Home / Romansa / Reuni SMA / Bagian 2

Share

Bagian 2

Author: Gabriella Tan
last update Last Updated: 2020-09-23 16:33:22

Tamara mengekori seorang guru biologi dan juga wali kelasnya di kelas XI IPA 3, beliau bernama Bu Naomi.

“Kalau kamu ada kesulitan atau masalah, kamu bisa cerita ke Ibu sebagai wali kelasmu, ya?” tawar Bu Naomi dengan lembut.

Tamara mengangguk sembari tersenyum menjawabnya.

Kelas yang sebelumnya ramai dan gaduh, kini menjadi hening ketika guru yang sedang hamil enam bulan itu masuk disusul oleh gadis mungil yang tak lain adalah Tamara.

“Kita kedatangan teman ba—”

“Uhuy .…”

“Manisnya .…”

“Duduk sama Abang sini, Neng.”

“Jangan mau, Neng. Dia buaya.”

Belum selesai Bu Naomi berbicara, kelas kembali ramai, menggoda sang siswi baru di sampingnya itu.

“TENANG!” seru Bu Naomi berusaha menenangkan kelas. Wanita itu mengusap perutnya dan mengucapkan ‘amit-amit jabang bayi.’

Setelah kelas kembali tenang, Bu Naomi pun mulai mempersilakan Tamara mengenalkan diri.

“Nama saya Tamara Alteyzia, biasa dipanggil Rara,” kata Tamara singkat. Membuat siapa pun berdecak ‘lho, cuma segitu doang?’

“Boleh nggak kamu kupanggil ‘Sayang’ aja?” goda seorang siswa di ujung kelas. Perawakannya tinggi besar dengan rambut sedikit gondrongnya.

“Ganjar!” tegur Bu Naomi sembari mendelik tajam, membuat sang empunya nama hanya tersipu.

“Tamara, kamu bisa duduk di dekat Juna,” kata Bu Naomi sembari menunjuk bangku kosong di samping cowok berkacamata yang sedang asyik membaca komiknya itu.

Tamara mengangguk patuh, ia berjalan mendekati bangku Juna diiringi decakan kecewa dari kaum adam.

“Juna lagi, Juna lagi.” Begitulah kira-kira gerutuan mereka.

“Baiklah, Anak-anak, kalian bisa berkenalan nanti lagi, ya. Kita lanjut pelajaran dulu,” kata Bu Naomi mengalihkan perhatian.

“Hai, Rara, salam kenal, ya, aku Dimas.”

“Aku Raka.”

Tamara hanya menundukkan kepala setiap kali teman-teman barunya itu mengenalkan diri. Bukan karena tak ingin kenal, hanya saja Tamara adalah seseorang yang pemalu, ia tak mudah akrab dengan orang yang baru ia jumpai.

Akan tetapi, sikapnya itu justru mendapat gerutuan dari teman-temannya, mereka menganggap bahwa Tamara adalah gadis yang sombong.

“Kalian fokus ke pelajaran dong, jangan berisik, ganggu!” sindir Juna ketus.

Yaelah, Si Cupu ngerusak suasana aja.”

Tamara mengalihkan pandangannya ke belakang. Matanya bersitatap dengan mata biru nan indah milik seseorang, sebelum kemudian orang itu dengan malas kembali memejamkan matanya.

Jantung Tamara berdegup dengan aneh. Kenapa sih, Ra? batinnya heran.

                                                            ***

Bel istirahat berbunyi, membuat semua murid yang ada di kelas berhambur keluar. Ada yang ke kantin, ke lapangan untuk berolah raga, dan ada pula yang ke perpustakaan. 

Tamara memilih menyembunyikan diri di dalam perpustakaan yang sepi, sibuk berkutat dengan novel bersampul biru karangan penulis favoritnya itu.

Ruangan perpustakaan yang luas dan sepi itu membuat Tamara nyaman duduk lama dengan novelnya, sebelum perutnya dengan jahat berbunyi.

Segera diletakkannya novel tersebut ke tempat semula lalu melangkah pergi menuju kantin.

Suasana kantin sudah mulai sepi, hanya beberapa murid saja yang tampak masih menikmati makanannya. Jelas saja karena pasti murid-murid yang lain telah kenyang dan kembali ke kelas mereka.

Tamara dengan semangat membawa nampan berisi semangkuk bakso dan segelas es teh yang sangat menggiurkan bagi perutnya di siang yang terik ini.

BRAK!

Langkah Tamara terhenti ketika ia tanpa sengaja menabrak seseorang. kuah bakso itu menumpahi seragam putih orang di depannya dan meninggalkan noda.

Tamara membenarkan letak kacamatanya yang miring lalu mendongak, matanya beradu tatap dengan pemilik mata biru itu. Wajah cowok itu memerah, jemarinya terkepal hingga buku-buku jarinya memutih menahan amarah yang telah memuncak.

“LO!” Suara bariton itu membentaknya.

“Ma—maaf. Gue nggak sengaja,” ucap Tamara terbata-bata.

“Berani-beraninya lo kotorin seragam gue yang mahal ini!”

Tamara menunduk, kakinya terasa lemas seketika itu juga. 

Baru sehari ia menjadi murid baru di sekolah ini, tapi ia sudah mendapatkan masalah besar.

“Jalan tuh pakai mata! Udah dikasih empat mata juga nggak dipakai.”

Tangan Tamara bergetar, tapi dengan pandai ditutupinya segera.

“Gue bisa bersihin,” kata Tamara seraya meraih lengan seragam cowok itu. Namun tangan Tamara segera ditepis. 

“Nggak usah!”

Tamara bingung, apa yang harus ia perbuat kini.

“Tamara Alteyzia.” Cowok itu membaca badge namanya. “Gue tandai lo. Mulai detik ini, gue pastikan hidup lo sebagai murid di sini nggak akan tenang.”

Cowok jangkung itu pergi setelah mengeluarkan sumpah serapahnya, diiringi tatapan heran dan bingung dari orang-orang yang ada di sana.

Tamara mendudukkan diri di kursi yang tak jauh darinya. Kakinya begitu lemas mendengar ancaman cowok tadi.

Ya, hidupnya pasti tak akan tenang ke depannya. Terlebih karena cowok itu adalah teman sekelasnya.

Tamara memijat pelipisnya dengan frustrasi, membayangkan apa yang akan ia terima ke depannya.

***

“Vano, lo kenapa?” tanya Dinda dengan heboh begitu melihat seragam Revano yang kotor. 

Tak seperti biasanya cowok itu memakai pakaian yang kotor.

Dinda mendekat dan mulai meraba noda di seragam putih Revano. Sikap Dinda itu sontak mengundang siswi lainnya ikut mendekat dan mengerubungi, menanyakan hal yang sama.

Revano tak sepatah kata pun menjawab. Ia memilih diam, tapi matanya masih menyalang menatap Tamara yang menunduk di bangkunya.

Kelas semakin ramai dan heboh mempersoalkan seragam mahal Revano yang kotor. Dari mana saja cowok tampan itu sehingga seragamnya menjadi kotor? Mereka tidak menyadari jika bel masuk sudah berbunyi lima menit yang lalu.

“Permisi.” Seorang pria paruh baya berseragam PNS dengan rambut disisir rapi itu mengetuk pintu, seakan menjadi tamu di sebuah rumah. Siapa lagi jika bukan Pak Anton – guru ekonomi itu berhasil membubarkan kerumunan siswi-siswi yang mengerubungi Revano dan membuat mereka kembali duduk di bangku masing-masing.

“Maaf mengganggu acara rumpinya tadi. Tapi Bapak rasa sekarang sudah jamnya ekonomi,” kata Pak Anton dengan senyuman khasnya.

Jam alam mimpi pun seakan berbunyi ketika Pak Anton menjelaskan tentang bagaimana APBN dan APBD disusun, sumber dana APBD, dan lainnya yang membuat seluruh murid menguap. Bahkan beberapa siswa di bangku belakang sudah menggapai mimpinya.

                                                         ***

Bel pulang pun berbunyi, membuat semua murid di kelas XI IPA 1 itu – dengan semangat 45 mengemasi barang-barangnya. Yang tadinya mengantuk, bahkan ngiler pun kini berubah menjadi segar bugar.

Tamara bergegas berjalan keluar kelas, berusaha sebisa mungkin untuk menghindari cowok bermata biru yang tak lain adalah Revano.

Gadis itu kini tahu dengan siapa ia berurusan setelah tak sengaja menguping pembicaraan siswi-siswi kelas XII IPS 4 tadi. 

Ternyata Revano adalah anak ketua yayasan sekolah ini. Pantas saja jika ia dengan berani mengancam Tamara.

Mengetahui kenyataan itu, membuat Tamara semakin merinding. Tak dapat dibayangkan jika ia kembali membuat masalah dengan Revano, pasti ia akan ditendang dari sekolah ini. Jika ia dikeluarkan, mau di mana lagi ia bersekolah? Ia dan ibunya sudah tak punya banyak uang lagi.

Semenjak ayahnya meninggalkan mereka, ia dan ibunya tak memiliki uang sedikit pun. Mereka terpaksa kembali ke ibu kota – tempat masa kecil ibunya.

Bermodalkan uang yang sangat sedikit, Diana memberanikan diri mengontrak di sebuah kontrakan sederhana, membuka usaha menjahit yang sudah belasan tahun ia tinggalkan itu. Lalu, jika Tamara sampai dikeluarkan, apakah itu tidak melukai hati ibunya? Sementara ia dapat bersekolah lagi saja berkat bantuan malaikat baik hati yang tak lain adalah teman ibunya itu.

Tamara selamat sampai gerbang sekolah, tak melihat batang hidung Revano sedikit pun.

Dengan segera ia berlari pulang. Untung saja rumahnya tak jauh dari sekolahnya.

Glek!

“Udah pulang, Sayang?” Diana menghampiri puteri tunggalnya yang sudah berdiri di ambang pintu itu.

Tamara tersenyum, berusaha mengembalikan keceriaannya demi Diana.

“Mama udah dapat order-an?” tanya Tamara yang melihat tumpukan kain di mesin jahit Diana.

“Iya, syukurlah Tante Melati tadi bawa temannya buat jahit baju di sini.”

“Syukurlah. Rara ikut senang, Ma.”

“Ya udah, kamu ganti baju dulu aja, ya. Habis gitu makan. Di tudung saji Mama udah buatkan telur ceplok setengah matang kesukaanmu,” kata Diana membuat wajah anak gadisnya semakin berseri-seri.

Tamara menurut. Ia sudah duduk manis di lantai sembari melahap makanannya.

“Enak?”

“Kapan Mama pernah masak nggak enak?”

Diana tersenyum, anaknya itu memang suka sekali memujinya.

“Gimana di sekolah tadi? Senang nggak dapat teman baru?”

Tamara tertegun. Teman baru? Yang ada ia dapat masalah baru.

“Senang banget, Ma. Temannya baik-baik semua,” jawab Tamara bohong.

“Baguslah kalau gitu. Mama harap Rara bisa lulus dengan baik, sukses, bisa bahagiakan Mama, ya,” ucap Diana seraya mengelus puncak kepala Tamara.

Gadis itu tersenyum saja. 

Maafin Rara, Ma. Maaf karena Rara udah bohong.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Reuni SMA   Bagian 25

    Lagu Superman milik Super Junior berdering dari ponsel Tamara, membuat Sang Empunya ponsel pun terbangun dan segera mematikan alarm tersebut. Memang sengaja Tamara menggunakan lagu tersebut sebagai nada dering alarm di ponselnya agar ia segera terbangun. Kembali hidup sendiri – sama ketika ia mengekos setelah kepergian Diana – setelah ia jauh dari Joseph dan Giselle, membuat Tamara mau tak mau harus kembali serba mandiri. Hidup sendiri di Kota Pelajar yang tentu jauh dari rumahnya membuatnya harus mendisiplinkan diri. Karena kalau tidak begitu, ia sendiri yang akan kehilangan waktu berharganya. Setelah memilih pakaian untuk dikenakannya ke kampus, Tamara pun berjalan menuju kamar mandi. Kamar mandi yang hanya ada tiga bilik di setiap lantainya membuat seluruh penghuni di lantai tiga – tempat Tamara tinggal pun harus berbagi dan bergantian. Seperti saat ini. Jam baru menunjukkan pukul lima kurang lima menit pagi, tapi tiga bilik kamar mandi terlihat penuh, bahkan Tama

  • Reuni SMA   Bagian 24

    Di suatu siang – seperti biasa – Tamara dan Giselle sedang duduk di ruang keluarga sembari menonton TV dan memperhatikan Ale bermain. Tiba-tiba ponsel Tamara berdenting, menampilkan sebuah pesan singkat dari Joseph. Papa: Ra, kamu bisa ke kantor Papa sekarang, ‘kan? Dengan cepat Tamara mengetikkan sesuatu di ponselnya. TamaraAltey: Oke, Pa. Giselle yang melihat bahwa mata Tamara tak lagi fokus pada tayangan di TV dan lebih asyik dengan ponselnya itu pun menjadi penasaran, dengan siapa anak tirinya itu berkomunikasi. “Hayo, SMS siapa tuh?” tanya Giselle sembari melongok, ikut melihat ke layar ponsel Tamara. “Papa, Bun.” “Kenapa sama Papa?” “Papa suruh aku ke kantornya.” Giselle mengernyitkan dahi. “Ada apa?” “Nggak tahu. Papa suruh aku segera ke kantornya.” “Ya udah sana. Sama Pak Dadang, ‘kan?” “Pak Dadang, ‘kan, lagi istirahat, Bun. Aku

  • Reuni SMA   Bagian 23

    “Geser dikit bisa nggak, sih, Ran?” tanya Alice seraya mendorong tubuh Rani agar sedikit menjauh supaya memberinya banyak tempat untuk berbaring. “Hih, lo apaan, sih, Lice? Banyak tempat tuh,” jawab Rani tak suka jika keasyikannya menonton film diganggu oleh Alice. “Di situ nanti tempatnya Karina sama Rara. Lo mikir dong, badan lo aja segede itu masih juga kaki sama tangan ke mana-mana,” protes Alice. “Lo nggak ngomong pun gue juga tahu kalau itu tempatnya Rara sama Karina. Tapi, ‘kan, mereka masih keluar. Lo yang santai dikit kenapa, sih? Ganggu aja gue lagi nonton pacar gue nih – Leonardo DiCaprio,” gerutu Rani. “Kalian kenapa, sih? Berisik banget dari tadi,” tanya Tamara yang sudah muncul di hadapan mereka bersama Karina dan beberapa kantung plastik berisi makanan dan minuman yang mereka inginkan. Dengan segera Alice dan Rani membaur bersama Tamara dan Karina, seakan lupa dengan perdebatan mereka beberapa detik yang lalu itu. “Ra,”

  • Reuni SMA   Bagian 22

    Tamara mulai membiasakan diri hidup mandiri, bertemankan kesendirian di tengah ingar bingarnya ibu kota setiap harinya. Semenjak Revano pergi, justru Tamara mendapatkan banyak teman. Alice, Karina, dan Rani resmi sudah menjadi sahabat Tamara. Entah apa yang membuat mereka tiba-tiba mau bersahabat dengan Tamara. Meski hidupnya dikelilingi oleh banyak teman, Tamara tetap merasa ada yang kurang di hidupnya. Siapa lagi kalau bukan Revano? Kepergian Revano rupanya menyisakan ketidakrelaan dalam hati Tamara. Sekuat apa pun Tamara menghibur diri, tetap saja tak berhasil. Kini seseorang yang ia cintai setelah Diana juga meninggalkannya. Terlebih karena Revano lah yang mengambil ciuman pertamanya. Mungkin bagi sebagian perempuan, ciuman bukanlah hal yang luar biasa, tapi bagi Tamara, itu adalah hal yang sangat berarti. Tamara tak akan semudah itu menyerahkan ciumannya pada lelaki. Tamara menghela napas.Hm, ya udahlah, mau gimana

  • Reuni SMA   Bagian 21

    Revano mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi mengikuti ambulan yang membawa Pram tersebut ke rumah sakit. “Vano!” seru Alyana memanggil puteranya. Akan tetapi, sang pemilik nama tak menyahut, ia justru berjalan masuk bersama dengan para dokter dan perawat yang membawa brankar dengan seseorang bertutupkan kain putih di atasnya. Alyana memandang heran pada Revano. “Biar aku saja yang menemui dia.” Di sinilah Revano berada – di kamar jenazah. Ia menangisi seseorang yang terbaring kaku bertutupkan kain tersebut. “Pa, Papa jangan pergi tinggalin Vano. Vano sayang sama Papa. Apa Papa nggak kasihan sama Mama yang kesepian kalau Papa tinggal? Papa tahu sendiri, ‘kan, kalau Mama itu nggak bisa berlama-lama jauh sama Papa. Gimana aku sama Brian, Pa? Kami masih butuh Papa. Kami ingin Pap—HUWAAAAA!!! SETAAANNN!!!” Alex membungkam mulut anaknya yang berteriak seperti toa di tempat sepi. “Jaga mulutmu, Vano!” bisik Alex semba

  • Reuni SMA   Bagian 20

    Sudah dua minggu ini Revano rutin menjenguk Tamara. Sejak meninggalnya Diana, Melati – sahabat Diana itu lah yang merawat Tamara. Wanita paruh baya yang belum menikah itu memutuskan untuk membawa Tamara tinggal bersamanya di rumahnya yang cukup mewah itu. Meski ia yang merawat Tamara kini, tapi Melati tak pernah membatasi siapa pun menjenguk puteri dari mendiang sahabatnya itu, termasuk Revano. Tamara mengamati Revano yang dengan lahap menyantap salat buah yang tadi dibawakan Revano untuk Tamara. “Kenapa?” tanya Revano bingung karena sedari tadi Tamara terus memandanginya. Tamara menggeleng. Revano menghela napas dengan berat, ia meletakkan mangkuk berisi salat buah yang sudah habis setengah wadahnya itu. “Kenapa?” tanya Revano lagi. Kini ia memilih untuk duduk lebih dekat dengan Tamara. “Van, aku sebenarnya nggak apa-apa kalau ditinggal. Beneran deh,” tolak Tamara. “Ra, sini deh,” kata Revano meminta Tamara lebih dekat lagi de

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status