“Kamu kok ngelamun terus, Sayang? Apa ada yang mengganjal di pikiranmu?” tanya Diana pada puteri semata wayangnya.
Gadis berusia 17 tahun itu menggeleng lembut. Matanya kembali menatap jalanan ibu kota yang sangat asing baginya.
“Kamu nggak suka, ya, tinggal sama Mama?” Mata Diana berkaca-kaca.
“Eh, nggak, Ma, nggak kok. Mama ini ngomong apa, sih? Rara suka banget tinggal sama Mama. Hanya saja ….” Tamara tak melanjutkan perkataannya.
“Hanya saja apa, Sayang?”
“Hanya saja Rara rindu Papa, Ma,” jawabnya sendu.
Diana mendekapnya, mengusap lembut rambut panjang puterinya yang tergerai.
Memang tak mudah baginya menjalani kehidupan seperti ini, terlebih anak gadisnya masih sangat belia untuk menelan pil pahit itu. Namun, bagaimana lagi? Kenyataannya sekarang ia dan suaminya sudah bercerai. Pria itu lebih memilih wanita yang umurnya tak terlampau jauh dari anaknya.
“Papa sudah pergi, Nak. Kita harus terima itu,” jawabnya menenangkan. Meski ia tahu, anaknya tak akan tenang karena hal ini.
“Berarti aku bukan anaknya Papa lagi, ya, Ma?” Air mata mulai terjun deras dari pelupuk mata Tamara.
Dengan lembut Diana mengusap air mata yang mulai membasahi kedua pipi Tamara. Lagi-lagi kembali mendekap Tamara dalam peluknya.
“Sayang, selamanya kamu menjadi anaknya Papa.”
“Tapi kenapa Papa nggak mau sama kita lagi, Ma?”
Diana hanya terdiam. Ia sendiri tidak tahu sebabnya.
***
Ting … ting … ting ….
Telepon rumah di ruangan itu berdering, membuyarkan konseterasi empat orang anak laki-laki berseragam putih abu-abu yang tengah bermain play station itu.
“Angkat, gih, Van!” kata Aldo memerintah.
“Lo nyuruh anak donator terbesar sekaligus ketua yayasan sekolah?” tanya Revano tak percaya.
“Ck, lebay banget, sih, Van, Ratu Elisabeth aja nggak gengsi buat angkat telepon kok,” kata Arya kesal.
Revano menatap sahabat-sahabatnya itu dengan kesal. Awas aja lo semua, ya, batin Revano penuh dendam. Meski demikian, laki-laki itu tetap menurut saja – menerima panggilan yang masuk di telepon rumah tersebut.
“Hal—”
“Pulang sekarang atau mobil sama kartu ATM-mu Papa sita?”
Revano meneguk salivanya. Seharusnya ia tak menjawab panggilan telepon itu karena ternyata si penelepon adalah Alex – ayahnya.
“Iya, Pa, ini Vano pulang sekarang,” jawab Revano mengalah. Ia tak memiliki pilihan lain selain menurut apa yang dikatakan ayahnya. Ia tak ingin fasilitas yang diberikan oleh ayahnya itu disita.
Panggilan telepon pun diputuskan oleh Alex secara sepihak.
Dengan lemas, Revano pun mengambil kunci mobil yang diletakkannya di atas meja dekat beberapa toples makanan.
“Mau ke mana lo?” tanya Aldo yang matanya masih sibuk dengan play station-nya.
“Pulang,” jawab Revano singkat.
“Ngapain jam segini pulang?” tanya Rizky.
“Iya, ngapain jam segini pulang? Kayak Cinderella aja yang takut kemalaman,” timpal Arya yang masih fokus dengan game di layar televisi tersebut.
“Lo ngantuk apa gimana?” tanya Rizky heran. Tak seperti biasanya sahabatnya itu pulang lebih awal.
“Van, kalau lo ngantuk, lo bisa tidur di kamar gue,” kata Aldo mempersilakan.
“Papa gue nyuruh gue pulang ke rumah sekarang,” jawab Revano.
“Tumben banget Om Alex nyuruh lo pulang cepet. Ada apa? Mau dipingit lo?” tanya Arya asal.
Revano mengedikkan bahunya. “Dia cuma ngancam gue, kalau gue nggak pulang sekarang, semua fasilitas gue termasuk mobil dan ATM gue bakal disita.”
“Yah, kalau soal kayak gitu, sih, kita nggak bisa nahan lo, Van,” kata Aldo.
“Iya, daripada lo ke sekolah jalan kaki – serem,” timpal Rizky.
“Bisa-bisa heboh dunia persilatan,” kata Arya.
“Gue pulang dulu,” kata Revano berpamitan, ia melangkah dengan lesu keluar rumah Aldo.
“Hati-hati, Van!” seru Aldo yang hanya dibalas lambaian tangan oleh Revano.
“Kok gue khawatir sama Vano, ya?” kata Arya.
“Gue juga,” balas Rizky.
“Udah, doain aja yang terbaik semoga tuh bocah nggak bener-bener jalan kaki ke sekolah,” kata Aldo yang dijawab ‘amin’ oleh Rizky dan Arya.
***
Revano membunyikan klakson mobilnya, membuat seorang satpam yang sedang bertugas di depan rumahnya itu terkejut dan langsung membukakan pagar padanya.
“Molor mulu, Pak. Mau digaji nggak, sih?” protes Revano dengan nada kesalnya.
Satpam tersebut hanya tertunduk, lalu meminta maaf atas kecerobohannya.
Alyana bergegas keluar begitu melihat putera sulungnya sudah di depan rumah.
“Vano, buruan masuk!” katanya sedikit berbisik.
Vano masuk ke dalam rumah mengekori Alyana. Ia sedikit terkejut ketika mendapati banyak orang sudah berkumpul di ruang tamunya, termasuk Brian. Adiknya itu entah mengapa menolak ketika diajak main play station dengan anggota The Crush, dengan alasan ia malas bermain permainan kuno itu.
“Hai semua, kenalkan ini Revano – anak pertama kami,” seru Alyana mengundang perhatian banyak orang.
“Vano, say hi dong,” bisik Alyana tepat di telinganya.
“Hai semua, saya Revano.”
“Wah, ganteng banget ya.”
“Iya, ganteng.”
“Kakak sama adik sama-sama wajahnya mirip mamanya, ya.”
“Eh, jangan salah. Itu gantengnya turunan dari saya kok,” balas Alex tak mau kalah.
Sontak jawaban Alex itu mengundang tawa semua orang. Terlebih ketika Alex sengaja pura-pura merajuk agar semuanya mengakui kalau kedua puteranya itu mirip dengannya.
“Vano, kamu kapan main ke rumah?” tanya seorang pria seusia ayahnya yang biasa ia sebut Om Dedi itu.
“Iya nih, Vano sekarang udah jarang ke rumah. Lica selalu tanya lho,” timpal Desi – istri Dedi.
“Hehe, lain waktu saya main ke rumah deh, Tante, Om,” jawab Revano canggung.
“Nah, harus dong. Emangnya nggak kangen Angel?”
Revano hanya tersenyum canggung.
Kangen Angel? Sama sekali tidak.
Siapa Angel di hatinya? Tidak lebih dari seorang kakak saja baginya.
Semua perjodohan itu hanyalah rencana dan khayalan bodoh saja. Revano sama sekali tak mencintai Angel, meski berkali-kali gadis itu mencoba menarik perhatiannya.
“Ganteng semua, ya.”
“Orang tuanya aja cakep-cakep, pasti anak-anaknya juga cakep dong.”
Revano dan Brian saling bertatapan, mereka sudah jengah dengan kata-kata seperti itu yang menurut mereka sangat monoton.
“Ma, Pa, dan semuanya, saya pamit ke atas dulu ya,” pamit Revano.
“Saya juga ya,” kata Brian mengikuti.
Alex dan Alyana saling bertatapan, seakan melempar kesalahan dengan mengatakan ‘anakmu tuh.’
“Ehm, maaf ya semuanya, maaf juga, Angel, soalnya Brian besok harus kuliah pagi, kalau Vano besok ada ulangan harian, jadi mereka mau belajar di kamar,” ucap Alyana berbohong.
“Ah, nggak apa-apa kok, Jeng. Dimaklumi. Angel juga gitu kok, tiap hari tugas kuliah terus, jadi nggak ada waktu buat main,” jawab Desi.
Sementara di dalam kamar, baik Brian maupun Revano, tidak ada yang belajar seperti yang dikatakan oleh Alyana tadi. Brian sibuk berkutat dengan lukisannya, cowok itu sejak kecil memang sudah hobi melukis. Bahkan Alyana setiap bulannya mengadakan pameran lukisan di galeri kecil milik Brian. Banyak yang mengagumi karya cowok berusia 19 tahun itu. Berbeda dengan saudara kembarnya, di kamar Revano sibuk bermain game online di komputer kesukaannya itu. Tak heran jika Revano justru masih duduk di bangku SMA, sedangkan Brian sudah kuliah.
Tok … tok … tok …
Brian menghentikan aktivitas melukisnya, ia menoleh ke arah saudara kembarnya yang masih asyik bermain game online itu. Bahkan tak sedikit pun Revano mengalihkan pandangannya dari layar komputernya.
Sepertinya jika terjadi gempa bumi atau tsunami, Revano tetap tak akan peduli. Ia lebih baik terkena reruntuhan bangunan daripada kehilangan sedetik waktu bermain game-nya.
“Vano.”
Brian masih terdiam seraya memandang saudara kembarnya yang tak sedikit pun peduli dengan seseorang yang memanggil namanya itu.
“Vano.” Gadis di luar kamar tersebut masih memanggil nama Revano.
“Heh, cewek lo tuh manggil,” kata Brian.
“Cewek yang mana?” tanya Revano yang akhirnya mengalihkan perhatiannya dari game.
“Angel,” jawab Brian dengan suara yang sangat pelan.
“Dih, cewek lo aja kali,” kata Revano kesal.
“Lo, ‘kan, yang tunangannya,” kata Brian meledek.
“Kalo bukan karena papa sama mama, gue juga ogah tunangan sama dia,” tolak Revano mentah-mentah.
“Ya udah, sana, temui dulu itu tunangan lo,” kata Brian menggoda saudara kembarnya seraya menekan kata ‘tunangan lo’, membuat Revano mendelik tajam ke arahnya.
Meski demikian, Revano pun akhirnya mengalah dan membukakan pintu untuk Angel yang sejak tadi menunggunya.
“Mau apa lo ke sini?” tanya Revano langsung pada intinya.
“Jangan kasar dong, Van!” seru Brian.
“Lo bisa diem nggak? Kalau nggak bisa, gue minta malaikat jahit mulut lo nih!” kata Revano kesal.
Brian pun terdiam. Ia memilih melanjutkan melukisnya daripada harus berdebat dengan Revano yang tiada ujungnya.
“Buruan ngomong!” kata Revano membuat Angel terkejut.
“Ehm, gue pengen ngomong kalau kita, ‘kan, udah tunangan—”
“Langsung ke intinya, Angelica!” Revano semakin meninggikan suaranya.
“Ssstt …. Van, jangan keras-keras! Nanti mak bapaknya dengar,” kata Brian dengan pelan tapi masih dapat terdengar.
“Gue pengen ngajak lo jalan ber—”
BRAK!
Belum selesai Angel berbicara, Revano sudah membanting pintunya dengan sangat keras, membiarkan gadis itu mematung di depan pintu yang tertutup.
Revano tak peduli meski gadis itu mengadu ke orang tuanya sambil menangis. Siapa Angel dalam hidupnya? Tidak ada artinya selain hanya seorang anak dari rekan bisnis kedua orang tuanya. Bahkan pertunangan itu – ah, Revano sangat tak sudi menganggap upacara bodoh itu sebuah pertunangan.
Lagu Superman milik Super Junior berdering dari ponsel Tamara, membuat Sang Empunya ponsel pun terbangun dan segera mematikan alarm tersebut. Memang sengaja Tamara menggunakan lagu tersebut sebagai nada dering alarm di ponselnya agar ia segera terbangun. Kembali hidup sendiri – sama ketika ia mengekos setelah kepergian Diana – setelah ia jauh dari Joseph dan Giselle, membuat Tamara mau tak mau harus kembali serba mandiri. Hidup sendiri di Kota Pelajar yang tentu jauh dari rumahnya membuatnya harus mendisiplinkan diri. Karena kalau tidak begitu, ia sendiri yang akan kehilangan waktu berharganya. Setelah memilih pakaian untuk dikenakannya ke kampus, Tamara pun berjalan menuju kamar mandi. Kamar mandi yang hanya ada tiga bilik di setiap lantainya membuat seluruh penghuni di lantai tiga – tempat Tamara tinggal pun harus berbagi dan bergantian. Seperti saat ini. Jam baru menunjukkan pukul lima kurang lima menit pagi, tapi tiga bilik kamar mandi terlihat penuh, bahkan Tama
Di suatu siang – seperti biasa – Tamara dan Giselle sedang duduk di ruang keluarga sembari menonton TV dan memperhatikan Ale bermain. Tiba-tiba ponsel Tamara berdenting, menampilkan sebuah pesan singkat dari Joseph. Papa: Ra, kamu bisa ke kantor Papa sekarang, ‘kan? Dengan cepat Tamara mengetikkan sesuatu di ponselnya. TamaraAltey: Oke, Pa. Giselle yang melihat bahwa mata Tamara tak lagi fokus pada tayangan di TV dan lebih asyik dengan ponselnya itu pun menjadi penasaran, dengan siapa anak tirinya itu berkomunikasi. “Hayo, SMS siapa tuh?” tanya Giselle sembari melongok, ikut melihat ke layar ponsel Tamara. “Papa, Bun.” “Kenapa sama Papa?” “Papa suruh aku ke kantornya.” Giselle mengernyitkan dahi. “Ada apa?” “Nggak tahu. Papa suruh aku segera ke kantornya.” “Ya udah sana. Sama Pak Dadang, ‘kan?” “Pak Dadang, ‘kan, lagi istirahat, Bun. Aku
“Geser dikit bisa nggak, sih, Ran?” tanya Alice seraya mendorong tubuh Rani agar sedikit menjauh supaya memberinya banyak tempat untuk berbaring. “Hih, lo apaan, sih, Lice? Banyak tempat tuh,” jawab Rani tak suka jika keasyikannya menonton film diganggu oleh Alice. “Di situ nanti tempatnya Karina sama Rara. Lo mikir dong, badan lo aja segede itu masih juga kaki sama tangan ke mana-mana,” protes Alice. “Lo nggak ngomong pun gue juga tahu kalau itu tempatnya Rara sama Karina. Tapi, ‘kan, mereka masih keluar. Lo yang santai dikit kenapa, sih? Ganggu aja gue lagi nonton pacar gue nih – Leonardo DiCaprio,” gerutu Rani. “Kalian kenapa, sih? Berisik banget dari tadi,” tanya Tamara yang sudah muncul di hadapan mereka bersama Karina dan beberapa kantung plastik berisi makanan dan minuman yang mereka inginkan. Dengan segera Alice dan Rani membaur bersama Tamara dan Karina, seakan lupa dengan perdebatan mereka beberapa detik yang lalu itu. “Ra,”
Tamara mulai membiasakan diri hidup mandiri, bertemankan kesendirian di tengah ingar bingarnya ibu kota setiap harinya. Semenjak Revano pergi, justru Tamara mendapatkan banyak teman. Alice, Karina, dan Rani resmi sudah menjadi sahabat Tamara. Entah apa yang membuat mereka tiba-tiba mau bersahabat dengan Tamara. Meski hidupnya dikelilingi oleh banyak teman, Tamara tetap merasa ada yang kurang di hidupnya. Siapa lagi kalau bukan Revano? Kepergian Revano rupanya menyisakan ketidakrelaan dalam hati Tamara. Sekuat apa pun Tamara menghibur diri, tetap saja tak berhasil. Kini seseorang yang ia cintai setelah Diana juga meninggalkannya. Terlebih karena Revano lah yang mengambil ciuman pertamanya. Mungkin bagi sebagian perempuan, ciuman bukanlah hal yang luar biasa, tapi bagi Tamara, itu adalah hal yang sangat berarti. Tamara tak akan semudah itu menyerahkan ciumannya pada lelaki. Tamara menghela napas.Hm, ya udahlah, mau gimana
Revano mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi mengikuti ambulan yang membawa Pram tersebut ke rumah sakit. “Vano!” seru Alyana memanggil puteranya. Akan tetapi, sang pemilik nama tak menyahut, ia justru berjalan masuk bersama dengan para dokter dan perawat yang membawa brankar dengan seseorang bertutupkan kain putih di atasnya. Alyana memandang heran pada Revano. “Biar aku saja yang menemui dia.” Di sinilah Revano berada – di kamar jenazah. Ia menangisi seseorang yang terbaring kaku bertutupkan kain tersebut. “Pa, Papa jangan pergi tinggalin Vano. Vano sayang sama Papa. Apa Papa nggak kasihan sama Mama yang kesepian kalau Papa tinggal? Papa tahu sendiri, ‘kan, kalau Mama itu nggak bisa berlama-lama jauh sama Papa. Gimana aku sama Brian, Pa? Kami masih butuh Papa. Kami ingin Pap—HUWAAAAA!!! SETAAANNN!!!” Alex membungkam mulut anaknya yang berteriak seperti toa di tempat sepi. “Jaga mulutmu, Vano!” bisik Alex semba
Sudah dua minggu ini Revano rutin menjenguk Tamara. Sejak meninggalnya Diana, Melati – sahabat Diana itu lah yang merawat Tamara. Wanita paruh baya yang belum menikah itu memutuskan untuk membawa Tamara tinggal bersamanya di rumahnya yang cukup mewah itu. Meski ia yang merawat Tamara kini, tapi Melati tak pernah membatasi siapa pun menjenguk puteri dari mendiang sahabatnya itu, termasuk Revano. Tamara mengamati Revano yang dengan lahap menyantap salat buah yang tadi dibawakan Revano untuk Tamara. “Kenapa?” tanya Revano bingung karena sedari tadi Tamara terus memandanginya. Tamara menggeleng. Revano menghela napas dengan berat, ia meletakkan mangkuk berisi salat buah yang sudah habis setengah wadahnya itu. “Kenapa?” tanya Revano lagi. Kini ia memilih untuk duduk lebih dekat dengan Tamara. “Van, aku sebenarnya nggak apa-apa kalau ditinggal. Beneran deh,” tolak Tamara. “Ra, sini deh,” kata Revano meminta Tamara lebih dekat lagi de