Perlahan, dia mulai membuka kedua pahanya, lebar, mencari posisi yang paling nyaman di tengah penderitaan yang luar biasa. Kakinya ikut gemetar saat lututnya mulai terangkat, membuka jalan bagi kehidupan baru yang sedang berjuang untuk keluar. Matanya terpejam, menahan perih dan nyeri yang seolah-olah menguasai seluruh tubuh. Dia merasa begitu rapuh, namun kekuatan dalam dirinya terus mendorongnya untuk bertahan, guna melawan rasa takut dan rasa sakit yang menyiksa.
Dengan tangan gemetar, dia meraba perutnya yang semakin keras, menyadari apa yang terjadi. Rasa takut menyelimutinya, tapi tubuhnya tak memberi ruang untuk berpikir jernih. "Sayang,” bisiknya dengan terus mengelus perut penuh kasih sayang. "Kamu harus bisa ya! Kita akan hadapi ini bersama-sama.” Elena kembali mengerang kesakitan, seluruh tubuhnya tegang saat kontraksi semakin kuat mengguncang tubuh. Dengan sisa-sisa tenaga yang dia miliki, wanita itu berusaha kuat mengangkat tubuh bagian atasnya, otot-otot di perutnya ikut mengencang saat dia mengumpulkan kekuatan untuk mengejan. Peluh mulai membasahi wajah, dan urat-urat di leher, semakin menonjol ketika dia mencoba mendorong dengan sekuat tenaga. “Argh, aku tidak tahu sampai kapan lagi aku bisa bertahan seperti ini. Rasanya sangat sakit!” Namun, rasa sakit yang begitu dahsyat membuat tubuhnya bergetar hebat. Setelah beberapa saat yang terasa seperti keabadian, Elena kehabisan tenaga. Tubuhnya tak mampu lagi menahan beban perjuangan yang ia lakukan, dan dengan desahan panjang, dia terhempas kembali ke tanah, tubuhnya terasa lunglai tak berdaya karena kelelahan dan rasa sakit yang tak tertahankan. Dia memejamkan mata saat nafasnya mulai tersengal, air mata mengalir di pipi. Sekilas dia menoleh, berharap ada sosok yang selama ini selalu ada untuknya disana, di sampingnya, membelai rambutnya penuh kasih.. Kemudian dengan suara lemah, hampir tak terdengar, dia mulai bersuara, "Kak, t-tolong ... Aku nggak bisa lagi ... Tolong aku … aku butuh kakak! M-maafin aku!" Setiap hembusan nafas seakan menarik dirinya lebih dalam ke jurang kelelahan. Tapi di dalam hatinya, Elena tahu bahwa dia tidak bisa berhenti, meski tubuhnya mulai menyerah. Dengan tangan gemetar, dia berusaha untuk sekali lagi memelengkungkan tubuhnya, mempersiapkan diri untuk dorongan berikutnya, meski rasa sakit itu hampir membuatnya menyerah. Dia mulai menggigit bibirnya hingga hampir berdarah, mencegah teriakan yang ingin keluar. Tubuhnya menjerit untuk mendorong, dan tanpa sadar, dia mengikuti insting itu. Dia merasakan dorongan kuat dari dalam, memaksanya untuk memberikan segalanya, seolah-olah seluruh hidupnya tergantung pada momen ini. “Sebentar lagi, Elena!” Katanya sedikit mengangkat kepala, mencoba melihat situasi di bawah sana yang nyatanya sudah dipenuhi darah segar, bahkan gaun putihnya kini tak lagi berupa. Tubuhnya mengerahkan segala kekuatan yang tersisa, otot-otot perutnya bekerja keras untuk membawa kehidupan baru ke dunia yang keras ini. Suara detak jantungnya bersaing dengan dengungan dari dalam rahimnya yang terus menerus memberikan sinyal bahwa bayi sudah dekat. "Jangan ... jangan menyerah," desah Elena dengan suara lemah, berbicara pada dirinya sendiri seolah-olah kata-kata itu akan memberi kekuatan tambahan. Dia mengerang pelan, merasakan gelombang kontraksi yang semakin kuat. Dengan segenap tenaga yang tersisa, dia mencoba mendorong. "Aku harus melakukannya ... harus," katanya, berusaha meyakinkan diri. Wanita itu kembali menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan, menyiapkan diri untuk dorongan berikutnya. Huft! Huf! Huft! "Aahh ... hampir ... hampir, sedikit lagi, dan semua akan selesai!" ujarnya dengan suara gemetar. Dia berusaha keras, tangan-tangannya meraih tanah untuk mendapatkan dorongan tambahan. Keringat membasahi wajahnya, dan ia kembali mengangkat punggungnya dalam posisi yang penuh perjuangan. Suara erangan dan desahan mulai memenuhi ruang sekitarnya. "Segera ... segera," Elena berbisik sambil mengatur nafasnya. “Aku harus… melakukan ini.” Suaranya semakin memudar, namun semangatnya tetap berkobar. “Ayo, Sayang! kamu pasti bisa.” Dalam gelapnya malam, hanya terdengar erangan kesakitan Elena yang bersatu dengan suara hembusan angin di antara pepohonan. Alam seolah ikut merasakan penderitaannya, memberikan sedikit kesyahduan di tengah ketegangan yang mencekam. “Jangan menyiksa mama lebih lama lagi, dan cepatlah keluar! Mama menunggumu disini" suaranya parau, bergetar dengan penuh harapan dan ketakutan. Sambil terengah-engah, dia merasakan sesuatu bergerak turun, semakin dekat. Ketika dorongan terakhir datang, Elena memejamkan mata, menggenggam tanah semakin erat dengan kuku-kunya yang hampir patah, dan dengan satu tarikan nafas panjang, dia mengerahkan semua kekuatan yang Elena berteriak sekencang mungkin, seakan memberi isyarat alam bahwa perjuangannya akan segera berakhir dengan membuahkan hasil. “Arghhh!!! Ayolah, ini sangat sakit, Tuhan!” Benar saja, tak lama setelahnya, keheningan langsung terpecah oleh suara tangis bayi, Elena terkulai lemas, merasakan kelegaan yang luar biasa setelah tubuh mungil itu akhirnya keluar dari dalam rahimnya, dia tersenyum meski tampak getir. “Terima kasih, Sayang! Kamu hebat, dan selamat datang di dunia.” ****** Kedua tangan kekar itu mencengkeram kuat nisan yang baru saja diletakkan di atas gundukan tanah. Jari-jarinya mencengkeram erat, seolah ingin merasakan kehangatan yang tak lagi ada. Tatapan pria bermata biru itu kosong, pandangannya menerawang jauh, namun pikirannya hancur berkeping-keping. Suara lembut yang dulu selalu menenangkannya kini lenyap, tak akan pernah terdengar lagi. Dunia di sekitarnya terasa sunyi, nyaris tak berbekas, seiring kepergian wanita yang begitu dicintainya. "Sandro, kita pergi dari sini sekarang!" Suara bariton yang berat dan tegas memecah keheningan, memaksa pendengarannya kembali fokus. Dengan lambat, Sandro mendongak, menatap pria yang sejak tadi berdiri di sampingnya—sosok yang ia tahu kuat, namun bahkan kekuatan itu tampak rapuh di hadapan kematian yang begitu dekat. "Ratih sudah tenang. Kita harus segera pergi," lanjut sang pria paruh baya dengan nada yang bergetar meski berusaha tegar. Mata tuanya tampak mengeras, tapi tak mampu menyembunyikan kepedihan di balik tatapannya. Rasa sakit kehilangan merayap, menjalar seperti racun yang menggerogoti setiap nadi. Bagaimana mungkin tidak? Wanita yang pernah memberinya harapan kini telah tiada, meninggalkan luka yang mungkin tak akan pernah sembuh. "Hari mulai gelap, Sandro. Kau butuh istirahat!" Suara itu kembali terdengar, lebih lembut namun tak kalah tegas. Mata pria tua itu menatap dalam-dalam, seolah ingin menembus kebisuan yang menyelimuti putranya, mencoba mencari sisa-sisa perasaan yang masih bisa ia rengkuh. Sandro, pria dengan usia matang dan rambut coklat yang berkilauan dalam redupnya senja, perlahan mengangguk. Mata birunya, yang biasanya penuh kehidupan dan pesona, kini tampak mati, kehilangan kilau yang pernah membuatnya tak terkalahkan. "Baiklah, Ayah," jawabnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar. Dalam hening, mereka perlahan meninggalkan makam itu. Angin malam berhembus dingin, menggigit kulit, seolah mempertegas rasa duka yang menggelayuti udara. Langkah mereka berat, namun tak terhenti. Di kejauhan, tepat di balik rerimbunan semak berduri yang gelap, sepasang mata tajam mengawasi setiap gerakan mereka. Bibir pria itu menyeringai puas, tangannya menggenggam erat ponsel yang baru saja digunakan untuk mengambil gambar momen pilu di hadapannya. "Elsandro Falco..." bisiknya dalam hati, nama itu keluar seperti racun yang ia nikmati perlahan. Tatapannya tak pernah lepas dari sosok yang berjalan menjauh, seolah mangsanya sedang melarikan diri, tetapi belum menyadari bahaya yang mengintai. "Mari kita mulai permainannya.”Vale melempar senyuman canggung ke arah Sandro, begitu pula sebaliknya, sebelum keduanya sama-sama duduk diatas bangku taman dibawah pohon rindang. Awalnya tidak ada yang bersuara, suasana tampak hening, hanya ada suara desiran angin, dan suara tawa dari beberapa anak yang saling bersahutan dari kejauhan. Vale sendiri tampak fokus menatap ke arah beberapa anak di depan sana, bibirnya melengkung, membentuk senyuman yang jarang sekali ia tonjolkan. Sandro yang memperhatikan hal itu merasa semakin canggung, dia bingung harus berbuat apa, selain belum mengenal perempuan di sampingnya, dia juga masih terbayang hal tidak mengenakan yang pernah menimpa keduanya. Jangan kira Vale tidak sadar akan hal tersebut, justru perempuan itu cukup peka, dan apa yang dilakukannya saat itu sudah termasuk kedalam rencana, “Kenapa ngelihatinya kayak gitu? Ada yang aneh ya?!”Bak maling yang tertangkap basah, detik itu juga Sandro langsung memalingkan pandangan, dia menggaruk tengkuknya dengan canggung,
Di balik dedaunan rimbun, Vale masih setia mengamati beberapa anak kecil yang tampak asik berlarian di sebuah taman yang berada tak jauh dari sebuah gedung yang menjulang tinggi.“Mereka sangat lucu,” katanya dengan menarik tinggi sebelah bibirnya, “Sama seperti perannya yang akan membawaku kedalam hubungan yang indah.” “Gue udah selesai, sekarang apa yang akan lo lakuin ke mereka?” Vale menoleh, tatapannya terus bergerak ke atas hingga kebawah, menelisik pakaian Vincent yang baginya tidak tepat di situasi saat ini, beruntung dia sudah menyiapkan semuanya. Dia mengambil sebuah paper bag yang semua ia bawa. “Ganti baju lo dengan ini dan tampil menarik didepan anak-ank itu.”“M-makBaru saja Vincent hendak membuka suara Vale sudah lebih dulu memotongnya. “Lakuin apa yang gue mau, Vincent!” Entah sudah untuk yang keberapa kalinya Vincent hanya mampu berdecak, tetapi tak urung ia tetap menerima pemberian Vale meski dengan kasar, lantas tanpa permisi langsung beranjak pergi. Vale se
“Siapa wanita ini?” Vale, dengan tatapannya yang tampak begitu menyala penuh amarah, dia terus menatap beberapa lembar cetak foto yang kini berserakan diatas meja. “Dia adalah Maria, sejauh ini yang kita tahu, dia adalah wanita yang akan menjadi tunangan Sandro, dan acara pertunangan tersebut akan berlangsung minggu depan.” “Brengsek!” Nafas Vale memburu secara tiba-tiba, otot-otot di tangannya terlihat begitu menonjol tatkala sebelah tangannya meremas satu foto yang memperlihatkan dua manusia berbeda gender tersebut tengah berciuman mesra.Detik berikutnya perempuan itu sedikit mendongak, menatap beberapa orang yang masih setia berdiri di hadapannya. “Cari tahu lebih dalam mengenai wanita ini, jangan biarkan dia mempersulit rencanaku untuk kedepannya!” “Baiklah, akan kami lakukan,“ jawab salah satu darii pria bertubuh tegap dengan pakaian rapi serba hitam tersebut, sebelum kemudian mereka semua bergegas pergi meninggalkan Vale dengan dua orang yang sedari tadi hanya diam di bela
BRUKK“Argh! stt!” Suara yang terdengar begitu nyaring, disusul suara rintihan tersebut membuat Sandro reflek menarik tubuhnya dari Maria, tak peduli dengan sang wanita yang langsung berdecak kesal, pria itu tetap berlari untuk menuju ke depan ruangan.Matanya membola tatkala mendapati salah seorang staf tersungkur di atas lantai dengan beberapa lembar dokumen yang berserakan. Tanpa pikir panjang pria itu ikut duduk hanya untuk membantu mengumpulkan beberapa dokumen. “Maaf, saya tidak sengaja, Pak! Kaki saya tiba-tiba keseleo dan semua dokumen ini jatuh.” katanya begitu lirih, dia menunduk dalam-dalam, tak berani menatap sang atasan.“It’s okay, lain kali hati-hati,” balas Sandro tersenyum ramah, dia mengulurkan beberapa berkas yang ia kumpulakan, dan langsung diterima oleh si perempuan.“Halah, kamu cuma alasan kan? Kamu pasti ngintip aku sama Sandro kan?” Dari dalam ruangan Maria melangkah mendekat, dia bersedekap dada dengan tatapannya yang tidak ramah.“Maria, tolong jaga bicar
Dengan duduk di atas pangkuan sang pria yang masih sibuk dengan layar laptop di hadapannya, Maria tampak berusaha menarik perhatiannya. Jari-jarinya yang lentik memainkan kerah kemeja pria itu dengan lembut, mencoba mengalihkan fokusnya. Namun, alih-alih terganggu, pria itu hanya mengangkat sebelah alis sambil melirik sekilas, senyum tipis menghiasi wajahnya."Kalau kamu terus begini, pekerjaanku nggak akan selesai," gumam pria itu, nada suaranya terdengar datar, meskipun bibirnya terlihat sedikit membentuk lengkungan ke atas. Maria hanya tertawa kecil, memiringkan kepala untuk menatapnya lebih dekat. "Siapa suruh kamu lebih sibuk sama pekerjaan daripada aku?" katanya dengan nada manja, seolah menuntut perhatian penuh darinya."Lagi pula kamu kerja terus! Nggak bosan apa?!” Tambah Maria, suaranya lembut namun memaksa.Pria itu mendesah panjang, berusaha menahan rasa jengah yang mulai mendidih di dadanya. "Maria, ayolah … aku sedang sibuk," jawabnya singkat, tanpa menoleh.Namun, Mari
BRAKK!Meja kayu itu berguncang hebat, bahkan gelas di atasnya nyaris jatuh. Ton menatap lurus ke arah depan, nafasnya memburu seolah mencoba menahan sesuatu yang hendak meledak."Jadi, anak itu masih hidup?" Suaranya berat, nyaris seperti geraman.Dia berbalik dengan gerakan tiba-tiba, matanya menyalak tajam, memindai satu per satu wajah pucat para anak buahnya yang kini tidak berani menatap langsung ke arahnya. Salah seorang dari mereka menelan ludah, terlihat gemetar di sudut ruangan.Ton berjalan mendekat, langkahnya berat, setiap hentakan sepatu menciptakan gema di ruangan itu. "Kalian ... semua ini hanya sekumpulan pecundang!" Katanya sambil menunjuk mereka dengan telunjuknya, tangan kirinya mengepal hingga uratnya terlihat.“Bukankah waktu itu aku sudah menyuruhmu memastikan semuanya,” Ton selangkah lebih maju, pandangannya semakin tajam pada sosok pria yang kini hanya bisa menunduk. “Tapi bagaimana bisa dia masih hidup sekarang, jawab aku!” Tak lagi bisa membendung amarahnya,