ia bertanya mengapa perempuan ini ada di sini malam-malam. Padahal jam besuk sudah habis.
“Eh, iya, Mbak. Kebetulan saya kerja di sini. Dapat kabar dari kawan perawat katanya ada yang kecelakaan atas nama Wira, jadi saya ke sini,” dalih Niken.
“Lho, kalian sudah saling kenal?” ujar Mamak setelah beberapa saat hanya menjadi penonton dialog dua perempuan muda di hadapannya.
“Tadi sore kami bertemu, Mak,” jawab Aisya ringan. Ia terus menatap Niken yang mulai tak nyaman. Tatapan penuh upaya pengusiran itu terejawantahkan dengan baik di kepala Niken.
“Ya sudah, Mak, saya pamit ya ... besok ketemu lagi. Saya shift pagi kok,” ucap Niken berpamitan. Tatap perempuan bernama Aisya itu begitu mengintimidasinya.
“Lho, baru datang kok sudah pulang, Ken?” cegah Mamak.
Niken tak segera menjawab. Ia memandang tubuh lemah Wira yang tadi sore begitu bugar saat mampir ke rumahnya. Pahl
Pukul sembilan dua puluh menit, dokter pemit setelah menjelaskan hasil CT Scan Wira pada Aisya dan Mamak. Luka di kepala belakang tidak parah, hanya memar dan tidak ada pendarahan otak seperti risiko terburuknya. Hanya benturan macam ini berpotensi gegar otak ringan. Biasanya pasien akan mengalami kehilangan memori sebagian. Itu hanya bisa dilihat saat pasien sudah sadar.Patah tulang kaki kanan di dua bagian akan terus dilakukan perawatan intensif. Tim dokter akan segera menyiapkan operasi jika kondisi Wira stabil. Mamak hampir saja menangis. Untung saja ada Aisya yang mampu bersika tenang di situasi genting.“Sya, gimana ini?” rengek Mamak.“Gimana apanya, Mak? Wira sudah mendapatkan tindakan terbaik. Kalau soal biaya, kan aku udah bilang dari awal kalau aku akan bantu, jadi Mamak nggak perlu khawatir,” ujar gadis itu lembut.Mamak masih tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Dengan status Aisya dan anaknya yang hanya terlibat uru
Aisya meneruskan langkahnya memasuki ruang perawatan Wira. Hatinya benar-benar kesal. Beruntung mamak sedang tidur, sehingga kata-kata sindirannya tadi tak didengarnya. Jika mamak sadar ia tak akan berani sefrontal itu berbahasa dengan Niken.Tas ransel yang begitu berat itu Aisya letakkan di sudut ruang. Begitu juga kantung plastik berisi makanan untuknya dan mamak. Beberapa perlengkapan mandi dan makan juga tak lupa ia bawa.“Sudah datang, Sya?” Mamak bergerak dan merenggangkan seluruh tubuhnya.“Baru aja sampai, Mak. Ini aku bawain makan siang sama cemilan. Mamak makan duluan ya, ada yang mau aku urus di bawah,” ucap Aisya ramah.Mamak mengangguk, berpura-pura tidur ternyata membosankan. Sebenarnya ia ingin sekali mendengar Aisya mengadu perihal keberadaan Niken di sisi Wira tadi. Namun ternyata perempuan itu amat dewasa dalam bersikap.Aisya melangkah cepat hendak keluar dari kamar itu, sesaat gawainya berdering. Keningn
“Masya Allah sekarang sudah berhijab. Selamat ya, Nad. Baru datang ya? Pantas aku lihat sedan hitam di parkiran,” ujar Aisya sekaligus memberi tekanan.“Sedan hitam?” tanya Wira. Pemuda itu mengernyitkan kening mencoba mengingat sesuatu.“Ah, Mbak bisa aja. Nadya bawa motor kok, Mbak. Punyanya cuma itu,” kilah Nadya.Bahasa tubuh Aisya begitu mengintimidasi. Meski ia tengah menyuapkan air pada Wira, tapi pandangannya menusuk telak ke sisi psikologis Nadya. Selain menciptakan rasa tak nyaman, Nadya juga merasa tersudut.Aisya tersenyum simpul. Ia begitu yakin bahwa sedan hitam yang ia lihat masuk ke halaman rumah sakit adalah mobil yang sama dengan yang ia lihat kemarin. Tepat seperti dugaannya, Nadya yang Wira curigai memang ada di rumah sakit ini.“Apa yang dirasa, Wir? Butuh apa lagi?” tawar Aisya penuh perhatian.“Bisa tolong lepasin selang di bawah hidungku ini, Sya. Aku sudah baik-ba
“Nadya!” seru Wira. Mamak dan Aisya terkejut. Tak pernah sebelumnya Wira berkata dengan nada setinggi ini. “Kamu kenal Firman?” Nadya tersentak, diikuti dua pasang mata perempuan yang sorotnya turut serta menghardik. Gadis itu baru menyadari ia tak mengenakan lensa kontak. Kali ini ia tak akan bisa mengelak, seperti kemarin hingga menyebabkan Wira dirawat. Gadis itu membisu, ia tak tahu harus menjawab apa. Wira di hadapannya masih terus menguliti masa lalunya yang penuh dosa. Nasibnya kini diujung tanduk. Mamak dan Aisya perlahan mendekat. Entah akan ikut mendesak, atau menjaga agar Nadya tidak kabur. “Jawab aku, Nad!” pekik Wira. “Maafin Nadya, Mas ... Mak, Mbak Aisya juga,” pinta Nadya sendu. “Ada apa ini, Wir?” tanya Mamak. Wanita ini merasa ada hal besar yang tengah dilihat anaknya dan berhubungan dengan Nadya. “Mamak tanya aja ke dia, Nadya tahu segalanya! Dia ini yang bikin aku masuk rumah sakit!” hardik Wira. Kini emosinya semak
Wira dan Aisya saling tatap. Wira merasa kemampuannya melihat masa lalu amat tak berguna karena asal-usul diri sendiri tak bisa diketahui. Pantas saja terakhir ia lihat masa lalu tempat itu, ia seperti berada dalam sebuah kerajaan. Pakaiannya mewah, mungkin jika kerajaan itu masih ada ia berpotensi menjadi putra mahkota. Wira membelai janggutnya yang hanya beberapa helai. “Kakek mereka berdua berasal dari ibu yang berbeda. Mamak juga nggak tahu asalnya, tapi kakek mereka memperebutkan tahta. Namun kakek bapakmu lah yang akhirnya naik tahta. Tak lama kemudian kerajaan itu hancur setelah kedatangan Belanda,” terang Mamak lagi. “Terus? Apa sebab Firman itu kayanya benci banget sama bapak? Padahal kan kejadian itu sudah lama?” tanya Wira. “Mamak nggak tahu jelas, Wir. Walaupun dia benci, tapi bapakmu masih mengganggapnya saudara. Itu saja yang diceritakan bapak ke Mamak.” Mamak menghirup cairan di rongga hidungnya. Setiap kali wanita itu mengingat mendian
Pukul sepuluh lima belas menit pagi, Aisya tengah menyelesaikan administrasi rawat inap Wira selama dua hari. Setelah kunjungan dokter satu jam lalu, Wira dipastikan sembuh. Dokter yang memeriksa sampai terheran-heran, bagaimana mungkin patah tulang di dua lokasi dapat sembuh dalam semalam tanpa perlakuan khusus.Mamak dan Aisya tentu gembira dengan kesembuhan Wira. Apalagi Mamak yang memang amat tak nyaman biaya rumah sakit diselesaikan semua oleh Aisya. Wanita itu sudah membayangkan uang puluhan juta yang akan dikeluarkan Aisya untuk perawatan operasi patah tulang dan kemungkinan gegar otak.Aisya tersenyum memandang kartu ATM platinum yang sudah kembali ia pegang. Ayahnya sudah berjanji untuk memberikan kembali seluruh haknya bila ia sudah sembuh dari luka hati, berhasil menemukan pria yang tepat untuk pendamping hidup, dan mampu hidup tanpa sokongan orang tua.Begitu melihat kartu ATM berwarna hitam itu, petugas rumah sakit berubah ekspresi seketika. Semula
“Halo? Siapa ini?”“Kamu nggak perlu tahu siapa aku, perempuan j***ng! Aku memberimu dua pilihan, tetap di sini dan terus awasi Wira atau pulang tanpa nyawa,” suara bariton di seberang telepon itu begitu mengganggu pendengaran Nadya.“Lu ngancem gue, hah? Dibayar berapa Lu sama Firman?” hardik Nadya.Pria itu hanya tertawa, perlahan tawanya semakin kuat hingga memekakkan telinga. Nadya menjauhkan gawainya dari organ pendengaran. Lalu terdengar suara sambungan telepon terputus.“Sial! Apa-apaan ini? Nggak bener si Maya, bisa-bisanya dia lapor ke Firman!” geram Nadya.Ia bangkit dari tempatnya bermalas-malasan. Tujuannya hanya satu, menyerbu Maya. Selama ini perempuan itu ia anggap rekan dan sahabat. Ia tak menyangka Maya ingin mengambil keselamatan dirinya sendiri dan menyerahkannya sebagai korban.“May!” Nadya menggedor pintu kamar Maya. “Keluar, Lu! Lu laporin ke Firman ya ka
“Kamu beneran udah sehat kan, Wir?” tanya Aisya. Nada suaranya begitu khawatir. Namun di sisi lain ia tak bisa mencegah kekasihnya pergi, apalagi ini soal keluarga.“Insya Allah aku udah sehat, Sya. Seharusnya kami berangkat kemarin lusa, tapi karena aku masih di rumah sakit ya nggak bisa dong. Makanya mepet begini,” kilah Wira.“Ya sudah, hati-hati, Wir. Kasih kabar kalau sudah sampai ya?” ucap Aisya sambil tersenyum.“Siap, Sya. Assalamu’alaikum.”“Wa’alaikumussalam.” Sambungan telepon itu berakhir. Mamak dan Nadya memandang Wira dengan penuh tanda tanya. Terlebih Mamak, yang sebenarnya tak rela namanya digunakan sebagai alibi.“Cukup sekali kamu bohong pakai nama Mamak ya, Wir. Selesai antar Nadya, segera pulang!” pinta Mamak. Sejak kedatangan Nadya kemarin siang, ia sama sekali tak mau melihat wajah gadis itu.“Iya, Mak. Aku pamit ya?” Wira me