/ Romansa / Reuni SMA / Bagian 4

공유

Bagian 4

작가: Gabriella Tan
last update 최신 업데이트: 2020-09-25 00:08:02

Tamara keluar toilet, melihat muka murungnya di pantulan cermin. Air matanya sudah kering dari tadi.

Tamara membasuh mukanya dengan air, lalu berjalan kembali ke kelas diiringi tatapan aneh dan teriakan mengolok dari teman-teman kelasnya.

Dengan segera Tamara mengemasi barang-barangnya, memasukkannya ke dalam tasnya.

“Ra, ini, ‘kan, belum jam pulang,” kata Juna yang terheran-heran melihat apa yang dilakukan Tamara.

Akan tetapi, Tamara tak meresponnya sedikit pun. Gadis itu justru berlari pergi membawa tasnya keluar.

“Rara!” seru Juna memanggil. Namun, percuma saja, sang empunya nama sudah menghilang, entah ke mana.

                                                      ***

“Lho, kok udah pulang?” tanya Diana heran. Tak seperti biasanya putri tunggalnya itu pulang sepagi ini.

“Iya, Ma. Rara agak nggak enak badan aja, jadi izin pulang deh,” jawab Tamara sekenanya.

“Kamu sakit?” Diana menempelkan punggung tangannya ke dahi Tamara. “Kok nggak panas?”

“Eh, Rara pusing, Ma, bukan panas.”

“Ya udah, kamu buruan ganti baju terus makan, ya.”

Tamara mengangguk patuh.

Tak lama kemudian, pintu rumah diketuk. Siapa yang bertamu? Apakah seseorang yang hendak menjahitkan baju pada Diana?

“Rara aja, Ma, yang buka,” kata Tamara ketika Diana hendak membukakan pintu.

Mata besar gadis itu membulat begitu tahu siapa sang pengetuk pintu tadi.

Sementara di ambang pintu sudah berdiri cowok jangkung berseragam putih abu-abu yang rapi dengan kacamata yang masih setia dipakainya. 

“Juna.” Tamara terkejut. Bagaimana pemuda itu bisa tahu rumahnya? 

“Siapa, Ra?” Diana melongok, ingin tahu siapa yang mengetuk pintu tadi.

“Saya Juna, Tante – teman sekelasnya Rara,” kata Juna memperkenalkan diri sembari mencium punggung tangan Diana.

“Kok Juna nggak disuruh masuk, sih, Ra?”

“Eh, masuk, Jun,” kata Tamara mulai membukakan pintu lebih lebar.

Juna masuk mengekori Tamara dan Diana.

“Maaf, ya, Jun, gue nggak punya sofa,” ucap Tamara sembari menyodorkan kursi plastik.

“Ngaak apa-apa, Ra.”

“Dibuatin minum dong, Ra,” bisik Diana di telinga Tamara dengan pelan.

“Mau minum apa, Jun?”

“Adanya apa?” Juna balik bertanya.

“Es teh, es jeruk, sama air putih.”

“Es teh aja deh, Ra. Haus, nih. Hehehe ….”

“Oke, tunggu bentar, ya.”

Juna mengangguk.

Sementara Tamara membuatkan minuman, Diana terus mengajak Juna untuk mengobrol, menanyakan ini itu termasuk tentang kegiatan belajar mengajar.

“Kalau di kelas, Rara bagaimana, Nak Juna?” Pertanyaan yang sama yang dilontarkan ibu-ibu wali murid pada teman anaknya.

“Pendiam, Tante. Hehehe ….”

“Apa dia susah bergaul dengan teman-teman lainnya?”

Juna menggaruk kepalanya yang tiba-tiba menjadi gatal tanpa sebab itu. Bagaimana ini? Apakah ia harus menjawab dengan jujur? Namun, bagaimana jika Diana menjadi terbebani dengan fakta yang ada nantinya?

“Nih, Jun, diminum.”

Juna dapat bernapas lega ketika Tamara datang membawa nampan berisi tiga gelas es teh. Setidaknya Tamara dapat menyelamatkannya dari pertanyaan Diana.

“Ya sudah, dilanjut aja dulu ngobrolnya, ya, Mama mau ke belakang. Juna, Tante ke belakang dulu, ya,” kata Diana pamit.

“Oh, iya, Tante.”

“Lo kok bisa tahu rumah gue?” tanya Tamara ketika Diana sudah tak terlihat lagi di sekitarnya.

“Apa yang gue nggak tahu?” Juna tersenyum miring. Wajah culunnya mendadak menjadi mengerikan bak seorang psikopat ulung.

“Lo stalking gue?”

“Kenapa sih, Ra, lo tadi pulang nggak pamit? Bu Naomi panik cariin lo karena pak satpam lapor lo kabur dari jam pelajaran.” Bukannya menjawab pertanyaan Tamara, Juna justru mengalihkan pembicaraan.

“Lo siapa, sih, sebenernya?” Tamara mulai takut.

“Gue Juna, Ra. Masa lo lupa sama teman sebangku lo sendiri, sih?” Juna tertawa. Kali ini wajahnya tak semengerikan tadi.

Tamara terdiam, ia sendiri bingung siapa Juna sebenarnya. Mengapa Juna terlihat culun ketika di sekolah, tapi terlihat misterius di luar sekolah?

“Lo pasti sakit hati, ya, soal praktikum tadi?”

Tamara mengangguk pelan. Jelas saja, bukan? Siapa yang tidak sakit hati jika dipermalukan di depan banyak orang seperti tadi.

“Gue jelas sakit hati, Jun. Gue tahu kalau Vano yang ganti larutan gue. Gue emang nggak punya bukti kuat kalau dia yang ganti larutan gue, tapi dari ancaman-ancamannya kemarin, gue yakin banget kalau dia pelakunya.”

Juna terdiam, berusaha mendengarkan dengan saksama semua yang dikatakan oleh Tamara.

“Gue lama nangis di kamar mandi, sampai sesak dada gue karena pengap, Jun. Gue nggak ngerti lagi dia punya dendam sebesar apa ke gue sampai gue diginiin. Gue sadar gue salah karena udah kotorin seragamnya, tapi gue bener-bener nggak sengaja, Jun.” Tamara terisak perlahan.

Juna terkejut dengan respon gadis di hadapannya itu. Rupanya seberat itu kesedihan yang dirasakan Tamara.

Dengan perlahan Juna mengusap punggung Tamara, mencoba menenangkan.

Tanpa sepengetahuan keduanya, Diana rupanya mendengarkan semua itu di balik tembok. Wanita itu menangis mendengar apa yang dikatakan anaknya. Ia baru tersadar jika selama ini anaknya menutupi semuanya – mengatakan baik-baik saja, teman-temannya baik – semua adalah bohong.

Mengapa puteri tunggalnya itu mulai berani membohonginya?

“Ehm, gue nggak tahu harus gimana, Ra. Cuma gue kasihan aja sama lo yang murid baru udah diginiin.”

“Gue harus gimana, Jun? Mau menghindar juga susah karena sekelas.”

Juna mengangkat bahunya, “Gue juga nggak ngerti, Ra.”

Tamara terdiam. Memang susah jika sudah berurusan dengan Revano, terlebih karena cowok tengil itu adalah anak pemilik yayasan sekolah.

“Ra.”

Tamara mengangkat kepalanya, menatap Juna.

“Gue boleh nggak jadi teman lo?”

“Seriusan lo mau berteman sama gue?” Mata Tamara terbelalak, tak percaya dengan apa yang dilontarkan Juna.

Juna mengangguk mantap.

                                                  ***

“Rara!” Juna berlari tergopoh-gopoh menghampiri Tamara yang masih berdiri di halaman sekolah.

Cowok itu terus menarik lengan Tamara.

“Apaan, sih, Jun? Sakit, nih, tangan gue lo tarik-tarik gini,” protes Tamara sembari melepaskan tarikan Juna.

“Lo harus lihat apa yang ada di kelas sekarang.”

Tamara berlari meninggalkan Juna, tak peduli sekencang apa cowok itu memanggil namanya.

Gadis itu tiba di kelas, bersamaan dengan seluruh murid yang menatapnya dengan tatapan menghakimi. Di depannya sudah tersedia pemandangan tak menyenangkan mulai dari papan tulis yang dicoret-coret dengan memaki dirinya, bangkunya yang sudah penuh coretan dengan kata-kata yang tak jauh beda dari yang ada di papan tulis, serta laci mejanya yang penuh dengan sampah.

Tamara mengembuskan napas dengan berat. Sabar, Ra, sabar. Ini masih terlalu pagi buat emosi. 

Tanpa berkata sepatah kata pun, Tamara langsung membersihkan sampah-sampah di mejanya, membuangnya ke tempat sampah, lalu menghapus tulisan-tulisan di papan tulis. Ia menatap bangkunya yang masih penuh coretan tak menyenangkan itu. Mungkin esok lusa ia bisa membersihkannya.

Seisi kelas masih menatapnya. Tamara tak peduli.

Langkahnya menuju kantin, berharap dapat meredakan emosinya dengan segelas susu cokelat hangat.

Tamara meneguk hampir setengah gelas. Perasaannya sudah kacau sejak pagi, susah untuk diperbaiki seharian nanti. 

Perlahan air matanya turun. Awalnya hanya setitik, tapi lama-lama membanjiri kedua pipinya.

Karena tak ingin seorang pun tahu ia sedang menangis, dengan segera dihapusnya air mata itu dan mencoba tersenyum.

“Lo kuat kok, Ra,” katanya pelan pada dirinya sendiri.

Tanpa ia sadari, seseorang memperhatikannya sejak tadi. Ia juga menyaksikan bagaimana Tamara menangis.

Apa gue keterlaluan sama tuh cewek ya?

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Reuni SMA   Bagian 25

    Lagu Superman milik Super Junior berdering dari ponsel Tamara, membuat Sang Empunya ponsel pun terbangun dan segera mematikan alarm tersebut. Memang sengaja Tamara menggunakan lagu tersebut sebagai nada dering alarm di ponselnya agar ia segera terbangun. Kembali hidup sendiri – sama ketika ia mengekos setelah kepergian Diana – setelah ia jauh dari Joseph dan Giselle, membuat Tamara mau tak mau harus kembali serba mandiri. Hidup sendiri di Kota Pelajar yang tentu jauh dari rumahnya membuatnya harus mendisiplinkan diri. Karena kalau tidak begitu, ia sendiri yang akan kehilangan waktu berharganya. Setelah memilih pakaian untuk dikenakannya ke kampus, Tamara pun berjalan menuju kamar mandi. Kamar mandi yang hanya ada tiga bilik di setiap lantainya membuat seluruh penghuni di lantai tiga – tempat Tamara tinggal pun harus berbagi dan bergantian. Seperti saat ini. Jam baru menunjukkan pukul lima kurang lima menit pagi, tapi tiga bilik kamar mandi terlihat penuh, bahkan Tama

  • Reuni SMA   Bagian 24

    Di suatu siang – seperti biasa – Tamara dan Giselle sedang duduk di ruang keluarga sembari menonton TV dan memperhatikan Ale bermain. Tiba-tiba ponsel Tamara berdenting, menampilkan sebuah pesan singkat dari Joseph. Papa: Ra, kamu bisa ke kantor Papa sekarang, ‘kan? Dengan cepat Tamara mengetikkan sesuatu di ponselnya. TamaraAltey: Oke, Pa. Giselle yang melihat bahwa mata Tamara tak lagi fokus pada tayangan di TV dan lebih asyik dengan ponselnya itu pun menjadi penasaran, dengan siapa anak tirinya itu berkomunikasi. “Hayo, SMS siapa tuh?” tanya Giselle sembari melongok, ikut melihat ke layar ponsel Tamara. “Papa, Bun.” “Kenapa sama Papa?” “Papa suruh aku ke kantornya.” Giselle mengernyitkan dahi. “Ada apa?” “Nggak tahu. Papa suruh aku segera ke kantornya.” “Ya udah sana. Sama Pak Dadang, ‘kan?” “Pak Dadang, ‘kan, lagi istirahat, Bun. Aku

  • Reuni SMA   Bagian 23

    “Geser dikit bisa nggak, sih, Ran?” tanya Alice seraya mendorong tubuh Rani agar sedikit menjauh supaya memberinya banyak tempat untuk berbaring. “Hih, lo apaan, sih, Lice? Banyak tempat tuh,” jawab Rani tak suka jika keasyikannya menonton film diganggu oleh Alice. “Di situ nanti tempatnya Karina sama Rara. Lo mikir dong, badan lo aja segede itu masih juga kaki sama tangan ke mana-mana,” protes Alice. “Lo nggak ngomong pun gue juga tahu kalau itu tempatnya Rara sama Karina. Tapi, ‘kan, mereka masih keluar. Lo yang santai dikit kenapa, sih? Ganggu aja gue lagi nonton pacar gue nih – Leonardo DiCaprio,” gerutu Rani. “Kalian kenapa, sih? Berisik banget dari tadi,” tanya Tamara yang sudah muncul di hadapan mereka bersama Karina dan beberapa kantung plastik berisi makanan dan minuman yang mereka inginkan. Dengan segera Alice dan Rani membaur bersama Tamara dan Karina, seakan lupa dengan perdebatan mereka beberapa detik yang lalu itu. “Ra,”

  • Reuni SMA   Bagian 22

    Tamara mulai membiasakan diri hidup mandiri, bertemankan kesendirian di tengah ingar bingarnya ibu kota setiap harinya. Semenjak Revano pergi, justru Tamara mendapatkan banyak teman. Alice, Karina, dan Rani resmi sudah menjadi sahabat Tamara. Entah apa yang membuat mereka tiba-tiba mau bersahabat dengan Tamara. Meski hidupnya dikelilingi oleh banyak teman, Tamara tetap merasa ada yang kurang di hidupnya. Siapa lagi kalau bukan Revano? Kepergian Revano rupanya menyisakan ketidakrelaan dalam hati Tamara. Sekuat apa pun Tamara menghibur diri, tetap saja tak berhasil. Kini seseorang yang ia cintai setelah Diana juga meninggalkannya. Terlebih karena Revano lah yang mengambil ciuman pertamanya. Mungkin bagi sebagian perempuan, ciuman bukanlah hal yang luar biasa, tapi bagi Tamara, itu adalah hal yang sangat berarti. Tamara tak akan semudah itu menyerahkan ciumannya pada lelaki. Tamara menghela napas.Hm, ya udahlah, mau gimana

  • Reuni SMA   Bagian 21

    Revano mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi mengikuti ambulan yang membawa Pram tersebut ke rumah sakit. “Vano!” seru Alyana memanggil puteranya. Akan tetapi, sang pemilik nama tak menyahut, ia justru berjalan masuk bersama dengan para dokter dan perawat yang membawa brankar dengan seseorang bertutupkan kain putih di atasnya. Alyana memandang heran pada Revano. “Biar aku saja yang menemui dia.” Di sinilah Revano berada – di kamar jenazah. Ia menangisi seseorang yang terbaring kaku bertutupkan kain tersebut. “Pa, Papa jangan pergi tinggalin Vano. Vano sayang sama Papa. Apa Papa nggak kasihan sama Mama yang kesepian kalau Papa tinggal? Papa tahu sendiri, ‘kan, kalau Mama itu nggak bisa berlama-lama jauh sama Papa. Gimana aku sama Brian, Pa? Kami masih butuh Papa. Kami ingin Pap—HUWAAAAA!!! SETAAANNN!!!” Alex membungkam mulut anaknya yang berteriak seperti toa di tempat sepi. “Jaga mulutmu, Vano!” bisik Alex semba

  • Reuni SMA   Bagian 20

    Sudah dua minggu ini Revano rutin menjenguk Tamara. Sejak meninggalnya Diana, Melati – sahabat Diana itu lah yang merawat Tamara. Wanita paruh baya yang belum menikah itu memutuskan untuk membawa Tamara tinggal bersamanya di rumahnya yang cukup mewah itu. Meski ia yang merawat Tamara kini, tapi Melati tak pernah membatasi siapa pun menjenguk puteri dari mendiang sahabatnya itu, termasuk Revano. Tamara mengamati Revano yang dengan lahap menyantap salat buah yang tadi dibawakan Revano untuk Tamara. “Kenapa?” tanya Revano bingung karena sedari tadi Tamara terus memandanginya. Tamara menggeleng. Revano menghela napas dengan berat, ia meletakkan mangkuk berisi salat buah yang sudah habis setengah wadahnya itu. “Kenapa?” tanya Revano lagi. Kini ia memilih untuk duduk lebih dekat dengan Tamara. “Van, aku sebenarnya nggak apa-apa kalau ditinggal. Beneran deh,” tolak Tamara. “Ra, sini deh,” kata Revano meminta Tamara lebih dekat lagi de

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status